Kebenaran ibaratnya pelita yang terang benderang. Sebab, semua sisi kebenaran telah dijelaskan oleh Allah di dalam Al-Qur’an dan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- di dalam sunnahnya. Ini adalah sebuah nikmat terbesar bagi kaum muslimin; agama mereka datang dalam keterangan yang nyata. Oleh karena itu tidak ada hujjah bagi bani Adam untuk menolak kebenaran.
Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
رُسُلاً مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلاَّ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا [النساء : 165]
“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana“. (QS. An-Nisaa’: 165)
Di dalam ayat lain, Allah Robbul Izzah juga berfirman,
وَلَقَدْ أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ وَمَا يَكْفُرُ بِهَا إِلَّا الْفَاسِقُونَ [البقرة : 99]
“Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat yang jelas; dan tidak ada yang ingkar kepadanya, melainkan orang-orang yang fasik”. (QS. Al-Baqoroh : 99)
Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thobariy -rahimahullah- berkata dalam menafsirkan ayat ini,
“Maksudnya, Kami telah menurunkan kepadamu –wahai Muhammad- tanda-tanda yang jelas yang menunjukkan tentang kenabianmu. Tanda-tanda itu adalah sesuatu yang dikandung oleh Kitabullah yang Dia turunkan kepada Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam- berupa ilmu-ilmu kaum Yahudi yang tersembunyi serta simpanan berbagai rahasia berita-berita mereka dan pendahulunya dari kalangan Bani Isra’il; dan juga berita tentang sesuatu yang dikandung oleh kitab-kitab mereka yang tidak diketahui, selain para ulama mereka, serta sesuatu yang diselewengkan dan diubah oleh para pendahulu mereka dan orang-orang belakangan mereka berupa hukum-hukum yang dahulu terdapat dalam Taurat. Nah, Allah pun menampakkan hal-hal itu dalam Kitab-Nya yang Allah turunkan kepada Nabi-Nya Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Karena itu, di dalam urusan (agama) Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- terdapat tanda-tanda yang jelas bagi orang-orang yang mau berlaku adil terhadap dirinya sendiri dan tidak dihasung oleh rasa iri dan dendam kepada kebinasaan. Sebab, di dalam fitrah setiap orang yang memiliki fitrah yang selamat, terdapat pembenaran bagi orang yang membawa sesuatu seperti yang dibawa oleh Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam- berupa tanda-tanda gamblang yang telah digambarkan, tanpa mempelajarinya dari seorang manusia dan tanpa mengambilnya dari seorang anak cucu Adam”. [LihatJami' Al-Bayan (2/397), cet. Mua'assasah Ar-Risalah]
Allah -Ta’ala- berfirman,
هُوَ الَّذِي يُنَزِّلُ عَلَى عَبْدِهِ آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ لِيُخْرِجَكُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَإِنَّ اللَّهَ بِكُمْ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ [الحديد : 9]
“Dia-lah yang menurunkan kepada hamba-Nya ayat-ayat yang terang (Al-Quran) supaya Dia mengeluarkan kalian dari kegelapan kepada cahaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Penyantun lagi Maha Penyayang terhadap kalian”. (QS. Al-Hadid : 9)
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
لَقَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى مِثْلِ الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لاَ يَزِيْغُ عَنْهَا إِلاَّ هَالِكٌ
“Sungguh aku akan meninggalkan kalian di atas (agama) yang putih (terang). Malamnya seperti siangnya. tidak ada yang menyimpang darinya, kecuali orang yang binasa”. [HR. Ibnu Abi Ashim dalamAs-Sunnah (no. 48 & 49). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah(59)]
Al-Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah -rahimahullah- berkata,
“Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- telah meninggalkan para sahabatnya di atas agama yang lurus lagi kokoh dan jalan yang putih bersih, tidak ada kekaburan dan kesamaran padanya. tidak ada udzur bagi orang yang menyimpang darinya. Karena, hujjah telah tegak dan sampai kepadanya. Demikian itu termasuk kekhususan para sahabat. Sebab mereka itu tidak sama dengan yang lain.
Mereka telah menerima dan menyampaikan (risalah), sedang manusia adalah pengikut mereka dalam hal ilmu dengan penjelasan yang bersih ini dan manusia berutang jasa kepada mereka. Karena, perkara seperti ini -pada asalnya- tidak cocok bagi yang lainnya. Jadi, setiap perkara yang samar, bermasalah dan kabur, maka penjelasan dan penerangannya terdapat dalam ilmu para sahabat Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-, baik dalam perkara aqidah, ucapan, perbuatan, mau pun dalam seluruh perkara agama. Hal ini tidak diketahui oleh orang yang jahil dan diketahui oleh orang yang tahu. Semua ini memutuskan wajibnya kembali kepada ilmu mereka ketika terjadinya masalah, kekaburan dan perselisihan”. [Lihat Basho'ir Dzawi Asy-Syarof (hal. 84)]
Mereka telah menerima dan menyampaikan (risalah), sedang manusia adalah pengikut mereka dalam hal ilmu dengan penjelasan yang bersih ini dan manusia berutang jasa kepada mereka. Karena, perkara seperti ini -pada asalnya- tidak cocok bagi yang lainnya. Jadi, setiap perkara yang samar, bermasalah dan kabur, maka penjelasan dan penerangannya terdapat dalam ilmu para sahabat Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-, baik dalam perkara aqidah, ucapan, perbuatan, mau pun dalam seluruh perkara agama. Hal ini tidak diketahui oleh orang yang jahil dan diketahui oleh orang yang tahu. Semua ini memutuskan wajibnya kembali kepada ilmu mereka ketika terjadinya masalah, kekaburan dan perselisihan”. [Lihat Basho'ir Dzawi Asy-Syarof (hal. 84)]
Para pembaca yang budiman, inilah sejumlah dalil dan keterangan yang menunjukkan bahwa agama yang dibawa dan disebarkan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- adalah agama yang terang benderang.
