Sabar dalam Berdakwah
Asy-Syaikh Hamad bin ‘Abdillah Al-Jutaili berkata:
"Saya mempunyai beberapa kenangan tentang Asy-Syaikh Al-Utsaimin, yaitu selama saya belajar kepada beliau selama 30 tahun di Al-Jami’ Al-Kabir, Unaizah. Yaitu tentang kesabaran beliau, dimana pada awal perjalanan mengajar beliau hanya ada saya dan beberapa pelajar lain, namun beliau senantiasa bersabar sampai akhirnya kajian beliau berkembang dan diikuti oleh ribuan pelajar." (Safahat Mushriqah min Hayat Al-Imam Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, hal. 80)
Diingatkan oleh Muridnya
Dikisahkan, pada sebuah khutbah Jum’at, Asy-Syaikh Al-’Utsaimin
menjelaskan tentang keutamaan surat Al-Fatihah sebelum tidur dan
menganjurkan setiap orang untuk membacanya. Setelah selesai khutbah,
salah seorang pelajar mengingatkan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin, “Wahai
Syaikh, yang anda maksud mungkin tadi keutamaan ayat Kursi.”
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin kemudian menyadari bahwa dirinya secara tidak
sengaja telah melakukan kesalahan. Maka beliau pun segera meralat
kesalahannya sebelum para jamaah pergi, mengingatkan mereka bahwa beliau
telah berbuat salah dan yang benar adalah keutamaan membaca ayat Kursi
sebelum tidur. (Safahat Mushriqah min Hayat Al-Imam Muhammad bin
Shalih Al-’Utsaimin, hal. 43)
Menuntut Ilmu Sejak Anak-anak
Asy-Syaikh ‘Ashim bin ‘Abdil Mun’im Al-Mari menceritakan:
"Sifat yang paling menonjol dari Asy-Syaikh Al-’Utsaimin adalah
ketekunan beliau dalam menuntut ilmu. Beberapa saudara Asy-Syaikh
Abdullah bin Muhammad Al-Mani’ rahimahullah, Qadhi Unaizah pada tahun
1360 H (1936) menyebutkan bahwa Asy-Syaikh Al-’Utsaimin selalu datang
pagi-pagi ke rumah Asy-Syaikh Abdullah bin Muhammad sambil membawa
kertas dan buku. Asy-Syaikh Al-’Utsaimin kemudian mengetuk pintu,
mengucapkan salam dan meminta ijin untuk masuk ke perpustakaan. Beliau
biasa ada di perpustakaan itu sampai menjelang Dzuhur. Ini dilakukan
ketika beliau masih anak-anak (belum mencapai usia baligh)." (Ad-Durr
Ats-Tsamin fi Tarjamti Faqihil Ummah Al-’Allammah bin ‘Utsaimin, hal.
24)
“Istirahat adalah dengan tetap memberikan pelayanan kepada umat”
Asy-Syaikh Badr bin Nadhir Al-Masyari menceritakan:
Meskipun dalam keadaan kesehatannya kurang baik, Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin tetap bersemangat untuk memberikan khutbah Jum’at di
Al-Jami’ Al-Kabir, memimpin doa, dan menemui tamu-tamu untuk menjawab
pertanyaan ataupun memberikan penjelasan. Semua ini memang kemauan dari
beliau sendiri, dimana pada suatu hari dikatakan kepada beliau, “Wahai
Syaikh, beristirahatlah.” Maka beliau menjawab, “Istirahat adalah
dengan tetap memberikan pelayanan kepada umat.” (Ad-Durr Ats-Tsamin fi
Tarjamti Faqihil Ummah Al-’Allammah bin ‘Utsaimin, hal. 296)
Prihatin dengan Krisis yang Terjadi pada Umat
Asy-Syaikh Badr bin Nadhir Al-Masyaari menceritakan:
Salah seorang murid Asy-Syaikh Al-’Utsaimin bercerita kepada saya bahwa
beliau pernah mengalami tidur dalam waktu sedikit ketika krisis yang
besar melanda umat, khususnya pada saat Perang Teluk dan tragedi
pembantaian muslimi di Bosnia dan Chechnya. Waktu itu beliau sering
berdoa di waktu malam kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar memberi
kemenangan bagi kaum muslimin dalam melawan musuh-musuhnya, menguatkan
Islam, dan menghancurkan musuh-musuh Islam. Beliau pun berdoa untuk
keselamatan kaum muslimin secara keseluruhan dan memberi mereka dorongan
agar tetap teguh dalam menghadapi berbagai kesulitan menghadapi
musuh-musuh Isam. (Ad-Durr Ats-Tsamin fi Tarjamti Faqihil Ummah
Al-’Allammah bin ‘Utsaimin, hal. 300)
Menghapal Al-Qur’an dalam Waktu Enam Bulan
Asy-Syaikh Ibrahim bin Hamad Al-Jutaili, seseorang yang telah mengenal
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin selama 45 tahun dan telah belajar kepada beliau
selama 20 tahun bercerita: Beliau mampu menghapal Al-Qur’an dalam
waktu 6 bulan di bawah bimbingan gurunya Asy-Syaikh Ali bin Abdullah
Asy-Syuhaitan. (Ad-Durr Ats-Tsamin fi Tarjamti Faqihil Ummah
Al-’Allammah bin ‘Utsaimin, hal. 23)
Catatan: Berdasar cerita ini maka menjadi jelas bahwa Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin tidak menghapal Al-Qur’an di bawah bimbingan kakeknya,
Abdurrahman bin Sulaiman Al-Damigh, sebagaimana yang banyak diketahui.
