Friday, April 25, 2014

Makan Daging Unta Membatalkan Wudhu?

Makan Daging Unta

Para ulama memiliki dua pendapat dalam permasalahan ini,

Pertama, tidak membatalkan wudhu. Pendapat ini dipegang oleh Malik, Asy-Syafi’i fil jadiid, Sufyan Ats-Tsauri, Abu Hanifah dan jumhur fuqahaa’.

Mereka berdalil dengan hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

كان آخر الأمرين ترك الوضوء مما مست النار

“Akhir dari dua perkara (pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam –pen) adalah meninggalkan wudhu dari makanan yang tersentuh api[1]” [HR. Abu Daud no. 192, Ibnu Khuzaimah no. 43 dan An-Nasa’i no. 185]

Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Dha’if Abu Daud, 1/270, sedangkan riwayat Ibnu Khuzaimah dishahihkan sanadnya oleh Syaikh Al-A’zhami rahimahumallah.

Dipahami dari hadits ini bahwa perintah berwudhu dari makanan yang tersentuh api telah mansukh[2], sementara daging unta termasuk makanan yang tersentuh api, sehingga masuk dalam cakupan hadits tersebut.

Kedua, membatalkan wudhu. Pendapat ini dipegang oleh Ahmad, Ishaq bin Rahawaih, Asy-Syafi’i fil Qadiim dan lainnya.

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

إن صح الحديث في لحوم الإبل قلت به

“Jika hadits berwudhu dari daging unta shahih, aku akan berpendapat dengannya”

Al-Baihaqi mengomentari perkataan Asy-Syafi’i di atas dengan menyatakan:

قد صح فيه حديثان

“Sungguh telah shahih dua hadits dalam permasalahan ini”

Al-Khathabi rahimahullah berkata:

ذهب إلى هذا عامة أهل الحديث

“Ini merupakan madzhab mayoritas ulama ahlul-hadits”

Ibnu Khuzaimah rahimahullah berkata:

لم نر خلافا بين علماء الحديث

“Kami tidak melihat adanya perselisihan diantara ulama ahlul-hadits”

Mereka berdalil dengan hadits Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seorang laki-laki bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam

أتوضأ من لحوم الغنم ؟ قال : إن شئت. قال : أتوضأ من لحوم الإبل ؟ قال : نعم

“Apakah aku berwudhu dari daging kambing?” Nabi menjawab: “jika kamu mau (silahkan berwudhu –pen)”. Ia berkata: “Apakah aku berwudhu dari daging unta?”. Nabi menjawab: “iya”. [HR. Muslim no. 360]

Ketika ditanya keharusan berwudhu setelah makan daging kambing, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan pilihan antara berwudhu dan tidak. Namun ketika ditanya keharusan berwudhu dari daging unta, nabi menjawab “iya” sebagai sebuah keharusan. Hal ini menunjukkan kewajiban berwudhu dari daging unta.

Tarjih

Mayoritas para ulama muhaqqiqiin menguatkan pendapat kedua, karena hadits bewudhu dari daging unta adalah dalil khaash (khusus), sedangkan hadits berwudhu dari makanan yang tersentuh api adalah ‘aam (umum). Menurut kaidah ushul fiqh, dalil khaash lebih didahulukan dari dalil ‘aam.

An-Nawawi rahimahullah berkata:

لكن هذا الحديث عام وحديث الوضوء من لحوم الإبل خاص والخاص مقدم على العام

“Namun hadits ini ‘aam (umum), sedangkan hadits berwudhu dari daging unta adalah khaash (khusus). Dalil khaash lebih didahulukan dari dalil ‘aam

Diantara ulama yang menguatkan pendapat kedua adalah An-Nawawi, Al-Baihaqi, Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syaukani[3], Al-Albani, Ibnu Baaz, Ibnu Utsaimin dan Muqbil Al-Wadi’i rahimahumullah.

An-Nawawi rahimahullah berkata:

القول القديم أنه ينقض وهو الأقوى من حيث الدليل وهو الذي أعتقد رجحانه

Al-Qaul Al-Qadiim (pendapat pertama Asy-Syafi’i -pen) adalah membatalkan, ini lebih kuat jika ditinjau dari sisi dalil. Pendapat inilah yang aku yakini lebih kuat”

Minum Susu Unta

Nash hadits Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu hanya menyebutkan "daging" unta, bagaimanakah dengan susunya, apakah juga membatalkan wudhu?