Kemudian perlu diketahui bahwa manusia dalam menghadapi kebenaran terbagi dalam dua kelompok: kelompok yang beruntung, karena menerima dan mengamalkan kebenaran dan kelompok yang merugi, karena menolak kebenaran!!
Manusia dalam menolak kebenaran juga terbagi dalam dua golongan: Golongan yang menolaknya, karena kebenaran belum sampai dengan baik kepadanya karena beberapa sebab. Adapun golongan kedua, maka mereka yang menolak kebenaran, setelah nyatanya dan tegaknya kebenaran di depan mereka.
Golongan yang kedua ini lebih sengsara dibandingkan golongan pertama, sebab ia menolak setelah mendapatkan ilmu dan hujjah. Berbeda dengan kelompok pertama, sebab kemungkinan untuk menerima kebenaran masih terbuka lebar bagi mereka.
Para pembaca yang budiman, golongan yang menolak kebenaran setelah nyata hujjah dan kebenaran baginya menjadi orang-orang yang merugi dan sengsara.
Sebagian ulama kita menjelaskan bahwa penolakan kebenaran setelah sampainya hujjah dan nyatanya kebenaran, memiliki beberapa sebab dan faktor pendorong. Diantaranya:
- 1. Cinta Kekuasaan dan Ketenaran
Kekuasaan dan ketenaran adalah dua perkara yang banyak mencelakakan manusia. Kekuasaan akan mendorong manusia untuk memperbanyak dan memperkuat pengikut. Sedangkan ketenaran akan menyeret seseorang untuk menjilat dan mencari-cari perhatian manusia dalam beramal.Akibatnya, dua penyakit ini membuat para pencintanya akan melakukan segala hal dalam meraih keduanya. Orang-orang yang haus kekuasaan dan ketenaran akan memuaskan hawa nafsu dan tendensi hinanya dengan melakukan segala cara demi meraih hal itu!! Hanya saja, caranya kadang halus sekali, sehingga tidak ada yang tahu, kecuali dia dan Allah -Azza wa Jalla-.
Penyakit cinta kekuasaan dan ketenaran ini, bukan hanya menyerang orang-orang jahil diantara manusia,bahkan ia juga menyerang orang-orang berilmu. Lantaran itu, setiap orang berilmu dari kalangan ulama, ustadz, dan penuntut ilmu agama, harus waspada dan selalu memeriksa segala perbuatan hatinya. Sebab, penyakit cinta kekuasaan dan ketenaran ini adalah golongan penyakit yang merasuki hati.
Ketahuilah bahwa penyakit cinta kekuasaan dan ketenaran ini merupakan penyakit yang sangat sulit disembuhkan dan diusir dari hati orang yang berilmu, apalagi orang jahil tentang agama!!
Al-Imam Abu Ishaq Asy-Syathibiy -rahimahullah- berkata,
آخر الأشياء نزولاً من قلوب الصَّالحين: حبُّ السُّلطة والتَّصدر
“Perkara yang paling terakhir turun (yakni, keluar) dari hati orang-orang sholih adalah cinta kekuasaan dan ketenaran”. [Lihat Ma'alim fi Thoriq Tholab Al-Ilm (hal. 20), karya Syaikh Abdul Aziz As-Sadhan –hafizhahullah-, cet. Dar Ibnil Haitsam]
Di dalam ucapan Asy-Syathibiy -rahimahullah- ini terdapat isyarat bahwa penyakit cinta kekuasaan dan ketenaran adalah dua penyakit yang amat susah hilang dan keluar dari hati orang-orang sholih, apalagi orang-orang yang bejat dan buruk.
Ishaq bin Kholaf Az-Zahid berkata,
والله الذي لا إله إلا هو لإزالة الجبال الرواسي أيسر من إزالة الرياسة.
“Demi Allah Yang tidak ada ilah (sembahan) yang haqq, kecuali Dia, sungguh menghilangkan gunung-gunung yang kokoh lebih mudah dibandingkan menghilangkan (cinta kepada) kekuasaan”.
Bayangkan saja gambaran Az-Zahid di atas, bagaimana susahnya mengatasi dan mengobati penyakit cinta kekuasaan. Saking susahnya hilang, sampai sebagian ulama salaf menganggap bahwa penyakit cinta kekuasaan bagaikan penyakit yang tidak ada obatnya. Seorang diantara mereka berkata,
حبُّ الرِيَاسَةِ داءٌ لاَ دَوَاءَ لَهُ وَقَلَّ مَا تَجِدُ الرَّاضِيْنَ بِالقَسْمِ
“Cinta kekuasaan adalah penyakit yang tidak ada obatnya. Jarang anda menemukan orang-orang yang ridho (rela) dengan pembagian (dari Allah)”.[2]
Para penuntut ilmu –khususnya- harus menyadari bahwa cinta kepada kekuasaan akan membuat pelakunya rakus terhadap keinginan-keinginan dunia yang rendah. Ini disebabkan karena ia tidaklah mencari ilmu demi mengamalkannya, tapi ia cari agar dijadikan hiasan dan kebanggaan di depan manusia.
Seorang ulama tabi’in di zamannya, Abu Yahya Malik bin Dinar Al-Bashriy -rahimahullah- berkata,
مَنْ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ لِلْعَمَلِ كَسَرَهُ، مَنْ تَعَلَّمَهُ لِغَيْرِ الْعَمَلِ زَادَهُ فَخْرًا
“Barangsiapa yang mempelajari ilmu agama untuk diamalkan, maka ilmu akan meredakannya (membuatnya tawadhu’). Barangsiapa yang mempelajarinya bukan untuk diamalkan, maka ilmu akan memberinya tambahan keangkuhan”. [HR. Ibnu Abdil Barr dalam Jami' Bayan Al-Ilm wa Fadhlih(1/288)]
Disinilah sisi keterkaitan antara cinta kekuasaan dan cinta ketenaran. Keduanya menyeret seseorang untuk beramal demi selain allah.
