Wednesday, March 5, 2014

Jalan Keluar dari Perselisihan yang Terjadi Diantara Ahlus-Sunnah (Nasehat Asy-Syaikh Muqbil)

Asy-Syaikh Al-‘Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah berkata:

“Sesungguhnya perselisihan yang terjadi diantara ahlus-sunnah akan hilang dengan izin Allah dengan beberapa point berikut:

[Pertama] Berhukum kepada Al-Kitab dan As-Sunnah

Allah subhanahu wata’ala berfirman:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيل

Jika kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya” [QS. An-Nisaa’:59]

Allah ta’ala berfirman:

وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ

Permasalahan apapun yang kalian berselisih di dalamnya, maka serahkanlah keputusannya pada Allah” [QS. Asy-Syuura:  10]

Allah subhanahu wata’ala berfirman:

وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيل

Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Seandainya mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau lah bukan karena karunia dan rahmat Allah kepada kalian, tentulah kalian akan mengikuti syaitan, kecuali sebagian kecil (dari kalian –pen).” [QS. An-Nisaa’:83]

[Kedua] Bertanya pada ulama ahlus-sunnah

Allah subhanahu wata’ala berfirman:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُون

Maka bertanyalah pada ulama jika kalian tidak mengetahui” [QS. An-Nahl: 43]

Namun sebagian penuntut ilmu merasa puas dengan ilmu yang ia miliki, kemudian ia mendebat seluruh manusia yang menyelisihinya. Ini merupakan sebab diantara sebab-sebab perpecahan dan perselisihan. Al-Imam At-Tirmidzi meriwayatkan dalam Al-Jami’ dari Abu Umamah -radhiyallahu ‘anhu- berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 ما ضل قوم بعد هدى كانوا عليه إلا أوتوا الجدل

“Tidaklah suatu kaum tersesat setelah mendapatkan petunjuk yang dahulu mereka berada di atasnya, kecuali setelah didatangkan perdebatan (diantara mereka -pen)”,

Kemudian beliau membaca ayat,

مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلَّا جَدَلًا بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُون

Mereka tidaklah memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar” [QS. Az-Zukhruf: 58]

[Ketiga] Fokus dalam menuntut ilmu

Jika engkau mengetahui kekurangan dan pendeknya pemahamanmu, kemudian merasa bahwa dirimu tidak ada apa-apanya dibandingkan para ulama mutaqaddimin semisal Al-Hafizh Ibnu Katsir dan para ulama huffazh yang mendahuluinya, mereka (para ulama) telah memiliki kekokohan di segala bidang ilmu. Jika engkau memperhatikan mereka, engkau tidak akan tersibukkan mengkritik orang lain.

[Keempat] Memperhatikan perselisihan yang terjadi diantara para sahabat dan perselisihan diantara para ulama yang kokoh keilmuannya.

Jika engkau melihat perselisihan mereka (para sahabat dan ulama -pen), engkau akan membawa (perkataan –pen) orang yang menyelisihimu pada makna yang baik, engkau tidak akan memaksanya untuk mengikuti pendapatmu. Sementara engkau telah mengetahui, jika engkau mengharuskan orang lain mengikuti pendapatmu, hal itu berarti engkau telah menyeru agar ia meninggalkan pemahaman dan akalnya, lalu mengharuskannya untuk bertaklid kepadamu. Taklid dalam agama adalah haram..

Allah subhanahu wata’ala berfirman:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ

Janganlah engkau menyatakan sesuatu yang engkau tidak memiliki ilmu” [QS. Al-Israa’: 36]

Dan juga dalil-dalil lain yang telah disebutkan oleh Asy-Syaukani dalam kitab Al-Qaul Al-Mufiid fii Adillatil Ijtihaad wat Taqliid.

[Kelima] Memperhatikan keadaan masyarakat Islam beserta kebodohan dan penyimpangan-penyimpangan yang berada di sekelilingnya

Sungguh jika engkau memperhatikan masyarakat Islam, engkau tidak akan tersibukkan dengan saudaramu yang menyelisihimu dalam pemahaman, engkau akan mendahulukan yang terpenting kemudian yang lebih penting. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau berpesan kepadanya:

أول ما تدعوهم إلي شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدارسول الله

“(Hendaklah –pen) awal yang kamu dakwahkan pada mereka adalah persaksian bahwa Tidak ada sesembahan yang benar selain Allah dan bahwasannya Muhammad adalah utusan Allah” [HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu] ....

