Friday, February 3, 2012

Hukum Memberi Pujian Pada Ahli Bid’ah


Diantara ulama kibar di zaman kita yang seharusnya kita banyak mengambil faidah  dalam permasalahan kontemporer terutama tentang fitnah dan perselisihan yang terjadi adalah Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan Syaikh Shalih Al-Fauzan rahimahumallah. Mereka berdua telah menghabiskan umur mereka untuk berdakwah kepada Sunnah dan menasehati umat dengan sebaik-baik nasehat. Jenggot mereka telah memutih oleh ilmu dan mereka telah melewati masa muda yang identik dengan sikap isti’jal (tergesa-gesa), berbeda dengan sikap sebagian kita yang menilai seolah-olah sebagian ulama  bodoh terhadap ilmu jarh wa ta’dil, seolah-olah para ulama tersebut baru belajar kemarin sore lalu dengan beraninya men-jarh fulan, meng-hajr fulan tanpa landasan ilmu. Bahkan sikap sebagian ulama dinilai aneh olehnya. Subhanallah tidakkah kita bersikap husnudzan (berbaik sangka) pada mereka, tidak hanya ber-husnudzan pada sebagian tokoh lalu ber-su’udzan pada para ulama.

Inilah fenomena yang terjadi, semoga Allah ta’ala memberikan taufiq pada kita untuk mengikuti kebenaran lalu istiqamah di atasnya dan  meninggalkan sikap ta’ashub yang  tercela.

Bagaimana sikap kedua syaikh dalam menyikapi ahli bid’ah dan orang-orang yang memujinya?


Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidzahullah menasehatkan:

والسلف حذرونا من الثقة بالمبتدعة، وعن الثناء عليهم، ومن المقتدى
مجالستهم، والمبتدعة يجب التحذير منهم، ويجب الابتعاد عنهم، ولو كان عندهم شيء من الحق، فإن
غالب الضُلاَّل لا يخلون من شيء من الحق؛ ولكن ما دام عندهم ابتداع، وعندهم مخالفات، وعندهم
أفكار سيئة، فلا يجوز الثناء عليهم، ولا يجوز مدحهم، ولا يجوز التغاضي عن بدعتهم؛ لأن في هذه الطريقة يظهر المبتدعة ويكونون قادة للأمة - لا قدَّر الله -  وتهويناً من أمر السنة، و  ترويجاً للبدعة، فالواجب التحذير منهم. وفي أئمة السنة الذين ليس عندهم ابتداع في كل عصر ولله الحمد فيهم
الكفاية وهم القدوة. فالواجب إتباع المستقيم على السنة الذي ليس عنده بدعة، وأما المبتدع فالواجب
التحذير منه، والتشنيع عليه، حتى يحذره الناس، وحتى ينقمع هو وأتباعه. وأما كون عنده شيء من
الحق، فهذا لا يبرر الثناء عليه أكثر من المصلحة، ومعلوم أن قاعدة الدين " إن درء المفاسد مقدم على جلب المصالح". وفي معاداة المبتدع درء مفسدة عن الأمة ترجح على ما عنده من المصلحة المزعومة إن كانت ولو أخذنا
ذا المبدأ لم يضلل أحد، ولم يبدع أحد؛ لأنه ما من مبتدع إلا وعنده شيء من
الحق، وعنده شيء من الالتزام. المبتدع ليس كافراً محضاً، ولا مخالفاً للشريعة كلها، وإنما هو مبتدع في بعض الأمور، أو في غالب الأمور، وخصوصاً إذا كان الابتداع في العقيدة وفي المنهج فإن الأمر خطير؛لأن هذا يصبح قدوة، ومن حينئذٍ تنتشر البدع في الأمة، وينشط المبتدعة في ترويج بدعهم. فالذي
يمدح المبتدعة، ويشبه على الناس بما عندهم من الحق، هذا أحد أمرين :
إما جاهل بمنهج السلف، وموقفهم من المبتدعة، وهذا الجاهل لا يجوز له أن يتكلم، ولا يحوزللمسلمين أن يستمعوا له.
وإما مغرض؛ لأنه يعرف خطر البدعة ويعرف خطر المبتدعة ولكنه مغرض يريد أن يروج للبدعة. فعلى كلٍّ هذا أمر خطير، وأمر لا يجوز التساهل في البدعة وأهلها مهما كانت.