Kepada kakeknya itu beliau semata hanya belajar membaca Al-Qur’an,
sementara untuk menghapalnya beliau dibimbing oleh Asy-Syaikh
Asy-Syuhaitan.
Tetap Shalat Malam Meski Kelelahan
Muhammad bin ‘Abdil Jawwad As-Sawi mengisahkan:
"Suatu ketika Asy-Syaikh Al-’Utsaimin diundang oleh suatu lembaga amal
di Jeddah. Acara yang beliau hadiri itu ternyata sangat panjang, sampai
mendekati jam satu malam dimana kebiasaan beliau adalah beristirahat
pada waktu demikian. Terlihat sekali beliau mengalami kelelahan dan
mengantuk. Kami akhirnya pulang dan mengantar Asy-Syaikh Al-’Utsaimin ke
rumah, sementara kami sudah tidak bisa lagi menahan kantuk.
Ketika hari masih malam, yaitu sekitar jam 03.30, setelah kami tertidur
selama kurang lebih dua jam, saya mendengar suara Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin yang sedang sholat dalam keadaan beliau baru saja kelelahan
dan kurang tidur, namun beliau tetap menyempatkan untuk melakukan
shalat malam". (Safahat Mushriqah min Hayat Al-Imam Muhammad bin Shalih
Al-’Utsaimin, hal. 73)
Tidak Kenal dengan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin
Abdullah bin ‘Ali Al-Matawwu’ menceritakan bahwa ia pernah menemani
perjalanan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin dari Unaizah menuju Al-Bada’i yang
jaraknya sekitar 15 km untuk memenuhi undangan acara makan siang.
Setelah acara selesai, dalam perjalanan pulang rombongan Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin menjumpai seorang laki-laki yang memiliki jenggot berwarna
merah dan dengan pandangan bersahabat ia melambaikan tangan ke mobil
kami. Asy-Syaikh Al-’Utsaimin berkata, “Pelan-pelan, kita akan ajak dia
bersama kita.”
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin kemudian berkata, “Hendak pergi kemana anda?”
Laki-laki itu menjawab, “Bolehkah saya menumpang sampai ke Unaizah?”
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin berkata, “Boleh, tapi dengan dua syarat, pertama
anda tidak boleh merokok dan kedua anda harus selalu mengingat Allah.”
Ia menjawab, “Saya adalah laki-laki yang tidak merokok. Saya tadinya
menumpang kepada seorang laki-laki yang merokok, maka saya minta turun
di sini. Sedangkan untuk mengingat Allah, maka tidaklah ada seorang
muslim pun kecuali ia pasti mengingat Allah.” Maka laki-laki itu pun
masuk ke dalam mobil.
Selama perjalanan laki-laki tersebut sama sekali tidak menyadari bahwa
dirinya sedang bersama rombongan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin. Ketika sampai
di Unaizah, laki-laki itu berkata, “Tolong tunjukkan saya di mana
rumah Asy-Syaikh Al-’Utsaimin, saya memiliki beberapa permasalahan yang
ingin saya tanyakan pada beliau.”
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin berkata, “Mengapa anda tidak bertanya kepada
beliau saat di Bada’i?” Ia menjawab, “Saya tidak bertemu dengan beliau.”
