Wednesday, January 15, 2014

Haruskah Menjawab Salam Dengan Suara Keras? [25 Adab Memberi Salam LENGKAP]

Tanya:

Apakah kalau kita menjawab salam, suara kita harus terdengar oleh orang yang mengucapkan salam kepada kita ataukah boleh suaranya lirih hanya kita yang mendengar?

Jawab:

Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian masuk ke dalam selain rumah kalian, hingga kalian meminta izin dan mengucapkan salam kepada penghuninya“ [An-Nur: 27]

Allah berfirman:

فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً

Dan apabila kalian masuk ke dalam rumah, maka ucapkanlah salam kepada diri kalian, salam dari Allah yang penuh berkah dan baik“ [An-Nur: 61]


Allah berfirman:

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا

Dan apabila kalian disalami, maka jawablah dengan ucapan slaam yang lebih baik atau balasnya dengan salam yang semisalnya. Sesungguhnya Allah akan menghitung sgala sesuatu “ [An-Nisaa’: 86]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :”Allah telah menciptakan Adam dengan tinggi 60 hasta, kemudian berfirman:
”Pergilah kamu, berikan salam kepada para malaikat dan dengarkan jawaban mereka atas salam engkau. Salammu dan salam seluruh anak keturunanmu. Maka Adam berkata:”Asalamu’alaikum!” Para malaikat menjawab :”Assalamu’alaika wa rahmatullah!”. Para Malaikat menambahkan kalimat rahmatullah… Al-Hadits.[1]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :”Kalian tidak akan masuk kedalam Surga hingga kalian beriman, dan tidaklah kalian dikatakan beriman hingga kalian saling mencintai. Ketahuilah, aku akan memberitahukan kepada kalilan sesuatu yang apabila kalian melakukannya niscaya kalian akan saling mencintai. Yaitu tebarkanlah salam diantara kalian.”[2]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :”Hak muslim atas muslim lainnya ada enam.” Ditanyakan kepada beliau :”Apa itu ya Rasulullah?” Beliau menjawab :”Apabila kalian bertemu dengan muslim yang lain, maka ucapkan salam kepadanya …” Al-Hadits. [3]

Di antara adab-adab mengucapkan salam :

1. Diantara perkara yang disunnahkan adalah membiasakan diri untuk saling memberi dan menyampaikan salam serta kewajiban untuk menjawabnya.

Dalil yang menunjukkan hal ini sangat banyak, sebagaiman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diatas. Demikian pula berdasarkan perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiallahu ‘anhuma, dan dalil itu yang telah populer sudah mencukupi dari nash-nash lainnya. Adapun menjawab salam, maka hukumnya adalah wajib. Seorang muslim diharuskan untuk menjawab salam jika tidak maka dia akan berdosa. Dalil-dalil yang menunjukkan tentang wajibnya menjawab salam sangat banyak. Diantaranya firman Allah :

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا

Dan apabila kalian disalami, maka jawablah dengan ucapan slaam yang lebih baik atau balasnya dengan salam yang semisalnya. Sesungguhnya Allah akan menghitung sgala sesuatu“ [An-Nisaa’: 26]

Ibnu Hazm dan Ibnu Abdil Barr serta Asy-Syaikh Taqiyudin telah mengutip ijma’ wajibnya menjawab salam.[4]

Pertanyaan: Apabila seseorang memberikan kepada jama’ah, apakah setiap orang dari jama’ah tersebut diwajibkan untuk menjawab salamnya atau cukup salah seorang dari mereka saja ?

Jawab: Apabila seseorang mengucapkan salam kepada jama’ah, maka apabila setiap orang dari jama’ah itu menjawab, itulah yang lebih utama. Akan tetapi jika satu orang saja dari mereka yang menjawab salam sedangkan yang lainnya diam, maka yang lainnya sudah tidak dituntut lagi.[5]

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, beliau berkata :”Salam seseorang dari jama’ah sudah mewakili jama’ah jikalau mereka melewati lainnya dan salam salah seorang diantara semua yang duduk sudah mewakili  ”[6]

2. Sifat salam.

a. Paling utama : Assalamua’alaikum wa rahmatullahi wabarakatuh.
b. Kemudian berikutnya : Assalamua’alaikum wa rahmatullah.
c. Dan yang selanjutnya : Assalamua’alaykum.

Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwasannya seseorang melewati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan beliau sedang duduk dalam majelis, maka laki-laki itu berkata :”Assalamu ’alaikum!” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :”Dia telah mendapatkan sepuluh kebaikan.” Kemudian seorang laki-laki lain berlalu sambil berkata :”Assalamu ‘alaikum warahmatullah” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :”Dia telah mendapatkan dua puluh kebaikan.” Kemudian berlalu laki-laki yang lain dan berkata: ”Assalamua ’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :Dia telah mendapatkan tiga puluh kebaikan”[7]

Adapun sifat dari menjawab salam sama seperti ucapan orang yang memberikan salam atau dengan yang lebih baik berdasarkan firman Allah:

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا

Dan apabila kalian disalami, maka jawablah dengan ucapan salam yang lebih baik atau balasnya dengan salam yang semisalnya. Sesungguhnya Allah akan menghitung sgala sesuatu“ [An-Nisaa’: 26]

Dan hendaklah menjawab salam dengan bentuk yang plural atau yang lebih sempurna walaupun hanya kepada satu orang saja, dengan ucapan “wa’alaikum salam wa rahmatullahi wabarakatuh “.

Pertanyaan: Apabila seorang yang memberikan salam telah mengucapkan salam dengan sempurna yakni sampai pada kalimat wabarakatuh, apakah disyariatkan untuk memberikan tambahan setelahnya ketika menjawab salam untuk memenuhi zhahir ayat “Biahsani minha” – yang lebih baik dari salam tersebut - seperti dengan menambahkan kalimat “wamagfiratuhu wa ihsaanuhu “ serta lain sebaginya?

Jawab: Setelah kalimat wabarakatuh tidak ditmabahkan sesuatupun ketika menjawab salam walaupun orang yang memberikan salam mengucapkannya sampai kalimat wabarakatuh. Ibnu Abdil Barr berkata, “Ibnu Abbas dan Ibnu Umar berkata, “Hentikan ucapan salam itu pada kalimat al-barakah, sebagaimana penjelasan Allah ta’ala tentang hamba-Nya yang shaleh. Allah berfirman:

رَحْمَتُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ

Rahmat Allah dan barakah-Nya kepada kalian wahai penghuni rumah“ [Hud: 73]

Keduanya tidak menyukai seseorang yang menambahkan ucapan salam setelah kalimat wabarakatuh.[8]

3. Makruh hukumnya mengucapkan salam hanya dengan kalimat ‘Alaikas salam

Beberapa hadits-hadist shahih yang menjelaskan tentang perkara ini. Diantaranya hadits yang telah diriwayatkan oleh Jabir bin Salim Al-Hujaimiy radhiallahu ‘anhu. Bahwasannya ia berkata: “Saya mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengucapkan ‘Alaika as-salam”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kamu mengatakan ‘Alaika As-Salam, akan tetapi katakanlah As-salaamu ‘Alaika”.[9]

Abu Daud meriwayatkan dengan lafazh,  “Aku mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, ‘Alaika As-Salam Wahai Rasulullah: “ Beliau bersabda: “Janganlah kamu mengatakan ‘Alaika As-Salam, karena sesungguhnya ‘Alaika As-Salam itu untuk orang yang telah mati”.[10]

Hadist-hadits diatas menunjukan kepada makruhnya mengucapkan salam dengan kalimat ‘Alaika As-Salam”. Dan sebagian ulama merinci pembagian dalam penjelasan ini dan kami telah merasa cukup dengan keterangan hadits yang sudah terang dan jelas.

4. Disunahkan mengulangi salam sampai tiga kali apabila salam itu disampaikan kepada jama’ah yang banyak, atau ketika ragu apakah mereka mendengar salamnya.

