Tuesday, September 2, 2014

Hukum Asuransi Dalam Islam dan Jenis Asuransi Yang Diperbolehkan

Asuransi adalah perjanjian antara penanggung (perusahaan asuransi) dengan pihak tertanggung untuk memberikan penggantian kepada pihak tertanggung atas resiko kerugian yang tertera dalam perjanjian dan pihak tertanggung berkewajiban membayar premi kepada perusahaan asuransi.

Asuransi modern muncul pertama kali di Italia pada abad ke-14 Masehi yaitu asuransi laut. Para pedagang membawa dagangan mereka dengan jasa kapal laut. Saat itu kapal laut merupakan sarana transportasi dengan resiko tinggi. Maka lahir lah polis asuransi, dimana para pedagang membayar sejumlah uang kepada suatu pihak dan bila terjadi kerusakan atas barang atau hilang selama dalam perjalanan, pihak tersebut bersedia mengganti seluruh kerugian. Karena asuransi ini dianggap menguntungkan kedua belah pihak, maka  perjanjian asuransi ini berkembang pesat dan meluas di seluruh kalangan manusia.

Setelah itu bermunculan berbagai jenis asuransi, dari asuransi kebakaran, asuransi jiwa, asuransi kesehatan, hingga asuransi pendidikan.

Hukum Asuransi

Asuransi semenjak awal kemunculannya telah diharamkan oleh para ulama, baik berbentuk lembaga maupun perorangan. Pada abad ke-19, asuransi mulai masuk ke negara-negara Islam. Al-Imam Ibnu Abidin Al-Hanafi rahimahullah (wafat 1836 M) telah menfatwakan keharaman asuransi. Beliau rahimahullah berkata:

“Ini merupakan pembahasan penting tentang asuransi yang dibayarkan oleh pedagang sebagai imbalan jaminan yang diberikan oleh kafir harbi. Banyak pertanyaan tentang hukum asuransi dewasa ini. Telah menjadi tradisi di kalangan para pedagang, apabila mereka menyewa kapal barang milik seorang kafir harbi, mereka membayar sewa sekaligus membayar sejumlah uang untuk kafir harbi di negerinya. Bayaran ini dinamakan asuransi.

Jika terjadi kecelakaan dan barang niaga di kapal terbakar, tenggelam atau dirampok, maka kafir harbi tersebut memberikan jaminan (mengganti barang –pen) sebagai imbalan dari asuransi yang diterimanya. Kafir harbi tersebut memiliki agen di negeri kita (Islam) yang berada di pesisir pantai. Agen ini menerima setoran asuransi dari para pedagang. Izin tinggal mereka disetujui oleh penguasa. Apabila terjadi kecelakaan pada barang niaga, agen ini akan memberikan ganti rugi. Menurut saya, pedagang tidak halal mengambil ganti rugi tersebut…” [Raddul Mukhtaar, 7/170]

Pada tahun 1978, Al-Majma’ Al-Fiqh Al-Islami (Divisi Fiqh Lembaga Rabithah Alam Islami) dalam muktamar pertama telah memutuskan bahwa asuransi dengan segala jenisnya adalah haram.

“Setelah melakukan kajian yang mendalam dan bermusyawarah, Majelis Al-Majma’ memutuskan berdasarkan suara terbanyak (dari para ulama anggota musyawarah -ed) bahwa  asuransi dengan segala bentuknya berupa asuransi jiwa, asuransi niaga, dan lainnya adalah haram” [Qararat Al-Majma’ Al-Fiqh Al-Islami hal. 33]

Pada tahun 1985, para ulama Islam sedunia yang tergabung dalam Rabithah Al-Alam Al-Islami dalam konferensi kedua di Jeddah sepakat mengeluarkan keputusan no. 9 (9/2) 1985:

“Transaksi asuransi dengan premi tertentu yang diselenggarakan oleh perusahaan asuransi merupakan transaksi dengan tingkat gharar (spekulasi) tinggi. Hal ini membuat hukum transaksi batal (menurut syariat). Oleh karena itu, transaksi ini diharamkan dalam Islam”

Keputusan lembaga-lembaga fatwa internasional yang mengharamkan asuransi didasarkan pada alasan-alasan berikut:

Pertama, polis asuransi termasuk akad tukar-menukar uang dengan uang (sharf). Akad asuransi ini mengandung gharar (spekulasi) tingkat tinggi. Pada saat melakukan akad, pihak tertanggung tidak mengetahui berapa jumlah uang (premi) yang harus ia bayar. Jika terjadi kecelakaan, pihak tertanggung diuntungkan karena memperoleh ganti rugi. Namun jika tidak terjadi apa-apa, maka pihak tertanggung dirugikan  karena diwajibkan untuk terus-menerus membayar premi hingga waktu yang telah disepakati tanpa ada timbal balik yang ia dapatkan.

