Asy-Syaikh Al-‘Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah
berkata:
“Sesungguhnya perselisihan yang terjadi diantara
ahlus-sunnah akan hilang dengan izin Allah dengan beberapa point berikut:
[Pertama] Berhukum kepada
Al-Kitab dan As-Sunnah
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ
فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيل
“Jika kalian berselisih tentang sesuatu, maka
kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kalian benar-benar beriman kepada
Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya”
[QS. An-Nisaa’:59]
Allah ta’ala berfirman:
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ
شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ
“Permasalahan apapun yang kalian berselisih di
dalamnya, maka serahkanlah keputusannya pada Allah” [QS. Asy-Syuura: 10]
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ
الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ
وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ
مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ
الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيل
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita
tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Seandainya
mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah
orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari
mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau lah bukan karena karunia dan rahmat Allah
kepada kalian, tentulah kalian akan mengikuti syaitan, kecuali sebagian kecil
(dari kalian –pen).” [QS. An-Nisaa’:83]
[Kedua] Bertanya pada ulama ahlus-sunnah
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ
كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُون
“Maka bertanyalah pada ulama jika kalian tidak
mengetahui” [QS. An-Nahl: 43]
Namun sebagian penuntut ilmu merasa puas dengan
ilmu yang ia miliki, kemudian ia mendebat seluruh manusia yang menyelisihinya.
Ini merupakan sebab diantara sebab-sebab perpecahan dan perselisihan. Al-Imam
At-Tirmidzi meriwayatkan dalam Al-Jami’ dari Abu Umamah -radhiyallahu
‘anhu- berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ما ضل قوم بعد هدى كانوا
عليه إلا أوتوا الجدل
“Tidaklah suatu kaum tersesat setelah mendapatkan
petunjuk yang dahulu mereka berada di atasnya, kecuali setelah didatangkan
perdebatan (diantara mereka -pen)”,
Kemudian beliau membaca ayat,
مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلَّا جَدَلًا
بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُون
“Mereka tidaklah memberikan
perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya
mereka adalah kaum yang suka bertengkar” [QS. Az-Zukhruf: 58]
[Ketiga] Fokus
dalam menuntut ilmu
Jika engkau mengetahui
kekurangan dan pendeknya pemahamanmu, kemudian merasa bahwa dirimu tidak ada
apa-apanya dibandingkan para ulama mutaqaddimin semisal Al-Hafizh Ibnu
Katsir dan para ulama huffazh yang mendahuluinya, mereka (para ulama)
telah memiliki kekokohan di segala bidang ilmu. Jika engkau memperhatikan
mereka, engkau tidak akan tersibukkan mengkritik orang lain.
[Keempat]
Memperhatikan perselisihan yang terjadi diantara para sahabat dan perselisihan
diantara para ulama yang kokoh keilmuannya.
Jika engkau melihat
perselisihan mereka (para sahabat dan ulama -pen), engkau akan membawa
(perkataan –pen) orang yang menyelisihimu pada makna yang baik, engkau tidak
akan memaksanya untuk mengikuti pendapatmu. Sementara engkau telah mengetahui,
jika engkau mengharuskan orang lain mengikuti pendapatmu, hal itu berarti
engkau telah menyeru agar ia meninggalkan pemahaman dan akalnya, lalu
mengharuskannya untuk bertaklid kepadamu. Taklid dalam agama adalah haram..
Allah subhanahu wata’ala
berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ
عِلْمٌ
“Janganlah engkau menyatakan sesuatu yang
engkau tidak memiliki ilmu” [QS. Al-Israa’: 36]
Dan juga dalil-dalil lain yang telah disebutkan
oleh Asy-Syaukani dalam kitab Al-Qaul Al-Mufiid fii Adillatil Ijtihaad wat Taqliid.
[Kelima] Memperhatikan keadaan
masyarakat Islam beserta kebodohan dan penyimpangan-penyimpangan yang berada di
sekelilingnya
Sungguh jika engkau memperhatikan masyarakat
Islam, engkau tidak akan tersibukkan dengan saudaramu yang menyelisihimu dalam
pemahaman, engkau akan mendahulukan yang terpenting kemudian yang lebih
penting. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala mengutus Mu’adz ke
Yaman, beliau berpesan kepadanya:
أول ما تدعوهم إلي شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدارسول الله
“(Hendaklah –pen) awal yang kamu dakwahkan pada
mereka adalah persaksian bahwa Tidak ada sesembahan yang benar selain Allah dan
bahwasannya Muhammad adalah utusan Allah” [HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari Ibnu
Abbas radhiyallahu ‘anhu] ....