Diriwayatkan dari Anas radhiallahu ‘anhu bahwasanya Apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara, maka beliau mengulangnya sampai tiga kali, dan jika beliau mendatangi sekelompok kaum, maka beliau mengucapkan salam sampai tiga kali”.[11] An-Nawawi berkata: - (setelah hadits ini) - “Perkara ini berlaku ketika jama’ahnya sangat banyak”.[12]

Ibnu Hajar menambahkan: “Yaitu apabila disangka bahwa salam itu belum didengar, maka boleh untuk mengulangi salam dua atau tiga kali dan tidak diperbolehkan lebih dari tiga kali”[13].

5. Disunnahkan untuk mengeraskan suara ketika memberi salam, begitu pula sebaliknya.

Sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan petunjuk tentang mengucapkan salam dengan suara yang keras, begitu juga bagi orang yang menjawabnya. Bagi yang mengucapkan salam dengan suara pelan tidak akan mendapatkan pahala, kecuali pada keadaan yang dikcualikan sebagaimana akan disebutkan nantinya. Al-Bukhari telah meriwayatkan dalam kitab Al-Adab karya beliau, atsar Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu. Dari jalan Tsabit bin Ubaid, dia berkata: “Saya mendataagi sebuah majlis dan didalamnya terdapat Ibnu Umar dan ia berkata, “Jika kamu mengucapkan salam, maka perdengarkanlah, karena sesungguhnya salam engkau akan mendatangkan keberkahan dan kebaikan”.[14]

Ibnul Qayyim menjelaskan:  “Bahwa diantara petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau senantiasa memperdengarkan jawaban salam kepada yang mengucapkan slaam kepada beliau”.[15] 

Ibnu Hajar berkata: “Perintah untuk menyebarkan salam merupakan argumen bahwa salam dengan suara lirih tidaklah cukup, melainkan disyaratkan untuk dikeraskan, sedikitnya mesti memperdengarkan awal salam dan jawabannya. Tidak cukup hanya sebatas isyarat dengan tangan atau selainnya.

An-Nawawi berkata: “ Minimal ucapan salam hingga dikatakan telah menunaikan Sunnah pengucapan salam adalah dengan mengeraskan suara, sehingga yang diberi salam mendengarkan ucapan salam tersebut. Apabila dia tidak mendengar salam tadi, maka tidaklah dikatakan telah mengucapkan salam, dan tidak diwajibkan menjawab salam baginya. Dan sedikitnya jawaban salam yang wajib adalah dengan mengeraskan suara hingga terdengar oleh orang yang mengucapkan salam. Apabila dia tidak mendengarnya, maka kewajiban menjawab salam belum terpenuhi.” [16]

6. Diantara sunnah adalah menyamaratakan salam, maksudnya adalah mengucapkan salam kepada orang yang kita kenal maupun kepada orang yang tidak kita kenal.

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan didalam Ash-Shahihain dan selainnya, dari Abdullah bin Amr radhiallahu ‘anhu, bahwasannya seseorang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Apakah amalan yang paling baik didalam Islam?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Memberi makan, mengucapkan salam kepada orang yang dikenal maupun yang tidak dikenal”.[17] 

Hadits ini berisi anjuran untuk menyampaikan dan menyebarkan salam diantara manusia, karena padanya terdapat kemashlahatan yang sangat besar diantaranya adanya untuk menyatukan sesama kaum muslimin dan menentramkan hati bagi yang lainnya. Sebaliknya jika memberikan salam hanya kepada orang orang yang tertentu saja, artinya hanya kepada orang –orang yang dikenal. Maka perbuatan seperti ini bukan perbuatan yang terpuji bahkan memberikan salam hanya kepada orang-orang tertentu saja merupakan tanda-tanda hari kiamat.

Dalam musnad Imam Ahmad terdapat hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwasannya beliau berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “ Sesungguhnya diantara tanda-tanda hari kiamat adalah jika ucapan salam disampaikan hanya terhadap orang yang dikenalnya saja”. Dan dalam riwayat yang lain disebutkan: “Seseorang mengucapkan salam kepada seseorang lainnya, dan tidaklah ia mengucapkan salam itu kecuali hanya kepada orang yang dikenalnya saja”.[18]

7. Disunahkan bagi yang datang mendahului mengucapkan salam.

Ini adalah perkara yang sangat populer dan tersebar ditengah-tengah manusia, dan sekian banyak nash syara’ mendukung amalan terseut. Dimana sunnahnya mengucapkan salam adalah bagi seseorang yang datang/mengunjungi mendahului dalam memberikan salam tanpa saling menunggu. Dan telah lalu pembahasan tentang tiga orang yang datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata yang pertama: “Assalamu ’alaikum warahmatullahi wa barakatuh, dan yang kedua berkata: “Assalaamu ’alaikum warahmatullah, kemudian yang ketiga mengatakan: “Assalaamu ’alaikum”.

An-Nawawi berkata: “Adapun apabila mendatangi beberapa orang yang sedang duduk-duduk atau yang duduk sendiri, maka hendaklah yang mendatangi memulai salam kepada terlebih dahulu kepada setiap orang yang didatanginya baik seorang anak yang masih  kecil atau orang yang sudah dewasa, sedikit maupun banyak[19].  

8. Disunnahkan orang yang berkendara memberikan salam kepada orang yang berjalan kaki, orang yang berjalan kepada yang duduk, yang sedikit kepada yang banyak dan yang kecil kepada yang besar.

Berkaitan dengan masalah itu, ada beberapa hadits yang shahih sebagai dalil diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersdabda: “Hendaklah orang yang berkendara memberi salam kepada yang berjalan dan yang berjalan kepada yang duduk dan yang kecil kepada yang besar”.[20] Pada riwayat Al-Bukhari:  “Hendaklah memberi salam yang kecil kepada yang besar dan yang berjalan kepada yang duduk dan yang sedikit kepada yang banyak”.[21]

Sebagian ulama telah menjelaskan tentang hikmah mereka didahulukan untuk mengucapkan, ulama tersebut mengatakan, “Salamnya anak kecil kepada orang dewasa merupakan hak orang dewasa untuk dihormati dan dimuliakan dan ini merupakan adab yang sepantasnya untuk dijalankan. Demikian pula salamnya orang yang berada diatas kendaraan kepada orang yang berjalan akan mengantarkan sikap tawadhu’ pada diri seseorang yang berada diatas kendaraan dan menjauhkannya dari kesombongan. Dan salamnya orang yang berjalan kepada orang yang sedang duduk hukumnya disamakan  dengan tuan rumah. Serta salamnya orang yang sedikit kepada orang yang banyak adalah merupakan hak bagi mereka karena mereka memiliki hak yang besar”[22]

Pertanyaan: Apakah seseorang yang menyalahi hukum tersebut mendapatkan akibat dari perbuatannya, semisal jika yang besar mengucapkan salam kepada anak kecil, yang duduk kepada yang berjalan, yang berjalan kepada yang berkendara, dan yang banyak kepada yang sedikit?

Jawab: Tidak ada dosa bagi orang yang menyalahi tuntunan Sunnah tersebut akan tetapi dia telah meninggalkan yang utama. Al–Maaziri berkata: “Tidak mengharuskan seseorang yang meninggalkan perkara yang Sunnah terjerumus pada suatu yang makruh, melainkan hanya sebatas meninggalkan perkara yang lebih utama. Maka apabila seseorang yang dianjurkan untuk memulai salam, namun yang lainnya mendahului, maka yang ornag yang dianjurkan memulai slaam tersebut telah meninggalkan amalan yang Sunnah sementara orang lain yang melakukannya telah melakukan amalan yang sunnah. Kecuali apabila ia mendahuluinya  maka diapun meninggalkan perkara yang disunahkan juga”[23].

