Tanya :
Assalamu’alaikum wr, wb
pa ustadz, menarik tulisannya, saya ada pertanyaan sedikit, yaitu:
1. Apa kedudukan kedua hadist ini?, apabila shohih, siapa yg men-shohikannya?
a. Wajib menaati penguasa muslim meskipun zalim dan fasik dalam perkara
yang bukan maksiat kepada Allah. Adapun jika dia perintahkan berbuat
maksiat maka tidak boleh taat kepada siapapun juga. Kenapa demikian?
Karena Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam telah berpesan:
قلنا يا رسول الله : أرأيت إن كان علينا أمراء يمنعونا حقنا ويسألونا
حقهم ؟ فقال : اسمعوا وأطيعوا . فإنما عليهم ما حملوا وعليكم ما حملتم
“Kami bertanya, wahai Rasulullah, “Apa pendapatmu jika para pemimpin
kami tidak memenuhi hak kami (sebagai rakyat), namun tetap meminta hak
mereka (sebagai pemimpin)?” Maka Nabi -
shallallahu’alaihi wa sallam-
bersabda, “Dengar dan taati (pemimpin negara kalian), karena
sesungguhnya dosa mereka adalah tanggungan mereka dan dosa kalian adalah
tanggungan kalian.” (HR. Muslim dari Wail bin Hujr -
radhiyallahu’anhu-)
b. “Akan datang sesudahku para pemimpin, mereka tidak mengambil
petunjukku dan juga tidak melaksanakan sunnahku. Dan kelak akan ada para
pemimpin yang hatinya seperti hati setan dalam jasad manusia.” Maka aku
(Hudzaifah) berkata: “Wahai Rasulullah, apa yang aku perbuat jika aku
mendapati hal ini?” Beliau bersabda: “Hendaklah engkau mendengar dan
taat kepada pemimpinmu walaupun punggungmu dipukul dan hartamu dirampas,
tetaplah dengar dan taat kepadanya.” (HR. Muslim dari Hudzaifah Ibnul
Yaman
radliyallahu’anhu)
2. Dari tulisan ustad didapat bahwa apabila pemimpin berhukum selain
hukum Allah karena hawa nafsu maka fasik, namun apabila dikarenakan
beliau meyakini bahwa hukum Allah sudah tidak cocok lagi dengan zaman
ini dan hukum lainnya lebih cocok dan lebih bermanfaat bagi rakyanya
maka kafir. Darimana kita bisa mengetahui bahwa SBY tidak berhukum
kepada hukum Allah karena hawa nafsunya bukan karena meyakini bahwa
hukum allah sudah tidak relevan lagi?
3. Pa ustad apabila kita mengutarakan ketidaksepahaman dengan
kebijakan pemimpin (misal: kebijakan ekonomi) dengan memberikan hujjah
didepan umum dalam suatu acara dialog ataupun hanya bertukarpikiran
dengan kawan2 termasuk perbuatan membuka aib pemimpin?
4. Apakah ustad pernah atau tidak henti-hentinya menasehati sby (cth: dengan surat)?
Jawab :
Wa’alaykumussalam warahmatullahi wabarakatuh.
1. Kedua hadits tersebut disebutkan oleh
Al-Imam Muslim rahimahullah dalam
Shahih-nya dengan sanad yang bersambung dari rawi-rawi yang tsiqoh menunjukkan beliau menshohihkannya. Dan kitab
Shahih Muslim disepakati oleh para ulama sebagai kitab yang paling shahih setelah
Shahih Al-Bukhari.
2. Justru karena kita belum tahu maka tidak boleh kita mengkafirkan
beliau atau memberontak hanya berdasarkan persangkaan atau kira-kira
belaka. Dalam hadits
Ubadhah bin Shomit radhiyallahu’anhu:
دعانا النبي صلى الله عليه و سلم فبايعناه فقال فيما أخذ علينا أن
بايعنا على السمع والطاعة في منشطنا ومكرهنا وعسرنا ويسرنا وأثرة علينا وأن
لا ننازع الأمر أهله إلا أن تروا كفرا بواحا عندكم من الله فيه برهان
“Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menyeru kami lalu kami pun
membai’at beliau. Maka beliau bersabda tentang hal-hal yang
dipersyaratkan atas kami, yaitu beliau membai’at kami untuk senantiasa
mendengar dan taat kepada pemimpin baik pada saat kami dalam keadaan
semangat ataupun malas, baik dalam keadaan susah ataupun lapang, dan
dalam keadaan hak-hak kami tidak dipenuhi, serta agar kami tidak
berusaha merebut kekuasaan dari pemiliknya,
kecuali jika kalian telah melihat kekufuran yang nyata dimana kalian memiliki dalil dari Allah akan kekufuran tersebut.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa syarat memberontak kepada
penguasa ada empat syarat dan ditambah satu syarat lagi sehingga menjadi
lima syarat,
Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan kelima syarat tersebut adalah:
Pertama:
“Kalian melihat (kekufuran yang nyata)”,
maknanya harus berdasar ilmu (yaitu benar-benar melihat). Adapun sekedar
persangkaan maka tidak boleh memberontak kepada penguasa.
Kedua: Hendaklah kita tahu bahwa yang dilakukannya adalah benar-benar
kekafiran, bukan kefasikan. Adapun kefasikan (dosa besar yang tidak
sampai kepada derajat kekafiran), meskipun para penguasa melakukannya
tidak boleh memberontak terhadap mereka; andaikan penguasa meminum
khamar, berzina, menzhalimi manusia, tetap tidak boleh memberontak
terhadap mereka. Yang dibolehkan hanyalah jika kita melihat kekufuran
yang benar-benar nyata.
Ketiga: Kekafiran tersebut nyata. Maknanya adalah kekufuran yang
jelas dan nampak, terang (tidak bisa diartikan lain). Adapun perbuatan
kekufuran yang masih mungkin untuk ditafsirkan lain maka tidak boleh
memberontak kepada penguasa. Yakni, andaikan mereka melakukan kekufuran,
tetapi kekufuran tersebut masih belum jelas (multi tafsir), maka tidak
boleh kita memerangi atau memberontak terhadap mereka, dan kita
takwilkan hal tersebut sesuai penakwilan mereka.
Keempat: “Kalian memiliki dalil dari Allah”. Yakni kita memiliki
dalil yang pasti bahwa perbuatan tersebut merupakan kekufuran (menurut
Al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih).
Kelima: Memiliki kemampuan. Jika kita tidak memiliki kekuatan maka
tidak boleh memberontak, karena yang demikian itu termasuk menjatuhkan
diri dalam kebinasaan. Manfaat apakah yang bisa kita dapatkan jika kita
memberontak kepada seorang penguasa yang kita lihat melakukan kekufuran
yang jelas dan berdasarkan dalil dari Allah, hanya dengan menggunakan
pisau dapur sedang dia menggunakan tank-tank lapis baja dan
senjata-senjata otomatis, apakah ada manfaat pemberontakan tanpa
kemampuan? Tentu tidak ada manfaatnya. (Lihat Syarhu Riyadhis Shalihin,
bab. 23 hadits ke-186 dengan diringkas)
3. Kalau hal itu dilakukan di depan umum hal itu tidak boleh sebagaimana yang telah kami jelaskan pada artikel:
Tuntunan Islam dalam Menasihati Penguasa (Sebuah Renungan bagi Para Pencela Pemerintah) http://nasihatonline.wordpress.com/2010/07/05/tuntunan-islam-dalam-menasihati-penguasa-sebuah-renungan-bagi-para-pencela-pemerintah/
4.
Faqihuz Zaman Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Mempublikasikan nasihat yang kita sampaikan kepada pemerintah terdapat dua mafsadat (kerusakan).
Pertama: Hendaklah setiap orang khawatir, jangan sampai dirinya tertimpa riya’, sehingga terhapus amalannya.
Kedua:
Jika pemerintah tidak menerima nasihat tersebut, maka jadilah itu
sebagai alasan bagi masyarakat awam untuk menentang pemerintah. Pada
akhirnya mereka melakukan revolusi (pemberontakan) dan terjadilah
kerusakan yang lebih besar.” [Dari kaset
Asilah haula Lajnah Al-Huquq As-Syar’iyah, sebagaimana dalam
Madarikun Nazhor, (hal. 211)]
Wallahul Muwaffiq.
Oleh Ustadz Sofyan Chalid
hafidzahullah
sumber : nasehatonline.wordpress
Assalamu’alaikum wr, wb
pa ustadz, menarik tulisannya, saya ada pertanyaan sedikit, yaitu:
1. Apa kedudukan kedua hadist ini?, apabila shohih, siapa yg men-shohikannya?
a. Wajib menaati penguasa muslim meskipun zalim dan fasik dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah. Adapun jika dia perintahkan berbuat maksiat maka tidak boleh taat kepada siapapun juga. Kenapa demikian? Karena Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah berpesan:
قلنا يا رسول الله : أرأيت إن كان علينا أمراء يمنعونا حقنا ويسألونا حقهم ؟ فقال : اسمعوا وأطيعوا . فإنما عليهم ما حملوا وعليكم ما حملتم
“Kami bertanya, wahai Rasulullah, “Apa pendapatmu jika para pemimpin kami tidak memenuhi hak kami (sebagai rakyat), namun tetap meminta hak mereka (sebagai pemimpin)?” Maka Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- bersabda, “Dengar dan taati (pemimpin negara kalian), karena sesungguhnya dosa mereka adalah tanggungan mereka dan dosa kalian adalah tanggungan kalian.” (HR. Muslim dari Wail bin Hujr -radhiyallahu’anhu-)
b. “Akan datang sesudahku para pemimpin, mereka tidak mengambil petunjukku dan juga tidak melaksanakan sunnahku. Dan kelak akan ada para pemimpin yang hatinya seperti hati setan dalam jasad manusia.” Maka aku (Hudzaifah) berkata: “Wahai Rasulullah, apa yang aku perbuat jika aku mendapati hal ini?” Beliau bersabda: “Hendaklah engkau mendengar dan taat kepada pemimpinmu walaupun punggungmu dipukul dan hartamu dirampas, tetaplah dengar dan taat kepadanya.” (HR. Muslim dari Hudzaifah Ibnul Yaman radliyallahu’anhu)
2. Dari tulisan ustad didapat bahwa apabila pemimpin berhukum selain hukum Allah karena hawa nafsu maka fasik, namun apabila dikarenakan beliau meyakini bahwa hukum Allah sudah tidak cocok lagi dengan zaman ini dan hukum lainnya lebih cocok dan lebih bermanfaat bagi rakyanya maka kafir. Darimana kita bisa mengetahui bahwa SBY tidak berhukum kepada hukum Allah karena hawa nafsunya bukan karena meyakini bahwa hukum allah sudah tidak relevan lagi?
3. Pa ustad apabila kita mengutarakan ketidaksepahaman dengan kebijakan pemimpin (misal: kebijakan ekonomi) dengan memberikan hujjah didepan umum dalam suatu acara dialog ataupun hanya bertukarpikiran dengan kawan2 termasuk perbuatan membuka aib pemimpin?
4. Apakah ustad pernah atau tidak henti-hentinya menasehati sby (cth: dengan surat)?
Jawab :
1. Kedua hadits tersebut disebutkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullah dalam Shahih-nya dengan sanad yang bersambung dari rawi-rawi yang tsiqoh menunjukkan beliau menshohihkannya. Dan kitab Shahih Muslim disepakati oleh para ulama sebagai kitab yang paling shahih setelah Shahih Al-Bukhari.
