Monday, July 2, 2012

Dialog Nyata Antara Seorang Takfiry dan Salafy

  • Takfiry berkata : Ana nasehatkan buat antum bahwa, hadist diatas (tentang ketaatan kepada pemerintah -ed-) adalah hak untuk penguasa kaum muslimin, bukan hak penguasa murtad dan bukan pula hak penguasa kafir…
  •  Salafy menjawab : 

Bismillah. Assalamu’alaykum. Sepakat, hanya saja kami tidak mudah mengkafirkan seorang muslim sebelum terpenuhi syuruth at-takfir dan intifaul mawani’. Karena Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah berpesan:

أيما امرئٍ قال لأخيه كافر فقد باء بها أحدهما إن كان كما قال وإلا رجعت عليه

“Siapa saja berkata kepada saudaranya, “Wahai kafir!” maka salah seorang di antara dua orang itu menjadi kafir. Jika yang dipanggil benar-benar kafir, jika tidak maka kembali kepada yang mengatakannya”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhuma)

Hadits ini mengingatkan kita, agar tidak mudah memvonis kafir terhadap seorang yang asalnya muslim. Oleh karena itu, gegabah dan terburu-buru dalam mengkafirkan bukanlah karakter Ahlus Sunnah, melainkan karakter Khawarij, orang-orang bodoh yang dikendalikan oleh semangat yang tinggi bukan dengan ilmu. Allahu yahdiyk..

  • Takfiry berkata :   Dinyatakan bahwa ‘pemerintahnya tdklah kafir, melainkan fasik atau dzolim dan kekuasaannya tetap sah’, ana katakan,
1. Apakah antum mau mentaati, menuruti, dan membela orang yg fasik dan dzolim?
 

2. Kekuasaannya tetap sah menurut siapa, apakah menurut aturan demokrasi yg kalian HAROMKAN…?
 

3. Jika ternyata penguasanya dari kalangan IM/PKS, apakah fatwa antum tentang harokah tsb akan berubah?


  • Salafy menjawab : 

Pd tulisan di atas dinyatakan bahwa ‘pemerintahnya tdklah kafir, melainkan fasik atau dzolim dan kekuasaannya tetap sah’, ana katakan,

1. Apakah antum mau mentaati, menuruti, dan membela orang yg fasik dan dzolim?

Tanggapan:
Wajib menaati penguasa muslim meskipun zalim dan fasik dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah. Adapun jika dia perintahkan berbuat maksiat maka tidak boleh taat kepada siapapun juga. Kenapa demikian? Karena Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah berpesan:
قلنا يا رسول الله : أرأيت إن كان علينا أمراء يمنعونا حقنا ويسألونا حقهم ؟ فقال : اسمعوا وأطيعوا . فإنما عليهم ما حملوا وعليكم ما حملتم
 “Kami bertanya, wahai Rasulullah, “Apa pendapatmu jika para pemimpin kami tidak memenuhi hak kami (sebagai rakyat), namun tetap meminta hak mereka (sebagai pemimpin)?” Maka Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- bersabda, “Dengar dan taati (pemimpin negara kalian), karena sesungguhnya dosa mereka adalah tanggungan mereka dan dosa kalian adalah tanggungan kalian.” (HR. Muslim dari Wail bin Hujr -radhiyallahu’anhu-)
Perhatikanlah hadits ini, Nabi shallalahu’alaihi wa sallam ditanya tentang pemimpin yang tidak menunaikan hak rakyatnya, bukankah itu berarti dia telah meninggalkan syari’at Islam dan berhukum dengan hawa nafsunya?!
 Walaupun begitu Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tetap memerintahkan kaum muslimin untuk mendengar dan taat. Tentunya selama dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah Ta’ala.

2. Kekuasaannya tetap sah menurut siapa, apakah menurut aturan demokrasi yg kalian HAROMKAN…?

Tanggapan:
Kekuasaannya sah menurut Islam selama dia belum kafir, walaupun dia zalim dan fasik. Perhatikan dalam hadits di atas, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam ditanya tentang pemimpin yang tidak memenuhi hak rakyatnya, artinya dia seorang pemimpin zalim. Akan tetapi Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tetap memerintahkan dengar dan taat, andaikan kekuasaannya tidak sah lagi tentunya Nabi shallallahu’alaihi wa sallam akan memerintahkan kita untuk memeranginya.
3. Jika ternyata penguasanya dari kalangan IM/PKS, apakah fatwa antum tentang harokah tsb akan berubah?