Pertanyaan: Apabila bertemu orang yang sama-sama berjalan atau yang sama-sama berkendara, siapakah yang lebih dahulu untuk memberikan salam?

Jawab: Jika demikian keadaanya, maka hendaklah yang lebih muda memberikan salam kepada yang lebih dewasa berdasarkan hadits yang telah lalu. Seandainya umur mereka sama, dan juga dari sisi manapun mereka sama, maka yang lebih baik diantara mereka berdua adalah yang paling pertama memulai salam, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Yang lebih baik dari keduanya adalah yang pertama memberikan salam”.[24]

Diriwayatkan dari hadist dua orang yang saling memboikot satu dengan lainnya, dan berdasarkan hadits Jabir, beliau berkata: “Jika bergabung (bertemu) dua orang yang sedang berjalan, maka yang pertama memulai salam adalah yang paling uatama”.[25]

Pertanyaan: Apabila bertemu dua orang yang sedang berjalan kemudian ada yang menghalanginya seperti pohon atau pagar dan yang lainnya, apakah disyariatkan bagi mereka untuk mengucapkan salam jika bertemu lagi?

Jawab: Ya, disyariatkan bagi mereka untuk saling mengucapkan salam walaupun mereka bertemu berulang kali, setelah tidak ada yang menghalangi. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhia;;ahu ‘anhu, bahwasannya dia berkata: “Apabila seorang dari kalian bertemu saudaranya maka ucapkanlah salam kepadanya, apabila ada penghalang diantara mereka seperti, pohon atau pagar atau batu, kemudian mereka bertemu lagi maka hendaklah mereka saling memberikan salam.”[26]

9. Mengucapkan salam kepada wanita yang bukan mahram atau wanita asing.

Sebagian ulama melarang seorang laki-laki memberikan salam kepada wanita asing dan sebagian membolehkannya jika dipercaya aman dari fitnah. Sebagian ulama memberikan penjelasan lebih rinci berkaitan dengan perkara ini: Apabila wanita asing tersebut adalah seorang wanita muda dan cantik maka ini tidak diperbolehkan, akan tetapi jika kepada wanita yang sudah tua maka itu diperbolehkan.
Inilah pendapat yang dikemukakan oleh Imam Ahmad. Shaleh berkata, “Saya bertanya kepada ayahku: “Bolehkan memberikan salam kepada perempuan?”, maka beliau menjawab: “Adapun jika ia seorang wanita yang tua, maka itu dibolehkan dan jika ia seorang pemudi maka janganlah kamu berbicara dengannya”.[27]

Ibnul Qayyim memberi klarifikasi seputar permasalahan ini, yaitu memberi salam kepada wanita yang telah tua, wanita-wanita mahram dan selain mereka dan inilah pendapat yang terpilih. Sementara alasan larangan sudah jelas, yaitu untuk menutupi jalan-jalan yang akan mengarahkan kepada perbuatan maksiat dan dikhawatirkan terjadinya fitnah”.[28] 

Sedangkan yang diriwayatkan dari sahabat semuanya terindikasi aman dari fitnah. Misalnya pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hazm dari bapaknya dari Sahl dia berkata, “ … adalah seorang wanita yang mengirimkan  barang dagangannya – korma di Madinah -, maka dia  membawa umbi-umbian dan menaruhnya disebuah bejana dan mengumpulkan biji-bijian dari gandum. Apabila kami telah selesai mengerjakan shalat jum’at maka kami berpaling pulang dan mengucapkan salam kepadanya. Dan wanita tersebut menyodorkan kepada kami – diantara barang dagangannya - dan kamipun senang dengan hal itu lalu kami tidaklah tidur siang dan makan siang kecuali shalat Jum’at”.[29]

10. Disunnahkan memberi salam kepada anak-anak kecil.

Hal ini dalam rangka mengajari dan melatih mereka sejak dini tentang adab-adab syar’i, dan yang melakukannya telah meneladani  Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu telah mengabarkan kepada kami, beliau mengatakan: “Aku berjalan bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kami melewati  anak-anak yang sedang bermain kemudian beliau mengucapkan salam kepada mereka”.[30]

Ucapan salam kepada anak kecil akan menuntun jiwa seseorang kepada sifat tawadhu’ dan kelembutan dalam menghadapi anak-anak.

Pertanyaan: Apabila seorang yang telah baligh (dewasa) mengucapkan salam kepada anak kecil atau sebaliknya apakah hukumnya wajib untuk menjawab salam?

Jawab: Apabila seorang laki-laki dewasa memberikan salam kepada anak-anak, maka bukan suatu kewajiban bagi anak-anak untuk menjawab salamnya dikarenakan anak kecil bukan orang yang terkena kewajiban. Berbeda jika seorang anak kecil memberi salam kepada seorang yang baligh, maka wajib bagi orang yang telah dewasa untuk menjawab salam dari anak yang masih kecil dan ini adalah pendapat mayoritas ulama.[31]

11. Memberikan salam kepada orang yang terjaga dan disekitarnya ada orang yang sedang tidur.

Hendaknya orang  yang memberikan salam untuk merendahkan suaranya sebatas untuk didengar oleh yang terjaga dan tidak sampai membengunkan orang yang sedang tidur. Hal ini berdasarkan hadits Miqdad bin Al-Aswad radhiallahu ‘anhu dan pada hadits tersebut, beliau berkata: “ … Setelah kami memerah susu dan setiap orang dari kami meminum bagian mereka masing-masing dan kami memberikan bagian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau – Miqdad –berkata: “Lalu beliau datang diwaktu malam dan mengucapkan salam tanpa membangunkan yang sedang tidur dan hendaklah memperdengarkan salamnya kepada yang tidak tidur …”[32]

Pada hadits ini terdapat adab Nabawiyah yang sangat tinggi dimana beliau memperhatikan  keadaan orang yang sedang tidur agar tidak terganggu tidurnya dan pada saat yang bersamaan beliau juga tidak melewatkan keutamaan salam !.

12. Dilarang mengucapakan salam kepada Ahli Kitab.

Kita telah dilarang melalui lisan Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah untuk memulai mengucapkan salam kepada kepada ahli kitab, beliau bersabda: “Janganlah kalian memulai mengucapkan salam kepada Yahudi dan Nashrani apabila kalian bertemu dengan salah seorang diantara mereka dijalanan maka desaklah dia kebagian jalan yang lebih sempit”.[33]  Setelah larangan yang jelas ini tidak seorangpun diperkenankan memberi komentar.

Pertanyaan: Apabila kita membutuhkan mereka apakah diperbolehkan memberikan salam kepada Ahli Kitab ?

Jawab: Hadits di atas telah jelas menunjukkan larangan mengucapkan salam kepada mereka, akan tetapi jika hal itu sangat dibutuhkan maka hendaklah menyapa mereka selain dengan ucapan salam, mungkin dengan mengucapkan selamat pagi, selamat sore dan lainnya.

Ibnu Muflih mengatakan Asy-Syaikh Taqiyuddin mengatakan: “Apabila dia menyapanya dengan selain ucapan salam yang membuat mereka senang, maka ini tidaklah mengapa.” [34]

An-Nawawi berkata, “Abu Said – Yakni Al-Mutawalli – berkata: “Apabila seseorang berkeinginan untuk mengucapkan salam kepada seorang kafir dzimmi, dia boleh melakukannya selain ucapansalam, dapat dilakukannya dengan mengatakan : Hadaakallah – semoga Allah memberimu petunjuk – atau An’amallahu shabaahaka - semoga Allah memberikan kenikmatan kepadamu dipagi hari ini -. Saya berkata (An-Nawawi): “Pendapat yang diutarakan oleh Abu Said tidak mengapa baginya jika diperlukan, dengan mengatakan: - shubihta bil-khair -semoga pagi anda  baik, atau – as-sa’adah - pagi yang tenang atau – al-‘afiyah - dengan kesehatan atau – as-surur- semoga Allah menggembirakan kamu pada pagi ini atau mengatakan semoga Allah memberikan kesenangan dan nikmat padamu pada pagi hari ini atau dengan mengatakan yang lainnya yang semisal dengan ini.