"Salaf memperingatkan kita dari seorang tsiqah lagi mubtadi', melarang memuji mereka, duduk bersama mereka, wajib bagi kita untuk memperingatkan umat dari mereka, menjauhi mereka walaupun mereka memiliki beberapa perkara yang mencocoki kebenaran. Karena kebanyakan para penyeru kesesatan juga mencocoki kebenaran dalam beberapa permasahan. Akan tetapi selama pada mereka terdapat kebid'ahan, kekeliruan, dan pemikiran-pemikiran yang menyimpang maka tidak boleh memuji mereka, menutup-nutupi kebid'ahan mereka, karena hal ini akan mendukung kebid'ahan dan melecehkan sunah.

Dengan cara ini mubtadi' akan menjadi panutan umat, maka wajib untuk memperingatkan umat dari mereka.

Dan cukuplah bagi kita mengambil faidah dari para imam Sunnah tiap masa yang mereka tidak terjatuh pada kebid'ahan, mereka lah qudwah.

Wajib bagi kita untuk mengikuti ulama yang istiqamah di atas sunnah yang tidak terjerumus kepada kebid'ahan. Adapun mubtadi' maka wajib berhati-hati darinya, merendahkan mereka, sampai umat manusia berhati-hati darinya hingga mubtadi' dan pengikut-pengikutnya terdiam.

Adapun jika pada mereka terdapat kebenaran maka tidak boleh memuji mereka melebihi maslahat yang dibutuhkan. Telah diketahui bahwa diantara kaidah agama ini "menolak mafsadah didahulukan daripada mengambil maslahat". peringatan terhadap mubtadi' adalah menolak  mafsadah, dan menolak mafsadah terhadap umat lebih didahulukan dari maslahat yang diharapkan dari mereka (mubtadi').

Jika kita tidak mengambil kaidah ini, tentu tidak boleh ada seorangpun yang dikatakan sesat dan dikatakan mubtadi' karena setiap mubtadi' pasti memiliki kebenaran, dan mereka (mubtadi') juga berpegang teguh pada sunah dalam beberapa perkara.

Mubtadi' tidaklah kafir, tidak pula ia menyelisihi syariat sepenuhnya, ia hanya terjatuh pada kebid'ahan pada beberapa permasalahan, maupun di sebagian besar permasalahan. Terlebih jika kebid'ahan itu terdapat dalam aqidah dan manhaj, ini sangat berbahaya.
Karena hal tersebut akan menjadi qudwah, setelah meraka menjadi qudwah maka tersebarlah bid'ah pada umat, berarti ia telah membantu mubtadi' dalam menghidupkan bid'ahnya.

Orang yang memuji mubtadi' kemudian memberikan syubhat pada manusia bahwa mereka (mubtadi') memiliki kebenaran, maka ia termasuk salah satu dari dua kelompok :

1) Orang yang jahil terhadap manhaj salaf dan tidak tahu sikap salaf terhadap mubtadi', maka orang seperti ini tidak boleh berbicara dan hendaknya kaum muslimin tidak mengindahkan ucapannya

2) Orang yang memiliki maksud dan tujuan tertentu, karena ia tahu akan bahaya kebid'ahan, tetapi ia memang memiliki maksud untuk membela kebid'ahan. hal ini merupakan permasalahan yang berbahaya, suatu permasalahan yang sedapat mungkin seorang pun tidak boleh bermudah-mudahan pada bid'ah dan ahlul bid'ah. –selesai ucapan Syaikh Al-Fauzan-

Berikut sebagian teks nasehat Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah via telpon kepada sebagian penuntut ilmu yang bertanya kepada beliau terkait beberapa kaidah yang menyelisihi manhaj Salaf,

يقول السائل : نحن مجموعة من الطلاب ونريد أن نتعلم دين الله الحق الذي كان عليه رسول الله وأصحابه ، وتابعهم عليه علماء السنة والهدى ، وقد تلتبس علينا بعض الأمور خاصة التي يطرح بعض المنتسبين للعلم المعاصرين ، وخاصة ما يتعلق بالأصول والقواعد مثل القواعد الآتية :
الأولى : ما قيل في أخطاء أهل البدع والرواة يقول :
« نصحح ولا نجرح »  .
جواب الشيخ : هذا غلط ، بل نجرح من عاند الحق .
السائل :بارك الله فيكم .
الشيخ : نعم .

السائل : شيخنا يقول :
« يشترط بعض الناس في جرح أهل البدع وغيرهم أن يثبت الجرح بأدلة قطعية الثبوت » ؟ .
جواب الشيخ : هذا ليس بصحيح .
السائل : نعم .
السائل : القاعدة الأخيرة شيخنا يقول :
« أنه من العدل والإنصاف عند النصيحة والتحذير من البدع وأهلها:
أن نذكر حسناتهم إلى جانب سيئاتهم » .
جواب الشيخ : أقول لك : لا ، لا ، لا هذا غلط .
الشيخ : اسمع يارجل ، اسمع يارجل :
في مقام الرد ما يحسن أني أذكر محاسن الرجل ، إذا ذكرت محاسن الرجل وأنا أرد عليه ضعُف ردي .
السائل : حتى من أهل السنة شيخنا .
جواب الشيخ : أهل السنة وغير أهل السنة .
السائل : نعم ؛ بارك الله فيكم .
الشيخ : أرد عليه ؛ كيف أرد عليه وأروح أمدحه ؛ هذا معقول ‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍!!!.
السائل : خلاص يا شيخ .
قال المقدم : كانت هذه بعض انتقادات لقواعد عدنان عرعور ، لفضيلة الشيخ العلامة الفقيه الأصولي محمد بن صالح العثيمين – حفظه الله تعالى - .

Penanya :

“Kami adalah sekelompok penuntut ilmu yang ingin mempelajari agama Allah (Islam) dengan benar sebagaimana rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat berada di atasnya. Dan juga sebagaimana yang diikuti para ulama Sunnah dan Al-Huda. Ada sebagian permasalahan yang tersamarkan bagi kami terutama ucapan sebagian orang akhir-akhir ini yang menyandarkan diri kepada ilmu, terutama tentang permasalahan ushul dan qawa’id sebagaimana kaidah di bawah ini,

Apa yang meski diucapkan terhadap orang yang menyatakan tentang kesalahan-kesalahan ahli bid’ah dan rawi-rawi dengan ungkapan “Kita beri nasehat, tidak perlu kita jarh (kritik/memperingatkan umat darinya)”

Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah menjawab :

”Ini ungkapan yang salah, bahkan kita men-jarh setiap orang yang menentang kebenaran”

Penanya : “Barakallahu fikum

Syaikh : “Iya”
…..

Penanya :

“Sebagian orang mensyaratkan dalam men-jarh ahli bid’ah maupun selain mereka untuk tatsabbut terhadap tuduhan tersebut dengan bukti-bukti yang qath’i (pasti)

Syaikh menjawab :

“ungkapan ini tidak benar”

Penanya :

“Ia menyatakan : “diantara sikap adil dan inshaf (proporsional) tatkala engkau memberikan nasehat dan tahdzir (memperingatkan umat) dari bid’ah dan ahli bid’ah adalah engkau menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka di samping kesalahan-kesalahan mereka”

Syaikh menjawab :

“Aku katakan padamu, tidak…tidak ini ungkapan yang salah. Dengarkanlah, dengarkanlah…tatkala membantah (kesalahan-kesalahan seseorang) tidak perlu kita menyebutkan kebaikan-kebaikannya. Jika engkau menyebutkan kebaikan-kebaikannya sedangkan aku dalam keadaan membantahnya maka akan lemahlah bantahanku.

Penanya :

“Meskipun yang dibantah dari kalangan Ahlu Sunnah wahai Syaikh kami (tidak disebutkan kebaikan-kebaikannya) ?”

Syaikh menjawab :

“Meskipun yang dibantah dari kalangan Ahlu Sunnah maupun selain Ahlu Sunnah”

Penanya :

“Iya, barakallahu fikum

Syaikh berkata :

“Ketika aku membantah seseorang…bagaimana aku akan membantahnya jika aku sendiri memberikan pujian padanya, apakah ungkapan ini  masuk akal !?“

Penanya : “Selesai pertanyaan kami Syaikh.”

Pembawa acara : “Ini adalah beberapa kritikan terhadap kaidah ‘Adnan ‘Ar’ur oleh Fadhilatus-Syaikh Al-‘Allamah Al-Faqiih Al-Ushuli Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin hafidzahullah.

Kita tutup artikel ini dengan untaian perkataan Syaikh Muhammad Al-Imam hafidzahullah tentang sebab-sebab perselisihan pendapat para ulama dalam permasalahan jarh wa ta’dil, Syaikh Al-Imam hafidzahullah berkata :

“Sebab-sebab adanya jarh (para ulama) bermacam-macam. Diantaranya ada sebab yang nampak maupun yang tersembunyi, ada yang disebabkan oleh permasalahan kecil maupun permasalahan besar, baik permasalahan masa lalu maupun kekinian. Terkadang juga disebabkan oleh perselisihan ulama apakah orang yang di-jarh tersebut telah rujuk dari kesalahannya ataukah belum, dan ada pula yang berkisar di dalam koridor khilaf jaiz (permasalahan khilaf yang diperbolehkan).

Diantaranya ada yang memang disebabkan oleh khilaf madzmum (perselisihan yang tercela), dan terkadang disebabkan oleh keluarnya seseorang dari lingkup sunnah menuju bid’ah. Oleh karena itu, aku katakan bahwa ilmu jarh wa ta’dil di bangun di atas ghalabati ad-dzan (persangkaan kuat bukan dilalah qhat’iyyatits tsubut sebagaimana disinggung dalam fatwa Syaikh Al-Utsaimin di atas wallahua’lam). Dan yang lebih menguatkan bahwa ilmu jarh wa ta’dil dibangun di atas ghalabati adz-dzan adalah banyaknya perselisihan ulama jarh wa ta’dil yang terjadi tatkala mereka menilai seseorang...”

Mudah-mudahan artikel ini bermanfaat,

Sumber :  Risalah Radd ‘Ubaid Al-Jabiri
               Al-Ibanah karya Syaikh Muhammad Al-Imam
               Daf’u Baghyi ‘Adnan

[Abul-Harits, 9 Rabi’ul Awwal 1433, Tangerang]

2 comments:

  1. Syaikh Al-Imam berkesimpulan, "...dan ada pula yang berkisar di dalam koridor khilaf jaiz (permasalahan khilaf yang diperbolehkan)."

    Ustadz, apa saja sih contoh permasalahan yang masih dalam koridor khilaf jaiz?
    Apa saja sih faktor-faktor yang membuat seorang ulama keluar dari Barisan Ulama Ahlus Sunnah?

    Ustadz, kitab Al-Ibanah karya Syaikh Muhammad Al-Imam dikomentari oleh Syaikh Ali Hasan sebagai kitab yang sangat mirip/sejalan dengan kitab beliau, Manhaj Salafi..., ustadz sudah baca kan? Menurut Ustadz gimana?

    ReplyDelete
  2. Mudah-mudahan artikel "Kapankah Seorang Dikeluarkan dari Ahlus Sunah (Salafiyah) ?" dapat menjawab pertanyaan Anda..

    Semoga Allah memberikan taufiq pada saya untuk menanyakan permasalahan antum yang terakhir kepada para Ulama Madinah..

    Permasalahan-permasalahan kontemporer seperti yang antum permasalahkan di atas tidak semestinya ditanyakan kepada saya..bukan kapasitas saya untuk menjawab...

    ReplyDelete