Nama dan nasab beliau, Ihsan Ilahi Zhahir bin
Zhuhur Ilahi bin Ahmduddin bin Nizhamuddin. Dalam sebuah wawancara,
salah seorang saudara beliau yang bernama Syaikh Fadhl Ilahi
menjelaskan bahwa Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir lahir pada tahun 1940 di
kota Siyalkut. Yaitu sebuah kota tua di Pakistan, di sebelah utara kota
Propinsi Punjab. Kota ini terkenal dengan kelahiran tokoh-tokoh dan
ulama. Dan lingkungan yang sangat subur dengan ulama, tentu sangat
kondusif bagi perkembangan seorang anak. Demikian juga dengan keberadaan
Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir disana.
Keluarga
besarnya sangat populer dengan perniagaan berbagai macam kain.
Ketinggian tingkat keilmuan dan semangat juang untuk membela agama
serta kelimpahan harta benda juga menjadi penghias yang melekat pada
keluarga besarnya.
Ayahnya seorang pedagang
kain yang terkenal dengan amanahnya, dan juga termasuk orang yang
mencintai ulama dan giat mendakwahkan aqidah salaf, dengan menyibukkan
diri berceramah di beberapa masjid. Ia telah memilihkan jalan bagi
anak-anaknya agar menjadi para penyeru (da’i) di jalan Allah. Oleh
karena itu, ia sangat memperhatikan proses pendidikan anak-anaknya
dengan baik.
Sang ayah semenjak dini meminta
Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir agar menghabiskan waktunya untuk senang
mencari ilmu agama, jangan memikirkan mata pencaharian dahulu. Bahkan
semua anggota keluarganya pun mempunyai pemikiran yang sama, mendukung
Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir agar secara sungguh-sungguh mencurahkan thalabul ilmi dan berdakwah, meskipun yang menjadi taruhannya adalah harta.
Bukti
keseriusan ayahnya nampak yaitu tatkala Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir
masih di bangku sekolah dasar. Kendatipun pihak sekolah sudah
memberikan jatah snack bagi para siswanya, namun beliau malah melarang
anaknya untuk memakannya. Sebagai gantinya, sang ayah membawakan
makanan, jus dan susu. Sebab menurutnya, hal itu lebih bermanfaat bagi
fisiknya daripada makanan sekolah. Bahkan tidak sampai disitu, sang
ayahpun tidak segan-segan untuk memijit anaknya dengan olesan minyak
agar fisik anaknya tersebut menjadi sehat. Apalagi dengan kebutuhan
primer sekolah lainnya seperti buku-buku pelajaran, juga tidak luput
dari perhatian keluarganya. Segala daya upaya diusahakan agar sang anak
dapat belajar dengan nyaman.
Ibunya juga
mempunyai orientasi dan komitmen yang jelas dalam mendidik anaknya
diatas manhaj salaf. Dia seorang wanita yang tekun beribadah, bershaum
sehingga menurunkan pengaruh besar pada pembentukan kepribadian
anak-anaknya. Tidak terkecuai pula pada diri Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir.
Semenjak
kecil, Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir sudah terkenal dengan kecerdasannya.
Demikian juga kecintaannya terhadap ilmu. Para ulama semakin
mendukungnya untuk dapat mendulang ilmu yang banyak. Semenjak usia 9
tahun, Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir kecil sudah menghafal al-Qur'an. Di
tempatnya belajar, yaitu Madrasah asy-Syihabiyah, menuntaskan
pendidikan dasar dan menengahnya, para dewan guru sangat mengaguminya.
Setelah itu, beliau memperdalam ilmu-ilmu agama di Jami’ah
Muhammadiyah, salah satu Universitas Salafiyyah terbesar di Pakistan.
Beliau menyelesaikan studinya di universitas yang berlokasi di Faishal
Abad tersebut pada tahun 1961. setelah itu, berguru kepada seorang pakar
hadits yang bernama Syaikh Muhammad al-Jandalwi. Kemudian pada tahun
1963, ia berkesempatan untuk menimba ilmu di kota Rasul, Madinah,
tepatnya di Jami’ah Islamiyyah. Ulama-ulama besar berhasil ditemuinya
untuk dijadikan rujukan ilmiah.
