Anak
muda itu memanggil saya Abang. Sebenarnya tidak ada hubungan darah antara saya
dan dia. Umur kami terpaut sepuluh tahunan. Namun, dikarenakan hubungan baik di
antara kami, saya sering menyebutnya Adik. Sementara dia memanggil saya Abang
dalam keseharian. Barangkali ia menganggap saya benar-benar seperti Abangnya,
sehingga hal-hal pribadi pun sering ia bagikan dengan saya.
“Itulah
Bang, sulit juga rasanya untuk melupakan dia… Gimana ya, Bang? Meskipun
tidak aku harapkan, terkadang wajahnya muncul dalam mimpi-mimpiku.
Memang,
Bang… orangnya cantik dan baik. Itu bukan menurutku sendiri, Bang. Orang-orang
pun bilang seperti itu juga. Ah… susahlah, Bang!”, keluhnya kepadaku suatu saat.
Karena
ia memberikan kepercayaan kepada saya, beberapa saran dan masukan pun saya
berikan untuknya. Memposisikan seolah-olah sebagai Abangnya. Saya
sampaikan, ”Sudahlah… tidak usah kau pikirkan sampai seperti itu. Belum
tentu orang yang kau pikirkan saat ini, sedang memikirkanmu juga. Orang baik
akan berpasangan dengan orang baik. Sebaliknya pun demikian. Kalau kau baik,
jodohmu pun baik, insya Allah…”
“Apakah
dia sudah ngaji Salaf?”, selanjutnya saya yang bertanya.
Anak
muda itu masih berusaha jujur. Katanya, “Belum sih, Bang… Cuman dia udah
berjilbab, Bang. Insya Allah dia maulah kalau disuruh pakai cadar. Gimana, Bang?”
“Begini,
Dek…Semua orang yang masih normal, pasti berharap rumah tangganya kelak
harmonis dan bahagia. Kau tahu, nggak? Modal terbesar untuk hidup harmonis itu
apa? Kesamaan visi dan kesatuan misi. Cara pandang hidupnya harus sama. Jika
tidak, akan payah nantinya. Tidak bisa juga kita ingin menyamakan visi, misi
dan cara pandang hidup dengan sambil jalan. Jangan terlalu berspekulasi!
Jangan-jangan… bukannya kita yang bisa membawa, malah kita yang terseret
arus. Na’udzu billah“, saya mencoba memberi pengertian.
Saya
terus melanjutkan, “Masalahnya, bukan ia mau pakai cadar ataukah tidak
nantinya. Kesamaan visi dan kesatuan misi tidak hanya sebatas cadar saja. Ada
aspek-aspek lain yang mesti diperhatikan. Kau kan sudah lama ngaji… sudah
merasakan manisnya Thalabul Ilmi… Nah, itu yang harus kau syukuri! Kau harus
menjaga nikmat ini dengan memilih istri yang telah sungguh-sungguh mengerti
tentang dirimu!”
Lalu kami
terdiam sambil menikmati malam…
Percakapan
di atas memang saya ungkapkan ulang di sini dengan gaya bahasa berbeda. Namun…
tidak mengubah makna sama sekali. Bukan sekali dua kali saya menghadapi kasus
seperti ini. Berapa banyak sudah, kawan dan sahabat yang mengungkapkan hal yang
sama. Sampai pastinya berapa banyaknya, saya sudah lupa. Akan tetapi, satu hal
yang menarik untuk dicermati, dan barangkali inilah benang merah yang merajutkan
dari semua kasus tersebut adalah budaya ikhtilath.
Ikhtilath
bisa dipahami sebagai budaya perbauran antara laki-laki dan perempuan yang
bukan mahram-nya dalam kondisi selain darurat. Islam sebagai ajaran mulia
nan luhur sangat membatasi pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang
bukan mahram –nya. Sebagai misal adalah penyakit sosial masyarakat
yang seringkali muncul karena faktor ikhtilath. Islam sendiri telah mengatur,
di manakah area dan medan laki-laki dalam kehidupan sehari-hari dan di manakah
pula perempuan semestinya berada.