Adapun jika tidak diperlukan, pendapat yang terpilih untuk tidak mengucapkan sesuatu kepadanya. Karena hal itu akan membuat ia senang dan menampakkan sikap persahabatan, sedangkan kita diperintahkan untuk bersikap dan berbicara tegas kepada mereka dan melarang kita untuk bergaul dan menampakkannya. Wallahu a’lam”.[35]

13. Menjawab salam kepada Ahli Kitab dengan mengucapkan Wa’alaikum

Diterangkan pada hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu bahwa Rasululllah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila seorang ahli kitab memberikan salam kepadamu maka jawablah dengan mengatakan wa’alaikum”.[36]

Hadits ini memberikan penjelasan kepada kita tentang tata cara menjawab salam yang disampaikan oleh Ahli kitab yakni dengan mengatakan Wa’alaikum”.

Pertanyaan: Apabila kita mendengar ahlil kitab mengucapkan salam kepada kita dengan mengatakan “Assalamu ’alaikum, dengan lafazh yang jelas apakah kita harus menjawab dengan ucapan, “Wa ’alaikum, untuk mengamalkan hadits ini atau dengan mengatakan Wa ’alaikum salam?

Jawab:  Sebagian ulama berpendapat apabila kita telah memastikan lafazh salam tersebut dan tidak diragukan lagi, maka sepatutnya bagi kita untuk memjawab salam tersebut. Mereka berpendapat: Inilah makna sebenarnya dari keadilan, sedangkan Allah memerintahkan kita untuk berbuat adil dan melakukan perbuatan terpuji.[37] Sedangkan menurut pendapat ulama yang lain, dan ini  pendapat yang terpilih, bahwasannya, hendaklah kita menjawab salam ahlu Kitab dengan mengamalkan hadits shahih dan yang jelas dengan jawaban: wa’alaikum.[38]

14. Bolehnya memberi salam kepada sebuah majlis yang bercampur antara kaum muslimin dan kaum kafir.

Pembolehan ini dapat disadur dari perbuantan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Al-Bukhari dan Muslim dan selainnya meriwayatkan: “ bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  suatu saat menungangi seekor keledai dengan pelana yang terbuat dari beludru. Dan beliau membonceng dibelakang beliau Usamah bin Zaid. Saat itu beliau hendak menjenguk Sa’d bin ‘Ubadah di Bani al-Haarits bin Al-Khazraj – dan kejadian tersebut sebelum perang Badar-. Hingga beliau melintasi sebuah majlis yang bercampur antara kaum muslimin dan kaum musyrikin para penyembah berhala dan juga kaum Yahudi.

Diantara mereka terdapat Abdullah bin Ubay bin Salul. Dan pada majlis tersebut juga terdapat Abdullah bin Rawahah. Dan ketika majlis tersebut terkena semburan debu, Abdullah bin Ubay menutup hidungnya dengan pakaian jubahnya, kemudian dia berkata : Janganlah kalian menyebabkan kami berdebu. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  turun kehadapan mereka  dan mengjaak mereka untuk beribadah hanya kepada Allah dan membacakan Al-Qur`an kepada mereka ... Al-Hadits “[39]

Memulai salam kepada sekumpulan kaum yang terdapat didalamnya kaum muslimin dan kaum kafir, disepakati pemboleannya. Demikian yang dikatakan oleh An-Nawawi[40]. Hadits ini tidaklah bertentangan dengan hadits yang melarang memulai salam kepada Ahli Kitab . Karena hadits itu berkaitan apabila yang diberi salam adalah kafir dzimmi atau kepada sekumpula Ahli Kitab. Adapun disini, majlis tersebut terdapat kaum msulimin, olehnya itu diperbolehkan pengucapan salam kepada suatu majlis yang bercampur antara kaum muslimin dan kaum musyrikin dengan niat salam tersebut hanya kepada kaum muslimin.

Ditanyakan kepada Imam Ahmad rahimahullah: “Kami bermualah dengan kaum Yahudi dan Nashrani dan kami juga mendatangi kediaman mereka dan disekeliling mereka terdapat kaum muslimin, bolehkah kami mengucapkan salam kepada fmereka ? Beliau menjawab: Boleh, dan anda meniatkan salam tersebut hanya kepada kaum muslimin” [41].

An-nawawi mengatakan: “Apabila seseorang melewati skeumpulan orang yang berbaur antara kaum muslimin datau seorang muslim dan kafir , maka sunnahnya adalah mengucapkan salam kepada mereka dan meniatkan salam tersebut kepada kaum muslimin atau muslim tersebut.”[42]

Pertanyaan: Apakah ketika memberi salam kepada sekelompok orang yang bercampur padanya muslim dan kafir dengan mengucapkan: ‘Assalamu’ala man ittaba’al huda” - keselamatan bagi yang mengikuti petunjuk -?

Jawab: “Tidak boleh mengatakans demikian kepada sekumpulan orang yang didalamnya terdapat kaum muslimin dan kafir , akan tertapi ucapkanlah salam kepada mereka dengan meniatkan salam tersebut untuk kaum muslimin sebagaimana penjelasan di atas. Semakna  dengan penjelasan ini, sebagaimana yang dikatakan Ibnu Utsaimin :”Apabila kaum Muslimin dan Nashrani berkumpul, hendaklah mengucapkan salam “Assalamu ’alaikum” dengan maksud untuk kaum musliminnya [43]

15. Boleh memberikan salam dengan isyarat karena udzur.

Pada asalnya memberikan salam dengan isyarat adalah terlarang, dikarenakan hal itu termasuk kebiasaan dari ahlul kitab. Sedangkan kita telah diperintahkan untuk menyelisihi mereka dan tidak bertasyabuh – menyerupai- dengan mereka.

At-Tirmidzi telah mengeluarkan sebuah riwayat hadits tentang larangan memberi salam hanya dengan isyarat, karena itu merupakan syiar dari ahlul Kitab. At-Tirmidzi menghukumi hadits ini sebagai hadits yang gharib.

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata pula tentang hadits ini, pada sanadnya terdapat kelemahan, akan tetapi an-Nasaa`i meriwayat sebuah hadits dengan sanad yang jayyid dari Jabir secara marfu’ : “ Janganlah kalian memberikan salam dengan caranya orang Yahudi, dikarenakan salam mereka dengan isyarat kepala dan telapak tangan serta dengan isyarat”.[44]

Namun hadits ini terbantahkan dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Asma’ binti Yaziid, beliau berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melambaikan tangannya kepada wanita sambil menyampaikan salam”.[45]

Akan tetapi hadits ini dipahami bahwa lambaian tangan beliau sambil pengucapan salam. An-Nawawi mengatakan, setelah menyebutkan hadits At-Tirmidzi: “ Hadits ini kemungkinannya, bahwa Nbai Shallallahu ‘alaihi wa sallam  menyatukan antara lafazh salam dengan isyarat beliau dengan tangan. Dan yang menguatkan hal ini , riwayat Abu Ad-Darda` pada hadits ini, dan beliau mengatakan pada riwayatnya: “ Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam  mengucapkan salam kepada kami “[46] [47]

Al-Hafidz mengatakan: “Larangan mengucapkan salam dengan memakai isyarat berlaku kusus bagi yang mampu untuk melafazhkan salam secara indera dan syara’. Jika tidak maka mengucapkan salam dengan isyarat disyariatkan bagi seseorang yang sibuk  dengan suatu kesibukan yang menghalanginya dari pengucapan lafazh jawaban salam, seperti seorang yang tengah shalat, seorang yang jauh ataukah seseorang yang busi demikian pula bagi seseorang yang tuli “[48]

16. Bolehnya mengucapkan salam kepada seseorang yang sedang shalat dan bolehnya menjawab – bagi yang shalat – dengan isyarat.

