Pada bulan Ramadhan, tidak jarang kita menjumpai beberapa kesalahan di tengah masyarakat berkaitan dengan puasa Ramadhan.
Berikut beberapa kesalahan dalam pelaksanaan puasa Ramadhan yang kami
ingatkan guna menjaga kesempurnaan puasa setiap muslim dan muslimah. Wallâhul musta’ân.
Pertama: Menentukan Masuknya Ramadhan dengan Ilmu Falak
Menentukan masuknya bulan Ramadhan dengan menggunakan ilmu falak atau
ilmu hisab adalah kesalahan yang sangat besar dan bertolak belakang
dengan tuntunan Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam.
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ menegaskan,
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Maka, barangsiapa di antara kalian yang menyaksikan bulan, hendaknya ia berpuasa.” [Al-Baqarah: 185]
Juga dalam hadits Abdullah bin Umar radhiyallâhu ‘anhumâ riwayat Al-Bukhâry dan Muslim dan hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu riwayat Al-Bukhâry dan Muslim, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّىَ عَلَيْكُمُ الشَّهْرُ فَعُدُّوا ثَلاَثِينَ
“Berpuasalah kalian karena melihat (hilal) tersebut dan berbukalah kalian karena melihat (hilal) tersebut. Apabila tertutupi dari (pandangan) kalian, sempurnakanlah bulan (Sya’ban) menjadi tiga puluh (hari).”
Ayat dan hadits di atas sangatlah jelas menunjukkan bahwa masuknya
Ramadhan berkaitan dengan hal melihat/menyaksikan hilal dan tidak
dikaitkan dengan hal menghitung, menghisab, dan selainnya.
Kedua: Mempercepat Waktu Sahur
Hal ini tentunya bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau mengakhirkan waktu sahurnya hingga mendekati adzan shalat Shubuh sebagaimana dalam hadits Zaid bin Tsabit radhiyallâhu ‘anhu riwayat Al-Bukhâry dan Muslim bahwa Zaid berkata,
تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ثُمَّ قُمْنَا إِلَى الصَّلَاةِ. قُلْتُ : كَمْ كَانَ قُدْرُ مَا
بَيْنَهُمَا؟ قَالَ خَمْسِيْنَ آيَةً
“Kami makan sahur bersama Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam kemudian
bangkit untuk mengerjakan shalat. Saya (Anas bin Malik yang
meriwayatkan dari Zaid,-pent.) berkata, ‘Berapa lama jarak antara
keduanya (sahur dan adzan)?’ (Zaid) menjawab, ‘(Sepanjang pembacaan)
lima puluh ayat.’.”
Ketiga: Menjadikan Tanda Imsak Sebagai Batasan Waktu Sahur
Sering terdengar saat Ramadhan, bunyi-bunyian yang dijadikan sebagai tanda imsak (imsak sendiri berarti menahan,
yaitu menahan diri dari makan, minum, jima’, dan berbagai pembatal
puasa lain), seperti suara sirine, ayam berkokok, dan beduk, yang
terdengar sekitar seperempat jam sebelum adzan. Tentunya hal ini
merupakan kesalahan yang sangat besar dan bid’ah sesat lagi bertolak
belakang dengan tuntunan Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam yang mulia.
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ menyatakan,
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ
الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا
الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Dan makan dan minumlah kalian hingga tampak, bagi kalian, benang
putih terhadap benang hitam, yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa
itu sampai malam.” [Al-Baqarah: 187]
Dalam hadits Abdullah bin Umar radhiyallâhu ‘anhumâ riwayat Al-Bukhâry dan Muslim, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam juga menyatakan,
إِنَّ بِلاَلاً يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى تَسْمَعُوا تَأْذِينَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ
“Sesungguhnya Bilal adzan pada malam hari, maka makan dan minumlah kalian sampai mendengar seruan adzan Ibnu Ummi Maktum.”
Ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa akhir waktu sahur adalah
adzan kedua, yaitu adzan shalat Shubuh. Seharusnya, inilah pegangan
kaum muslimin, yaitu menjadikan adzan Shubuh sebagai batas waktu
terakhir makan sahur dan meninggalkan penggunaan tanda imsak, yang tidak
pernah dikenal oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
Keempat: Melafazhkan Niat Puasa saat Makan Sahur
Hal ini juga merupakan perkara yang salah karena letak niat adalah di
dalam hati, tidak dilafazhkan, menurut kesepakatan ulama. Juga bahwa
waktu niat tidak dikhususkan pada makan sahur saja, tetapi bermula dari
terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar sebagaimana yang telah
dimaklumi. Selain itu, pelafazhan niat juga merupakan perkara baru dalam
agama ini yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
Kelima: Meninggalkan Hal Berkumur-kumur dan Menghirup Air ketika Berwudhu
Hal ini juga merupakan kesalahan yang banyak terjadi pada kaum
muslimin. Mereka menganggap bahwa hal berkumur-kumur dan menghirup air
merupakan pembatal puasa, padahal hal tersebut merupakan perkara yang
disunnahkan dalam hal berwudhu menurut pandangan syariat Islam
sebagaimana yang telah diterangkan dalam banyak hadits.