Sudahlah…
tidak usah kita mempertanyakan ulang tentang hal ini.
Bukankah
fakta telah berbicara? Bukankah realita pahit semacam ini merupakan kebenaran
yang tak terbantahkan? Ikhtilath memang menjadi salah satu faktor munculnya
penyakit masyarakat.
Enam
dari sepuluh perempuan Indonesia telah hilang kegadisannya sebelum menikah
secara resmi. Hasil dari salah satu survey ini tentu membuat kulit merinding
dan hati bergidik.
Kasus
pemerkosaan ibarat menghiasi bibir setiap harinya. Pelecehan seksual selalu
mengintai di mana-mana. Apakah kita akan menutup mata dari fakta? Aborsi
merajalela, janin dan jabang bayi ditemukan teronggok di sembarang tempat,
sepasang remaja yang tertangkap sedang berbuat mesum di warnet, kasus perceraian
yang disebabkan perselingkuhan dengan ipar sendiri, affair antara
seorang bos dengan bawahannya dan lain sebagainya. Belum lagi realita kumpul
kebo di kalangan mahasiswa. Allahumma sallim…
Atau
jika masih ragu (padahal semestinya tidak perlu ragu lagi), datang dan
bertanyalah kepada para petugas KUA, “Dalam setahun, berapakah pasangan menikah
di bawah umur? Karena accident before married (hamil sebelum
menikah)?”
Saat
ini muncul polemik tentang wacana test keperawanan untuk calon sisiwi sekolah
menengah atas. Seperti biasa, ada pro dan kontra. Namun, bukan itu yang menjadi
titik pembahasan. Keprihatinan akan pergaulan bebas di kalangan pelajar bahkan
bisnis prostitusi yang melibatkan pelajar, seperti itulah alasan penggagasnya.
Mufti
Agung Kerajaan Arab Saudi, Syaikh Bin Baz pernah menerbitkan fatwa mengenai hal
ini (Majmu’ Fatawa Ibn Baz 4/248-253). Fatwa tersebut untuk
menyanggah pernyataan seorang rektor dari sebuah kampus di Negara Yaman.
Rektor
dimaksud menyatakan bahwa bentuk pendidikan dengan memisahkan antara siswa dan
siswi justru menyelisihi syari’at Islam. Ia beralasan bahwa shalat berjama’ah
di masjid dilaksanakan sejak zaman Nabi Muhammad dengan tanpa memisahkan antara
laki-laki dan perempuan.
“Saya
merasa heran. Kenapa bisa pernyataan semacam ini diucapkan oleh seorang rektor
dari sebuah kampus Islam di negeri Muslimin. Padahal semestinya ia justru
dituntut untuk mengarahkan masyarakatnya –kaum laki-laki dan perempuannya- demi
meraih kesuksesan dan keselamatan dunia akhirat. Inna lillah wa inna
ilaihi ra’jiun Laa haula wa laa quwwata illa billah“,
Syaikh
Bin Baz memulai sanggahannya dengan menyatakan demikian. Beliau melanjutkan, “Tidak
perlu diragukan lagi bahwa pernyataan tersebut merupakan pelanggaran besar
terhadap syari’at Islam! Sebab, syaria’t Islam tidak mengajarkan ikhtilath !…
Justru Islam melarang ikhtilath dan sangat tegas dalam hal ini!!”
Setelah
itu beliau menyebutkan sejumlah ayat dan beberapa hadits Rasulullah untuk
menjelaskan bahwa Islam sangat antipati terhadap budaya ikhtilath. Sehingga,
proses belajar mengajar yang menggunakan metode ikhtilath sangatlah
bertentangan dengan Islam.
Hmmm…
pembahasan ini pasti akan panjang lebar.
Baiklah…
Kita kembali saja ke salah satu pointnya. “Langit akan Tetap Bening” sejatinya
ditujukan untuk ikhwan-ikhwan muda Salafy yang masih juga belum lepas dari
kenangan “manis”nya saat kuliah atau bangku sekolah. Jerat-jerat ikhtilath
telah meninggalkan kesan pahit setelah ia serius mengaji Salaf.