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin berkata, “Saya melihat anda berbicara dan
memberi salam kepada beliau.” Laki-laki itu berkata, “Anda pasti
bercanda.” Asy-Syaikh Al-’Utsaimin tersenyum dan berkata, “Kerjakanlah
shalat Ashar di masjid jami’ Unaizah, maka anda akan bertemu dengannya.”
Orang itu berlalu tanpa mengetahui bahwa ia baru saja berbicara dengan
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin.
Usai shalat Ashar, laki-laki itu melihat seorang Syaikh di arah depan
usai mengimami shalat. Laki-laki itu bertanya tentang Asy-Syaikh
tersebut dan diberi tahu bahwa beliau adalah Asy-Syaikh Al-’Utsaimin.
Maka laki-laki itupun mendekati Asy-Syaikh Al-’Utsaimin dan meminta maaf
karena tidak mengenali beliau sebelumnya. Kemudian ia mengajukan
beberapa pertanyaan dan Asy-Syaikh pun menjawabnya. Laki-laki itu sangat
senang dan mengucapkan terima kasih kepada Asy-Syaikh Al-’Utsaimin.
(Al-Jami’ li-Hayat Al-’Allammah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal.
38)
“Tahukah kamu siapa Asy-Syaikh itu?”
Ketika Asy-Syaikh Al-’Utsaimin pulang dari Masjidil Haram usai shalat
menuju hotel, beliau menjumpai sekumpulan anak muda sedang bermain
sepak bola dalam keadaan mereka belum sholat. Maka beliau pun
menghentikan permainan sepak bola itu, memberi nasehat kepada mereka,
dan mengingatkan mereka kepada Allah dalam keadaan mereka tidak tahu
siapa beliau. Asy-Syaikh Al-’Utsaimin melarang mereka untuk meneruskan
permainannya sebelum mereka sholat. Salah seorang dari mereka mendekati
beliau dan dengan nada tinggi ia memaki-maki. Asy-Syaikh Al-’Utsaimin
membalas kata-kata anak muda itu dengan penuh rasa cinta dan keramahan,
“Engkau sebaiknya ikut saya ke hotel, kita bisa bicara di sana.”
Waktu itu Asy-Syaikh Al-’Utsaimin bersama beberapa pelajar dan mereka
mendorong anak muda itu untuk menuruti Asy-Syaikh Al-’Utsaimin ikut
bersama beliau. Maka ia pun ikut bersama Asy-Syaikh Al-’Utsaimin ke
hotel. Beberapa saat kemudian beliau meninggalkan ruangan untuk suatu
keperluan. Para pelajar yang bersama Asy-Syaikh Al-’Utsaimin bertanya
kepada anak muda, “Tahukah kamu siapa Syaikh itu?” Ia menjawab, “Saya
tidak tahu.” Mereka berkata, “Beliau adalah Asy-Syaikh Al-’Utsaimin.”
Mendengar jawaban itu, seketika wajah anak muda itu berubah. Ketika
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin datang, anak muda itu menangis dan mencium
kening beliau. Setelah peristiwa itu ia mengalami perubahan dan menjadi
anak muda yang shaleh. (Al-Jami’ li-Hayat Al-’Allammah Muhammad bin
Shalih Al-Utsaimin, hal. 41)
“…saya akan keluar untuk mendorong.”
Suatu ketika Asy-Syaikh Al-Utsaimin naik sebuah mobil tua milik salah
seorang temannya yang mudah mogok. Dalam perjalanan mobil itupun mogok
dan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin berkata kepada sopir mobil, “Tinggallah kamu
di tempatmu, saya akan keluar untuk mendorong.”
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin keluar dari mobil dan mendorong seorang diri
sampai mobil itu berjalan lagi. Kejadian ini merupakan gambaran betapa
beliau rahimahullah sangat rendah hati. (Al-Jami’ li-Hayat Al-’Allammah
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 42)
“Subhanallah, beliau yang sudah tua lebih memilih berdiri untuk shalat.”
Seorang murid Asy-Syaikh Al-’Utsaimin asal Kuwait yang telah belajar
selama lima tahun dan dikenal sebagai murid yang sangat rajin
menceritakan: Saya pernah menemani Asy-Syaikh Al-’Utsaimin dalam
perjalanan dari Unaizah menuju Riyadh dan kemudian dilanjutkan ke Mekkah
untuk umrah. Usai menunaikan umrah, semua anggota rombongan minta ijin
kepada Asy-Syaikh Al-’Utsaimin untuk istirahat karena kelelahan
setelah melakukan perjalanan panjang yang dilanjutkan dengan umrah pada
hari yang sama.