Cinta ketenaran akan membuat pelakunya susah menghadirkan keikhlasan dalam hatinya. Dalam beramal, ia tidak jujur kepada Allah. Sebab, ia mau beramal jika ada sesuatu yang dapat mengangkat namanya demi mencapai ketenaran. Jika suatu amalan tidak bisa membuat dirinya masyhur dan dikenal oleh orang, maka ia malas melangkah dalam melakukan amalan itu.
Sebuah contoh, seorang ulama atau dai –misalnya-, ia tidak mau bersabar tinggal di rumah atau pesantrennya untuk mengajari para santrinya tentang ilmu agama. Sementara itu, ia lebih senang berkeliling kampung, kota dan propinsi dalam “berdakwah” menurutnya, dibandingkan berdakwah di kampungnya. Semua ini ia gemar lakukan demi mencapai popularitas!! Apalagi jika ia sudah menjadi “dai sejuta umat”!!!
Sebagian penuntut ilmu ada yang terkena cinta ketenaran ini dari arah dunia tulis-menulis. Ia rajin menulis di majalah, koran, buletin, situs, dan berbagai media lainnya demi mencapai popularitas. Rajin sih rajin. Hanya saja ia tidak menjauhkan hatinya dari penyakit ini.
Kelompok dai lain, ada yang lebih lihai dalam mencari popularitas dan ketenaran dengan mengumpulkan manusia sebanyak-banyaknya dalam majelis, lalu ia pun tampakkan dirinya sebagai manusia yang paling berilmu. Dia pun mengondisikan masyarakat agar mereka mengakui bahwa dirinyalah yang paling berilmu. Adapun dai-dai selainnya, maka mereka lebih rendah dibandingkan dirinya. Ia tidak ingin ada orang yang berbicara tentang ilmu, kecuali dirinya. Orang-orang pun berdecak kagum dalam hati sambil bergumam, “Inilah dai dan ustadz yang paling top dan hebat!!”.
Orang seperti ini tidak sadar bahwa dirinya telah terjangkiti oleh penyakit cinta ketenaran. Sungguh ia tidak jujur kepada Allah dalam beramal; bukan pahala yang ia inginkan, bahkan pujian dan sanjungan manusia.
Abu Ishaq Ibrahim bin Adham Al-Ijliy -rahimahullah- berkata,
مَا صَدق َاللهَ عَبدٌ أَحَبَّ الشُّهْرَةَ
“Seorang hamba yang mencintai ketenaran tidak akan berlaku jujur kepada Allah”. [HR. Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah (9/35), Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqo (6/317-318) dan Ibnu Abid Dun-ya dalamAl-Uzlah wa Al-Infirod (no. 132 & 137)]
Para pembaca yang budiman, jika seseorang sudah demikian halnya, yakni ia amat mencintai ketenaran, maka ia akan susah menerima nasihat dari orang lain yang ada di bawahnya. Apalagi jika ia pandai bersilat lidah sehingga semua hujjah yang ditujukan kepada dirinya, maka ia mentahkan dengan silat lidahnya dan ia tampakkan dirinya tidak salah. Padahal ia sudah tahu bahwa dirinya bersalah dan hujjah telah tegak baginya.
Sekali lagi, penyakit cinta kekuasaan dan ketenaran bukan hanya mengenai orang jahil. Bahkan biasanya juga mengenai kaum berilmu.
Walaupun seorang yang berilmu merasa dirinya ikhlash dalam berdakwah, ia harus tetap mewaspadai hal ini!!!
Al-Imam Al-Hafizh Abu Abdillah Adz-Dzahabiy -rahimahullah- berkata,
((عَلاَمَة ُالمُخلِصِ الذي قد يُحِبُّ شُهرَةً، ولا يشعرُ بها، أنّه إذا عُوتب في ذلك لا يَحْرَدُ ولا يُبَرِّئُ نفسَهُ، بل يعترف ويقول: رحمَ الله من أهدى إليَّ عُيوبي، ولا يَكُنْ مُعْجباً بنفسِه؛ لا يشعرُ بعيوبها، بل لا يشعر أنّه لا يشعر، فإنّ هذا داءٌ مزمنٌ))
“Tanda orang ikhlash yang terkadang mencintai ketenaran –sedang ia tidak merasakannya- bahwa jika ia dicela dalam hal itu, maka ia tidak marah dan tidak pula membersihkan dirinya. Bahkan ia mengakui (hal itu) seraya berkata, “Semoga Allah merahmati orang menunjukkan kepadaku aib-aibku”.
Orang ini tidak bangga diri. Cuma dia tidak menyadari aib (kekurangan) dirinya, bahkan ia tidak merasa bahwa dirinya tidak merasa (bersalah)[3]. Sesungguhnya hal ini adalah penyakit yang kronis”. [LihatSiyar A'lam An-Nubalaa' (7/393)]
Inilah penyakit cinta ketenaran!! Adapun penyakit cinta kekuasaan, maka penyakit ini pun tidak kalah bahayanya. Ia juga menyerang berbagai kalangan, tanpa terkecuali ulama dan ustadz.
Realita nyata telah membuktikan hal itu di lapangan, sehingga mudah saja bila kita ingin membawakan sebagian bukti dan fakta nyata di lapangan!!
Di sebagian daerah, ada sebagian dai yang merasa dirinya paling senior, sehingga menganggap dirinya yang patut didengar dan mengatur semua urusan dakwah. Semua dai yang baru datang dalam medan dakwah, maka ia anggap junior dan tidak ada nilainya. Si dai senior ini yang ingin menentukan semua urusan dakwah. Karena itu, tidak boleh ada yang berceramah di “daerah kekuasaannya”, tanpa ada izin darinya. Jika tidak, maka dai pendatang dari luar, ia anggap dai sempalan, atau minimal kurang ajar dan kurang beradab. Subhanallah, padahal si “dai senior” ini bukanlah seorang pemerintah yang berhak mengatur dakwah sana-sini.
Lebih para lagi, jika si dai senior ini memiliki jaringan berupa dai-dai baru (junior) yang siap menjilat dan tunduk di depannya demi menjaga harga diri dan kedudukannya dari cercaan si dai senior. Sungguh ini adalah penyakit cinta kekuasaan.