Bayang-bayang masa lalunya seakan terus mengejar. Walaupun sebagian orang
menyebutnya sebagai masa-masa paling indah “kisah kasih di sekolah”, tetap saja
kaum muda Salafy yang telah memilih jalan Thalabul Ilmi akan menganggapnya
sebagai kenangan “pahit”.…
“Lah
gimana, Ustadz… Tiap hari pasti ketemu di sekolah. Sama-sama berada di dalam
ruangan kelas selama sekian lama. Banyak kegiatan yang dilalui bareng-bareng.
Khan nggak mungkin momen-momen seperti itu pergi tanpa kesan”
Kalimat-kalimat
semacam di atas pun pernah menjadi salah satu bahan diskusi saya dengan
beberapa ikhwan yang dahulu masih aktif sekolah . Budaya ikhtilath memang
sebuah problem besar bagi kalangan muda yang serius untuk mengaji.
Dalam
sebuah kajian di salah satu SMA Negeri, pertanyaan tentang ikhtilath dan
pacaran seakan mengalir tiada henti. Ada pertanyaan yang langsung disampaikan
secara verbal, ada juga yang bertanya dengan menggunakan selembar
kertas, terutama peserta akhwat. Bahkan satu dua pertanyaan sangat
“menggelikan” karena terkait dengan kontak komunikasi antara ikhwan dan akhwat
sesama pengurus Kajian Sekolah.
Salah
satu pertanyaan yang sulit saya lupakan hingga saat ini kurang lebih demikian. “Ustadz,
apakah hukumnya seorang ikhwan yang sama-sama berjanji dengan seorang akhwat. Keduanya
setelah lulus SMA akan berangkat mondok di tempat yang berbeda.
Setelah itu mereka berdua sepakat untuk menikah?”
Geeerrrrr…
ada tawa secara koor yang tak dapat ditahan ketika saya membacakan
pertanyaan itu.
Sebenarnya
gundah gulana yang dirasakan oleh mereka yang ingin dan sedang serius mengaji,
sementara mereka masih berjiwa muda adalah bersumber dari ikhtilath. Seakan
percuma saja nasehat untuk menundukkan mata di sampaikan, ajaran untuk menjaga
hati dari syahwat diungkapkan atau trik-trik lain untuk terhindar dari godaan
syahwat. Sebab, sumber segala-galanya masih juga ada. Jangan bermain api jika
tidak ingin terbakar. Kalau tak mau basah, mengapa bermain air ?…
Syaikh
Utsman As Salimi dalam sebuah kesempatan menyampaikan nasehat yang sangat mengena
di hati. Kata beliau,
“Syahwat
itu muncul jika digelorakan. Oleh sebab itu, jangan pernah engkau
membangkitkannya! Jauhi faktor-faktor yang dapat membangkitkan syahwat
terlarang. Syahwat yang terus diikutkan tidak akan pernah ada habisnya”
Nah…
anak muda yang saya sebutkan di atas atau anak muda lainnya yang bernasib sama,
tentu tepat untuk meresapi nasehat Syaikh Utsman di atas. Bagaimana bisa
melupakan kenangan lama, sementara facebook miliknya terus menerus ”diintip-intip”?
Bagaimana mungkin dapat menghapus bayang-bayangnya, sementara dirinya selalu
dilamunkan? Tentu akan sulit dilupakan jika selalu dikenang!
Ada
saja alasan yang terus ditampilkan oleh setan untuk mengungkung manusia agar
sulit melupakan masa lalunya.Bahkan tidak jarang,alasan tersebut terkesan
ilmiah dan benar. Sebagai contoh adalah satu pertanyaan yang pernah diajukan
kepada saya pada salah satu kajian di Kalimantan.
“Apakah
boleh Ustadz, seseorang mendoakan kebaikan untuk mantan kekasihnya?”
