Saturday, July 7, 2012

Benarkah Makam Nabi Terletak di dalam Masjid Nabawi?

Tanya :

Bagaimana hukum shalat di masjid Nabawi di Madinah mengingat kuburan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berada di dalam masjid?

Jawab :

Alhamdulillah wabihi nasta’in. Permasalahan ini telah dikaji oleh beberapa ulama besar diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Asy-Syaikh Al-Albani, dan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullahu.

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Jika ada yang mengatakan: kita sedang diliputi problem terkait dengan kuburan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang ada sekarang, karena berada di tengah masjid Nabawi, bagaimana jawabannya? Kami katakan, jawabannya ditinjau dari beberapa sisi sebagai berikut:

1. Masjid tersebut tidak dibangun di atas kuburan, bahkan dibangun pada masa hidup beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.

2. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak dikuburkan di dalam masjid sehingga dikatakan bahwa ini adalah penguburan orang-orang shalih di dalam masjid, bahkan beliau dikuburkan di dalam rumahnya. (1)

3. Perbuatan memasukkan rumah-rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam termasuk rumah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ke dalam masjid (ketika perluasan masjid) bukan dengan kesepakatan para shahabat radhiyallahu ‘anhum bahkan hal itu terjadi setelah meninggalnya kebanyakan shahabat dan tidak tersisa dari mereka kecuali sedikit, yaitu sekitar tahun 94 H. Dengan demikian berarti hal itu bukan termasuk di antara perkara-perkara yang dibolehkan oleh para shahabat atau yang disepakati oleh mereka. Bahkan sebagian mereka (yang mendapati kejadian itu) mengingkarinya, dan juga diingkari oleh Sa’id bin Al-Musayyib (2) dari kalangan tabi’in.

4. Kuburan tersebut tidak dikategorikan berada dalam masjid meskipun setelah perluasan dan dimasukkan di dalamnya, karena kuburan tersebut berada di dalam kamar tersendiri terpisah dari masjid, jadi masjid Nabawi tidak dibangun di atasnya. Oleh karena itu dibuatkan 3 dinding yang mengelilingi kuburan tersebut dan dindingnya dijadikan menyimpang dari arah kiblat yaitu dengan bentuk segitiga, sudutnya ditempatkan pada sudut utara masjid, dimana seseorang yang shalat tidak akan menghadap ke kuburan tersebut karena posisi dindingnya yang menyimpang (dari arah kiblat). (Al Qaulul Mufid ‘ala Kitabittauhid, 1/398-399)

Dengan demikian jelas bagi kita bahwa masjid Nabawi tidak termasuk dalam kategori masjid yang dibangun di atas kuburan yang dilarang shalat di dalamnya. Begitu pula orang yang shalat di dalamnya tidak akan jatuh dalam kategori shalat menghadap ke kuburan yang dilarang, karena bentuk dinding yang mengelilinginya sebagaimana dijelaskan di atas.

Kalaupun seandainya masih tersisa kejanggalan mengingat bahwa bagaimanapun juga kuburan tersebut telah menjadi bagian dari masjid, maka jawabannya sebagaimana kata Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah pada pasal terakhir dari kitabnya yang berjudul Tahdzirus Sajid min Ittikhadzil Quburi Masajid (hal. 133-137):

“Kemudian ketahuilah bahwa hukum yang telah lewat (3) mencakup seluruh masjid baik yang besar maupun yang kecil, yang lama maupun baru, berdasarkan keumuman dalil-dalil yang ada. Maka tidak diperkecualikan dari larangan shalat di masjid yang ada kuburannya kecuali masjid Nabawi yang agung, karena keutamaannya yang khusus yang tidak didapatkan pada masjid-masjid lain yang dibangun di atas kuburan. Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

صَلاَةٌ فِيْ مَسْجِدِي هَذاَ
خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ
فِيْماَ سِوَاهُ إِلاَّ
الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ

“Shalat di masjidku ini lebih utama dari seribu shalat di masjid-masjid yang lain kecuali Masjidil Haram, ” (4)

Begitu pula sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam:

ماَ بَيْنَ بَيْتِي وَمِنْبَرِي
رَوْضَةٌ مِنْ رِياَضِ الْجَنَّةِ

“Antara rumahku dan mimbarku merupakan taman dari taman-taman surga.” (5)

Serta keutamaan-keutamaan lainnya. Jika demikian, kalau dikatakan bahwa shalat di masjid Nabawi dibenci (terlarang) maka berarti menyamakan masjid Nabawi dengan masjid-masjid lainnya serta meniadakan/menghapuskan keutamaan-keutamaan yang dimilikinya, dan tentu saja sangat nyata bahwa hal ini tidak boleh.

Makna (hukum) ini kami petik dari perkataan Ibnu Taimiyyah yang telah lewat pada hal. 125-126 ketika menjelaskan sebab dibolehkannya melaksanakan shalat yang memiliki sebab pada waktu-waktu terlarang.

Jadi sebagaimana dibolehkan shalat (yang memiliki sebab) pada waktu-waktu yang terlarang dengan alasan bahwa pelarangan dari shalat tersebut berarti menyia-nyiakannya manakala tidak mungkin untuk meraih keutamaannya dikarenakan waktunya akan berlalu (6), maka demikian pula shalat di masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Kemudian saya mendapati Ibnu Taimiyyah menegaskan hukum ini pada kitabnya yang berjudul Al-Jawab Al-Bahir fi Zuril Maqabir (22/1-2): “Shalat di masjid-masjid yang dibangun di atas kuburan terlarang secara mutlak (7). Lain halnya dengan masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena shalat di dalamnya bernilai seribu shalat (di masjid-masjid lain) dan masjid ini dibangun di atas ketaqwaan, di mana kehormatannya (kemuliaannya) terpelihara pada masa hidup beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan masa Al-Khulafa`ur Rasyidin, sebelum dimasukkannya kamar (rumah) tempat penguburan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai bagian dari masjid. Dan hanyalah sesunggguhnya (perluasan masjid dengan) memasukkan kamar tersebut sebagai bagian dari masjid terjadi setelah berlalunya masa para shahabat.”
_______________
(1) Yaitu di rumah Aisyah radhiyallahu ‘anha.

(2) Yang dijuluki oleh sebagian ulama sebagai sayyiduttabi’in (pemimpin tabi’in) rahimahullah.

(3) Yaitu larangan shalat di masjid yang dibangun di atas kuburan.

(4) Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim serta yang lainnya dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Juga diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad dari hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, dan tambahan yang ada (yaitu yang berada antara 2 tanda kurung) adalah riwayat Ahmad. Kemudian hadits ini diriwayatkan Ahmad dari banyak jalan periwayatan serta memiliki banyak penguat yang semakna dengannya dari beberapa shahabat yang lain. (Hasyiyah (catatan kaki) Tahdzirus Sajid)

(5) Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim, serta yang lainnya dari hadits Abdullah bin Zaid Al-Mazini, dan hadits ini mutawatir sebagaimana kata As-Suyuthi…. (Hasyiyah Tahdzirus Sajid). Pada hasyiyah kitab tersebut tidak lupa pula Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah mengingatkan bahwa lafadz ((قَبْرِي sebagai pengganti lafadz (بَيْتِي) dengan makna: “Antara kuburanku dan mimbarku….”, adalah kekeliruan sebagian perawi hadits, sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Hazm, Al-Qurthubi, Ibnu Taimiyyah, Al-’Asqalani (yaitu Al-Hafidz Ibnu Hajar -pen) dan yang lainnya.

(6) Misalnya seseorang berwudhu pada waktu matahari sudah menguning menjelang terbenam, kalau dia dilarang shalat sunnah wudhu sampai matahari terbenam berarti dia akan kehilangan keutamaan karena waktunya akan berlalu.

(7) Yaitu tanpa batasan masjid-masjid tertentu, jadi larangannya mencakup seluruh masjid.

Sumber:

http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=282

No comments:

Post a Comment