Sungguh An-Nazhaam dan Abu Al-Hudzail dan selain
keduanya dari musuh-musuh As-Sunnah telah mati, yang tersisa hanyalah sunah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang putih dan murni. Ejekan
mereka (musuh-musuh sunnah –pen) tidak akan memberikan mudharat. Para
musuh-musuh sunnah akan mati dan tetap kekal sunah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, karena Allah lah yang akan menjamin penjagaannya. Allah
berfirman:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ
وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُون
“Sesungguhnya Kami lah yang menurunkan
Adz-Dikr dan Kami pula lah yang akan menjaganya” [QS. Al-Hijr: 9]
Adz-Dzikr mencakup Al-Kitab dan
As-Sunnah karena keduanya merupakan wahyu yang datang dari Allah.
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3)
إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى (4)
“Tidaklah dia (nabi –pen) berbicara dengan
hawa nafsu. (Perkataan) beliau tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan
kepadanya” [QS. An-Najm: 3-4]
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
ألا إني أوتيت القران ومثله معه
“Ketahuilah sesungguhnya aku diberikan Al-Qur’an
dan yang semisal bersamanya”
Hal ini bukan berarti kami melarang ahlus-sunnah
di zaman kita untuk tidak berselisih dalam menshahihkan maupun mendha’ifkan
suatu hadits, bukan berarti pula melarang mereka agar tidak berselisih dalam
memahami dalil-dalil, karena permasalahan ini pun telah terjadi perselisihan
diantara para ulama salaf rahimahumullah sebagaimana telah diketahui dari
perjalanan hidup mereka. Bahkan para malaikat yang mulia ‘alaihimus salam
pun berselisih, Allah subhanahu wata’ala berfirman:
قُلْ هُوَ نَبَأٌ عَظِيمٌ (67)
أَنْتُمْ عَنْهُ مُعْرِضُونَ (68) مَا كَانَ لِيَ مِنْ عِلْمٍ بِالْمَلَإِ
الْأَعْلَى إِذْ يَخْتَصِمُونَ (69)
“Katakanlah: "Berita itu adalah berita yang
besar”, yang kalian berpaling darinya. Aku tidak memiliki pengetahuan
sedikitpun tentang para malaikat itu ketika mereka berbantah-bantahan.” [QS, Shaad: 67-69]
Nabi Sulaiman pernah menyelisihi pendapat ayahnya
Nabi Daud ‘alaihimas salam, Allah subhanahu wata’ala berfirman:
وَدَاوُودَ وَسُلَيْمَانَ إِذْ
يَحْكُمَانِ فِي الْحَرْثِ إِذْ نَفَشَتْ فِيهِ غَنَمُ الْقَوْمِ وَكُنَّا
لِحُكْمِهِمْ شَاهِدِينَ (78) فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَ وَكُلًّا آتَيْنَا حُكْمًا
وَعِلْمًا
“Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, saat
keduanya memberikan keputusan mengenai sebuah ladang, tatkala ladang itu
dirusak oleh kambing-kambing milik suatu kaum. Kami menyaksikan keputusan yang
diberikan kepada mereka, maka Kami menganugrahkan pemahaman (yang lebih tepat
-pen) kepada Sulaiman tentang hukum ; dan kepada masing-masing mereka
Kami berikan hikmah dan ilmu” [QS. Al-Anbiyaa’: 78-79]
Disebutkan dalam Ash-Shahihain dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
“Dahulu ada dua wanita yang membawa anaknya
masing-masing, lalu datanglah seekor serigala membawa lari salah satu dari anak
itu. Salah satu dari wanita itu berkata: “serigala itu hanyalah membawa
anakmu”. Wanita yang satu lagi menjawab: “justru anakmu lah yang dibawa
serigala”. Kedua wanita itu meminta keputusan hukum pada Daud, lalu
Daud memberikan keputusan untuk memberikan anak itu kepada wanita yang lebih
tua.
Kedua wanita itu lalu keluar menuju Sulaiman bin Daud, lalu keduanya memberitahukan kepadanya. Sulaiman berkata: “Ambilkan aku pisau, aku akan membelah anak ini menjadi dua bagian”. Wanita yang lebih muda berkata: “janganlah kamu melakukan hal itu, semoga Allah memberikan rahmat padamu, sesungguhnya anak ini adalah miliknya”. Maka Sulaiman memberikan keputusan untuk memberikan anak itu pada wanita yang lebih muda”.
Kedua wanita itu lalu keluar menuju Sulaiman bin Daud, lalu keduanya memberitahukan kepadanya. Sulaiman berkata: “Ambilkan aku pisau, aku akan membelah anak ini menjadi dua bagian”. Wanita yang lebih muda berkata: “janganlah kamu melakukan hal itu, semoga Allah memberikan rahmat padamu, sesungguhnya anak ini adalah miliknya”. Maka Sulaiman memberikan keputusan untuk memberikan anak itu pada wanita yang lebih muda”.