Sungguh An-Nazhaam dan Abu Al-Hudzail dan selain keduanya dari musuh-musuh As-Sunnah telah mati, yang tersisa hanyalah sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang putih dan murni. Ejekan mereka (musuh-musuh sunnah –pen) tidak akan memberikan mudharat. Para musuh-musuh sunnah akan mati dan tetap kekal sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, karena Allah lah yang akan menjamin penjagaannya. Allah berfirman:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُون

Sesungguhnya Kami lah yang menurunkan Adz-Dikr dan Kami pula lah yang akan menjaganya” [QS. Al-Hijr: 9]

Adz-Dzikr mencakup Al-Kitab dan As-Sunnah karena keduanya merupakan wahyu yang datang dari Allah.

Allah subhanahu wata’ala berfirman:

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى (4)

Tidaklah dia (nabi –pen) berbicara dengan hawa nafsu. (Perkataan) beliau tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya” [QS. An-Najm: 3-4]

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

ألا إني أوتيت القران ومثله معه

“Ketahuilah sesungguhnya aku diberikan Al-Qur’an dan yang semisal bersamanya”

Hal ini bukan berarti kami melarang ahlus-sunnah di zaman kita untuk tidak berselisih dalam menshahihkan maupun mendha’ifkan suatu hadits, bukan berarti pula melarang mereka agar tidak berselisih dalam memahami dalil-dalil, karena permasalahan ini pun telah terjadi perselisihan diantara para ulama salaf rahimahumullah sebagaimana telah diketahui dari perjalanan hidup mereka. Bahkan para malaikat yang mulia ‘alaihimus salam pun berselisih, Allah subhanahu wata’ala berfirman:

قُلْ هُوَ نَبَأٌ عَظِيمٌ (67) أَنْتُمْ عَنْهُ مُعْرِضُونَ (68) مَا كَانَ لِيَ مِنْ عِلْمٍ بِالْمَلَإِ الْأَعْلَى إِذْ يَخْتَصِمُونَ (69)

Katakanlah: "Berita itu adalah berita yang besar”, yang kalian berpaling darinya. Aku tidak memiliki pengetahuan sedikitpun tentang para malaikat itu ketika mereka berbantah-bantahan.” [QS, Shaad: 67-69]

Nabi Sulaiman pernah menyelisihi pendapat ayahnya Nabi Daud ‘alaihimas salam, Allah subhanahu wata’ala berfirman:

وَدَاوُودَ وَسُلَيْمَانَ إِذْ يَحْكُمَانِ فِي الْحَرْثِ إِذْ نَفَشَتْ فِيهِ غَنَمُ الْقَوْمِ وَكُنَّا لِحُكْمِهِمْ شَاهِدِينَ (78) فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَ وَكُلًّا آتَيْنَا حُكْمًا وَعِلْمًا

Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, saat keduanya memberikan keputusan mengenai sebuah ladang, tatkala ladang itu dirusak oleh kambing-kambing milik suatu kaum. Kami menyaksikan keputusan yang diberikan kepada mereka, maka Kami menganugrahkan pemahaman (yang lebih tepat -pen) kepada Sulaiman tentang hukum  ; dan kepada masing-masing mereka Kami berikan hikmah dan ilmu” [QS. Al-Anbiyaa’: 78-79]

Disebutkan dalam Ash-Shahihain dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Dahulu ada dua wanita yang membawa anaknya masing-masing, lalu datanglah seekor serigala membawa lari salah satu dari anak itu. Salah satu dari wanita itu berkata: “serigala itu hanyalah membawa anakmu”. Wanita yang satu lagi menjawab: “justru anakmu lah yang dibawa serigala”. Kedua wanita itu meminta keputusan hukum pada Daud, lalu Daud memberikan keputusan untuk memberikan anak itu kepada wanita yang lebih tua. 

Kedua wanita itu lalu keluar menuju Sulaiman bin Daud, lalu keduanya memberitahukan kepadanya. Sulaiman berkata: “Ambilkan aku pisau, aku akan membelah anak ini menjadi dua bagian”. Wanita yang lebih muda berkata: “janganlah kamu melakukan hal itu, semoga Allah memberikan rahmat padamu, sesungguhnya anak ini adalah miliknya”. Maka Sulaiman memberikan keputusan untuk memberikan anak itu pada wanita yang lebih muda”.

Abu Hurairah berkata: “aku belum pernah mendengar kata “sikkiin” kecuali pada hari itu. Kami telah terbiasa menggunakan kata “al-midyah”. (penggunaan kata pisau dalam istilah arab –pen).