Suatu yang diperbolehkan diantaranya mengucapkan salam kepada seseorang yang sedang shalat. Hal ini shahih dari pembenaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  bagi para sahabat beliau. Dimana mereka – para sahabat – emngucapkan salam kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam  sementara beliau sedang mengerjakan shalat, dan beliau tidak mengingkari hal itu. Pembenaran beliau ini menunjukkan bolehnya amalan tersebut.

Diantaranya pada hadits Habi radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: “ Rasulullah sekali waktu menyuruhku untuk suatu keperluan, lalau ketika saya kembali, saya menjumpai beliau  tengah beribadah – Qutaibah –yaitu Ibnu Sa’id, pent –mengatakan: Sedang shalat -, lalu saya mengucapkan salam kepada beliau. Dan beliau memberi isyaratkan kepadaku. Setelah beliau menyelesaikan shalatnya beliau memanggilku dna mengatakan: “ Sesungguhnya engkau memberi salam kepadaku namun saya tengah dalam keadaan shalat “. Dan beliau waktu itu menghadap kearah timur [49].

Hadits lainnya: Hadits Shuhaib, beliau emngatakan: “ Saya melewati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, disaat beliau sedang mengerjakan shalat, maka saya mengucapkan salam kepada beliau, dan beliau membalas salamku dengan isyarat. Beliau berkata: Saya tidak mengetahui kecuali beliau mengisyaratkan hanya dengan jari beliau. [50]

Hadits-hadits ini dan juga hadits lainnya menunjukkan bolehnya mengucapkan salam kepada seseorang yang tengah mengerjakan shalat, dan dia membalasnya hanya dengan isyarat.

Pertanyaan: Bagaimana sifat/cara menjawab salam ketika dalam shalat?

Jawab: Tidak ada pembatasan cara dan sifat ketika kita menjawab salam dengan isyarat ketika dalam shalat. Apabila kita kembalikan kepada perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka caranya bermacam-macam, terkadang beliau berisyarat dengan jari berdasarkan hadits dari Suhaib yang telah lalu.  Terkadang juga beliau berisyarat dengan tangannya sebagaimana hadist Jabir.[51]

Terkadang juga beliau berisyarat dengan telapak tangan sebagaimana hadist dari Abdullah bin Umar, dimana beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar untuk pergi ke Masjid Quba’ kemudian beliau shalat didalamnya, lalu datanglah beberapa orang dari kalangan Anshar dan mengucapkan salam kepada beliau, lalu aku berkata kepada Bilal, “Bagaimana cara Rasulullah menjawab salam mereka sedangkan beliau sedang shalat? Bilal menjawab: “Beliau mengatakan begini, dan beliau meluruskan telapak tangannya. Kemudian Ja’far bin Aun meluruskan telapak tangannya dan menjadikan telapak tangan berada dibawah dan punggung tangan berada diatas”.[52]

Didalam ‘Aun Al-Ma’bud disebutkan: “Ketahuilah bahwa menjawab salam dengan isyarat pada hadits ini adalah dengan cara telapak tangan, sedangkan dari hadits Jabir dengan tangan, dari pada hadits Ibnu Umar dari Suhaib dengan jari telunjuk. Dan didalam hadits Ibnu Mas’ud yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, dengan lafazh bahwa beliau menganggukkan kepalanya, dan dalam riwayat lain dengan menolak mempergunakan kepalanya. Riwayat-riwayat ini jika diselarskan, menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sesekali mengamalkan yang ini dan sekali waktu dengan yang lainnya, sehingga semua amalan itu diperbolehkan. Wallahu a’lam.[53]

17. Boleh memberi salam kepada orang yang sedang membeca Al-Qur`an dan wajib untuk menjawabnya.      

Memberi salam kepada orang yang sedang disibukan dengan membeca Al-Qur`an sebagian ulama melarangnya dan sebagian yang lain membolehkannya. Yang benar adalah pendapat yang membolehkannya. Karena tidak ada dalil yang dapat mengeluarkan seseorang yang sedang membaca Al-Qur`an dari keumuman nash-nash syara’ yang menganjurkan untuk menyebar salam dan yang menunjukkan wajibnya membalas salam.

Seseorang yang sedang menyibukkan dirinya dengan dzikir yang paling tinggi nilainya yakni membaca Al-Qur`an, buka  penghalang baginya untuk tidak diberi salam dan wjaibnya membalas salam tersebut juga tetap wajib waginya

Al-Lajnah Ad-Daimah menyatakan dalam slaah satu fatwa pada sebuah pertanyaan: Bolehnya seorang yangmembaca Al-Qur`an untuk memulai salam dan wajib baginya untuk menjawab salam. Dikarenakan  tidak ada satupun dalil syar’i yang shahih yang melarang hal itu. Dan hukum asalhnya adalah berpegang dengan keumuman dalil yang mensyariatkan memulai salam dan wajibnya membalas salam kepada seseorang yang mengucapkan salam hingga ada dalil yangmengkhususkan hal itu [54]

18. Makruh mengucapkan salam kepada orang yang sedang berada dalam WC.

Dalil yang menunjukkan larangan ini adalah hadits yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu, bahwasannya seorang melalui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan beliau sedang kencing, lalu orang tersebut mengucapkan salam kepada beliau dan beliau tidak menjawabnya”.[55]

Berdasarkan dalil ini ulama telah bersepakat [56] atas makruhnya menjawab salam bagi orang yang sedang berada dalam wc, baik sedang kencing atau sedang menunaikan hajat (buang air). Dan disukai bagi orang yang diberikan salam sementara dia masih berada di wc untuk terus menyelesaikan hajatnya dan menjawab salam tersebut setelah berwudhu`sebagai bentuk keteladanan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Al-Muhajir bin Qunfudz radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa beliau mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan beliau sedang kencing, kemudian dia mengucapkan salam kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi Rasulullah tidak menjawab salamnya sampai beliau berwudhu`, lalu beliau meminta udzur kepadanya, dan mengatakan : “Sesungguhnya aku tidak suka untuk berzikir kepada Allah ‘azza wajalla kecuali dalam keadaan suci”. Atau beliau mengatakan, “kecuali dengan bersuci”.[57]

19. Disunnahkan mengucapkan salam ketika masuk kedalam rumah.

Apabila rumah dalam keadaan kosong, sebagian ulama dari generasi sahabat dan selainnya berpendapat sunnahnya seseorang mengucapkan salam kepada dirinya sendiri jikalau rumah tersebut da;am keadaan kosong. Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata: “Apabila seseorang masuk kerumah yang tidak ditinggali, hendaklah ia mengucapkan: “Assalaamu’alaina wa ‘ala ibaadillahi shaalihin”.[58]
Diriwayatkan dalil yang serupa dengan hadits diatas dari Mujahid dan selain keduanya.[59]

Ibnu Hajar berkata: “ Termasuk kedalam keumuman hadits yang mengajurkan untuk menyebarkan salam adalah mengucapkan salam kepada dirinya sendiri ketika ia masuk kedalam rumahnya yang tidak ada seorangpun didalamnya. Berdasarkan firman Allah ta’ala :

فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ

Dan apabila kalian masuk kedalam rumah, maka ucapkanlah salam kepada diri kalian“ [An-Nuur: 61]

Begitu juga jika ia masuk kedalam rumahnya yang tidak ada orang lain didalam rumah kecuali keluarganya, maka disunnahkan bagi anda untuk mengucapkan salam kepada mereka juga. Diriwayatkan dari Abi Az-Zubair bahwa ia mendengar Jabir berkata, “Jika seseorang masuk kedalam rumahnya, hendalklah ia mengucapkan salam kepada keluarganya untuk mengaharap keberkahan dan kebaikan dari sisi Allah ta’ala”.[60]