Warna lain dari dunia dai, ada diantara mereka memperjuangkan Islam dan mendakwahkannya melalui ajang politik dan demokrasi, sehingga ia pun menghinakan diri masuk dalam parlemen dengan dalih “dakwah”. Begini hinakah Islam sampai anda harus memperjuangkannya melalui cara yang tidak dibenarkan agama?! Sungguh semua ini adalah kehancuran!!
Al-Imam Abu Nu’aim -rahimahullah- berkata,
“والله ما هلك مَنْ هلكَ إلاَّ بحبِّ الرِّئاسة” (جامع بيان العلم) (1 / ص 286)
“Demi Allah, tidaklah binasa orang yang binasa, kecuali karena sebab kekuasaan”. [Baca Jami' Bayan Al-Ilm (1/286)]
Banyak orang yang mengetahui hakikat kebenaran. Namun ia enggan meninggalkan kesesatan dan kebatilan yang selama ini ia lakukan dan perjuangkan. Ia susah rujuk kepada kebenaran, akibat cinta dan haus kekuasaan. Ia rela hancur dalam kebatilan dan kesesatan bersama dengan pengikut atau sekelompoknya, karena takut kehilangan kekuasaan dan kedudukan di mata pengikut atau kelompoknya.
Inilah yang dialami oleh seorang Kaisar Romawi dan Raja Kostantinopel yang bernama Heraklius sebagaimana yang dituturkan oleh seorang sahabat yang mulia, Abu Sufyan Shokhr bin Harb -radhiyallahu anhu-, mertua Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Beliau -radhiyallahu anhu- menceritakan pengalamannya bersama Heraklius saat masih musyrik dan kafir,
أَنَّ هِرَقْلَ أَرْسَلَ إِلَيْهِ فِي رَكْبٍ مِنْ قُرَيْشٍ وَكَانُوا تِجَارًا بِالشَّأْمِ فِي الْمُدَّةِ الَّتِي كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَادَّ فِيهَا أَبَا سُفْيَانَ وَكُفَّارَ قُرَيْشٍ فَأَتَوْهُ وَهُمْ بِإِيلِيَاءَ فَدَعَاهُمْ فِي مَجْلِسِهِ وَحَوْلَهُ عُظَمَاءُ الرُّومِ ثُمَّ دَعَاهُمْ وَدَعَا بِتَرْجُمَانِهِ فَقَالَ أَيُّكُمْ أَقْرَبُ نَسَبًا بِهَذَا الرَّجُلِ الَّذِي يَزْعُمُ أَنَّهُ نَبِيٌّ فَقَالَ أَبُو سُفْيَانَ فَقُلْتُ أَنَا أَقْرَبُهُمْ نَسَبًا فَقَالَ أَدْنُوهُ مِنِّي وَقَرِّبُوا أَصْحَابَهُ فَاجْعَلُوهُمْ عِنْدَ ظَهْرِهِ ثُمَّ قَالَ لِتَرْجُمَانِهِ قُلْ لَهُمْ إِنِّي سَائِلٌ هَذَا عَنْ هَذَا الرَّجُلِ فَإِنْ كَذَبَنِي فَكَذِّبُوهُ فَوَاللَّهِ لَوْلَا الْحَيَاءُ مِنْ أَنْ يَأْثِرُوا عَلَيَّ كَذِبًا لَكَذَبْتُ عَنْهُ ثُمَّ كَانَ أَوَّلَ مَا سَأَلَنِي عَنْهُ أَنْ قَالَ كَيْفَ نَسَبُهُ فِيكُمْ قُلْتُ هُوَ فِينَا ذُو نَسَبٍ قَالَ فَهَلْ قَالَ هَذَا الْقَوْلَ مِنْكُمْ أَحَدٌ قَطُّ قَبْلَهُ قُلْتُ لَا قَالَ فَهَلْ كَانَ مِنْ آبَائِهِ مِنْ مَلِكٍ قُلْتُ لَا قَالَ فَأَشْرَافُ النَّاسِ يَتَّبِعُونَهُ أَمْ ضُعَفَاؤُهُمْ فَقُلْتُ بَلْ ضُعَفَاؤُهُمْ قَالَ أَيَزِيدُونَ أَمْ يَنْقُصُونَ قُلْتُ بَلْ يَزِيدُونَ قَالَ فَهَلْ يَرْتَدُّ أَحَدٌ مِنْهُمْ سَخْطَةً لِدِينِهِ بَعْدَ أَنْ يَدْخُلَ فِيهِ قُلْتُ لَا قَالَ فَهَلْ كُنْتُمْ تَتَّهِمُونَهُ بِالْكَذِبِ قَبْلَ أَنْ يَقُولَ مَا قَالَ قُلْتُ لَا قَالَ فَهَلْ يَغْدِرُ قُلْتُ لَا وَنَحْنُ مِنْهُ فِي مُدَّةٍ لَا نَدْرِي مَا هُوَ فَاعِلٌ فِيهَا قَالَ وَلَمْ تُمْكِنِّي كَلِمَةٌ أُدْخِلُ فِيهَا شَيْئًا غَيْرُ هَذِهِ الْكَلِمَةِ قَالَ فَهَلْ قَاتَلْتُمُوهُ قُلْتُ نَعَمْ قَالَ فَكَيْفَ كَانَ قِتَالُكُمْ إِيَّاهُ قُلْتُ الْحَرْبُ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُ سِجَالٌ يَنَالُ مِنَّا وَنَنَالُ مِنْهُ قَالَ مَاذَا يَأْمُرُكُمْ قُلْتُ يَقُولُ اعْبُدُوا اللَّهَ وَحْدَهُ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَاتْرُكُوا مَا يَقُولُ آبَاؤُكُمْ وَيَأْمُرُنَا بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَالصِّدْقِ وَالْعَفَافِ وَالصِّلَةِ فَقَالَ لِلتَّرْجُمَانِ قُلْ لَهُ سَأَلْتُكَ عَنْ نَسَبِهِ فَذَكَرْتَ أَنَّهُ فِيكُمْ ذُو نَسَبٍ فَكَذَلِكَ الرُّسُلُ تُبْعَثُ فِي نَسَبِ قَوْمِهَا وَسَأَلْتُكَ هَلْ قَالَ أَحَدٌ مِنْكُمْ هَذَا الْقَوْلَ فَذَكَرْتَ أَنْ لَا فَقُلْتُ لَوْ كَانَ أَحَدٌ قَالَ هَذَا الْقَوْلَ قَبْلَهُ لَقُلْتُ رَجُلٌ يَأْتَسِي بِقَوْلٍ قِيلَ قَبْلَهُ وَسَأَلْتُكَ هَلْ كَانَ مِنْ آبَائِهِ مِنْ مَلِكٍ فَذَكَرْتَ أَنْ لَا قُلْتُ فَلَوْ كَانَ مِنْ آبَائِهِ مِنْ مَلِكٍ قُلْتُ رَجُلٌ يَطْلُبُ مُلْكَ أَبِيهِ وَسَأَلْتُكَ هَلْ كُنْتُمْ تَتَّهِمُونَهُ بِالْكَذِبِ قَبْلَ أَنْ يَقُولَ مَا قَالَ فَذَكَرْتَ أَنْ لَا فَقَدْ أَعْرِفُ أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ لِيَذَرَ الْكَذِبَ عَلَى النَّاسِ وَيَكْذِبَ عَلَى اللَّهِ وَسَأَلْتُكَ أَشْرَافُ النَّاسِ اتَّبَعُوهُ أَمْ ضُعَفَاؤُهُمْ فَذَكَرْتَ أَنَّ ضُعَفَاءَهُمْ اتَّبَعُوهُ وَهُمْ أَتْبَاعُ الرُّسُلِ وَسَأَلْتُكَ أَيَزِيدُونَ أَمْ يَنْقُصُونَ فَذَكَرْتَ أَنَّهُمْ يَزِيدُونَ وَكَذَلِكَ أَمْرُ الْإِيمَانِ حَتَّى يَتِمَّ وَسَأَلْتُكَ أَيَرْتَدُّ أَحَدٌ سَخْطَةً لِدِينِهِ بَعْدَ أَنْ يَدْخُلَ فِيهِ فَذَكَرْتَ أَنْ لَا وَكَذَلِكَ الْإِيمَانُ حِينَ تُخَالِطُ بَشَاشَتُهُ الْقُلُوبَ وَسَأَلْتُكَ هَلْ يَغْدِرُ فَذَكَرْتَ أَنْ لَا وَكَذَلِكَ الرُّسُلُ لَا تَغْدِرُ وَسَأَلْتُكَ بِمَا يَأْمُرُكُمْ فَذَكَرْتَ أَنَّهُ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَيَنْهَاكُمْ عَنْ عِبَادَةِ الْأَوْثَانِ وَيَأْمُرُكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالصِّدْقِ وَالْعَفَافِ فَإِنْ كَانَ مَا تَقُولُ حَقًّا فَسَيَمْلِكُ مَوْضِعَ قَدَمَيَّ هَاتَيْنِ وَقَدْ كُنْتُ أَعْلَمُ أَنَّهُ خَارِجٌ لَمْ أَكُنْ أَظُنُّ أَنَّهُ مِنْكُمْ فَلَوْ أَنِّي أَعْلَمُ أَنِّي أَخْلُصُ إِلَيْهِ لَتَجَشَّمْتُ لِقَاءَهُ وَلَوْ كُنْتُ عِنْدَهُ لَغَسَلْتُ عَنْ قَدَمِهِ ثُمَّ دَعَا بِكِتَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الَّذِي بَعَثَ بِهِ دِحْيَةُ إِلَى عَظِيمِ بُصْرَى فَدَفَعَهُ إِلَى هِرَقْلَ فَقَرَأَهُ فَإِذَا فِيهِ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ مِنْ مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى هِرَقْلَ عَظِيمِ الرُّومِ سَلَامٌ عَلَى مَنْ اتَّبَعَ الْهُدَى أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي أَدْعُوكَ بِدِعَايَةِ الْإِسْلَامِ أَسْلِمْ تَسْلَمْ يُؤْتِكَ اللَّهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ فَإِنْ تَوَلَّيْتَ فَإِنَّ عَلَيْكَ إِثْمَ الْأَرِيسِيِّينَ وَ
))يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَنْ لَا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ ((
قَالَ أَبُو سُفْيَانَ فَلَمَّا قَالَ مَا قَالَ وَفَرَغَ مِنْ قِرَاءَةِ الْكِتَابِ كَثُرَ عِنْدَهُ الصَّخَبُ وَارْتَفَعَتْ الْأَصْوَاتُ وَأُخْرِجْنَا فَقُلْتُ لِأَصْحَابِي حِينَ أُخْرِجْنَا لَقَدْ أَمِرَ أَمْرُ ابْنِ أَبِي كَبْشَةَ إِنَّهُ يَخَافُهُ مَلِكُ بَنِي الْأَصْفَرِ فَمَا زِلْتُ مُوقِنًا أَنَّهُ سَيَظْهَرُ حَتَّى أَدْخَلَ اللَّهُ عَلَيَّ الْإِسْلَامَ وَكَانَ ابْنُ النَّاظُورِ صَاحِبُ إِيلِيَاءَ وَهِرَقْلَ سُقُفًّا عَلَى نَصَارَى الشَّأْمِ يُحَدِّثُ أَنَّ هِرَقْلَ حِينَ قَدِمَ إِيلِيَاءَ أَصْبَحَ يَوْمًا خَبِيثَ النَّفْسِ فَقَالَ بَعْضُ بَطَارِقَتِهِ قَدْ اسْتَنْكَرْنَا هَيْئَتَكَ قَالَ ابْنُ النَّاظُورِ وَكَانَ هِرَقْلُ حَزَّاءً يَنْظُرُ فِي النُّجُومِ فَقَالَ لَهُمْ حِينَ سَأَلُوهُ إِنِّي رَأَيْتُ اللَّيْلَةَ حِينَ نَظَرْتُ فِي النُّجُومِ مَلِكَ الْخِتَانِ قَدْ ظَهَرَ فَمَنْ يَخْتَتِنُ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ قَالُوا لَيْسَ يَخْتَتِنُ إِلَّا الْيَهُودُ فَلَا يُهِمَّنَّكَ شَأْنُهُمْ وَاكْتُبْ إِلَى مَدَايِنِ مُلْكِكَ فَيَقْتُلُوا مَنْ فِيهِمْ مِنْ الْيَهُودِ فَبَيْنَمَا هُمْ عَلَى أَمْرِهِمْ أُتِيَ هِرَقْلُ بِرَجُلٍ أَرْسَلَ بِهِ مَلِكُ غَسَّانَ يُخْبِرُ عَنْ خَبَرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا اسْتَخْبَرَهُ هِرَقْلُ قَالَ اذْهَبُوا فَانْظُرُوا أَمُخْتَتِنٌ هُوَ أَمْ لَا فَنَظَرُوا إِلَيْهِ فَحَدَّثُوهُ أَنَّهُ مُخْتَتِنٌ وَسَأَلَهُ عَنْ الْعَرَبِ فَقَالَ هُمْ يَخْتَتِنُونَ فَقَالَ هِرَقْلُ هَذَا مُلْكُ هَذِهِ الْأُمَّةِ قَدْ ظَهَرَ ثُمَّ كَتَبَ هِرَقْلُ إِلَى صَاحِبٍ لَهُ بِرُومِيَةَ وَكَانَ نَظِيرَهُ فِي الْعِلْمِ وَسَارَ هِرَقْلُ إِلَى حِمْصَ فَلَمْ يَرِمْ حِمْصَ حَتَّى أَتَاهُ كِتَابٌ مِنْ صَاحِبِهِ يُوَافِقُ رَأْيَ هِرَقْلَ عَلَى خُرُوجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَّهُ نَبِيٌّ فَأَذِنَ هِرَقْلُ لِعُظَمَاءِ الرُّومِ فِي دَسْكَرَةٍ لَهُ بِحِمْصَ ثُمَّ أَمَرَ بِأَبْوَابِهَا فَغُلِّقَتْ ثُمَّ اطَّلَعَ فَقَالَ يَا مَعْشَرَ الرُّومِ هَلْ لَكُمْ فِي الْفَلَاحِ وَالرُّشْدِ وَأَنْ يَثْبُتَ مُلْكُكُمْ فَتُبَايِعُوا هَذَا النَّبِيَّ فَحَاصُوا حَيْصَةَ حُمُرِ الْوَحْشِ إِلَى الْأَبْوَابِ فَوَجَدُوهَا قَدْ غُلِّقَتْ فَلَمَّا رَأَى هِرَقْلُ نَفْرَتَهُمْ وَأَيِسَ مِنْ الْإِيمَانِ قَالَ رُدُّوهُمْ عَلَيَّ وَقَالَ إِنِّي قُلْتُ مَقَالَتِي آنِفًا أَخْتَبِرُ بِهَا شِدَّتَكُمْ عَلَى دِينِكُمْ فَقَدْ رَأَيْتُ فَسَجَدُوا لَهُ وَرَضُوا عَنْهُ فَكَانَ ذَلِكَ آخِرَ شَأْنِ هِرَقْلَ
“Heraklius telah mengutus seseorang kepadanya saat ia (Abu Sufyan) berada dalam rombongan Quraisy. Mereka berdagang di Negeri Syam di masa (Perjanjian Hudaibiyyah) saat Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- memberikan waktu (penangguhan) kepada Abu Sufyan dan kafir Quraisy.
Mereka pun mendatangi Heraklius, sedang mereka berada di Iliya’ (Baitul Maqdis). Heraklius pun mengundang mereka di majelisnya, sedang di sekitarnya terdapat para pembesar Negeri Syam. Lalu ia pun memanggil kaum Quraisy dan juru bicaranya.
Dia (juru bicara) berkata (berdasarkan perintah Heraklius), “Siapakah diantara kalian yang lebih dekat nasabnya dengan si lelaki ini yang mengaku bahwa ia adalah nabi?”
Abu Sufyan berkata, “Aku jawab, “Saya yang paling dekat nasabnya diantara mereka”.
Heraklius berkata, “Dekatkan ia (Abu Sufyan) dan teman-temannya, lalu jadikan mereka di balik punggung Abu Sufyan”.
Kemudian Heraklius berkata kepada juru bicaranya, “Katakanlah kepada mereka, “Aku (Heraklius) akan menanyai si ini (Abu Sufyan) tentang lelaki ini. Jika ia (Abu Sufyan) membohongiku, maka dustakanlah ia”.
(Abu Sufyan berkata), “Demi Allah, andaikan bukan karena malu kalau mereka menukil kedustaan dariku, maka aku pasti berdusta atasnya”.
Pertama kali ia menanyaiku, ia berkata, “Bagaimana nasabnya lelaki itu diantara kalian?”
Aku (Abu Sufyan) katakan, “Dia orang yang bernasab diantara kami”.
Heraklius bertanya, “Apakah ada diantara kalian orang yang menyatakan pernyataan ini (yakni, pernyataan dan pengakuan sebagai nabi) oleh salah seorang diantara kalian sebelumnya”.
Aku jawab, “Tak ada!!”
Heraklius bertanya, “Apakah diantara nenek moyangnya ada seorang raja?”
Aku jawab, “Tak ada!!”
Heraklius bertanya, “Apakah orang-orang terpandang yang mengikutinya ataukah orang-orang lemah?”
Aku jawab, “Bahkan (yang mengikutinya) orang-orang lemah diantara mereka”.