Tanggapan:
Jika Al-Qur’an dan As-Sunnah telah menyatakan sesat maka selamanya tidak pantas untuk dirubah. Hanya saja berbeda cara menasihati penguasa dan selainnya. Demikian pula berbeda menasihati kelompok sesat dan menasihati penguasa negeri. Allahu yahdiyk..

  • Takfiry berkata :  

Boleh ana tambahkan dr jawaban :
 

1. Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam, melarang meminta jbtan, memberikan jbtan pd orang yg meminta, dan mengemis jabatan. Anehnya dari cara yg harom(pemilu), namun jabatan yg sudah sah menurut DEMOKRASI (bukan menurut Allah Ta’ala dan Rosul-Nya) harus ditaati, walaupun fasik dan dzolim. Padahal sangat jelas bahwa orang yg fasik dan dzolim adalah orang yg jauh dari Qur’an. Kenapa pemimpin seperti ini diikuti?

  • Salafy menjawab :

Hal itu tidaklah aneh bagi orang yang memahami permasalahannya. Sebab permasalahannya bukanlah melegalkan demokasi, tapi ketaatan kepada seorang pemimpin muslim, tentunya ketaatan tersebut hanya dalam perkara yang tidak bertentangan dengan syari’at.

Mengapa harus menaati pemimpin muslim meski zhalim dan fasik?

Karena Nabi shallalahu’alaihi wa sallam telah memerintahkan hal tersebut. Perhatikan kembali hadits berikut:

يَكُونُ بَعْدِى أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُونَ بِهُدَاىَ وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِى جُثْمَانِ إِنْسٍ . قَالَ قُلْتُ كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ

“Akan datang sesudahku para pemimpin, mereka tidak mengambil petunjukku dan juga tidak melaksanakan sunnahku. Dan kelak akan ada para pemimpin yang hatinya seperti hati setan dalam jasad manusia.” Maka aku (Hudzaifah) berkata: “Wahai Rasulullah, apa yang aku perbuat jika aku mendapati hal ini?” Beliau bersabda: “Hendaklah engkau mendengar dan taat kepada pemimpinmu walaupun punggungmu dipukul dan hartamu dirampas, tetaplah dengar dan taat kepadanya.” (HR. Muslim dari Hudzaifah Ibnul Yaman radliyallahu’anhu)

Lihatlah, “pemimpin berhati setan dalam jasad manusia”, “memukul dan merampas harta”, bukankah ini termasuk sebesar-besarnya bentuk kezaliman dan kefasikan?! Akan tetapi Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tetap memerintahkan untuk mendengar dan taat. Maka tunduklah dengan keputusan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, tinggalkan akal dan perasaan kita yang bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.

Jadi permasalahannya bukanlah menganggap benar demokrasi, tapi kewajiban taat kepada pemimpin muslim meskipun dihasilkan dari proses demokrasi. Semoga Allah Ta’ala menganugerahkan pemahaman yang baik kepada kaum muslimin. Baarokallahu fiyk..
  • Takfiry berkata :
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 44)

Saya insyaallah mengutamakan dalil Al-quran tersebut, karena Al-quran kedudukannya lebih tinggi dari hadits, dan Al-Quran Dijaga Oleh Allah dari dirubah oleh tangan mahlukNya sampai hari kiamat, betulkan ustadz?


kemudian saya mengesampingkan hadits berikut ini ustadz:

 

“Akan datang sesudahku para pemimpin, mereka tidak mengambil petunjukku dan juga tidak melaksanakan sunnahku. Dan kelak akan ada para pemimpin yang hatinya seperti hati setan dalam jasad manusia.” Maka aku (Hudzaifah) berkata: “Wahai Rasulullah, apa yang aku perbuat jika aku mendapati hal ini?” Beliau bersabda: “Hendaklah engkau mendengar dan taat kepada pemimpinmu walaupun punggungmu dipukul dan hartamu dirampas, tetaplah dengar dan taat kepadanya.” (HR. Muslim dari Hudzaifah Ibnul Yaman radliyallahu’anhu)

sebab hadits tidak dijaga Allah dari kejahilan tangan mahlukNya, betul kan ustadz?

