يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (An-Nisa’: 59)
Demikian pula, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah berwasiat:
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا
“Aku wasiatkan kalian agar senantiasa
taqwa kepada Allah serta mendengar dan taat kepada pemimpin (negara)
meskipun pemimpin tersebut seorang budak dari Habasyah.” (HR. Abu Dawud, no. 4609 dan At-Tirmidzi, no. 2677)
Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah menjelaskan diantara prinsip aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah:
ولا نرى الخروج على أئمتنا وولاة
أُمورنا ، وإن جاروا ، ولا ندعوا عليهم ، ولا ننزع يداً من طاعتهم ونرى
طاعتهم من طاعة الله عز وجل فريضةً ، ما لم يأمروا بمعصيةٍ ، وندعوا لهم
بالصلاح والمعافاة
“Dan kami tidak memandang bolehnya
memberontak kepada para pemimpin dan pemerintah kami, meskipun mereka
berbuat zhalim. Kami tidak mendoakan kejelekan kepada mereka. Kami tidak
melepaskan diri dari ketaatan kepada mereka dan kami memandang ketaatan
kepada mereka adalah ketaatan kepada Allah sebagai suatu kewajiban,
selama yang mereka perintahkan itu bukan kemaksiatan (kepada Allah). Dan
kami doakan mereka dengan kebaikan dan keselamatan.” (Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi Al-Hanafi rahimahullah)
AI-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah juga menukil ijma’. Dari Ibnu Batthal rahimahullah,
ia berkata: “Para fuqaha telah sepakat wajibnya taat kepada pemerintah
(muslim) yang berkuasa, berjihad bersamanya, dan bahwa ketaatan
kepadanya lebih baik daripada nnemberontak.” (Fathul Bari, 13/7)
Bolehkah Membangkang Kepada Pemerintah Indonesia karena Tidak Berhukum dengan Syari’at Islam?
Telah dimaklumi bersama bahwa pemerintah
Negara Kesatuan Republik Indonesia saat ini adalah pemerintah muslim.
Sebagaimana juga dimaklumi bahwa hukum Islam belum diterapkan secara
menyeluruh di negeri tercinta ini. Apakah dengan sebab tersebut
pemerintah (dan rakyatnya) telah menjadi murtad? Kemudian boleh bagi
kaum muslimin memberontak atau membangkang kepada pemerintah Indonesia?
Syubhat ini dijawab oleh Faqihul ‘Ashr Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam fatwa berikut ini:
Pertanyaan: Fadhilatusy Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah ditanya tentang hukum menaati pemerintah yang tidak berhukum dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulillah shallallaahu ‘alaihi wa sallam?
Jawab: “Pemerintah yang
tidak berhukum dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah tetap wajib
ditaati dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya,
serta tidak wajib memerangi mereka dikarenakan hal itu, bahkan tidak
boleh diperangi kecuali kalau ia telah menjadi kafir, maka ketika itu
wajib untuk menjatuhkannya dan tidak ada ketaatan baginya.
Berhukum dengan selain Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya sampai kepada derajat kekufuran dengan dua syarat:
1) Dia mengetahui hukum Allah dan
Rasul-Nya. Kalau dia tidak tahu, maka dia tidak menjadi kafir karena
penyelisihannya terhadap hukum Allah dan Rasul-Nya.
2) Motivasi dia berhukum dengan
selain hukum Allah adalah keyakinan bahwa hukum Allah sudah tidak cocok
lagi dengan zaman ini dan hukum lainnya lebih cocok dan lebih bermanfaat
bagi para hamba.
Dengan adanya kedua syarat inilah
perbuatan berhukum dengan selain hukum Allah menjadi kekufuran yang
mengeluarkan dari Islam, berdasarkan firman Allah:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَآ أَنْزَلَ اللهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْكَافِرُوْنَ
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 44)
Pemerintah yang demikian telah batal
kekuasaannya, tidak ada haknya untuk ditaati rakyat, serta wajib
diperangi dan dilengserkan dari kekuasaan.
Adapun jika dia berhukum dengan selain
hukum Allah, namun dia tetap yakin bahwa berhukum dengan apa yang
diturunkan Allah itu adalah wajib dan lebih baik untuk para hamba,
tetapi dia menyelisihinya karena hawa nafsu atau hendak menzalimi
rakyatnya, maka dia tidaklah kafir, melainkan fasik atau zhalim, dan
kekuasaannya tetap sah.
Mentaatinya dalam perkara yang bukan kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah wajib. Tidak boleh diperangi, atau dilengserkan dengan kekuatan (senjata) dan tidak boleh memberontak kepadanya.
Sebab Nabi shallallahu’alaihi wa sallam
melarang pemberontakan terhadap pemerintah (muslim) kecuali jika kita
melihat kekafiran nyata dimana kita mempunyai alasan (dalil) yang jelas
dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibni ‘Utsaimin, 2/147-148, no. 229)
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah
juga menjelaskan, “Apabila seorang pemimpin muslim berhukum dengan
selain hukum Allah, maka tidak boleh dihukumi kafir kecuali dengan
syarat-syarat: Pertama: Dia tidak dipaksa melakukannya. Kedua: Dia tahu bahwa hukum tersebut bukan hukum Allah. Ketiga: Dia memandang hukum tersebut sama baiknya atau bahkan lebih baik dari hukum Allah.” (Lihat Al-Makhraj minal Fitnah, hal. 82)
Kesimpulan
Wajib taat kepada pemerintah Indonesia
dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah Ta’ala. Tidak boleh
memberontak atau membangkang meskipun mereka tidak berhukum dengan hukum
Allah, sebab kafirnya seseorang karena tidak berhukum dengan hukum
Allah perlu adanya syarat-syarat yang terpenuhi (syuruth at-takfir) dan terangkatnya penghalang (intifaul mawani’).
Selama syarat-syarat itu belum terpenuhi dan penghalang-penghalangnya
belum terangkat maka hukum asalnya ia adalah muslim. Jika ia seorang
penguasa, berlaku baginya hak-hak seorang penguasa muslim.
Dan perlu juga dicatat, bahwa para ulama
Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak ada satupun yang mempersoalkan dasar
negara pemimpin tersebut, apakah dasarnya Islam atau sekuler. Tetapi
yang menjadi ukuran apakah pemimpinnya muslim atau kafir, baik muslim
yang adil dan bertakwa atau yang zalim dan fasik, tetap wajib menaatinya
dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah.
Mereka yang mempersoalkan dasar negara
dalam hal ketaatan kepada pemimpin muslim dan haramnya pemberontakan
–baik dengan senjata maupun dengan kata-kata- terhadap pemerintah
muslim, hanyalah orang-orang jahil dari kalangan NII dan jenis Khawarij Takfiri lainnya yang tidak mengerti ushul dan qawa’id dalam aqidah dan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Wallahul Musta’an.
Penulis : Ustadz Sofyan Chalid hafidzahullah
Sumber : nasehatonline.wordpress
No comments:
Post a Comment