Dia bertanya lagi, “Apakah mereka (para pengikutnya) bertambah ataukah berkurang?”
Aku jawab, “Bahkan mereka terus bertambah”.
Dia bertanya, “Apakah seorang diantara mereka ada yang murtad, karena benci agama si nabi itu setelah ia masuk padanya”.
Aku katakan, “Tidak ada!!”
Ia bertanya, “Apakah kalian dahulu pernah menuduhnya berdusta sebelum ia menyatakan sesuatu yang ia nyatakan”.
Aku jawab, “Tidak pernah!!”
Heraklius bertanya, “Apakah ia pernah berkhianat”.
Aku jawab, “Tak pernah!! Kami bersamanya berada dalam masa perjanjian. Kami tidak tahu apa yang ia akan lakukan dalam masa perjanjian ini”.
Dia berkata, “Tak ada suatu kalimat yang mungkin bagiku untuk aku masukkan di dalamnya, selain kalimat ini”.
Heraklius berkata lagi, “Apakah kalian memeranginya?”.
Aku jawab, “Ya”.
Ia bertanya, “Apakah kalian memeranginya?”
Aku katakan, “Ya”.
Heraklius bertanya, “Bagaimanakah peperangan kalian dengannya?”
Aku jawab, “Peperangan antara kami dengannya adalah silih berganti; ia mengalahkan kami dan kami pun mengalahkannya”
Heraklius bertanya, “Apa yang ia perintahkan kepada kalian?”
Aku (Abu Sufyan) katakan, “Dia (yakni, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-) berkata, “Sembahlah Allah saja, jangan mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun dan tinggalkanlah apa yang dinyatakan oleh nenek moyang kalian. Dia juga memerintahkan kami untuk sholat, zakat, jujur, menjaga kesucian diri dan menyambung tali silaturahim”.
Heraklius berkata kepada juru bicara, “Katakanlah kepadanya,
“Aku menanyaimu tentang nasab lelaki (yang mengaku nabi) itu, lalu engkau menyebutkan bahwa ia orang yang bernasab diantara kalian. Demikianlah halnya para rasul diutus menurut nasab kaumnya.
Aku menanyaimu, “Apakah ada diantara kalian orang yang menyatakan pernyataan ini (yakni, pernyataan dan pengakuan sebagai nabi) oleh salah seorang diantara kalian sebelumnya”. Lalu anda menyebutkan, “Tak ada!!”
Karena itu, aku katakan, “Andaikan ada seorang yang pernah menyatakan pernyataan ini (yakni, pernyataan dan pengakuan sebagai nabi) oleh salah seorang diantara kalian sebelumnya, maka aku akan katakan bahwa ia adalah seorang yang mengikuti pernyataan yang pernah dinyatakan sebelumnya”.
Aku menanyaimu, “Apakah diantara nenek moyangnya ada seorang raja?” lalu anda menyebutkan (menjawab), “Tak ada”.
Aku katakan, “Andaikan ada diantara nenek moyangnya seorang raja, maka pasti aku akan katakan, “Ia adalah seorang yang menuntut kerajaan bapaknya”.
Aku menanyaimu, “Apakah kalian dahulu pernah menuduhnya berdusta sebelum ia menyatakan sesuatu yang ia nyatakan”.
Lalu anda jawab, “Tidak pernah!!”
Sungguh aku tahu bahwa ia (seorang nabi) tidak akan membiarkan (dirinya) berdusta atas manusia dan berdusta atas Allah.
Aku menanyaimu, “Apakah orang-orang terpandang yang mengikutinya ataukah orang-orang lemah?”
Anda jawab, “Orang-orang lemah diantara mereka yang mengikutinya”.
Mereka (orang-orang lemah) itulah pengikut para rasul.
Aku menanyaimu, “Apakah mereka (para pengikutnya) bertambah ataukah berkurang?”
Lalu anda jawab, “Mereka terus bertambah”.
Demikianlah halnya perkara iman sampai ia sempurna.
Aku menanyaimu, “Apakah seorang diantara mereka ada yang murtad, karena benci terhadap agama si nabi itu setelah ia masuk padanya”.
Anda katakan, “Tidak ada!!”
Demikianlah halnya iman, ketika manisnya iman merasuki hati.
Aku menanyaimu, “Apakah ia pernah berkhianat”.
Anda jawab, “Tak pernah!!
Demikianlah halnya para rasul tidak pernah berkhianat.
Aku menanyaimu tentang sesuatu yang ia perintahkan kepada kalian.
Kemudian anda sebutkan bahwa dia (yakni, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-) memerintahkan kalian (dengan sabdanya), “Sembahlah Allah saja, jangan mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun dan tinggalkanlah apa yang dinyatakan oleh nenek moyang kalian”. Dia juga melarang kalian dari penyembahan berhala-berhala serta ia memerintahkan kalian untuk sholat, zakat, jujur, dan menjaga kesucian diri.
Jika sesuatu yang anda nyatakan adalah benar, maka ia (yakni, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-) kelak akan menguasai posisi kedua kakiku ini.
Aku sudah tahu bahwa ia akan keluar (muncul), namun tidak pernah menyangka bahwa ia akan muncul diantara kalian. Andaikan aku yakin dapat sampai kepadanya, maka pasti aku berusaha keras untuk menjumpainya. Andaikan aku di sisinya, maka aku akan cuci kedua kakinya”.
Kemudian Heraklius meminta suratnya Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- yang pernah dikirim oleh Dihyah kepada Pembesar Negeri Bushro[4]. Lalu ia serahkan kepada Heraklius.
Heraklius membacanya, nah ternyata di dalamnya berisi (pesan),
“Bismillahirrahmanir rahim. Dari Muhammad, Hamba Allah dan Rasul-Nya kepada Heraklius, Pembesar Negeri Romawi.
Semoga keselamatan bagi orang yang mau mengikuti petunjuk. Selanjutnya:
Sesungguhnya aku mengajakmu dengan dakwah Islam. Masuklah Islam, niscaya anda akan selamat; Allah akan memberimu pahala sebanyak dua kali.[5] Jika anda berpaling, maka kamu akan mendapatkan (menanggung) dosanya para petani[6].
