Asuransi
adalah perjanjian antara penanggung (perusahaan asuransi) dengan pihak
tertanggung untuk memberikan penggantian kepada pihak tertanggung atas resiko
kerugian yang tertera dalam perjanjian dan pihak tertanggung berkewajiban membayar premi kepada perusahaan asuransi.
Asuransi
modern muncul pertama kali di Italia pada abad ke-14 Masehi yaitu asuransi
laut. Para pedagang membawa dagangan mereka dengan jasa kapal laut. Saat itu
kapal laut merupakan sarana transportasi dengan resiko tinggi. Maka lahir lah
polis asuransi, dimana para pedagang membayar sejumlah uang kepada suatu pihak
dan bila terjadi kerusakan atas barang atau hilang selama dalam perjalanan,
pihak tersebut bersedia mengganti seluruh kerugian. Karena asuransi ini
dianggap menguntungkan kedua belah pihak, maka perjanjian asuransi ini berkembang pesat dan
meluas di seluruh kalangan manusia.
Setelah itu
bermunculan berbagai jenis asuransi, dari asuransi kebakaran, asuransi jiwa,
asuransi kesehatan, hingga asuransi pendidikan.
Hukum
Asuransi
Asuransi
semenjak awal kemunculannya telah diharamkan oleh para ulama, baik berbentuk
lembaga maupun perorangan. Pada abad ke-19, asuransi mulai masuk ke negara-negara
Islam. Al-Imam Ibnu Abidin Al-Hanafi rahimahullah (wafat 1836 M) telah
menfatwakan keharaman asuransi. Beliau rahimahullah berkata:
“Ini
merupakan pembahasan penting tentang asuransi yang dibayarkan oleh pedagang
sebagai imbalan jaminan yang diberikan oleh kafir harbi. Banyak pertanyaan tentang
hukum asuransi dewasa ini. Telah menjadi tradisi di kalangan para pedagang,
apabila mereka menyewa kapal barang milik seorang kafir harbi, mereka membayar
sewa sekaligus membayar sejumlah uang untuk kafir harbi di negerinya. Bayaran
ini dinamakan asuransi.
Jika
terjadi kecelakaan dan barang niaga di kapal terbakar, tenggelam atau dirampok,
maka kafir harbi tersebut memberikan jaminan (mengganti barang –pen) sebagai
imbalan dari asuransi yang diterimanya. Kafir harbi tersebut memiliki agen di
negeri kita (Islam) yang berada di pesisir pantai. Agen ini menerima setoran asuransi
dari para pedagang. Izin tinggal mereka disetujui oleh penguasa. Apabila
terjadi kecelakaan pada barang niaga, agen ini akan memberikan ganti rugi. Menurut
saya, pedagang tidak halal mengambil ganti rugi tersebut…” [Raddul
Mukhtaar, 7/170]
Pada tahun
1978, Al-Majma’ Al-Fiqh Al-Islami (Divisi Fiqh Lembaga Rabithah Alam
Islami) dalam muktamar pertama telah memutuskan bahwa asuransi dengan segala jenisnya
adalah haram.
“Setelah
melakukan kajian yang mendalam dan bermusyawarah, Majelis Al-Majma’ memutuskan
berdasarkan suara terbanyak (dari para ulama anggota musyawarah -ed) bahwa asuransi dengan segala bentuknya berupa
asuransi jiwa, asuransi niaga, dan lainnya adalah haram” [Qararat
Al-Majma’ Al-Fiqh Al-Islami hal. 33]
Pada tahun
1985, para ulama Islam sedunia yang tergabung dalam Rabithah Al-Alam Al-Islami dalam
konferensi kedua di Jeddah sepakat mengeluarkan keputusan no. 9 (9/2) 1985:
“Transaksi
asuransi dengan premi tertentu yang diselenggarakan oleh perusahaan asuransi
merupakan transaksi dengan tingkat gharar (spekulasi) tinggi. Hal ini membuat
hukum transaksi batal (menurut syariat). Oleh karena itu, transaksi ini diharamkan
dalam Islam”
Keputusan
lembaga-lembaga fatwa internasional yang mengharamkan asuransi didasarkan pada alasan-alasan
berikut:
Pertama, polis asuransi termasuk akad
tukar-menukar uang dengan uang (sharf). Akad asuransi ini mengandung gharar
(spekulasi) tingkat tinggi. Pada saat melakukan akad, pihak tertanggung tidak
mengetahui berapa jumlah uang (premi) yang harus ia bayar. Jika terjadi
kecelakaan, pihak tertanggung diuntungkan karena memperoleh ganti rugi. Namun
jika tidak terjadi apa-apa, maka pihak tertanggung dirugikan karena diwajibkan untuk terus-menerus
membayar premi hingga waktu yang telah disepakati tanpa ada timbal balik yang
ia dapatkan.