hadits yg saya sebut diatas sangat bertentangan dengan amar ma’ruf nahi munkar.
kemudian saya mau tanya pak ustadz,


apakah pemimpin seperti SBY itu sah kepemimpinannya?
soalnya dia kan mengemis untuk dipilih jadi pemimpin?
mohon dijwb ya ustadz..


smuga kita slalu diberi hidayah oleh Allah

swt
(Subhanahu wa Ta’ala).. aamiin..
fatal pak ustadz, hadits hadits yg ustadz sebut ada yg bertentangan dg alquran…
semoga Allah memberi kita hidayah.. aamiin..
 

menurut saya, POLRI KAFIR karena memutuskan hukum tidak berdasar hukum yg diturunkan Allah.. yaitu alquran.
 

jika kita tidak mengakui POLRI KAFIR berarti kita mengingkari alquran surat al-maidah ayat 44 yang berbunyi:
“barang siapa tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang orang yang kafir” ..naudzubillah min dhalik…
ya Allah tunjukkanlah kebenaran!
musnahkan kebathilan.. amiin..


  • Salafy menjawab
Menjawab syubhat-syubhat ini kami rinci dalam beberapa poin berikut:

1. Ungkapan “Al-Qur’an kedudukannya lebih tinggi dari Al-Hadits”

Ungkapan ini tidak sepenuhnya benar. Tetapi harus dirinci:

Pertama: Dari sisi keutamaan, tidak diragukan lagi bahwa Al-Qur’an lebih tinggi dari Al-Hadits dari segi keutamaannya.

Kedua: Dari sisi ihtijaj (sebagai sumber hujjah atau dalil), maka kedudukannya sama dengan Al-Qur’an. Sehingga orang yang taat kepada Al-Qur’an berarti dia taat kepada Al-Hadits. Sebaliknya, orang yang menolak Al-Hadits itu artinya dia menolak Al-Qur’an.

Mengapa demikian? Karena Allah Ta’ala sendiri telah menegaskan hal tersebut dalam banyak sekali ayat dalam Al-Qur’an, diantaranya:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ

Apa yang dibawa oleh Rasul kepadamu, ambillah dan apa yang kamu dilarang olehnya maka tinggalkanlah.” (Al-Hasyr: 7)

Jadi, orang yang mengesampingkan Al-Hadits itu artinya dia mengesampingkan Al-Qur’an, karena dia tidak mau taat kepada perintah Allah dalam Al-Qur’an untuk menerima semua yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, baik Al-Qur’an maupun Al-Hadits.

Olehnya, mengingkari hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam adalah kekafiran terhadap Al-Qur’an yang diturunkan Allah Ta’ala.

2. Benarkah Al-Hadits tidak dijaga keasliannya sebagaimana Al-Qur’an?

Jika Antum terbiasa membaca kitab-kitab Ahlus Sunnah maka Antum akan tahu penjelasan ulama bahkan kesepakatan seluruh ulama bahwa Al-Hadits juga dijaga keasliannya sebagaimana Al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

Sesungguhnya kami yang menurunkan adz-dzikr dan kami pula yang menjaganya.” (Al-Hijr: 9)

Al-Imam Ibnu Hazm rahimahullah menjelaskan makna adz-dzikr dalam ayat di atas:

فمضمون عند كل من يؤمن بالله واليوم الآخر أن ما تكفل الله عز وجل بحفظه : فهو غير ضائع أبدا ، لا يشك في ذلك مسلم ، وكلام النبي صلى الله عليه و سلم كله وحي ، بقوله تعالى : ( وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى * إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى ) النجم/3، 4 . والوحي ذكر بإجماع الأمة كلها ، والذكر محفوظ بالنص ؛ فكلامه عليه السلام محفوظ بحفظ الله عز و جل ضرورة ، منقول كله إلينا لا بد من ذلك