Salah seorang anggota rombongan bernama Asy-Syaikh Hamad menceritakan
bahwa dirinya terbangun di tengah malam dan mendapati Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin sedang shalat. Ia berkata, “Subhanallah, saya yang masih
muda memilih tidur sementara beliau yang sudah tua lebih memilih berdiri
untuk sholat.”
Maka ia pun bangkit untuk mengambil wudhu dan ikut shalat bersama
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin. Dia berusaha keras untuk melawan rasa
kantuknya, namun akhirnya ia tidak bisa bertahan dan pergi tidur
meninggalkan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin shalat sendirian. (Al-Jami’
li-Hayat Al-’Allammah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 39)
“Kembalikan mobil itu kepada Pangeran…”
Abdullah bin Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin (putra beliau) berkisah:
Suatu ketika Pangeran Abdullah bin Abdul Aziz Alu Su’ud, gubernur
Qashim, memberi hadiah kepada Asy-Syaikh Al-’Utsaimin sebuah mobil baru.
Ketika pulang ke rumah, beliau melihat sebuah mobil diparkir di depan
rumah dan beliau pun diberi tahu tentang mobil itu. Mobil itu tetap di
luar rumah sampai lima hari tanpa dipakai oleh Asy-Syaikh Al-’Utsaimin.
Beliau akhirnya berkata kepada putranya, Abdullah, “Kembalikan mobil
itu kepada Pangeran dan ucapkan terima kasih atas kemurahan hatinya.
Beritahu dia bahwa saya tidak membutuhkannya.”
Maka mobil itupun dikembalikan kepada Pangeran Abdullah, sementara
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin tetap mengendarai mobilnya yang sudah tua dan
murah. Sampai meninggal beliau masih tetap memiliki mobil yang sama.
(Al-Jami’ li-Hayat Al-’Allammah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal.
23)
“Sekarang ijinkan mereka pulang kepada keluarganya!”
Ihsan bin Muhammad Al-’Utaibi menceritakan:
Beberapa pemuda dari Yordania melakukan perjalanan dengan mobil untuk
melakukan umroh. Sesampai di Khaibar mereka mengalami kecelakaan, yaitu
mobil mereka menabrak lampu jalan. Polisi pun datang dan meminta kepada
sopir untuk membayar ganti rugi kerusakan sebesar 21.000 Riyal
(sekitar 3.500 Pound Sterling).
Baik sopir maupun para pemuda itu tidak mampu membayar denda sebesar
itu. Maka polisi pun menyita paspor milik sopir sampai dia mampu
membayar denda sepulang dari umrah.
Beberapa pelajar yang mengetahui kasus ini berinisiatif membantu
mencari dana. Mereka berpikir jalan terbaik adalah dengan menyampaikan
permasalahan ini kepada ulama. Maka salah seorang dari mereka mendatangi
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin di ruang beliau di Masjidil Haram, Mekkah,
usai shalat Ashar. Setelah diberi tahu permasalahan yang terjadi,
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin berkata, “Datanglah besok, insya Allah semua
akan beres.”
Namun para pelajar tidak datang pada keesokkan harinya karena mereka
berpikir bahwa jumlah uang yang dibutuhkan sangat besar. Disamping itu,
menurut pikiran mereka, Asy-Syaikh Al-’Utsaimin juga tidak kenal dengan
mereka. Maka pelajar itu kembali ke pemuda dari Yordania yang
mengalami kecelakaan dan menyatakan bahwa mereka telah berusaha
membantu, setidaknya telah menyampaikan hal ini kepada Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin. Para pemuda itu berencana pulang ke Yordania namun mereka
harus melewati pemeriksaan di Khaibar yang akan memeriksa paspor
sopir. Mereka mengharap kemurahan hati petugas imigrasi (pemeriksa
paspor) dan mereka mau melupakan kewajiban mereka untuk membayar denda.
Ketika mereka datang ke kantor, kepala kantor meminta mereka membayar
penuh denda tersebut dan mereka tidak boleh pergi (sebelum membayar
denda). Mereka boleh pergi tetapi tidak boleh bersama sopirnya. Para
pemuda dan sopir menjadi khawatir. Apa yang harus mereka lakukan kini?