Pada saat
akad, pihak penanggung (perusahaan asuransi) juga tidak mengetahui berapa
jumlah uang yang akan dikeluarkan jika terjadi resiko yang ditanggungkan. Bisa
jadi penanggung memberikan dana seperti yang disepakati dalam polis dan bisa jadi
penanggung tidak memberikan apapun kepada pihak tertanggung, jika resiko itu
tidak terjadi.
Tingkat
gharar (spekulasi) dalam polis asuransi ini sangat tinggi, sedangkan Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengharamkan segala transaksi yang mengandung gharar. Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata:
نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن بيع الغرر
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli (transaksi) yang mengandung gharar”
[HR. Muslim]
Kedua, polis asuransi termasuk bentuk
perjudian yang diharamkan. Apabila
premi dibayarkan sampai waktu yang disepakati dan tidak terjadi kecelakaan,
maka penanggung (perusahaan asuransi) diuntungkan dan pihak tertanggung
(penyetor) dirugikan.
Dan sebaliknya, jika terjadi kecelakaan, maka pihak
tertanggung akan diuntungkan dan pihak penanggung akan dirugikan. Inilah
hakikat perjudian, yaitu saat terdapat salah satu pihak yang diuntungkan,
kemudian pihak lain dirugikan. Allah ta’ala telah mengharamkan perjudian dalam
firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ
وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ
فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُون
“Wahai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya arak, judi, berhala dan mengundi nasib
adalah perbuatan keji yang termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kalian beruntung” [QS. Al-Maidah: 90]
Ketiga, polis asuransi adalah akad
tukar-menukar uang dengan uang (sharf),artinya pihak tertanggung menerima uang
ganti rugi sebagai timbal balik dari uang premi yang ia setorkan. Dalam akad
tukar-menukar uang (sharf), apabila mata uangnya sejenis, disyaratkan harus
sama jumlah nominalnya dan harus diserah-terimakan secara tunai. Jika salah
satu persyaratan tidak terpenuhi, maka transaksi tersebut tergolong riba.
Faktanya,
dua syarat itu tidak terpenuhi dalam polis asuransi, sehingga transaksi ini
tergolong riba fadhl dan riba nasi’ah saat terjadi perbedaan antara jumlah
nominal premi yang disetorkan dan uang ganti rugi yang diterima. Riba fadhl
karena jumlah nominalnya berbeda, riba nasi’ah karena transaksi ini merupakan
tukar menukar dua uang tidak secara tunai. Allahua’lam
Asuransi
Yang Diperbolehkan
Pada tahun
2005 Al-Majma’ Al-Fiqh Al-Islami dalam Muktamar ke XVI menghasilkan
keputusan no. 149 (7/16) yang membolehkan asuransi kesehatan bila diselenggarakan
secara langsung oleh lembaga penyelenggara kesehatan.
“Hukum Asuransi
Kesehatan
Jika
asuransi kesehatan diselenggarakan secara langsung oleh badan penyelenggara
kesehatan, maka hukumnya diperbolehkan dalam syariat, dengan syarat tata cara
penyelenggaraannya harus diperhatikan agar gharar dapat ditekan seminimal
mungkin. Sebab hukum gharar yang sedikit itu dimaafkan dan akad gharar yang dibutuhkan
orang banyak lagi bersifat mendesak seperti asuransi kesehatan dalam rangka
menyelamatkan jiwa, akal dan keturunan termasuk hal terpenting yang dijaga
dalam syariat Islam, maka hukum gharar-nya dimaafkan.
Diantara
hal teknis yang perlu diperhatikan:
Pertama, membuat perjanjian yang sangat
rinci dan jelas tentang hak dan kewajiban kedua belah pihak
Kedua, memeriksakan kondisi kesehatan pihak
tertanggung terlebih dahulu, sehingga dapat diperkirakan jenis pengobatan dan
biaya yang akan ditanggung oleh pihak penyelenggara asuransi
Ketiga, tagihan pembayaran yang diklaim
oleh pihak rumah sakit harus sesuai dengan tindakan pengobatan yang telah diberikan
kepada pihak tertanggung, bukan berdasarkan rekayasa sebagaimana yang sering dilakukan
oleh asuransi komersial”
Allahua’lam,
semoga bermanfaat.
Dikutip
oleh Abul-Harits dari “Harta Haram Muamalat Kontemporer” di Madinah, 7 Dzulqa’dah
1435
kl menurut saya.., hukum asuransi dalam islam sah sah saja selama asuransi tersebut sifatnya sosial.. misal bpjs kesehatan..
ReplyDelete