Para ulama juga berselisih dalam permasalah ini,

Pertama, membatalkan wudhu. Pendapat ini dipegang oleh Ahmad dalam salah satu riwayat. Dalilnya adalah hadits Usaid bin Khudhair radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

توضؤا من لحوم الإبل وألبانها

“Berwudhulah kalian dari daging unta dan susunya” [HR. Ahmad, 4/ 352]

Kedua, tidak membatalkan wudhu. Pendapat ini dipegang jumhur ulama. Dalilnya adalah ketiadaan dalil shahih yang melandasinya.

Adapun hadits Usaid bin Khudhair yang menjadi dalil pendapat pertama, riwayatnya lemah karena terdapat beberapa ‘illat. Pertama, adanya perawi dha’if bernama Hajjaj bin Arthaah. Kedua, Abdurrahman bin Abi Laila tidak mendengar dari Usaid bin Khudhair. Ketiga, riwayat yang menyebutkan tambahan lafadz [وألبانها] tidak mahfuzh [Al-‘Ilal Al-Kabiir 1/152-153 dan ‘Ilal Ibnu Abi Hatim no. 38]

Pendapat ini dirajihkan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz[4] dan Syaikh Ibnu Utsaimin[5] rahimahumallah

Makan Hati, Usus atau Minum Air Sisa Memasak (Kaldu) Daging Unta

Apaka makan hal-hal yang disebutkan di atas juga membatalkan wudhu?

Pertama, tidak membatalkan wudhu karena dalam nash hadits hanya disebutkan “daging” unta. Ini merupakan madzhab jumhur ulama dan pendapat yang masyhur dalam madzhab Hambali.

Pendapat ini dirajihkan oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh[6] dan Syaikh Ibnu Baz[7] rahimahumullah

Kedua, membatalkan wudhu, karena hati dan usus juga semisal dengan daging. Ini merupakan pendapat sebagian ulama Hanabilah.

Mereka memberikan permisalan dengan firman Allah ta’ala,

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِير

Diharamkan atas kalian bangkai, darah dan daging babi” [QS. Al-Maidah: 3]

Dalam nash ayat Al-Qur’an, Allah ta’ala hanya menyebutkan pengharaman “daging” babi. Apakah hati, usus dan kaldu babi juga halal dimakan ??

Pendapat ini dirajihkan oleh Syaikh Abdurrahman As-Sa’di dan Syaikh Ibnu Utsaimin[8] rahimahumullah

Allahua’lam

Sumber: Al-Ausath (1/138), Al-Majmuu’ Syarh Al-Muhadzab, 1/306-307
 Al-Mughniy (1/250), Taudhiihul Ahkaam (1/306-307), Fathul ‘Allam (1/241-243), archive multaqa ahlul-hadits, archive multaqa al-alukah

Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 25 Jumadil Akhirah 1435




[1] Hadits ini memiliki beberapa ‘illat:

Pertama, hadits ini memiliki idhthiraab (kegoncangan) dalam matannya

Ibnu Abi Hatim rahimahullah berkata:

وَسَأَلْتُ أَبِي عَنْ حَدِيثٍ ؛ رَوَاهُ عَلِيُّ بْنُ عَيَّاشٍ، عَنْ شُعَيْبِ بْنِ أَبِي حَمْزَة ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ ، عَنْ جَابِرٍ ، قَالَ كَانَ آخرُ الأَمْرِ مِنْ رَسُولِ اللهِ تَرْكُ الْوُضُوءِ مِمَّا مسَّتِ النَّارُ. فَسَمِعْتُ أَبِي يَقُولُ : هَذَا حَدِيثُ مُضْطَرِبُ الْمَتْنِ

“Aku bertanya pada ayahku tentang hadits yang diriwayatkan oleh Ali bin ‘Ayyasy, dari Syu’aib bin Abu Hamzah, dari Muhammad bin Al-Munkadir, dari Jabir berkata: “Akhir dari dua perkara pada masa Rasulullah adalah meninggalkan wudhu dari makanan yang tersentuh api”. Aku mendengar ayahku berkata: “hadits ini memiliki matan yang mudhtharib” [‘Ilal Al-Hadits, 1/171]

Kedua, Muhammad bin Al-Munkadir tidak mendengar hadits ini dari Jabir

Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

لَمْ يَسْمَعْ ابْنُ الْمُنْكَدِرِ هَذَا الْحَدِيثَ مِنْ جَابِرٍ إنَّمَا سَمِعَهُ مِنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ

“Ibnul Munkadir tidak mendengar hadits ini dari Jabir, ia hanyalah mendengarnya dari Abdullah bin Muhammad bin Aqiil” [Nailul Authar, 2/43]

Al-Bukhari rahimahullah berkata:

وقال بعضهم عن بن المنكدر سمعت جابرا ولا يصح

“Sebagian mereka menyatakan bahwa Ibnul Munkadir mendengar dari Jabir, namun ini tidak benar” [Fathul Baari, 1/311]

Ketiga, hadits ini diriwayatkan secara ikhtishar oleh sebagian perawi, namun ia keliru dalam meng-ikhtishar. Perawi tersebut adalah Syu’aib bin Abi Hamzah

Ibnu Hibban rahimahullah berkata:

هذا خبر مختصر من حديث طويل اختصره شعيب بن أبي حمزة متوهما لنسخ إيجاب الوضوء مما مست النار مطلقا وإنما هو نسخ لإيجاب الوضوء مما مست النار خلا لحم الجزور فقط

“Ini merupakan khabar dari hadits yang panjang yang di-ikhtishar (diringkas) oleh Syu’aib bin Abi Hamzah karena wahm mansukh-nya kewajiban wudhu secara mutlak dari makanan yang tersentuh api.” [Shahih Ibnu Hibban, 3/416]

Abu Hatim Ar-Razi rahimahullah berkata:

 وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ شُعَيْبٌ حَدَّثَ بِهِ مِنْ حِفْظِهِ فَوَهِمَ فِيهِ

“Ada kemungkinan Syu’aib meriwayatkan hadits ini dari hafalannya, lalu ia keliru (wahm)” [Ilal Al-Hadits, 1/171]

Hal yang semisal juga dinyatakan oleh Abu Daud, Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim rahimahumullah

Keempat, Al-Munkadir bin Ahmad diperbincangkan hafalannya

Abu Hatim rahimahullah berkata:

كان رجلا صالحا لا يفهم الحديث، و كان كثير الخطأ، لم يكن بالحافظ لحديث أبيه

“Ia adalah seorang yang shalih, namun tidak memahami hadits, sering keliru, serta tidak menghafal hadits ayahnya” [Tahdziibut Tahdziib, 10/282]

[2] Para sahabat sendiri masih berselisih apakah perintah berwudhu dari makanan yang tersentuh api telah mansukh atau masih berlaku,

Pertama, wajib berwudhu darinya, karena perintah berwudhu tidak mansukh. Ini merupakan pendapat Ibnu Umar, Aisyah, Abu Hurairah, Anas bin Malik, Abu Thalhah, Zaid bin Tsabit dan dipilih oleh Az-Zuhri (Tabi’in). [Al-Ausath, 2/213 dan At-Tamhiid, 3/331]

Mereka berdalil dengan beberapa hadits berikut,

1. Hadits Kharijah bin Zaid Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

توضؤوا مما مست النار

“Berwudhulah kalian dari makanan yang tersentuh api” [HR. Muslim no. 345]

2. Hadits Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الوضوء مما مست النار

“(Wajib –pen) berwudhu dari makanan yang tersentuh api” [HR.  Muslim no. 351]

Kedua. Tidak wajib, karena perintah berwudhu telah mansukh atau perintah berwudhu dalam hadits dipahami dengan wudhu secara istilah lughawi yaitu mencuci mulut dan berkumur, bukan dipahami sebagai wudhu dalam istilah syar’i. Pendapat ini diamalkan oleh Al-Khulafaa’ Ar-Rasyidin Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan merupakan pendapat jumhur ulama. [At-Tamhiid, 3/332 dan Al-Mufhim, 1/603]

Ketiga, disunahkan berwudhu darinya. Ini merupakan salah satu pendapat dalam madzhab Hambali, serta dirajihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim.

Nabi dan para sahabat meninggalkan wudhu ketika itu hanyalah untuk menjelaskan ketidak-wajiban wudhu dari makanan yang tersentuh api, bukan bertujuan untuk  menghapus (me-mansukh) disyariatkannya berwudhu darinya.

[3] Nailul Authar, 1/312

[4] Fatawaa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 5/288

[5] Asy-Syarhul Mumti’, 1/253

[6] Fatawaa Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 2/76

[7] Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 5/276

[8] Asy-Syarhul Mumti’, 1/250

No comments:

Post a Comment