“Sudah semestinya orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir mengimani bahwa apa yang telah Allah jamin untuk menjaganya maka ia tidak akan hilang selamanya, seorang muslim tidak meragukan hal itu. Sedang perkataan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam semuanya adalah wahyu, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Dan tiadalah yang diucapkan oleh Nabi menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3-4) Jadi, wahyu berdasarkan kesepakatan (ijma’) seluruh umat Islam adalah dzikr, dan ad-dzikr itu terjaga berdasarkan nash. Maka perkataan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga terjaga dengan penjagaan Allah ‘Azza wa Jalla karena pentingnya penjagaan tersebut, maka semua hadits telah tersampaikan kepada kita.” (Al-Ihkam, 2/201)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:

فما بعث الله به رسوله من الكتاب والحكمة محفوظ

“Apa yang Allah utus dengannya Rasul-Nya dari Al-Qur’an dan Al-Hikmah (Sunnah) maka itu terjaga.” (Majmu’ Al-Fatawa, 27/169)

3. Jika demikian adanya, maka Al-Hadits yang shahih selamanya tidak bertentangan dengan al-Qur’an, hanya kita saja yang bodoh sehingga mengira ada pertentangan antara keduanya. Karena tidak mungkin Allah Ta’ala menurunkan wahyu dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits kemudian terjadi kontradiksi antara sesama wahyu Allah Ta’ala yang sama-sama terjaga dari perubahan oleh tangan manusia.
Apalagi kalau dikatakan bertentangan dengan amar ma’ruf nahi munkar, karena ma’ruf adalah apa yang dipandang ma’ruf oleh Al-Qur’an dan Al-Hadits, bukan menurut pandangan kita yang sempit. Demikian pula yang munkar adalah apa yang dipandang munkar oleh Al-Qur’an dan Al-Hadits, bukan menurut selera kita.

4. Oleh karena itu, makna ayat Al-Maidah: 44 jangan dipahami dengan akal sendiri, tapi rujuklah kepada pemahaman Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabat, karena mereka lebih tahu dengan al-Qur’an.

Sahabat yang mulia Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma menjelaskan makna ayat tersebut adalah:

إنه ليس كفراً ينقل عن ملة : (وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ) كفر دون كفر

“Maksud ayat ini bukanlah kekufuran yang mengeluarkan dari agama (murtad), “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir; maknanya kekufuran di bawah kekufuran (yakni kufur kecil).” (HR. Al-Hakim, 2/313, beliau menshahihkannya dan disepakati oleh Al-Imam Adz-Dzahabi, juga dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, 6/113)

Demikian pula yang dipahami oleh ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah seperti yang dijelaskan oleh Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin dan Asy-Syaikh Muqbil di atas, bahwa penguasa yang tidak berhukum dengan hukum Allah Ta’ala tidaklah langsung menjadi murtad. Maka sungguh lancang sekali orang-orang yang mudah mengkafirkan pemerintah muslim, PNS, maupun kepolisian di negeri-negeri kaum muslimin demi untuk meningkari sahnya kepemimpinan seorang muslim.

Sesungguhnya tidak ada teladan mereka dalam hal mudah mengkafirkan ini kecuali kaum Khawarij, sebagaimana mereka memahami surat Al-Maidah: 44 sesuai pemahaman Khawarij.  

Al-Imam Al-Jasshash rahimahullah berkata:

وقد تأولت الخوارج هذه الآية على تكفير من ترك الحكم بما أنزل الله من غير جحود

“Khawarij mentakwikan ayat ini untuk mengkafirkan orang yang meninggalkan hukum Allah meskipun dia tidak mengingkari (hukum Allah tersebut).” (Ahkamul Qur’an, 2/534)

Subhanallah, ternyata pemikiran Khawarij zaman sekarang sama dengan yang dahulu. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan:

فان الخوارج ينتحلون اتباع القرآن بآرائهم ويدعون السنن التي يزعمون انها تخالف القرآن

“Sesungguhnya Khawarij memahami Al-Qur’an dengan akal-akal mereka dan meninggalkan sunnah/hadits yang mereka sangka menyelisihi Al-Qur’an.” (Lihat Al-Fatawa, 28/491)

Maka bertaubatlah saudaraku dari pemahaman sesat ini, Allahu yahdiyk..

NB : Dialog ini diambil dari pertanyaan penanya dan jawaban Ustadz Sofyan Chalid hafidzahullah 
Sumber : nasehatonline.wordpress




No comments:

Post a Comment