Mereka kemudian mendatangi pelajar yang telah menemui Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin dan berkata, “Mengapa anda tidak mendatangi beliau lagi?
Apa yang beliau katakan?” Dia menjawab, “Beliau berkata: datanglah lagi
besok.” Mereka bertanya, “Apakah engkau datang keesokan harinya?” Dia
menjawab, “Tidak.” Mereka berkata, “Hubungi beliau lagi, semoga Allah
memberi jalan kepada kami melalui beliau. Saat ini kami berada di tempat
yang jauh dari keluarga di hari-hari terakhir bulan Ramadhan.”
Pelajar itu pun kembali mendatangi Asy-Syaikh Al-’Utsaimin. Pemuda itu
kembali menerangkan permasalahan yang terjadi. Asy-Syaikh Al-’Utsaimin
bertanya, “Apakah engkau berasal dari Yordania?” Ia menjawab, “Ya,
wahai Syaikh.” Asy-Syaikh berkata, “Bukankah waktu itu saya sudah
meminta engkau untuk datang esok harinya, tapi mengapa engkau tidak
datang?” Ia menjawab, “Saya merasa malu, wahai Syaikh.”
Maka Asy-Syaikh Al-’Utsaimin berkata, “Sekarang mengapa engkau datang
lagi? …di beberapa kejadian, jumlah uang yang kita butuhkan bisa
terkumpul dalam satu hari.” Pelajar itu hampir tidak percaya mendengar
hal itu. Ia merasa senang karena memiliki harapan baru. Ia berkata,
“Sekarang apa yang harus kami kerjakan, wahai Syaikh?” Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin berkata, “Saya akan mentransfer uang ke bagian imigrasi dan
mencoba meminta mereka agar memudahkah urusan kalian dan agar mereka
mengijinkan kalian pulang ke keluarga kalian sebelum hari Raya Idul
Fitri.”
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin kemudian berbicara kepada kepala imigrasi,
“Saya telah mengumpulkan uang (untuk membayar denda), beritahu saya
nomor rekening anda supaya saya bisa mentransfernya. Kemudian ijinkan
para pemuda dan sopirnya pulang ke keluarganya.”
Kepala imigrasi menjawab dengan nada tidak sopan, “Maaf Syaikh, kami
minta supaya uang itu dalam bentuk cash, sehingga kami pun belum bisa
mengijinkan mereka pergi.” Asy-Syaikh Al-’Utsaimin menjadi marah
mendengar jawaban itu. Beliau berkata, “Saya katakan kepada anda, saya
telah memiliki uang itu. Sekarang ijinkan mereka pulang kepada
keluarganya.” Namun kepala imigrasi itu tetap menolak. Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin kemudian meletakkan gagang telepon.
Beberapa saat kemudian keadaan kantor imigrasi itu menjadi terbalik.
Gubernur Madinah, Pangeran Abdul Majid, menelepon untuk menanyakan
kepala imigrasi yang telah menolak permintaan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin.
Gubernur kemudian menjatuhi hukuman kepada kepala imigrasi karena telah
bertindak tidak disiplin. Dalam keadaan ini, para pegawai di kantor itu
mencoba memberi pembelaan kepada kepala imigrasi.
Para pemuda yang masih di kantor imigrasi merasakan adanya perubahan
nada bicara yang terjadi pada para pegawai, dari tidak ramah menjadi
sangat ramah. Gubernur telah memerintahkan mereka untuk mengijinkan para
pemuda itu dan sopirnya pergi dan biaya perbaikan lampu akan
ditanggung negara.