Mengucapkan salam ketika masuk kerumah ini bukanlah merupakan kewajiban. Ibnu Juraij berkata, “Aku berkata kepada Atha’, “Apakah wajib mengucapkan salam ketika masuk atau keluar rumah?” Beliau menjawab, “Tidak, karena tidak satupun atsar yang menyebutkan tentang wajib ucapan salam tersebut, akan tetapi disukai jika dilakukan dan hendaklah tidak melupakannya”.[61]

Demikianlah bahwa tidak ada dalil tentang hal itu, akan tetapi untuk mencari keutamaan, sepantasnyalah bagi seorang muslim yang telah mengetahui keutamaanya untuk melakukannya. Dan diantara keutamaannya adalah tercantum pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Umamah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tiga orang yang seluruhnya dijamin oleh Allah hidupnnya dan jika mati dijamin oleh Allah masuk surga, yaitu orang yang jika masuk kedalam rumah dengan mengucapkan salam, maka Allah ta’ala menjamin orang tersebut. Dan barang siapa yang keluar untuk pergi ke masjid maka Allah t’aala menjamin orang tersebut. Dan seseorang yang keluar dijalan Allah, maka Allah menjamin orang tersebut”.[62]

20. Menjawab salam kepada orang yang mengirimkan salan kepadanya dan dan kepada yang dititipi salam.

Perkara ini telah diterangkan didalam As-Sunnah. Seorang laki-laki datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Sesungguhnya Ayahku menitipkan salam kepada anda “, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “ ’Alaika dan ‘ala Abiika as-salam”.[63]

Dan pada hadits ‘Aisyah Ummul Mukminin radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku: “Jibril menitipkan salam kepadamu” Aku berkata, “Wa’alaihis-salam warahmatullah”.[64]

Dan pada hadits yang lain juga dikatakan bahwa Jibril menitipkan salam kepada Khadijah. Al-Hafidz berkata: “Sesungguhnya ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan salam Allah kepada nya melalui Jibril maka Khadijah berkata : “ Innallaha Huwa As-Salam wa Minhu As-Salam wa ‘Alaika as-salam wa ‘ala Jibril as-salam”.[65]

Kesimpulan dari semua hadits-hadits ini, dapat diambil kesimpulan bahwa menjawab salam kepada orang yang menitipkannya bukanlah merupakan sebuah kewajiban akan tetapi hanya sebuah perkara yang disukai.

Ibnu Hajar berkata: “Saya tidak melihat pada hadits ‘Aisyah, bahwasannya beliau membalas salam kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hal itu bukan merupakan perkara yang wajib”.[66]
Faedah: Ibnu Abdil Barr berkata: “Berkata seseorang kepada Abi Dzar: “Fulan menyampaikan/menitipkan salam kepadamu” Maka Abu Dzar menjawab: “Salam itu adalah sebuah hadiah yang baik dan yang ringan untuk dipikul”.[67]

21. Mendahulukan shalat tahiyyat al-masjid sebelum mengucapkan salam ketika seseorang masuk kedalam masjid.

Seseorang yang masuk kemasjid, disunnahkan untuk melakukan shalat sunnah tahiyyat al-masjid terlebih dahulu sebelum mengucapkan salam kepada orang yang berada didalam masjid. Pada hadits sahabat yang keliru dalam pengerjaan shalatnya, yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke dalam masjid kemudian seseorang masuk kedalam masjid lalu mengerjakan shalat, kemudian dia mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengucapkan salam kepadanya, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab salamnya dan bersabda: “Kembalilah, dan shalatlah ! sesungguhnya kamu belum melaksanakan shalat (sampai tiga kali)…Al-Hadits “.[68]

Ibnul Qayyim Al-Jauzi berkata: “Dan diantara petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah  orang yang masuk kedalam Masjid dan dia langsung melaksanakan shalat dua rakaat tahiyyat al-masjid, kemudian dia mendatangi orang-orang yang ada dimasjid lalu mengucapkan salam kepada mereka. Dengan demikian shalat tahiyyat al-masjid didahulukan dari pada mengucapkan salam kepada orang yang ada dalam masjid. Hal ini dikarenakan tahiyyat al-masjid adalah hak Allah ta’ala sedangkan mengucapkan salam kepada orang-orang itu adalah hak mereka, hak Allah dalam keadaan yang seperti ini lebih berhak untuk didahulukan, kemudian beliau mengutip hadist sahabat yang keliru dalam shalatnya sebagai dalil atas ulasan beliau.
Kemudian Ibnul Qayyim melanjutkan: “Rasulullah mengingkari shalatnya namun beliau tidak mengingkari salamnya yang diakhirkan setelah melaksanakan shalat tahiyyat al-masjid”.[69]

Saya berkata: “Ini adalah ketentuan bagi orang yang masuk kemasjid dan di dalamnya ada sekelompok orang yang sedang duduk-duduk atau ada halaqah ilmu atau selainnya. Maka yang disunahkan baginya adalah mendahulukan dua rakaat shalat tahiyyat al-masjid, kemudian setelah selesai shalat barulah ia mendatangi mereka dan menyampaikan salam kepada mereka. Adapun jika masuk masjid sementara orang-orang tersebut masih melakukan shalat, hendaklah dia memberikan salam kepada mereka terlebih dahulu baru melaksanakan shalat tahiyyat al-masjid atau melakukan apa yang telah ditetapkan padanya. Wallahu a’lam.

22. Makruh mengucapkan salam ketika mendengarkan khutbah jum’at.

Dalil dari masalah ini adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhialallahu ‘anhu bahwasannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “ Jika kamu mengatakan kepada temanmu pada hari Jum’at, “Diamlah!” sementara imam masih menyampaikan khutbahnya maka kamu telah lalai”.[70] 

Berdasarkan hal ini maka tidak disyariatkan memberikan salam kepada siapapun ketika khatib masih menyampaikan khutbah, demikianlah yang telah diperintahlkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yakni agar semua makmum diam ketika sedang mendengarkan khutbah imam pada hari Juma’at.

Pertanyaan: “Apabila seseorang masuk ke masjid pada hari jum’at kemudian mengucapkan salam kepada jama’ah yang ada didalamnya, apakah wajib bagi makmum yang berada didalam untuk menjawab salam tersebut?

Jawab: Al-Lajnah Ad-Daa’imah menyatakan: “Tidak diperbolehkan bagi siapa saja ketika masuk masjid untuk mengucapkan salam pada hari Jum’at sedangkan imam sedang menyampaikan khutbah, dan bagi yang berada didalam masjid tidak diperbolehkan menjawab salam disaat imam khuthbah. Akan tetapi jikalau dia memjawabnya dengan isyarat maka hal tersebut diperbolehkan”[71]

Pertanyaan: Apakah  yang harus dilakukan seorang makmun seseorang yang berada di sampingnya mengucapkan salam kepadanya dan menyalaminya disaat imam sedang khuthbah?

Jawab: Al-Lajnah Ad-Daa’imah menyatakan: “Berjabatan tangan saja tanpa berbicara. Kemudian  menjawab salam ketika imam istirahat/selesai khutbah pertama. Apabila dia engucapkan salam sementara imam sedang khuthbah yang kedua, maka anda menjawab salamnya setelah khathib menyelesaikan khuthbah yang kedua”.[72]

23. Mendahulukan salam sebelum berbicara.

Adapun para As-Salaf Ash-Shaleh jika mereka saling bertemu, maka mereka mendahulukan salam sebelum bicara dan saling bertanya tentang keadaan mereka dan kebutuhan mereka.