2. Justru karena kita belum tahu maka tidak boleh kita mengkafirkan beliau atau memberontak hanya berdasarkan persangkaan atau kira-kira belaka. Dalam hadits Ubadhah bin Shomit radhiyallahu’anhu:
دعانا النبي صلى الله عليه و سلم فبايعناه فقال فيما أخذ علينا أن بايعنا على السمع والطاعة في منشطنا ومكرهنا وعسرنا ويسرنا وأثرة علينا وأن لا ننازع الأمر أهله إلا أن تروا كفرا بواحا عندكم من الله فيه برهان
“Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menyeru kami lalu kami pun membai’at beliau. Maka beliau bersabda tentang hal-hal yang dipersyaratkan atas kami, yaitu beliau membai’at kami untuk senantiasa mendengar dan taat kepada pemimpin baik pada saat kami dalam keadaan semangat ataupun malas, baik dalam keadaan susah ataupun lapang, dan dalam keadaan hak-hak kami tidak dipenuhi, serta agar kami tidak berusaha merebut kekuasaan dari pemiliknya, kecuali jika kalian telah melihat kekufuran yang nyata dimana kalian memiliki dalil dari Allah akan kekufuran tersebut.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa syarat memberontak kepada penguasa ada empat syarat dan ditambah satu syarat lagi sehingga menjadi lima syarat, Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan kelima syarat tersebut adalah:
Pertama: “Kalian melihat (kekufuran yang nyata)”, maknanya harus berdasar ilmu (yaitu benar-benar melihat). Adapun sekedar persangkaan maka tidak boleh memberontak kepada penguasa.
Kedua: Hendaklah kita tahu bahwa yang dilakukannya adalah benar-benar kekafiran, bukan kefasikan. Adapun kefasikan (dosa besar yang tidak sampai kepada derajat kekafiran), meskipun para penguasa melakukannya tidak boleh memberontak terhadap mereka; andaikan penguasa meminum khamar, berzina, menzhalimi manusia, tetap tidak boleh memberontak terhadap mereka. Yang dibolehkan hanyalah jika kita melihat kekufuran yang benar-benar nyata.
Ketiga: Kekafiran tersebut nyata. Maknanya adalah kekufuran yang jelas dan nampak, terang (tidak bisa diartikan lain). Adapun perbuatan kekufuran yang masih mungkin untuk ditafsirkan lain maka tidak boleh memberontak kepada penguasa. Yakni, andaikan mereka melakukan kekufuran, tetapi kekufuran tersebut masih belum jelas (multi tafsir), maka tidak boleh kita memerangi atau memberontak terhadap mereka, dan kita takwilkan hal tersebut sesuai penakwilan mereka.
Keempat: “Kalian memiliki dalil dari Allah”. Yakni kita memiliki dalil yang pasti bahwa perbuatan tersebut merupakan kekufuran (menurut Al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih).
Kelima: Memiliki kemampuan. Jika kita tidak memiliki kekuatan maka tidak boleh memberontak, karena yang demikian itu termasuk menjatuhkan diri dalam kebinasaan. Manfaat apakah yang bisa kita dapatkan jika kita memberontak kepada seorang penguasa yang kita lihat melakukan kekufuran yang jelas dan berdasarkan dalil dari Allah, hanya dengan menggunakan pisau dapur sedang dia menggunakan tank-tank lapis baja dan senjata-senjata otomatis, apakah ada manfaat pemberontakan tanpa kemampuan? Tentu tidak ada manfaatnya. (Lihat Syarhu Riyadhis Shalihin, bab. 23 hadits ke-186 dengan diringkas)
3. Kalau hal itu dilakukan di depan umum hal itu tidak boleh sebagaimana yang telah kami jelaskan pada artikel: Tuntunan Islam dalam Menasihati Penguasa (Sebuah Renungan bagi Para Pencela Pemerintah) http://nasihatonline.wordpress.com/2010/07/05/tuntunan-islam-dalam-menasihati-penguasa-sebuah-renungan-bagi-para-pencela-pemerintah/
4. Faqihuz Zaman Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Mempublikasikan nasihat yang kita sampaikan kepada pemerintah terdapat dua mafsadat (kerusakan). Pertama: Hendaklah setiap orang khawatir, jangan sampai dirinya tertimpa riya’, sehingga terhapus amalannya. Kedua: Jika pemerintah tidak menerima nasihat tersebut, maka jadilah itu sebagai alasan bagi masyarakat awam untuk menentang pemerintah. Pada akhirnya mereka melakukan revolusi (pemberontakan) dan terjadilah kerusakan yang lebih besar.” [Dari kaset Asilah haula Lajnah Al-Huquq As-Syar’iyah, sebagaimana dalam Madarikun Nazhor, (hal. 211)]
Wallahul Muwaffiq.
Oleh Ustadz Sofyan Chalid hafidzahullah
sumber : nasehatonline.wordpress