Pada saat akad, pihak penanggung (perusahaan asuransi) juga tidak mengetahui berapa jumlah uang yang akan dikeluarkan jika terjadi resiko yang ditanggungkan. Bisa jadi penanggung memberikan dana seperti yang disepakati dalam polis dan bisa jadi penanggung tidak memberikan apapun kepada pihak tertanggung, jika resiko itu tidak terjadi.

Tingkat gharar (spekulasi) dalam polis asuransi ini sangat tinggi, sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengharamkan  segala transaksi yang mengandung gharar. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata:

نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن بيع الغرر

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli (transaksi) yang mengandung gharar” [HR. Muslim]

Kedua, polis asuransi termasuk bentuk perjudian yang diharamkan. Apabila premi dibayarkan sampai waktu yang disepakati dan tidak terjadi kecelakaan, maka penanggung (perusahaan asuransi) diuntungkan dan pihak tertanggung (penyetor) dirugikan. 

Dan sebaliknya, jika terjadi kecelakaan, maka pihak tertanggung akan diuntungkan dan pihak penanggung akan dirugikan. Inilah hakikat perjudian, yaitu saat terdapat salah satu pihak yang diuntungkan, kemudian pihak lain dirugikan. Allah ta’ala telah mengharamkan perjudian dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُون

Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya arak, judi, berhala dan mengundi nasib adalah perbuatan keji yang termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian beruntung” [QS. Al-Maidah: 90]

Ketiga, polis asuransi adalah akad tukar-menukar uang dengan uang (sharf),artinya pihak tertanggung menerima uang ganti rugi sebagai timbal balik dari uang premi yang ia setorkan. Dalam akad tukar-menukar uang (sharf), apabila mata uangnya sejenis, disyaratkan harus sama jumlah nominalnya dan harus diserah-terimakan secara tunai. Jika salah satu persyaratan tidak terpenuhi, maka transaksi tersebut tergolong riba.

Faktanya, dua syarat itu tidak terpenuhi dalam polis asuransi, sehingga transaksi ini tergolong riba fadhl dan riba nasi’ah saat terjadi perbedaan antara jumlah nominal premi yang disetorkan dan uang ganti rugi yang diterima. Riba fadhl karena jumlah nominalnya berbeda, riba nasi’ah karena transaksi ini merupakan tukar menukar dua uang tidak secara tunai. Allahua’lam

Asuransi Yang Diperbolehkan

Pada tahun 2005 Al-Majma’ Al-Fiqh Al-Islami dalam Muktamar ke XVI menghasilkan keputusan no. 149 (7/16) yang membolehkan asuransi kesehatan bila diselenggarakan secara langsung oleh lembaga penyelenggara kesehatan.

“Hukum Asuransi Kesehatan

Jika asuransi kesehatan diselenggarakan secara langsung oleh badan penyelenggara kesehatan, maka hukumnya diperbolehkan dalam syariat, dengan syarat tata cara penyelenggaraannya harus diperhatikan agar gharar dapat ditekan seminimal mungkin. Sebab hukum gharar yang sedikit itu dimaafkan dan akad gharar yang dibutuhkan orang banyak lagi bersifat mendesak seperti asuransi kesehatan dalam rangka menyelamatkan jiwa, akal dan keturunan termasuk hal terpenting yang dijaga dalam syariat Islam, maka hukum gharar-nya dimaafkan.

Diantara hal teknis yang perlu diperhatikan:

Pertama, membuat perjanjian yang sangat rinci dan jelas tentang hak dan kewajiban kedua belah pihak

Kedua, memeriksakan kondisi kesehatan pihak tertanggung terlebih dahulu, sehingga dapat diperkirakan jenis pengobatan dan biaya yang akan ditanggung oleh pihak penyelenggara asuransi

Ketiga, tagihan pembayaran yang diklaim oleh pihak rumah sakit harus sesuai dengan tindakan pengobatan yang telah diberikan kepada pihak tertanggung, bukan berdasarkan rekayasa sebagaimana yang sering dilakukan oleh asuransi komersial”

Allahua’lam, semoga bermanfaat.


Dikutip oleh Abul-Harits dari “Harta Haram Muamalat Kontemporer” di Madinah, 7 Dzulqa’dah 1435

1 comment:

  1. kl menurut saya.., hukum asuransi dalam islam sah sah saja selama asuransi tersebut sifatnya sosial.. misal bpjs kesehatan..

    ReplyDelete