Terasa
indah kan alasannya? Ketika itu saya kemudian menjelaskan tentang keharusan
untuk saling mendoakan di antara kaum muslimin. Akan tetapi, apakah tidak ada
orang lain yang lebih berhak untuk didoakan? Orangtua, saudara atau kerabat
dekat, misalnya. Apakah ada alasan baginya mendoakan mantan kekasih, sementara
masih ada orang yang lebih berhak untuk didoakan? Selain itu, hal semacam ini
tentu hanya akan membekaskan penyakit-penyakit hati..
Ibnu
Qayyim di dalam Raudhatul Muhibbin menukilkan beberapa
kisah cinta yang kiranya perlu untuk disampaikan di sini. Dari dua kisah yang
akan saya sebutkan dalam tulisan ini, ada satu hal yang harus ditarik sebagai
sebuah kesimpulan: Hawa nafsu harus dikekang di dalam bingkai syari’at! Jangan
terseret arus syahwat!
Seorang
pemuda ahli ibadah pernah tertarik kepada seorang wanita jelita. Tumbuhlah rasa
cinta di antara mereka berdua. Cinta si pemuda ternyata disambut oleh wanita
tersebut. Bahkan hubungan di antara mereka berdua dapat dirasakan oleh hampir
seluruh warga Mekkah.
Di
sebuah lokasi sepi, si wanita kembali mengucapkan cinta. Sang pemuda pun
mengungkapkan hal yang sama.
“Aku
ingin engkau menciumku”, kata si wanita tersebut.
Sang
pemuda menjawab, ”Aku pun demikian”.
“Lalu
kenapa engkau tidak melakukannya?”, tanya si wanita.
Sang
pemuda menjelaskan, “Celaka! Sungguh aku pernah mendengar sebuah firman
Allah yang berbunyi,
الْأَخِلَّاءُ
يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِين
“Orang-orang
yang saling mencintai (selama di dunia) pada hari itu (hari kiamat) sebagiannya
menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertaqwa.” [QS.
Az-Zukhruf: 67]
“Demi
Allah, aku tidak berharap hubungan kita di dunia ini berubah menjadi permusuhan
di hari akhir kelak”, pemuda itu mengucapkan kata-kata ini sambil bangkit
berdiri lalu pergi. Kedua matanya tak mampu menahan air mata.
Kota
Kufah juga menyimpan banyak cerita tentang cinta. Seorang pemuda tampan pernah
tinggal menetap di sana, di sebuah kampung suku Nakha’. Secara kebetulan,
pemuda itu melihat seorang gadis jelita yang membuatnya jatuh cinta. Jiwanya
merasakan gelisah oleh cinta.
Lalu
pemuda itu datang menemui ayah si gadis untuk menyatakan pinangan. Ternyata,
gadis tersebut telah dilamar oleh sepupunya sendiri. Betapa berat rasa di hati!
Pemuda itu benar-benar kecewa.
Si
gadis yang mengetahui rasa cintanya lalu memerintahkan seseorang untuk
menyampaikan pesan kepada sang pemuda.
“Aku
sudah mengetahui perasaanmu kepadaku. Ternyata aku pun merasakannya. Sekarang
silahkan engkau pilih, aku yang pergi untuk menemuimu ataukah aku berusaha
mencarikan jalan agar engkau bisa menemuiku di rumahku?”, seperti itulah
pesan si gadis.
Pemuda
itu lalu menjawab, “Sampaikanlah kepadanya! Tidak ada satu pun yang aku
pilih. Aku sangat takut dengan adzab yang pedih jika durhaka kepada Nya. Aku
takut Neraka Nya yang tidak pernah berhenti kobaran apinya juga tidak akan
berkurang panasnya”.
Melihat
kenyataan dari jawaban sang pemuda, gadis itu lalu berujar, ”Dengan besarnya
rasa cinta di hati, ia masih juga takut kepada Allah? Sungguh, hanya dia yang
berhak atas diriku”.