An-Nawawi berkata, “Yang termasuk Sunnah, jika eorang muslim mengucapkan salam sebelum dia berbicara. Hadist-hadits yang shahih serta amalan ulama Salaf dan ulama kontemporer sudah demikian populernya menyepakati hal itu. Inilah pendapat yang dijadikan acuan dalam pasal pembahasan ini. Adapun hadits, sebagaimana yang telah kami riwayatkan didalam kitab At-Tirmidzi dari Jabir radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ucapkan salam sebelum berbicara”. Akan tetapi hadits ini dha’if. At-Tirmidzi mengatakan: “ Hadits ini  hadits munkar”.[73]

24. Salam kepada pelaku maksiat dan pelaku bid’ah

Adapun pelaku maksiat, maka hendaklah mengucapkan salam kepada mereka dan menjawab salamnya ketika mereka mengucapkan salam kepada kita. An-Nawawi berkata: “ Ketahuilah bahwasannya seorang muslim yang tidak terkenal sebagai pelaku kefasikan dan bid’ah, maka hendaklah mengucapkan salam kepadanya dan wajib menjawab salamnya.[74] 

Pertanyaan: Jika dia telah dikenali sebagai seorang pelaku maksiat dan kefasikan serta pelaku bid’ah, apakah akan dikatakan untuk meninggalkan ucapan salam kepadanya ?

Jawab: “Apabila hal itu akan memberikan mashlahat kepada pelaku maksiat tersebut yaitu dia akan meninggalkan kemaksiatan, apabila tidak diberi salam ataukah dengan tidak menjawab salamnya. Apabila hal tersebut untuk suatu kemashlahatan maka salam dapat ditinggalkan dan tidak diucapkan kepadanya agar sipelaku maksiat berhenti dari perbuatannya.

Adapun jikalau yang terjadi sebaliknya, dan besar kemungkinan dalam persepsi kita, bahwa kemasiatannya akan bertambah, maka kita tidak mengapa mengucapkan salam kepadanya dan menjawab salamnya untuk meminimalisir mafsadat. Karena tidak ada mashalat yang tercapai. Dan masalah ini dasarnya kembali kepada masalah pemboikotan –yaitu kepada pelaku maksiat dan bid’ah, pent-

Sedangkan kepada  pelaku bid’ah. Sesungguhnya bid’ah sendiri terbagi menjadi dua bagian. Ada bid’ah mukafirrah (yang menyebabkan pelakunya kafir) dan yang tidak menyebabkan pelakunya kafir. Maka bagi pelaku bid’ah mukaffirah, tidak diperbolehkan mengucapkan salam kepadanya dalam keadaan apapun. Dan bagi pelaku bid’ah yang atidak menyebabkan pelakunya kafir, maka hukumnya serupa dengan hukum bagi pelaku maksiat sebagaimana yang telah dijelaskan diatas.

Kami akan menyadur perkataan Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Utsaimin tentang masalah pemboikotan terhadap pelaku bid’ah. Penjelasan beliau ditujukan kepada masalah yang berkaitan dengan mengucapkan salam kepada pelaku bid’ah. Namun masalah tersebut tidak ada perbedaannya, karena masalah pemboikotan juga mencakup peninggalan ucapan salam dan menjawabnya.

Asy-Syaikh berkata: “Adapun memboikot mereka (pelaku bid’ah) , maka itu tergantung kepada kebid’ahannya, jika bid’ahnya itu mukaffirah, maka wajib untuk memboikotnya. Akan tetapi jika bukan merupakan bid’ah mukaffirah maka pemboikotan terhadapnya bergantung terhadap mashlahat yang tercapai, jika ada maka kita melakukannya dan jika tidak terdapat mashalahat dalam pemboikotan tersebut maka kita meninggalkannya. Hal tersebut dikarenakan asal pada seorang mukmin adalah pengharaman dalam memboikotnya, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Tidak halal bagi seorang mukmin untuk tidak menegur saudaranya lebih dari tiga hari”.[75]  

Dalil masalah ini adalah hadits Ka’ab bin Malik radhialahu ‘anhu yang sangat panjang ketika beliau menyelisihi tidak ikut berjihad bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan taubat beliau kepada Allah. Pada hadits tersebut Ka’ab berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang kaum muslimin untuk berbicara kepada salah seorang dari tiga orang yang telah menyelisihi beliau, maka orang-orang pun meninggalkan kami dan mereka berubah sikap mereka kepada kami. Sehingga bumi ini terasa sempit bagi, tidaklah sebagaimana yang telah saya ketahui. Kami pun berada dalam keadaan demikian sleama lima puluh malam.

Adapun kedua temanku, keduanya berdiam diri dan duduk dirumah mereka berdua menangis. Sedangkan saya, saya adalah yang paling muda dan paling gigih diantara mereka. Sayapun menghadiri shalat bersama kaum muslimin, dan berada dipasar, namun tidak seorangpun yang menyapaku. Dan saya mendatangi Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam  dan mengucapkan salam kepada beliau, sementara beliau masih berada ditempat duduk beliau selepas mengerjakan shalat. Maka saya bertanya kepada diriku: Apakah beliau menggerakkan kedua bibirnya menjawab salamku atau tidak ? “[76]  

25. Disunnahkan untuk mengucapkan salam ketika bubar dari majelis.

Sebagaimana disunnahkannya mengucapkan salam ketika hendak mendatangi suatu majlis maka begitu pula disunnahkan untuk menyampaikan salam ketika hendak meninggalkan majlis. Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata: “Jika seseorang mendatangi majlis, maka hendaklah ia mengucapkan salam ketika hendak berdiri maka hendaknya dia mengucapkan salam. Dan salam yang pertama tidaklah lebih utama dari salam yang terakhir “[77]

