Wednesday, April 16, 2014

Meluruskan Niat Sebelum Mengkritik dan Menimbang Sebelum Memboikot (Hajr)

Al-Muzanni rahimahullah berkata:

حق المناظرة أن يراد بها الله عز وجل وأنها يقبل منها ما يتبين

"Kewajiban dalam berdebat adalah meniatkannya karena Allah ‘azza wajalla, hendaklah ia menerima kebenaran kapanpun kebenaran itu nampak jelas” [Jami' Bayan Al-'Ilmi no. 1851, 2/972]

Ibnu ‘Aqiil Al-Hambali rahimahullah berkata:

وكل جدل لم يكن الغرض فيه نصرة الحق فإنه وبال على صاحبه والمضرة فيه أكثر من المنفعة لأن المخالفة توحش

“Setiap perdebatan yang tidak bertujuan untuk membela kebenaran, maka hal itu akan memberikan mudharat pada pelakunya. Kerusakannya lebih banyak dari manfaatnya, karena perselisihan itu buruk” [Syarh Al-Kaukab Al-Muniir, 4/370]

Ibnu ‘Aqiil berkata:

نعوذ بالله من قصد المغالبة وبيان الفراهة وينبغي أن يجتنبها

“Kita berlindung pada Allah dari tujuan semata-mata untuk memenangkan perdebatan dan unjuk kehebatan, niat-niat semacam itu hendaklah dijauhi” [Syarh Al-Kaukab Al-Muniir, 4/370]  

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

فإن الرد بمجرد الشتم والتهوىل لا يعجز عنه أحد والإنسان لو أنه يناظر المشركين وأهل الكتاب لكان عليه أن يذكر من الحجة ما يبين به الحق الذي معه والباطل الذي معهم

“Sungguh semua orang bisa membantah, jika bantahan itu sekedar berisi umpatan dan celaan. Seandainya ia ingin membantah orang-orang musyrik dan ahlul-kitab, ia harus menyebutkan dalil-dalil yang berisi penjelasan terhadap kebenaran yang ia sampaikan, serta menyebutkan kebatilan yang ada pada mereka” [Majmuu’ Al-Fatawaa, 4/186]

وهكذا الرد على أهل البدع من الرافضة وغيرهم إن لم يقصد فيه بيان الحق وهدى الخلق ورحمتهم والإحسان إليهم لم يكن عمله صالحا

“Demikianlah bantahan terhadap ahlul-bid’ah dari kalangan Rafidhah dan selain mereka. Jika tidak bertujuan untuk menjelaskan kebenaran, memberikan hidayah pada manusia, bersikap kasih sayang dan menginginkan kebaikan bagi mereka, maka perbuatan itu bukan termasuk amal shalih” [Minhajus Sunnah, 5/239]

فإن الإنسان عليه أولا أن يكون أمره لله وقصده طاعة الله فيما أمره به وهو يحب صلاح المأمور أو إقامة الحجة عليه فإن فعل ذلك لطلب الرياسة لنفسه ولطائفته وتنقيص غيره كان ذلك حمية لا يقبله الله

“Sungguh diantara kewajiban yang pertama bagi manusia (saat menulis bantahan –pen) adalah meniatkannya karena Allah, demi melaksanakan perintah-Nya dan melakukan ketaatan, ia menginginkan kebaikan bagi orang yang dibantah atau menegakkan hujjah padanya. Jika ia melakukannya semata-mata untuk meraih kursi kepemimpinan untuk dirinya, melakukan pembelaan terhadap kelompoknya atau ingin menjatuhkan yang lain, maka hal itu termasuk perbuatan hizbiyyah. Allah tidak akan menerima amal perbuatannya” [Minhajus Sunnah, 5/254]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah juga berkata:

الهجرة الشرعية هي من الأعمال التي أمر الله بها ورسوله فالطاعة لا بد أن تكون خالصة لله و أن تكون موافقة لأمره فتكون خالصة لله صوابا فمن هجر لهوى نفسه أو هجر هجرا غير مأمور به كان خارجا عن هذا وما أكثر ما تفعل النفوس ما تهواه ظانة أنها تفعله طاعة لله

Hajr syar’i termasuk amalan yang diperintahkan Allah dan rasul-Nya. Amalan ketaatan haruslah diniatkan ikhlas karena Allah dan sesuai dengan perintah-Nya, sehingga amalan itu tergolong ikhlas karena Allah dan benar (sesuai sunnah –pen). Barangsiapa yang melakukan hajr karena hawa nafsunya atau melakukan hajr yang tidak diperintahkan (tidak syar’i –pen), maka perbuatan itu keluar dari ketaatan. Betapa banyak perbuatan yang dilakukan oleh jiwa-jiwa yang mengikuti hawa nafsunya, namun ia menyangka perbuatannya termasuk ketaatan pada Allah” [Majmuu’ Al-Fatawaa, 28/207]

