Tanya :
Bagaimana hukum shalat di masjid Nabawi di Madinah mengingat kuburan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berada di dalam masjid?
Bagaimana hukum shalat di masjid Nabawi di Madinah mengingat kuburan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berada di dalam masjid?
Jawab :
Alhamdulillah wabihi nasta’in. Permasalahan ini telah dikaji
oleh beberapa ulama besar diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Asy-Syaikh
Al-Albani, dan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullahu.
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Jika ada yang mengatakan: kita sedang diliputi problem terkait dengan kuburan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang ada sekarang, karena berada di tengah masjid Nabawi, bagaimana jawabannya? Kami katakan, jawabannya ditinjau dari beberapa sisi sebagai berikut:
1. Masjid tersebut tidak dibangun di atas kuburan, bahkan dibangun pada masa hidup beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.
2. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak dikuburkan di dalam masjid
sehingga dikatakan bahwa ini adalah penguburan orang-orang shalih di
dalam masjid, bahkan beliau dikuburkan di dalam rumahnya. (1)
3. Perbuatan memasukkan rumah-rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam termasuk rumah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ke dalam masjid
(ketika perluasan masjid) bukan dengan kesepakatan para shahabat
radhiyallahu ‘anhum bahkan hal itu terjadi setelah meninggalnya
kebanyakan shahabat dan tidak tersisa dari mereka kecuali sedikit, yaitu
sekitar tahun 94 H. Dengan demikian berarti hal itu bukan termasuk di
antara perkara-perkara yang dibolehkan oleh para shahabat atau yang
disepakati oleh mereka. Bahkan sebagian mereka (yang mendapati kejadian
itu) mengingkarinya, dan juga diingkari oleh Sa’id bin Al-Musayyib (2)
dari kalangan tabi’in.
4. Kuburan tersebut tidak dikategorikan berada dalam masjid meskipun
setelah perluasan dan dimasukkan di dalamnya, karena kuburan tersebut
berada di dalam kamar tersendiri terpisah dari masjid, jadi masjid
Nabawi tidak dibangun di atasnya. Oleh karena itu dibuatkan 3 dinding
yang mengelilingi kuburan tersebut dan dindingnya dijadikan menyimpang
dari arah kiblat yaitu dengan bentuk segitiga, sudutnya ditempatkan pada
sudut utara masjid, dimana seseorang yang shalat tidak akan menghadap
ke kuburan tersebut karena posisi dindingnya yang menyimpang (dari arah
kiblat). (Al Qaulul Mufid ‘ala Kitabittauhid, 1/398-399)
Dengan demikian jelas bagi kita bahwa masjid Nabawi tidak termasuk
dalam kategori masjid yang dibangun di atas kuburan yang dilarang shalat
di dalamnya. Begitu pula orang yang shalat di dalamnya tidak akan jatuh
dalam kategori shalat menghadap ke kuburan yang dilarang, karena bentuk
dinding yang mengelilinginya sebagaimana dijelaskan di atas.
Kalaupun seandainya masih tersisa kejanggalan mengingat bahwa
bagaimanapun juga kuburan tersebut telah menjadi bagian dari masjid, maka
jawabannya sebagaimana kata Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah pada
pasal terakhir dari kitabnya yang berjudul Tahdzirus Sajid min
Ittikhadzil Quburi Masajid (hal. 133-137):
“Kemudian ketahuilah bahwa
hukum yang telah lewat (3) mencakup seluruh masjid baik yang besar
maupun yang kecil, yang lama maupun baru, berdasarkan keumuman
dalil-dalil yang ada. Maka tidak diperkecualikan dari larangan shalat di
masjid yang ada kuburannya kecuali masjid Nabawi yang agung, karena
keutamaannya yang khusus yang tidak didapatkan pada masjid-masjid lain
yang dibangun di atas kuburan. Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam:
صَلاَةٌ فِيْ مَسْجِدِي هَذاَ
خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ
فِيْماَ سِوَاهُ إِلاَّ
الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ
“Shalat di masjidku ini lebih utama dari seribu shalat di
masjid-masjid yang lain kecuali Masjidil Haram, ” (4)
Begitu pula sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam:
ماَ بَيْنَ بَيْتِي وَمِنْبَرِي
رَوْضَةٌ مِنْ رِياَضِ الْجَنَّةِ
“Antara rumahku dan mimbarku merupakan taman dari taman-taman surga.” (5)
Serta keutamaan-keutamaan lainnya. Jika demikian, kalau dikatakan
bahwa shalat di masjid Nabawi dibenci (terlarang) maka berarti
menyamakan masjid Nabawi dengan masjid-masjid lainnya serta
meniadakan/menghapuskan keutamaan-keutamaan yang dimilikinya, dan tentu
saja sangat nyata bahwa hal ini tidak boleh.
Makna (hukum) ini kami petik dari perkataan Ibnu Taimiyyah yang telah
lewat pada hal. 125-126 ketika menjelaskan sebab dibolehkannya
melaksanakan shalat yang memiliki sebab pada waktu-waktu terlarang.
Jadi sebagaimana dibolehkan shalat (yang memiliki sebab) pada
waktu-waktu yang terlarang dengan alasan bahwa pelarangan dari shalat
tersebut berarti menyia-nyiakannya manakala tidak mungkin untuk meraih
keutamaannya dikarenakan waktunya akan berlalu (6), maka demikian pula
shalat di masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kemudian saya mendapati Ibnu Taimiyyah menegaskan hukum ini pada
kitabnya yang berjudul Al-Jawab Al-Bahir fi Zuril Maqabir (22/1-2):
“Shalat di masjid-masjid yang dibangun di atas kuburan terlarang secara
mutlak (7). Lain halnya dengan masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
karena shalat di dalamnya bernilai seribu shalat (di masjid-masjid lain)
dan masjid ini dibangun di atas ketaqwaan, di mana kehormatannya
(kemuliaannya) terpelihara pada masa hidup beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam dan masa Al-Khulafa`ur Rasyidin, sebelum dimasukkannya kamar
(rumah) tempat penguburan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai
bagian dari masjid. Dan hanyalah sesunggguhnya (perluasan masjid dengan)
memasukkan kamar tersebut sebagai bagian dari masjid terjadi setelah
berlalunya masa para shahabat.”
_______________
(1) Yaitu di rumah Aisyah radhiyallahu ‘anha.
(2) Yang dijuluki oleh sebagian ulama sebagai sayyiduttabi’in (pemimpin tabi’in) rahimahullah.
(3) Yaitu larangan shalat di masjid yang dibangun di atas kuburan.
(4) Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim serta yang lainnya dari hadits
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Juga diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad
dari hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, dan tambahan yang ada
(yaitu yang berada antara 2 tanda kurung) adalah riwayat Ahmad. Kemudian
hadits ini diriwayatkan Ahmad dari banyak jalan periwayatan serta
memiliki banyak penguat yang semakna dengannya dari beberapa shahabat
yang lain. (Hasyiyah (catatan kaki) Tahdzirus Sajid)
(5) Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim, serta yang lainnya dari hadits
Abdullah bin Zaid Al-Mazini, dan hadits ini mutawatir sebagaimana kata
As-Suyuthi…. (Hasyiyah Tahdzirus Sajid). Pada hasyiyah kitab tersebut
tidak lupa pula Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah mengingatkan bahwa
lafadz ((قَبْرِي sebagai pengganti lafadz (بَيْتِي) dengan makna:
“Antara kuburanku dan mimbarku….”, adalah kekeliruan sebagian perawi
hadits, sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Hazm, Al-Qurthubi, Ibnu
Taimiyyah, Al-’Asqalani (yaitu Al-Hafidz Ibnu Hajar -pen) dan yang
lainnya.
(6) Misalnya seseorang berwudhu pada waktu matahari sudah menguning
menjelang terbenam, kalau dia dilarang shalat sunnah wudhu sampai
matahari terbenam berarti dia akan kehilangan keutamaan karena waktunya
akan berlalu.
(7) Yaitu tanpa batasan masjid-masjid tertentu, jadi larangannya mencakup seluruh masjid.
Sumber:
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=282
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=282
No comments:
Post a Comment