Keenam: Anggapan bahwa Tidak boleh Menelan Ludah
Pada kaum muslimin, kita kadang mendapati anggapan bahwa seseorang
tidak boleh menelan ludah saat berpuasa, sehingga kita kadang mendapati
sebagian kaum muslimin sering meludah saat berpuasa. Maka, tidaklah
diragukan bahwa hal ini merupakan sikap berlebihan dan pembebanan diri
tanpa dilandasi dengan tuntunan yang benar dalam syariat Islam.
Ketujuh: Mengakhirkan Buka Puasa
Hal ini juga adalah kesalahan yang banyak terjadi pada kaum muslimin, padahal tuntunan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam
sangatlah jelas akan kesunnahan mempercepat buka puasa bila masuknya
waktu berbuka telah pasti sebagaimana dalam hadits Sahl bin Sa’d
As-Sa’idy radhiyallâhu ‘anhumâ riwayat Al-Bukhâry dan Muslim,
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا اْلفِطْرَ
“Manusia akan selalu berada dalam kebaikan selama mereka mempercepat buka puasa.”
Kedelapan: Menghabiskan Waktu dengan Perkara Yang Sia-Sia saat Ramadhan
Karena, dalam hadits riwayat Al-Bukhâry dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ فَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ
فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَسْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ
فَلْيَقُلْ إِنِّيْ امْرُؤٌ صَائِمٌ
“… dan puasa adalah tameng. Bila salah seorang dari kalian berada pada hari puasa, janganlah ia berbuat rafats
‘sia-sia, perkataan keji, serta hubungan suami-istri dan
pendahuluan-pendahuluannya,’ dan janganlah ia banyak mendebat. Kalau
orang lain mencercanya atau memusuhinya, hendaknya ia berkata, ‘Saya
sedang berpuasa.’.”
Kesembilan: Ragu Mencicipi Makanan
Hal tersebut adalah kesalahan, padahal boleh sepanjang seseorang
dapat menjaga agar tidak menelan makanan tersebut sebagaimana perkataan
Abdullah bin Abbas radhiyallâhu ‘anhumâ yang mempunyai hukum marfu’ dengan sanad yang hasan dari seluruh jalannya,
لَا بَأْسَ أَنْ يَذُوْقَ الصَّائِمُ الْخَلَّ وَالشَّيْءَ الَّذِيْ يُرِيْدُ شِرَاءَهُ مَالَمْ يَدْخُلْ حَلْقَهُ وَهُوَ صَائِمٌ
“Tidaklah mengapa, bagi orang yang berpuasa, merasakan cuka atau
sesuatu yang ia ingin beli sepanjang hal itu tidak masuk ke dalam
tenggorokannya.”
Kesepuluh: Lalai pada Akhir Ramadhan
Adalah kesalahan, menyibukkan diri dengan berbagai pekerjaan rumah
tangga yang mungkin dikerjakan pada waktu lain sehingga melalaikan
seseorang terhadap berbagai ibadah Ramadhan, khususnya pada sepuluh hari
terakhir.
Kesebelas: Anggapan Bahwa Tunggakan Ramadhan Menjadi Dua Kali Lipat Bila Diundur Hingga Ramadhan Berikutnya
Keyakinan bahwa seseorang yang mengundur dalam hal mengqadha
tunggakan puasa sampai setelah Ramadhan, tunggakan puasanya menjadi dua
kali lipat merupakan kesalahan karena tidak ada dalil shahih yang
menunjukkan hal tersebut.
Kedua Belas: Pembayaran Fidyah terhadap Puasa yang Belum Ditinggalkan
Membayar fidyah sebelum meninggalkan puasa Ramadhan adalah kesalahan,
seperti perempuan hamil yang merencanakan untuk tidak berpuasa
Ramadhan, lalu sebelum Ramadhan atau pada awal Ramadhan, dia membayar
fidyah untuk tiga puluh hari. Tentunya, hal ini adalah perkara yang
salah karena kewajiban pembayaran fidyah dibebankan atasnya apabila ia
telah meninggalkan puasa.
Sumber : dzulqarnain.net
No comments:
Post a Comment