Tidak bisa digambarkan betapa gembiranya para pemuda itu. Mereka
mengucapkan terima kasih kepada Asy-Syaikh Al-’Utsaimin atas bantuan dan
pembelaannya. Mereka juga mengucapkan terima kasih kepada Gubernur
Madinah yang memiliki rasa hormat kepada ulama dan menghargai posisi
mereka.” (Al-Jami’ li-Hayat Al-’Allammah Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin, hal. 75)
Kata-Kata Hikmah dari Asy-Syaikh Al-’Utsaimin
Asy-Syaikh Badar ibn Nadhir Al-Masyari menceritakan:
Ketika baru pulang dari Amerika sehabis berobat, Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin ditanya tentang kesehatan beliau. Maka beliau menjawab
dengan sebuah kalimat mulia, “Ketahuilah, sesungguhnya sehat dan sakit
itu tidak akan terjadi lebih lama atau pun mendahului dari waktu yang
ditentukan. Hidup saya dan anda telah ditulis sebelum Allah menciptakan
surga dan neraka. Maka yakinilah hal ini, sebagaimana saya pun
meyakininya.” (Safahat Mushriqah min Hayat Al-Imam Muhammad bin Shalih
Al-’Utsaimin, hal. 111)
Mengajar Sambil Diperiksa Kesehatannya
Muhammad Rabi’ Sulaiman menceritakan:
"Tahun 1420 H terjadi sebuah peristiwa yang dikenang, yaitu pada bulan
Ramadhan ketika Asy-Syaikh Al-’Utsaimin sedang memberikan kajian
rutinnya di Masjidil Haram, Mekkah.
Seorang dokter spesialis yang merawat beliau menasehati bahwa tubuh
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin perlu istirahat secara rutin tiap sore dan tidak
boleh mengajar setelah shalat Tarawih. Dokter itu ingin memberikan
transfusi darah dan beberapa pemeriksaan medis lain, namun Asy-Syaikh
Al-’Utsaimin menjawab, “Kerjakan apa yang harus anda kerjakan sementara
saya tetap mengajar.”
Maka sambil memberikan kajian, dokter itu memasukkan jarum ke tubuh
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin untuk melakukan transfusi darah, beberapa
pemeriksaan kesehatan, mengecek suhu badan, dan denyut jantung.
Demikianlah, betapa tingginya keinginan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin untuk
menyebarkan ilmu dan mengajari manusia. Hal ini dilakukan sampai malam
terakhir bulan Ramadhan sebelum beliau pergi dari Masjadil Haram." (Safahat Mushriqah min Hayat Al-Imam Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin,
hal. 24)
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin Menjahit Sendiri Pakaiannya
Diceritakan oleh seorang murid beliau bahwa suatu ketika ia mengunjungi
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin di Mekkah. Saat itu sedang musim haji dan
beliau berada di dalam penginapannya. Ia jumpai beliau sedang menjahit
jubahnya. (Ibn ‘Utsaimin, Al-Imam Az-Zahid, hal. 163)
Kesederhanaan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin adalah seseorang yang memiliki sifat sederhana
dan rendah hati. Beliau tidak suka tidur di atas kasur ataupun di alas
yang empuk, namun beliau biasa tidur di lantai atau di atas tikar dari
ijuk (jerami) yang akan memberikan bekas di punggung beliau. (Ibn
‘Utsaimin, Al-Imam Az-Zahid, hal. 163)
Melawan Rasa Kantuk demi Umat
Abu Khalid Abdul Karim Al-Miqrin menceritakan:
Suatu malam saat kami sedang melakukan rekaman untuk acara radio (Nur
‘ala Darb), Asy-Syaikh Al-’Utsaimin nampak diserang rasa kantuk. Dari
kejadian ini diketahui bahwa beliau adalah seorang yang sangat sabar,
toleran, dan bersemangat untuk segala sesuatu yang di dalamnya terdapat
manfaat untuk umat. Beliau berusaha melawan rasa kantuknya sehingga
kami bisa melanjutkan proses rekaman.
Beliau meminta berhenti sebentar dan minta kabel mikrofon dipanjangkan
sehingga beliau bisa menjawab pertanyaan sambil berdiri. Kami memberi
beliau mikrofon kecil yang bisa ditempelkan di baju beliau dengan kabel
yang lebih panjang. Beliau melanjutkan menjawab pertanyaan sambil
berjalan-jalan di sekitar ruangan untuk menghilangkan rasa kantuk. Ini
dilakukan beliau sampai proses rekaman selesai.
Inilah perhiasan seorang ulama sejati dan keutamaan yang mereka
terapkan dalam semua urusan umat baik dalam keilmuan maupun amalan
mereka. (Arba’ah ‘Ashar ‘am Ma’a Samahatil ‘Allammah Asy-Syaikh Muhammad
bin Shalih Al-’Utsaimin, hal. 56)
Sumber: Untaian Mutiara Kehidupan Ulama Ahlus Sunnah, oleh Abu
Abdillah Alercon, dll (www.fatwaonline.com), penerbit Qaulan Karima,
hal. 101-118.
fadhlihsan.blogspot
No comments:
Post a Comment