فإن كانت المصلحة في ذلك راجحة بحيث يفضي هجره إلى ضعف الشر وخفيته كان مشروعا و إن كان لا المهجور ولا غيره يرتدع بذلك بل يزيد الشر والهاجر ضعيف بحيث يكون مفسدة ذلك راجحة على مصلحته لم يشرع الهجر بل يكون التأليف لبعض الناس أنفع من الهجر والهجر لبعض الناس أنفع من التأليف ولهذا كان النبي صلى الله عليه وسلم يتألف قوما ويهجر آخرين

“Jika maslahat yang diperoleh lebih dominan yaitu hajr yang dilakukan dapat melemahkan pengaruh keburukan dan meminimalisirnya, maka dalam keadaan ini hajr disyariatkan. Namun jika orang yang di-hajr atau selainnya tidak mendapatkan pelajaran dengan hal itu, bahkan semakin bertambah keburukannya, sedangkan pihak yang meng-hajr sangat lemah, sehingga mafsadah yang ditimbulkan lebih dominan dari maslahatnya, maka hajr tidak disyariatkan dalam keadaan ini.

Terkadang sikap lembut bagi sebagian orang lebih bermanfaat baginya, dan juga sebaliknya, terkadang hajr bagi sebagian orang lebih bermanfaat dari sikap lembut. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersikap lembut pada suatu kaum dan terkadang memboikot (hajr) kaum yang lain” [Majmuu’ Al-Fatawaa, 28/206]

Asy-Syaikh Al-‘Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah berkata:

إذا قرأنا سيرة رسول الله صلى الله عليه وسلم نرى أن الهجر مضيق.. فلا بد من النظر في مصلحة الهجر إذا كان الهجر سيؤثر ويرجع الشخص إلى الحق فلا بأس أن يهجر وإذا كان سيزداد عتوا ونفورا فلا

“Jika kita membaca perjalanan hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kita akan melihat bahwa hajr itu sempit...Memperhatikan maslahat hajr merupakan sebuah kewajiban. Jika hajr akan memberikan pengaruh dan mengembalikan seseorang pada kebenaran, maka tidak apa-apa ia melakukan hajr. Namun jika pihak yang di-hajr bertambah keburukannya dan semakin menjauh, maka tidak perlu” [Gharah Al-Asyrithah, 2/87-88]

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdillah Al-Imam hafizhahullah berkata:

وقد يجرح المعتبر من أهل السنة فتنشب فتن الهجر والتمزيق والمضاربات وقد ينشب القتال بين أهل السنة أنفسهم ! فعند حصول شيء من هذا يعلم أن الجرح قد أدى إلى الفتن فالواجب إعادة النظر في طريقة التجريح والنظر في المصالح والمفاسد وفيما تدوم الأخوة وتحفظ به الدعوة وتعالج به الأخطاء ولا يصلح الإصرار على طريقة في الجرح ظهر فيها الضرر

“Terkadang suatu jarh diberikan kepada sebagian orang yang masih teranggap sebagai ahlus-sunnah. Namun jarh tersebut menimbulkan sikap saling meng-hajr, perpecahan, pertikaian, bahkan terkadang menimbulkan peperangan diantara ahlus-sunnah sendiri. Ketika salah satu dari hal itu muncul, diketahui bahwa jarh tersebut mengantarkan pada fitnah.

Hal yang wajib dilakukan saat terjadi demikian adalah meninjau ulang metode jarh, mempertimbangkan maslahat dan mafsadah, melakukan hal-hal yang melanggengkan ukhuwwah (persaudaraan) dan menjaga keutuhan dakwah, serta meninjau ulang metode dalam meluruskan berbagai kesalahan (penyimpangan –pen). Tidak sepantasnya ia bersikukuh menempuh metode jarh yang menimbulkan mudharat” [Al-Ibanah hal. 191-192]

Allahua'lam

Dikutip oleh Abul-Harits di Madinah, 16 Jumadil Akhirah 1435 dari kitab Al-Ibanah ‘an Kaifiyyah At-Ta’amul ma’al Khilaf baina Ahlis-Sunnah wal Jama’ah karya Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah

No comments:

Post a Comment