Tentang ketekunannya saat berada di bangku Jami’ah Islamiyyah, Dr. Luqman as-Salafi, teman sekelasnya menceritakan, “Aku telah mengenal mujahid ini yang nyawanya dikorbankan di jalan Allah sejak 25 tahun yang lalu, tatkala kami duduk berdampingan di bangku kuliah Universitas Islam Madinah pada tahun enampuluhan. Aku dapati ia sebagai seorang mahasiswa yang cerdas, pintar, kemampuannya diatas kawan-kawannya dalam mata kuliah, penelitian dan diskusi. Mempunyai hafalan ribuan hadits. Saat jam istirahat, is selalu mengikuti pakar hadits abad ini (yaitu) Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani. Ia biasa bersama beliau di halaman kampus, meskipun harus duduk diatas pasir (tanah) untuk melontarkan pertanyaan seputar hadits, ilmu mushthalah. Di Madinah, tepatnya di fakultas Syariah, ia menuntaskannya dalam kurun waktu empat tahun dengan predikat summa cumlaude pada tahun 1967, dengan menempati rangking pertama untuk angkatan ketiga. Pihak kampus akhirnya menawarinya untuk menjadi staf pengajar namun ia menjawab, “Sesungguhnya negeriku lebih membutuhkanku”.
Sesampainya
di kampung halaman untuk memulai dakwah, ia mencermati bahwa
masyarakatnya kurang menghargai ilmu agama. Dan menurut mereka, orang
yang disebut ulama tidak mempunyai kemampuan untuk meresapi apa yang
mereka sebut sebagai “ilmu-ilmu modern”. Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir ingin
membalikkan asumsi mereka. Dengan ketekunannya, akhirnya ia mampu
mengantongi berbagai gelar master pada ilmu-ilmu bahasa Arab, bahasa
Persia, bahasa Urdu dan Inggris, master dalam hukum dan politik.
Sebenarnya
kitab-kitab yang ia tulis sudah jelas menggambarkan komitmennya kepada
manhaj salaf. Namun ada baiknya kita melihat selintas tentang
akidahnya melalui penuturannya sendiri, “Tidak ada barometer untuk
mengetahui kejujuran dari kedustaan, kebenarana dari kebatilan,
kebaikan dari kejelekan, kebaikan dari keburukan kecuali al-Kitab
(al-Qur'an) dan as-Sunnah. Setiap pendapat yang bertentangan dengan
firman Allah dan setiap tindakan yang berlawanan dengan praktek
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa sallam maka harus ditinggalkan lagi
tertolak, tidak perlu diperhatikan ataupun dilirik, baik muncul dari
tokoh besar, orang kecil, orang bertakwa ataupun manusia celaka. Sebab,
kaum mukminin tidak terikat dengan individu dan pemikiran mereka,
justru mereka itu diperintahkan untuk mengikuti Kitabullah dan Sunnah
Rasulullah “1.
Diantara
ulama besar yang pernah memoles beliau sebelum bertolak ke Madinah
ialah Syaikh Muhammad al-Jandalwi, Abul Barakat Ahmad bin Isma’il;
keduanya dikenal sebagai pakar hadits. Sesampainya di Madinah, ia
sempat berguru kepada Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Muhammad Nashiruddin
al-Albani, Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad, Syaikh Muhammad al-Amin
asy-Syinqithy (penulis tafsir adhwau al Bayan), Syaikh ‘Athiyyah Muhammad Salim, Syaikh Hammad al-Anshari, Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi dan lain-lain.
Sejak
menjadi mahasiswa di Jami’ah Islamiyyah Madinah, Syaikh Ihsan Ilahi
Zhahir mempunyai kegemaran menulis. Hasil karyanya yang pertama yaitu
kitab al-Qadiyaniyah2 yang sebelumnya berbentuk tulisan-tulisan berseri yang diterbitkan oleh majalah Hadharah al-Islam. Majalah ini biasa menjadi tempat ulama dan penulis besar untuk menggoreskan tintanya.
Ada
beberapa ciri khas pada gaya penulisan Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir dalam
buku-buku yang ditulisnya, yang jarang ditemukan pada penulisan di
abad sekarang.
Penyanggahan firqah dan pemikirannya melalui pernyataan dan referensi asli mereka. Kutipan-kutipannya selalu dari kitab-kitab standar mereka atau perkataan yang keluar dari pernyataan tokoh-tokohnya.
Usaha komparasi dan penelusuran akar bid’ah pada agama lain.
Kajian-kajiannya tentang golongan-golongan dalam Islam diikuti dengan
perbandingan unsur-unsur kesamaan dengan agama dan golongan-golongan
lainnya. Misalnya, ia membandingkan kemiripan antara Syi’ah dengan
Sufiyah, tasawwuf dengan ritual yang ada di agama Nashara.
Syaikh
Ihsan Ilahi Zhahir mengatakan, “Kami tidak merasa cukup dengan
membawakan nash dari kitab Sufiyah, tetapi kami juga menyertakan nash
yang mirip yang berasal dari agama-agama selain Islam3
Menghimpun semua pernyataan, tidak cukup dengan satu saja.
Ini merupakan usaha yang paling sulit. Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir
membawakan berbagai riwayat supaya mendapatkan kekuatan berhujjah dalam
membawakan argumentasi “menyerang musuh” sehingga musuh tidak berkutik
lagi.
Penelaahan yang luas pada sebuah obyek penulisan.
Dengan jelas, hal ini terbukti pada penulisan sebuah kitab, Syaikh
Ihsan Ilahi Zhahir membaca lebih dari tiga ratus bahan yang terdiri dari
kitab dan makalah seputar obyek pembahasan.
Ciri khas yang terakhir terletak pada kekuatan beliau dalam mematahkan argumentasi “musuh”.
Meskipun
beliau sangat sibuk dalam berdakwah, namun beliau masih menyempatkan
waktu untuk mendidik anak-anak beliau yang berjumlah tiga orang.
Ibtisam,
anak tertua mengisahkan, “Ayah sudah menanamkan pada hatiku kecintaan
kepada aqidah Islamiyyah dan membaca kitab-kitab salaful Ummah.
Pernah beliau mengajakku ke sebuah seminar dan ceramah-ceramah dan
menyuruhku untuk berceramah supaya aku terbiasa berbicara di depan
orang”.
Tulisan-tulisan beliau lebih banyak
berkutat pada “penyerangan” terhadap firqah-firqah sesat, baik yang
berskala lokal (di pakistan saja) maupun yang berskala internasional,
seperti Qadiyaniyah (Ahmadiyyah), Syi’ah, Babiyah, Bahaiyyah, Sufiyyah.
Beberapa contoh firqah yang beliau angkat dalam sebuah tulisan,
sebagian sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.
Beliau senantiasa menyibukkan diri dengan dakwah sampai akhirnya Allah menentukan takdir ajalnya. Hari
itu, Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir mendatangi suatu pertemuan ilmiah para
ulama yang diselenggarakan oleh Jum’iyyah Ahli al-hadits di Lahore pada
tanggal 23-7-1407 H. Dihadiri oleh 2000 peserta. Malam sudah larut,
tepatnya jam 23.00. pada saat itu, Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir maju untuk
mengutarakan ceramahnya di atas podium. Setelah 22 menit berceramah,
tiba-tiba sebuah bom meledak dari bawah panggung. Sembilan orang tewas
seketika, 114 orang cedera berat dan ringan. Beberapa gedung dan rumah
yang berdekatan dengan tempat kejadian runtuh. Sementara syaikh
terlempar sekitar 20 meter dari tempatnya. Bagian tubuh kiri beliau
mengalami luka parah, namun beliau masih sadar. Bahkan berusaha untuk
meneruskan pembicaraannya.
Beliau dibawa
menuju rumah sakit di Lahore. Akhirnya dengan rekomendasi Syaikh bin
Baz kepada Khadimul Haramain Raja Fahd, pihak kerajaan Saudi siap untuk
mengambil alih pengobatannya. Begitu sampai di kota Riyadh, para
ulama, para pejabat negara menyambut kedatangan beliau. Beliau dirawat
di rumah sakit militer. Para dokter memutuskan agar kaki beliau
diamputasi, tetapi Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir menolaknya. Dan pada hari
Senin pagi jam 04.00, tanggal 1 Sya’ban 1407 H, bertepatan dengan
tanggal 30 Maret 1987, Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir menghembuskan nafasnya
yang terakhir.
Kesedihan menyayat masyarakat
Riyadh. Pada hari itu, sekolah-sekolah diliburkan. Demikian juga
toko-toko di dekat masjid al-Jami’ al-Kabir ditutup. Orang-orang
berdesakan menshalati Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir dengan dipimpin oleh
Syaikh bin Baz. Sementara itu, masyarakat di tiga kota di Pakistan,
yaitu Islamabad, Lahore dan Karachi menutup tempat-tempat perniagaan
mereka, lantaran kesedihan yang mendalam atas meninggalnya sang mujahid.
Setelah
itu, jenazah diterbangkan ke kota Madinah untuk dishalatkan di masjid
Nabawi dan selanjutnya dimakamkan di Baqi. Sambutan masyarakat Madinah
begitu antusias. Para ulama, mahasiswa dan masyarakat Madinah turut
berduka cita atas meninggalnya Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir yang menjadi
musuh besar Syi’ah setelah Syaikh Muhibuddin al-Khathib meninggal.
Sebuah
kematian yang indah setelah mengisi usia dengan perjuangan dan
pengorbanan demi Islam di berbagai negara. Dr. Luqman as-Salafi
menyatakan beliau seolah-olah bagaikan pembela bagi Islam. Sehari
sebelum peristiwa meledaknya bom, beliau sedang duduk dalam acara debat
yang berlangsung selama 6.30 jam dengan pihak-pihak yang meminta
penetapkan Fiqih Hanafi Ja’fari dengan fiqih-fikih yang lain. Beliau
menjawab, “Kami tidak menginginkan sebuah pengganti bagi al-Qur'an dan
as-Sunnah”. Nampak dalam perdebatan ini, bahwa Syaikh Ihsan Ilahi
Zhahir sangat kuat pendiriannya dalam membela al-Haq. Hingga, kemudian
pada hari kedua, para hakim memutuskan hasil sidang bahwa kebenaran
berada di pihak Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir.
Kegigihan
beliau membasmi firqah-firqah sesat melalui tulisan maupun
ceramah-ceramah sangatlah kentara. Akibatnya beliau mengalami beberapa
kali percobaan pembunuhan. Intimidasi ancaman bunuh via telepon ataupun
surat sudah biasa beliau terima. Di Amerika, bahkan beliau pernah
mengalami percobaan pembunuhan atas dirinya. Al-Khumaini pemimpin Syiah
di Iran pernah pula membuat maklumat yang isinya “Barangsiapa yang
dapat membawa kepala Ihsan (Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir) niscaya ia akan
mendapatkan 200 ribu dolar”. Ada juga yang mengatakan, “Siapa saja yang
berhasil membawa kepala Ihsan, ia adalah orang yang syahid”. Beliau
juga pernah terkena tembakan peluru.
Syaikh
Ihsan Ilahi Zhahir menyadari pilihan beliau dengan menghabiskan usia
untuk berdakwah, terutama dalam usaha mengoreksi golongan-golongan yang
sesat, akan menghantarkan pada kesibukan yang luar biasa dan ancaman
bahaya. Begitu pula segala jenis intimidasi diatas, lantaran kegigihan
beliau dalam mengoreksi penyimpangan-penyimpangan golongan-golongan
yang mengklaim diri sebagai bagian dari Islam, namun ternyata jauh
panggang dari apinya.
Adapun pujian-pujian
kepada beliau secara otomatis muncul langsung dari ulama-ulama yang
pernah mengenalnya. Sebagai misal, pujian yang datang dari Syaikh bin
Baz, beliau mengatakan, “Ia adalah orang yang sangat baik. Kami
mengenalnya sarat dengan ilmu dan keutamaan, aqidahnya bagus. Semoga
Allah mengampuninya”.
Meskipun Syaikh Ihsan
Ilahi Zhahir telah pergi meninggalkan dunia fana, tetapi buku-buku
beliau masih saja menjadi musuh abadi bagi golongan-golongan yang
dahulu diserang.
Semoga Allah menerima amal kebaikan Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir dan menempatkan beliau di surga yang paling tinggi.
(Diringkas
dari kitab asy-Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir, Manhajuhu wa Juhuduhu fi
Taqribi al-‘Aqidah wa ar-Raddi ‘ala al-Firaqi adh-Dhallah, karya Dr.
‘Ali bin Musa az-Zahrani, Daru al-Muslim, Riyadh. Cet-1 th. 1425 H/2004,
sebuah thesis dari jurusan ‘Aqidah Universitas Ummul Qura’)
Disalin dari Majalah as-Sunnah, “Baituna” Rubrik Syakhshiyah . Edisi 01/tahun X/1427 H/2006. hal. 08-10.
sumber : habibieihsan.blogspot
====================
No comments:
Post a Comment