Abu Hurairah berkata: “aku belum pernah mendengar
kata “sikkiin” kecuali pada hari itu. Kami telah terbiasa menggunakan
kata “al-midyah”. (penggunaan kata pisau dalam istilah arab –pen).
Ini adalah nasehatku untuk saudara-saudaraku
fillah ahlus-sunnah. Aku memohon pada Allah agar memberikan pada mereka
pertolongan dan taufiq. Shalawat dan salam senantiasa tercurah pada nabi kita
Muhammad, pengikutnya dan para sahabatnya.”
Sumber: Tarjamah Abu Abdirrahman Muqbil bin
Hadi Al-Wadi’i hal. 201-204, cetakan pertama Daarul Atsaar, Shan’a.
Diterjemahkan oleh Abul-Harits di Madinah, 4
Jumadil Ulaa 1435
semoga allah menyatukan hati-hati kaum muslimin..
ReplyDeleteDari Arsyad makassar
ReplyDeleteSaya mau tanya antum,
Apa sebabnya antum terjemahkan tulis Asy-Syekh muqbil diatas
Tolong di jawab akh ?
Tulisan Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah di atas adalah sebuah nasehat untuk seluruh ahlus-sunnah tanpa kecuali, termasuk saya dan antum. Tidak ada sebab mendasar yang menyebabkan saya menerjemahkannya. Kebetulan kemarin saya membaca biografi Asy-Syaikh Muqbil di kitab Tarjamah Abu Abdirrahman Muqbil bin Hadi Al-Wadi'i dan di situ ada nasehat bagus, jadi saya terjemahkan. Adakah yang salah dengan nasehat Asy-Syaikh Muqbil? Kalo ada yang keliru mohon diluruskan akhi...
ReplyDeleteAsy-Syaikh Muqbil dalam nasehat di atas hendak memperingatkan ahlus-sunnah ketika berselisih dalam permasalahan ijtihadiyyah, agar tidak memaksakan pendapat pada saudaranya yang lain, selama masing-masing memiliki sisi pandang dan pemahaman yang tepat terhadap dalil. Coba antum lihat point nasehat yang kelima, di situ Asy-Syaikh Muqbil tidak menyebutkan ayat dan hadits tentang tercelanya perselisihan. Justru beliau membawakan ayat dan hadits tentang terjadinya perselisihan pemahaman antara Nabi Sulaiman dan Nabi Daud, bahkan para malaikat pun berselisih dalam permasalahan ini. Asy-Syaikh Muqbil berkata: "Bahkan para malaikat yang mulia ‘alaihimus salam pun berselisih, Allah subhanahu wata’ala berfirman:
قُلْ هُوَ نَبَأٌ عَظِيمٌ (67) أَنْتُمْ عَنْهُ مُعْرِضُونَ (68) مَا كَانَ لِيَ مِنْ عِلْمٍ بِالْمَلَإِ الْأَعْلَى إِذْ يَخْتَصِمُونَ (69)
“Katakanlah: "Berita itu adalah berita yang besar”, yang kalian berpaling darinya. Aku tidak memiliki pengetahuan sedikitpun tentang para malaikat itu ketika mereka berbantah-bantahan.” [QS, Shaad: 67-69]
Nabi Sulaiman pernah menyelisihi pendapat ayahnya Nabi Daud ‘alaihimas salam, Allah subhanahu wata’ala berfirman:
وَدَاوُودَ وَسُلَيْمَانَ إِذْ يَحْكُمَانِ فِي الْحَرْثِ إِذْ نَفَشَتْ فِيهِ غَنَمُ الْقَوْمِ وَكُنَّا لِحُكْمِهِمْ شَاهِدِينَ (78) فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَ وَكُلًّا آتَيْنَا حُكْمًا وَعِلْمًا
“Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, saat keduanya memberikan keputusan mengenai sebuah ladang, tatkala ladang itu dirusak oleh kambing-kambing milik suatu kaum. Kami menyaksikan keputusan yang diberikan kepada mereka, maka Kami menganugrahkan pemahaman (yang lebih tepat -pen) kepada Sulaiman tentang hukum ; dan kepada masing-masing mereka Kami berikan hikmah dan ilmu” [QS. Al-Anbiyaa’: 78-79]"
Kenapa demikian? Karena Asy-Syaikh Muqbil melihat bahwa perselisihan yang terjadi diantara ahlus-sunnah mayoritasnya disebabkan karena ikhtilaf afhaam (perbedaan pemahaman terhadap dalil atau penghukuman permasalahan kontemporer) yang notabene masuk dalam ranah ijtihadiyyah. Allahua'lam, perselisihan dalam hal ini bukanlah suatu yang tercela, hingga Asy-Syaikh Muqbil menasehatkan pada kita agar berlapang dada..
Barakallahufiikum