Ini adalah nasehatku untuk saudara-saudaraku fillah ahlus-sunnah. Aku memohon pada Allah agar memberikan pada mereka pertolongan dan taufiq. Shalawat dan salam senantiasa tercurah pada nabi kita Muhammad, pengikutnya dan para sahabatnya.”

Sumber: Tarjamah Abu Abdirrahman Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i hal. 201-204, cetakan pertama Daarul Atsaar, Shan’a.


Diterjemahkan oleh Abul-Harits di Madinah, 4 Jumadil Ulaa 1435 

3 comments:

  1. semoga allah menyatukan hati-hati kaum muslimin..

    ReplyDelete
  2. Dari Arsyad makassar

    Saya mau tanya antum,
    Apa sebabnya antum terjemahkan tulis Asy-Syekh muqbil diatas
    Tolong di jawab akh ?

    ReplyDelete
  3. Tulisan Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah di atas adalah sebuah nasehat untuk seluruh ahlus-sunnah tanpa kecuali, termasuk saya dan antum. Tidak ada sebab mendasar yang menyebabkan saya menerjemahkannya. Kebetulan kemarin saya membaca biografi Asy-Syaikh Muqbil di kitab Tarjamah Abu Abdirrahman Muqbil bin Hadi Al-Wadi'i dan di situ ada nasehat bagus, jadi saya terjemahkan. Adakah yang salah dengan nasehat Asy-Syaikh Muqbil? Kalo ada yang keliru mohon diluruskan akhi...

    Asy-Syaikh Muqbil dalam nasehat di atas hendak memperingatkan ahlus-sunnah ketika berselisih dalam permasalahan ijtihadiyyah, agar tidak memaksakan pendapat pada saudaranya yang lain, selama masing-masing memiliki sisi pandang dan pemahaman yang tepat terhadap dalil. Coba antum lihat point nasehat yang kelima, di situ Asy-Syaikh Muqbil tidak menyebutkan ayat dan hadits tentang tercelanya perselisihan. Justru beliau membawakan ayat dan hadits tentang terjadinya perselisihan pemahaman antara Nabi Sulaiman dan Nabi Daud, bahkan para malaikat pun berselisih dalam permasalahan ini. Asy-Syaikh Muqbil berkata: "Bahkan para malaikat yang mulia ‘alaihimus salam pun berselisih, Allah subhanahu wata’ala berfirman:

    قُلْ هُوَ نَبَأٌ عَظِيمٌ (67) أَنْتُمْ عَنْهُ مُعْرِضُونَ (68) مَا كَانَ لِيَ مِنْ عِلْمٍ بِالْمَلَإِ الْأَعْلَى إِذْ يَخْتَصِمُونَ (69)

    “Katakanlah: "Berita itu adalah berita yang besar”, yang kalian berpaling darinya. Aku tidak memiliki pengetahuan sedikitpun tentang para malaikat itu ketika mereka berbantah-bantahan.” [QS, Shaad: 67-69]

    Nabi Sulaiman pernah menyelisihi pendapat ayahnya Nabi Daud ‘alaihimas salam, Allah subhanahu wata’ala berfirman:

    وَدَاوُودَ وَسُلَيْمَانَ إِذْ يَحْكُمَانِ فِي الْحَرْثِ إِذْ نَفَشَتْ فِيهِ غَنَمُ الْقَوْمِ وَكُنَّا لِحُكْمِهِمْ شَاهِدِينَ (78) فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَ وَكُلًّا آتَيْنَا حُكْمًا وَعِلْمًا

    “Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, saat keduanya memberikan keputusan mengenai sebuah ladang, tatkala ladang itu dirusak oleh kambing-kambing milik suatu kaum. Kami menyaksikan keputusan yang diberikan kepada mereka, maka Kami menganugrahkan pemahaman (yang lebih tepat -pen) kepada Sulaiman tentang hukum ; dan kepada masing-masing mereka Kami berikan hikmah dan ilmu” [QS. Al-Anbiyaa’: 78-79]"

    Kenapa demikian? Karena Asy-Syaikh Muqbil melihat bahwa perselisihan yang terjadi diantara ahlus-sunnah mayoritasnya disebabkan karena ikhtilaf afhaam (perbedaan pemahaman terhadap dalil atau penghukuman permasalahan kontemporer) yang notabene masuk dalam ranah ijtihadiyyah. Allahua'lam, perselisihan dalam hal ini bukanlah suatu yang tercela, hingga Asy-Syaikh Muqbil menasehatkan pada kita agar berlapang dada..

    Barakallahufiikum

    ReplyDelete