Makan Daging Unta
Para ulama memiliki dua pendapat dalam permasalahan ini,
Pertama, tidak membatalkan wudhu. Pendapat ini dipegang oleh Malik, Asy-Syafi’i fil
jadiid, Sufyan Ats-Tsauri, Abu Hanifah dan jumhur fuqahaa’.
Mereka berdalil dengan hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu,
ia berkata:
كان آخر الأمرين ترك
الوضوء مما مست النار
“Akhir dari dua perkara (pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
–pen) adalah meninggalkan wudhu dari makanan yang tersentuh api[1]”
[HR. Abu Daud no. 192, Ibnu Khuzaimah no. 43 dan An-Nasa’i no. 185]
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani
dalam Shahih Dha’if Abu Daud, 1/270, sedangkan riwayat Ibnu Khuzaimah
dishahihkan sanadnya oleh Syaikh Al-A’zhami rahimahumallah.
Dipahami dari hadits ini bahwa perintah berwudhu dari makanan yang
tersentuh api telah mansukh[2],
sementara daging unta termasuk makanan yang tersentuh api, sehingga masuk dalam
cakupan hadits tersebut.
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
إن صح الحديث في
لحوم الإبل قلت به
“Jika hadits berwudhu dari daging unta shahih, aku akan
berpendapat dengannya”
Al-Baihaqi mengomentari perkataan Asy-Syafi’i di atas dengan menyatakan:
قد صح فيه حديثان
“Sungguh telah shahih dua hadits dalam permasalahan ini”
Al-Khathabi rahimahullah berkata:
ذهب إلى هذا عامة
أهل الحديث
“Ini merupakan madzhab mayoritas ulama ahlul-hadits”
Ibnu Khuzaimah rahimahullah berkata:
لم نر خلافا بين
علماء الحديث
“Kami tidak melihat adanya perselisihan diantara ulama
ahlul-hadits”
Mereka berdalil dengan hadits Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu
bahwa ada seorang laki-laki bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
أتوضأ من لحوم الغنم
؟ قال : إن شئت. قال : أتوضأ من لحوم الإبل ؟ قال : نعم
“Apakah aku berwudhu dari daging kambing?” Nabi menjawab: “jika kamu mau
(silahkan berwudhu –pen)”. Ia berkata: “Apakah aku berwudhu dari daging unta?”.
Nabi menjawab: “iya”. [HR. Muslim no. 360]
Ketika ditanya keharusan berwudhu setelah makan daging kambing, Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam memberikan pilihan antara berwudhu dan tidak. Namun ketika
ditanya keharusan berwudhu dari daging unta, nabi menjawab “iya” sebagai sebuah
keharusan. Hal ini menunjukkan kewajiban berwudhu dari daging unta.
Tarjih
Mayoritas para ulama muhaqqiqiin menguatkan pendapat kedua, karena
hadits bewudhu dari daging unta adalah dalil khaash (khusus), sedangkan
hadits berwudhu dari makanan yang tersentuh api adalah ‘aam (umum).
Menurut kaidah ushul fiqh, dalil khaash lebih didahulukan dari dalil ‘aam.
An-Nawawi rahimahullah berkata:
لكن هذا الحديث عام
وحديث الوضوء من لحوم الإبل خاص والخاص مقدم على العام
“Namun hadits ini ‘aam (umum), sedangkan hadits berwudhu
dari daging unta adalah khaash (khusus). Dalil khaash lebih
didahulukan dari dalil ‘aam”
Diantara ulama yang menguatkan pendapat kedua adalah An-Nawawi, Al-Baihaqi,
Ibnu Taimiyyah,
Ibnul Qayyim, Asy-Syaukani[3],
Al-Albani, Ibnu Baaz, Ibnu Utsaimin dan Muqbil Al-Wadi’i rahimahumullah.
An-Nawawi rahimahullah berkata:
القول القديم أنه
ينقض وهو الأقوى من حيث الدليل وهو الذي أعتقد رجحانه
“Al-Qaul Al-Qadiim (pendapat pertama Asy-Syafi’i -pen) adalah
membatalkan, ini lebih kuat jika ditinjau dari sisi dalil. Pendapat inilah yang
aku yakini lebih kuat”
Minum Susu Unta
Nash hadits Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu hanya menyebutkan "daging" unta, bagaimanakah dengan susunya, apakah juga membatalkan
wudhu?