Sejak
hari itu, si gadis meninggalkan kehidupan dunia dan memilih menjalani hari-hari
ibadah sampai tidak berapa lama kemudian ia meninggal sambil menyimpan cinta
kepada si pemuda. Tidak
lama berselang, si pemuda itu juga meninggal dunia…
Ada
serangkai doa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah kepada seorang pemuda
(hadits Abu Umamah riwayat Imam Ahmad). Sambil mengusapkan telapak tangan di
dada anak muda itu, Nabi Muhammad berucap,
اللّهُمَّ
اغْفِرْ ذَنْبَهُ وَطَهِّرْ قَلْبَهُ وَحَصِّنْ فَرْجَهُ
“Ya
Allah… Ampunilah dosanya. Sucikanlah hatinya dan jagalah kemaluannya”
Anak
muda tersebut mula-mula datang menemui Rasulullah dengan harapan diijinkan
berbuat zina. Walaupun sebagian sahabat yang hadir saat itu merasa tersinggung,
namun Rasulullah menghadapinya dengan penuh kelembutan dan kesabaran.
Nabi
Muhammad justru bertanya kepada anak muda tersebut, jika perbuatan zina itu
menimpa ibunya? Menimpa saudari perempuan atau bibinya? Bagaimanakah sikapnya
jika hal itu menimpa keluarganya? Dengan tegas anak muda itu menyatakan tidak
senang. Nah, seperti itulah yang dirasakan oleh orang lain. Rasulullah berhasil
menanamkan cara bersikap yang lurus kepada anak muda itu. Tak lupa Rasulullah
mendoakannya.
Bukankah
kita sangat membutuhkan doa semacam ini?
Cinta
itu memang unik. Apapun definisi tentang cinta yang diungkapkan pasti akan
berujung dengan perdebatan.Wajar saja jika seorang ulama menyatakan; cinta itu
tidak mungkin bisa didefinisikan. Mendefinisikan cinta sama artinya dengan
mempersempit makna cinta. Apalagi jika berurusan dengan “cinta pertama” yang
seringnya lahir di saat sekolah maupun di bangku kuliah.
Sebuah
musibah besar yang muncul karena dosa ikhtilath. Untuk
anak muda yang saya sebutkan di awal tulisan, juga kepada anak-anak muda
lainnya. Mereka yang telah diberi kesempatan oleh Allah untuk mereguk manisnya thalabul ilmi, menjalani hari-hari denganmengaji Salaf. Mereka yang telah
diberi hidayah untuk mencintai Al Qur’an dan As Sunnah. Barangkali saya bisa
menitipkan sebuah pesan melalui tulisan ini.
Belum
tentu yang engkau anggap baik, akan benar-benar baik nantinya. Mengapa harus
terbelenggu oleh kenangan-kenangan lama? Padahal Allah telah berjanji untuk
memberikan pengganti yang jauh lebih baik, bagi hamba yang siap meninggalkan
sesuatu karena Nya.
Hargailah
Manhaj Salaf yang telah engkau pilih ini! Tidak ada yang lebih berharga di
dunia ini selain Manhaj Salaf. Peganglah erat-erat thalabul ilmi yang telah
engkau pilih! Jangan mau engkau terhalang dari thalabul ilmi hanya karena
terganggu oleh kenangan-kenangan lama.
Yakinlah…
di sana masih banyak mutiara-mutiara terpendam yang selalu siap untuk engkau
petik. Seorang wanita shalihah yang hidup dalam kesucian dan ‘iffah. Seorang
wanita yang akan selalu membantu dirimu untuk sama-sama beribadah kepada Allah.
Seorang wanita yang menjadi salah satu perhiasan terbaik di dunia ini. Seorang
wanita yang akan menjadi istrimu untuk sama-sama berjuang di atas Manhaj Salaf.
Anggap
saja kenangan-kenangan lama itu sebagai mendung yang hanya sesaat melintas.
Engkau (yang telah memilih Manhaj Salaf) adalah langit. Mendung-mendung itu
pasti akan berlalu. Sebab, langit akan tetap bening…
Ditulis
oleh Al-Ustadz Mukhtar iben Rifa’i hafizhahullah (http://www.ibnutaimiyah.org/2013/09/langit-akan-tetap-bening/)
No comments:
Post a Comment