Sumber: al-atsariyyah.com



[1] HR. Al-Bukhari no.3326 dan Muslim no 2841.
[2] HR. Muslim dalam bab Penjelasan tentang tidak akan masuk surga kecuai orang yang beriman. No 54.
[3] HR. Muslim no.2162.
[4] Lihat Al-Adab Asy-Syar’iyah (1/356) cetakan Muasasah Ar-Risalah.
[5] Lihat Syarh Shahih Muslim An-Nawawi cetakan Daar Al-Fikr, Fathul Baari, hadits no.6231, cetakan Daar Ar-Rayyan, dan Al-Adab Asy-Syar’iyah.
[6] HR. Abu Daud no.5210. Syaikh Al-Albani berkata :”Hadits ini shahih.” Dan diriwayatkan juga oleh Ibnu Abdil Bar dengan menyandarkannya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan beliau menyifatkannya bahwa hadits ini hasan. Karena di dalamnya terdapat Sa’id bin Khalid Al-Khuza’i. Beliau berkata: "(Sanadnya) tidak mengapa.” Dan sungguh jamaah mendhaifkan hadits ini. (At-Tamhid : juz 5 hal 290 cetakan Daar Ath-Thayyibah.) Dan didalam Irwa’ Al-Ghalil, Asy-Syaikh Al-Albani menganggap hadits ini hasan, dan beliau membawakan pendapat An-Naisabury (hadits ini hasan). Kemudian beliau menggabungkan beberapa jalan sebagai penguat hadits ini. Beliau berkata pada pembahasan lain : Dikarenakan hadits ini memiliki penguat, maka dia terangkat derajatnya menjadi hasan. Akan tetapi ini secara dhahir.
Wallahu a’lam.” (Al-Irwa’, hadits no.778). Peringatan : Bab ini sangat panjang, dikarenakan diamnya jamaah atas penshahihan hadits ini. Jika salah seorang diantara mereka menolakknya, maka yang lain pun akan mengetahuinya. Wallahu taufiq.
[7] HR. At-Tirmidzi no.2689 dan beliau berkata :”Hadits hasan shahih gharib”, dan diriwayatkan Al-Bukhari dalam adabul mufrad no 986, dan albani berkata :”Hadits ini shahih.” Dan diriwayatkan juga oleh Ahmad no.19446, dan Ad-Darimi no.2640.
[8] At-Tamhid (5/293)
[9] HR.At-Tirmidzi no. 2722 beliau berkata hadits hasan shahih
[10] Sunan Abu Daud hadits no.5209 Al-Albaniy berkata hadits ini shahih.
[11] HR. Al-Bukhari no.6244
[12] Maksudnya adalah sebagian mereka ada yang belum mendengar dan maksud………(Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Baari (11/29) dan perkataan An-Nawawi dalam Riyadhus Shalihin (Bab Kaifa Salam hal.291) Penerbit Daarul Ilmi Al-Kutub, cetakan ke duabelas th.1409 H.
[13] Fathul Baari hadits no.6244 (11/29) Lihat juga tentang perkara ini pada kita Zaadul Maad (2/418) Penertbit Muasasah Ar-Risalah.
[14] Al-Adab Al-Mufrad hadits no.1005. Al-Albani mengatakan:  shahih sanadnya, demikian pula yang dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam shahih Adab Al-Mufrad hal.385.
[15] Zaad Al-Maad (2/419)
[16] Al-Adzkar hal.304 dan 355 dan beliau telah banyak mengutip, disebabkan banyaknya orang-orang yang menggampangkan dalam menjawab salam, maka jika seorang muslim tidak memperhatikannya ia akan mendapat dosa karenanya.
[17] Perkataan ini di kaitkan kepada kaum muslimin dan bukan yang lainnya, maka tidak masuk padanya orang kafir karena tidak akan diterima do’a untuk mereka.
[18] HR.Al-Bukhari no.12 dan Muslim no.39
[19] Al-Adzkar hal.370
[20] HR.Al-Bukhari 6232 dan Muslim 2160
[21] HR.Al-Bukhari no.6231
[22] Lihat Fathul Baari (19/11)
[23] Fathul Baari (19/11)
[24] HR. Al-Bukhari (6077)
[25] HR. Al-Bukhari dalam kitab Al-Adab Al-Mufrad (994) dan Ibnu Hajar menshahihkan sanadnya dalam Fathul Baari (11/18) Dan Asy-Syaikh Al-Albaniy menshahihkannya dalam shahih Adabul Mufrad (1146)
[26] HR.Abu Daud (5200) dengan dua sanad yang salah satunnya marfu’ (sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) sedangkan yang satu lagi mauquf (sampai kepada sahabat) dan Al-Albaniy berkata, “Shahih secara mauquf dan secara marfu’)
[27] Al-Adab Asy-Syar’iyah (1/352)
[28] Zaad Al-Maad (2 / 411 - 412)
[29] HR. Al-Bukhari (6248)
[30] HR. Al-Bukhari (6147) dan Muslim (2168) dan lafazh hadits diatas adalah lafazh beliau.
[31] Syarh Shahih Muslim oleh An-Nawawi Jilid 7 bab 13 hal.123 dan Fathul Baari (11/35)
[32] HR. Muslim (2055) dan ini bagian dari hadits yang sangat panjang.
[33] HR. Muslim no.2167
[34]  Al-Adab Asy-Syar’iyah 1 / 391 )
[35] Al-Adzkar hal.362-367
[36] HR. Bukhari (6258) dan Muslim (2163)
[37] Ahkam Ahli Dzimmah (1/345-346) Ramadi lin-Nasyri, cetakan pertama tahun 1418H, dan lihat fatawa al aqidah oleh ibnu ‘Utsaimin hal.235-236. Dan As-Silsilah  Ash-Shahihah oleh Al- Albani (2/327-330).
[38] Lihat Fatawa Al-Lajnah ad-Daa`imah (3/312) fatwa no.11123.
[39]  HR. Al-Bukhari (6254 ) dan Muslim ( 1798 )
[40]  Syarh Shahih Muslim jild 6 ( 12 / 125 )
[41]  Al-Adab Asy-Syar’iyah ( 1 / 390 )
[42]  Al-Adzkar karya An-Nawawi hal. 367
[43] Fatawa Al-Aqidah hal 237. cetakan Daar Al-Jiil.
[44] Fathul Baari ( 11/16 )
[45] HR. At-Tirmidzi (2697) dan lafazh  ini adalah lafazh riwayat beliau, Ahmad (27014) dan Ibnu Majah (3701), Ad-Darimi (2637), dan Al-Bukhari dalam kitab Al-Adab Al-Mufrad (1003, 1047) dan Al-Albaniy berkata: hadits shahih.
[46] HR. Abu Daud ( 5204 )
[47]  Al-Adzkar hal. 356
[48]  Fathul Baari ( 11 / 16 )
[49]  HR. Muslim ( 540 )
[50]  HR. Abu Daud ( 925 ). Al-Albani mengatakan: Shahih. Shahih Abu Daud ( 818 )
[51] HR. Abu Daud (926) ini adalah hadits Muslim yang telah lalu (540)  dan telah dijelaskan riwayat Abu Daud yakni padanya terdapat penjelasan bahwa menjawab salam ketika sedang shalat itu dengan tangan.
[52] HR. Abu Daud (927) Al-Albaniy mengatakan:  hadist Hasan Shahih, Shahih Abi Daud no.820.
[53]  ‘Aun al-Ma’bud , syarah sunan Abu Daud (jilid 12 juz 3 hal.128) terbitan Daar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah

[54] Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah Lil-Buhuts Al-‘Ilmiyath wal Iftaa (4/83)
[55] HR.Muslim no.370
[56]  Lihat Syarah Muslim karya An-Nawawi ( jilid 2  4 / 55 )
[57] HR. Abu Daud dan lafazh ini lafazh riwayat  beliau (17) Asy-Syaikh Al-Albaniy berkata hadist ini shahih, dan berkata Ibnu Muflih pada salah satu jalan, “Isnadnya jayyid”, Al-Adab Asy-Syar’iyah (1/355), Ahmad (18555), An-An-Nasaa`i (38), Ibnu Majah (351) dan Ad-Darimi (2641)
[58] Al-Adab Al-Mufrad oleh Al-Bukhari (1055) dan dikeluarkan juga oleh Ibnu Abi Syaibah. Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar  “sanadnya hasan” (Fathul Baari 11/22) demikian juga Asy-Syaikh Al-Albaniy mengatakan sanadnya hasan pada Shahih Al-Adab Al-Mufrad.
[59] Lihat Tafsir Ibnu Katsir (3/305) Cetakan Daar Ad-Da’wah
[60] Al-Adab Al-Mufrad (1095) Al-Albani mengatakan:  hadits ini shahih.
[61] Tafsir Ibnu Katsir (305/3)
[62] Adabul Mufrad (1094) Asy-Syaikh Al-Albani berkata hadits ini Shahih.
[63] HR. Abu Daud (5231) dan Albaniy menghasankannya , Ahmad (22594)
[64] HR. Al-Bukhari (6253)
[65] Al-Hafidz didalam Fathul Baari menyandarkan hadits ini, kepada riwayat An-Nasaa`i dari hadits Anas. Lihat Fathul Baari (11/14) (7/172)
[66] Fathul Baari (11/14)
[67]  Al-Adab Asy-Syar’iyah  (1/393)
[68] HR. Al-Bukhari (7939)
[69] Zaad Al-Ma’ad (2/413-414)
[70] HR.Al-Bukhari no.934
[71] Fatwa Al-Lajnah Ad-Daa`imah Lilbuhuts Al-Ilmiyah wal-Iftaa` (8/243)
[72] Fatwa Al-Lajnah Ad-Daa`imah Lilbuhuts Al-Ilmiyah wal-Iftaa` (8/246)

[73] Al-Adzkar hal.312.
[74] Al-Adzkar hal.364
[75] Fatawa Al-Aqidah hal.614
[76] HR. Al-Bukhari no.4418.
[77] HR. At-Tirmidzi no.2861 dan beliau berkata, “Hadits ini hasan”. Dan diriwaytakan juga oleh Abu Daud (5208), Al-Albaniy berkata hadits hasan shahih, Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad (1008) Dan Ath-Thahawi dalam Musykil Al-Atsar (1351) penerbit Muasasah Ar-Risalah

1 comment: