Thursday, September 4, 2014

Hukum Bedah Mayat dan Otopsi Jenazah (Fatwa Al-Lajnah Ad-Da'imah)

Tanya: 

Kami mengharapkan jawaban tentang hukum Islam terhadap mahasiswa kedokteran yang ketika masa kuliahnya melakukan praktikum bedah mayat. Selain itu mereka harus menyingkap aurat wanita atau sebagiannya. 

Mereka mengatakan bahwa hal tersebut dalam rangka mempelajari kedokteran dan harus dilakukan agar mereka tidak menjadi dokter yang bodoh (tentang anatomi) dan tidak bisa mengobati penyakit yang diderita wanita. Apabila ini terjadi, tentulah para wanita muslimah akan ditangani oleh dokter-dokter Nasrani atau yang lain.

Jawab:
 
Para ulama yang tergabung dalam lembaga fatwa Al-Lajnah ad-Daimah menjawab:

"Pertama, tentang operasi bedah mayat, telah keluar ketetapan dari Haiah Kibarul Ulama (Dewan Ulama Besar) Kerajaan Arab Saudi yang garis besarnya sebagai berikut.

Masalah ini memiliki tiga keadaan:

a. Bedah mayat (otopsi) untuk meneliti sebuah kasus kriminalitas.

b. Otopsi untuk meneliti sebuah penyakit yang mewabah dalam rangka menemukan prosedur perlindungan (masyarakat) dari penyakit tersebut.

c. Bedah mayat untuk kepentingan ilmu pengetahuan, yakni kegiatan belajar dan mengajar.

Setelah komisi yang terkait bertukar pikiran, beradu argumentasi, dan mempelajari masalah di atas, forum mengeluarkan ketetapan sebagai berikut. Tentang dua keadaan yang pertama (yakni poin a dan b), forum memandang bahwa pembolehannya bisa mewujudkan banyak maslahat dalam bidang keamanan dan pengadilan, serta perlindungan masyarakat dari penyakit yang mewabah. Efek negatif tindakan otopsi tersebut akan tertutup oleh sekian banyak maslahat yang nyata dan berdampak luas.

Oleh karena itu, forum sepakat menetapkan bolehnya pembedahan mayat untuk dua tujuan ini, baik mayat tersebut terlindungi (oleh hukum syariat, -pent.) maupun tidak.

Adapun terkait dengan jenis bedah mayat yang ketiga, yaitu untuk kepentingan ilmiah, dengan mempertimbangkan bahwa:

• syariat Islam membawa terwujudnya maslahat dan memperbanyaknya,

• syariat Islam mencegah mafsadat dan mempersedikitnya,

• bolehnya dilakukan sebuah tindakan yang lebih kecil kerusakannya untuk menghilangkan hal yang kerusakannya lebih besar,

• apabila dua hal yang bermaslahat ternyata kontradiktif, dipilih yang lebih banyak efek positifnya,

• pembedahan terhadap hewan tidak bisa menggantikan pembedahan mayat,

• operasi bedah mayat berefek positif terhadap kemajuan berbagai bidang ilmu kedokteran; maka forum memandang bolehnya operasi bedah mayat manusia secara global.

Di sisi lain, forum mempertimbangkan:

• perhatian syariat Islam terhadap kemuliaan seorang muslim yang telah meninggal sebagaimana saat hidupnya; sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Mematahkan tulang mayat (hukumnya) seperti mematahkannya saat ia hidup.”

• pembedahan mayat mengandung perendahan terhadap kemuliaan seorang muslim,

• kebutuhan operasi bedah mayat muslim bisa diganti dengan mayat yang tidak dilindungi (mayat non-muslim -ed); maka forum memandang hendaknya dicukupkan dengan operasi bedah terhadap mayat yang semacam ini dan tidak melakukannya terhadap mayat yang dilindungi, dalam keadaan yang telah disebutkan.

Kedua, tentang menyingkap aurat wanita, apabila ada wanita lain yang bisa melakukannya, seorang lelaki tidak boleh melakukannya.

Apabila tidak ada wanita yang bisa melakukannya -sementara ada faktor yang mengharuskan aurat si wanita disingkap- seorang lelaki muslim boleh melakukannya sekadarnya, dalam rangka mengetahui penyakit si wanita. 

Apabila mayatnya adalah wanita non-muslim atau yang tidak dilindungi (oleh syariat), tidak ada halangan auratnya disingkap dalam rangka kegiatan belajar mengajar dan mengetahui penyakit-penyakit yang diderita wanita serta cara penyebuhannya, berdasarkan ketetapan Haiah Kibarul Ulama yang disebutkan di atas.

Wallahul muwaffiq, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam..."
 
Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wal Ifta (Komite Tetap untuk Pembahasan Ilmiah dan Fatwa)

Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Wakil: Abdur Razzaq Afifi
Anggota: Abdullah bin Ghudayyan, Abdullah bhn Qu’ud
(Fatawa al-Lajnah 25/93-95, pertanyaan ke-4 dari fatwa no. 3685)


Sumber: Majalah Asy Syariah no. 95/VIII/1431 H/2013, hal. 75-76 via fadhlihsan.wordpress.com

No comments:

Post a Comment