Para ulama juga berselisih dalam permasalah ini,
Pertama, membatalkan wudhu. Pendapat ini dipegang oleh Ahmad dalam salah satu
riwayat. Dalilnya adalah hadits Usaid bin Khudhair radhiyallahu ‘anhu, Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
توضؤا من لحوم الإبل
وألبانها
“Berwudhulah kalian dari daging unta dan susunya” [HR. Ahmad, 4/ 352]
Kedua, tidak membatalkan wudhu. Pendapat ini dipegang jumhur ulama. Dalilnya
adalah ketiadaan dalil shahih yang melandasinya.
Adapun hadits Usaid bin Khudhair yang menjadi dalil pendapat pertama,
riwayatnya lemah karena terdapat beberapa ‘illat. Pertama, adanya perawi dha’if
bernama Hajjaj bin Arthaah. Kedua, Abdurrahman bin Abi Laila tidak mendengar
dari Usaid bin Khudhair. Ketiga, riwayat yang menyebutkan tambahan lafadz [وألبانها] tidak mahfuzh [Al-‘Ilal
Al-Kabiir 1/152-153 dan ‘Ilal Ibnu Abi Hatim no. 38]
Pendapat ini dirajihkan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz[4]
dan Syaikh Ibnu Utsaimin[5]
rahimahumallah
Makan Hati, Usus atau Minum Air Sisa Memasak (Kaldu) Daging Unta
Apaka makan hal-hal yang disebutkan di atas juga membatalkan wudhu?
Pertama, tidak membatalkan wudhu karena dalam nash hadits hanya disebutkan
“daging” unta. Ini merupakan madzhab jumhur ulama dan pendapat yang masyhur
dalam madzhab Hambali.
Pendapat ini dirajihkan oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh[6]
dan Syaikh Ibnu Baz[7]
rahimahumullah
Kedua, membatalkan wudhu, karena hati dan usus juga semisal dengan daging. Ini
merupakan pendapat sebagian ulama Hanabilah.
Mereka memberikan permisalan dengan firman Allah ta’ala,
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ
وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِير
“Diharamkan atas kalian bangkai, darah dan daging babi” [QS.
Al-Maidah: 3]
Dalam nash ayat Al-Qur’an, Allah ta’ala hanya menyebutkan
pengharaman “daging” babi. Apakah hati, usus dan kaldu babi juga halal dimakan ??
Pendapat ini dirajihkan oleh Syaikh Abdurrahman As-Sa’di dan Syaikh Ibnu
Utsaimin[8]
rahimahumullah
Allahua’lam
Sumber: Al-Ausath (1/138), Al-Majmuu’ Syarh Al-Muhadzab, 1/306-307
Al-Mughniy (1/250), Taudhiihul
Ahkaam (1/306-307), Fathul ‘Allam (1/241-243), archive multaqa
ahlul-hadits, archive multaqa al-alukah
Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 25 Jumadil Akhirah 1435
[1] Hadits ini memiliki beberapa
‘illat:
Pertama, hadits ini memiliki idhthiraab
(kegoncangan) dalam matannya
Ibnu
Abi Hatim rahimahullah berkata:
وَسَأَلْتُ أَبِي
عَنْ حَدِيثٍ ؛ رَوَاهُ عَلِيُّ بْنُ عَيَّاشٍ، عَنْ شُعَيْبِ بْنِ أَبِي حَمْزَة
، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ ، عَنْ جَابِرٍ ، قَالَ كَانَ آخرُ الأَمْرِ
مِنْ رَسُولِ اللهِ تَرْكُ الْوُضُوءِ مِمَّا مسَّتِ النَّارُ.
فَسَمِعْتُ أَبِي يَقُولُ : هَذَا حَدِيثُ مُضْطَرِبُ الْمَتْنِ
“Aku
bertanya pada ayahku tentang hadits yang diriwayatkan oleh Ali bin ‘Ayyasy,
dari Syu’aib bin Abu Hamzah, dari Muhammad bin Al-Munkadir, dari Jabir berkata:
“Akhir dari dua perkara pada masa Rasulullah adalah meninggalkan wudhu dari makanan
yang tersentuh api”. Aku mendengar ayahku berkata: “hadits ini memiliki
matan yang mudhtharib” [‘Ilal Al-Hadits, 1/171]
Kedua, Muhammad bin Al-Munkadir tidak
mendengar hadits ini dari Jabir
Asy-Syafi’i
rahimahullah berkata:
لَمْ يَسْمَعْ
ابْنُ الْمُنْكَدِرِ هَذَا الْحَدِيثَ مِنْ جَابِرٍ إنَّمَا سَمِعَهُ مِنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ
“Ibnul
Munkadir tidak mendengar hadits ini dari Jabir, ia hanyalah mendengarnya dari
Abdullah bin Muhammad bin Aqiil” [Nailul Authar, 2/43]
Al-Bukhari
rahimahullah berkata:
وقال بعضهم عن بن
المنكدر سمعت جابرا ولا يصح
“Sebagian
mereka menyatakan bahwa Ibnul Munkadir mendengar dari Jabir, namun ini tidak
benar” [Fathul Baari, 1/311]
Ketiga, hadits ini diriwayatkan secara ikhtishar
oleh sebagian perawi, namun ia keliru dalam meng-ikhtishar. Perawi
tersebut adalah Syu’aib bin Abi Hamzah
Ibnu
Hibban rahimahullah berkata:
هذا خبر مختصر من
حديث طويل اختصره شعيب بن أبي حمزة متوهما لنسخ إيجاب الوضوء مما مست النار مطلقا
وإنما هو نسخ لإيجاب الوضوء مما مست النار خلا لحم الجزور فقط
“Ini
merupakan khabar dari hadits yang panjang yang di-ikhtishar (diringkas) oleh
Syu’aib bin Abi Hamzah karena wahm mansukh-nya kewajiban wudhu secara
mutlak dari makanan yang tersentuh api.” [Shahih Ibnu Hibban, 3/416]
Abu
Hatim Ar-Razi rahimahullah berkata:
وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ شُعَيْبٌ حَدَّثَ بِهِ
مِنْ حِفْظِهِ فَوَهِمَ فِيهِ
“Ada
kemungkinan Syu’aib meriwayatkan hadits ini dari hafalannya, lalu ia keliru
(wahm)” [Ilal Al-Hadits, 1/171]
Hal
yang semisal juga dinyatakan oleh Abu Daud, Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim rahimahumullah
Keempat, Al-Munkadir bin Ahmad
diperbincangkan hafalannya
Abu
Hatim rahimahullah berkata:
كان رجلا صالحا لا
يفهم الحديث، و كان كثير الخطأ، لم يكن بالحافظ لحديث أبيه
“Ia
adalah seorang yang shalih, namun tidak memahami hadits, sering keliru, serta
tidak menghafal hadits ayahnya” [Tahdziibut Tahdziib, 10/282]
[2] Para sahabat
sendiri masih berselisih apakah perintah berwudhu dari makanan yang tersentuh
api telah mansukh atau masih berlaku,
Pertama, wajib berwudhu darinya,
karena perintah berwudhu tidak mansukh. Ini merupakan pendapat Ibnu
Umar, Aisyah, Abu Hurairah, Anas bin Malik, Abu Thalhah, Zaid bin Tsabit dan
dipilih oleh Az-Zuhri (Tabi’in). [Al-Ausath, 2/213 dan At-Tamhiid,
3/331]
Mereka berdalil dengan beberapa hadits berikut,
1. Hadits Kharijah bin Zaid Al-Anshari radhiyallahu
‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
توضؤوا مما مست النار
“Berwudhulah kalian dari makanan yang tersentuh
api” [HR. Muslim no. 345]
2. Hadits Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu,
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الوضوء مما مست
النار
“(Wajib –pen) berwudhu dari makanan yang
tersentuh api” [HR. Muslim no. 351]
Kedua. Tidak wajib, karena perintah
berwudhu telah mansukh atau perintah berwudhu dalam hadits dipahami dengan wudhu secara istilah lughawi yaitu mencuci mulut dan berkumur, bukan
dipahami sebagai wudhu dalam istilah syar’i. Pendapat ini diamalkan oleh
Al-Khulafaa’ Ar-Rasyidin Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan merupakan pendapat
jumhur ulama. [At-Tamhiid, 3/332 dan Al-Mufhim, 1/603]
Ketiga, disunahkan berwudhu darinya.
Ini merupakan salah satu pendapat dalam madzhab Hambali, serta dirajihkan oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim.
Nabi dan para sahabat meninggalkan wudhu ketika
itu hanyalah untuk menjelaskan ketidak-wajiban wudhu dari makanan yang
tersentuh api, bukan bertujuan untuk
menghapus (me-mansukh) disyariatkannya berwudhu darinya.
[3] Nailul
Authar, 1/312
[4] Fatawaa
Al-Lajnah Ad-Da’imah, 5/288
[5] Asy-Syarhul
Mumti’, 1/253
[6] Fatawaa Asy-Syaikh Muhammad bin
Ibrahim, 2/76
[7] Fatawa
Al-Lajnah Ad-Da’imah, 5/276
[8] Asy-Syarhul
Mumti’, 1/250
No comments:
Post a Comment