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ [آل عمران : 64]
“Hai ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kalian, bahwa kita tidak akan sembah, kecuali Allah dan kita tidak akan mempersekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan, selain Allah”. Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka, “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.[7]
Abu Sufyan berkata, “Tatkala Heraklius telah menyatakan sesuatu yang ia nyatakan dan selesai membaca surat itu, maka hiruk-pikuk pun banyak, suara-suara meninggi dan kami pun dikeluarkan”.
Aku katakan kepada para rekanku tatkala kami dikeluarkan, “Sungguh besar urusan cucunya si Abu Kabsyah (yakni, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-)[8]. Sesungguhnya ia ditakuti oleh Raja Bani Ashfar (yakni, Raja Romawi)”.
Senantiasa aku yakin bahwa urusan (agama) Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- akan jaya sampai Allah memasukkan Islam pada diriku.[9]
Ibnu An-Nazhur, Penguasa Iliyaa’ (Baitul Maqdis) dan pengikut Heraklius adalah seorang uskup bagi Nashrani Syam; ia menceritakan bahwa Heraklius tatkala datang ke Iliyaa’ di suatu hari menjadi orang yang buruk hatinya (yakni, bersedih). Sebagian pengawalnya berkata, “Sungguh kami merasakan keanehan pada keadaanmu”.
Ibnu An-Nazhur berkata, “Dahulu Heraklius adalah seorang dukun (paranormal) yang mampu memperhatikan bintang-bintang”.[10]
Heraklius berkata kepada mereka saat mereka menanyainya,
“Sesungguhnya tadi malam aku melihat kerajaan khitan (yakni, bangsa Arab) sungguh telah tampak (jaya) –saat aku memperhatikan bintang-bintang–. Siapakah yang berkhitan diantara manusia zaman ini?”
Mereka (para bawahannya) berkata, “Tak ada yang berkhitan, kecuali bangsa Yahudi. Tapi urusan mereka tidak perlu membuatmu bersedih. Tulislah (surat) ke kota-kota kekuasaanmu, sehingga mereka pun akan membunuh orang-orang Yahudi diantara mereka”.
Tatkala mereka berada dalam urusan (musyawarah) itu, didatangkanlah seorang lelaki yang diutus oleh Raja Ghossan. Orang itu akan memberitakan tentang kabar Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-.
Tatkala Heraklius menanyainya, maka ia berkata, “Pergilah kalian dan perhatikan orang itu, apakah ia berkhitan ataukah tidak?”
Mereka pun memperhatikannya (memeriksanya), lalu mengabari Heraklius bahwa orang itu berkhitan.
Heraklius menanyainya tentang bangsa Arab. Orang itu berkata, “Mereka (bangsa Arab) adalah berkhitan”.
Heraklius berkata, “Inilah kerajaan umat ini (yakni, bangsa Arab) sungguh telah muncul”.
Kemudian Heraklius menulis surat kepada seorang sahabatnya di Roma. Ia sama dengannya dalam ilmu. Heraklius pun berjalan menuju Hims.
Heraklius belum sampai ke Hims, hingga ia datangi oleh surat dari temannya (di Roma) yang menyetujui pandangan Heraklius tentang akan keluarnya Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan bahwa ia adalah seorang nabi.
Kemudian Heraklius mengumumkan kepada para pembesar Romawi (untuk masuk) dalam istananya di kota Hims. Lalu ia perintahkan agar pintu-pintunya ditutup, lalu ia muncul (dari atas) seraya berkata, “Wahai orang-orang Romawi, apakah kalian mau keberuntungan dan kebenaran serta kerajaan kalian akan kokoh? Karena itu, hendaknya kalian membai’at si Nabi ini (yakni, Nabi Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam-)”.
Mereka (para pembesar itu) pun berlari kencang seperti larinya keledai liar menuju pintu-pintu istana. Namun mereka menemukannya sungguh telah tertutup.
Tatkala Heraklius melihat larinya mereka dan berputus asanya ia dari keimanan mereka, maka ia berkata, “Kembalikanlah mereka kepadaku”, seraya ia berkata lagi,
“Aku mengucapkan ucapanku tadi untuk menguji dengannya ketegaran kalian di atas agama kalian, sedang sungguh aku telah melihatnya (yakni, membuktikannya)”.
Mereka pun bersujud kepadanya dan meridhoinya. Itulah akhir keadaan Heraklius”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (no. 7) dan Muslim dalam Shohih-nya (1773)]
Para pembaca yang budiman, perhatikanlah bagaimana kuatnya pengaruh kekuasaan atas diri Heraklius. Ia tidak mau rujuk kepada kebenaran, karena ia amat cinta kepada kekuasaan. Padahal kebenaran telah tampak di pelupuk matanya, seterang matahari di siang bolong. Ia paham benar kebenaran yang dibawa oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, bahkan ia lebih berilmu dibandingkan sahabat Abu Sufyan kala itu. Tapi demikianlah Allah menyesatkannya, dengan sebab cinta kekuasaan, lalu memberi hidayah kepada sahabat Abu Sufyan -radhiyallahu anhu- sebagai pengaruh dari dialog tersebut dan hilangnya cinta kekuasaan dari diri beliau.
Orang-orang yang semisal Heraklius banyak jumlahnya di setiap zaman dan tempat. Ingatkah anda seorang raja di zaman Nabi Ibrahim -Shallallahu alaihi wa sallam- sebagaimana dikisahkan perihalnya dalam Surah Al-Baqoroh,
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِي حَاجَّ إِبْرَاهِيمَ فِي رَبِّهِ أَنْ آَتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ إِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّيَ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ قَالَ أَنَا أُحْيِي وَأُمِيتُ قَالَ إِبْرَاهِيمُ فَإِنَّ اللَّهَ يَأْتِي بِالشَّمْسِ مِنَ الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ فَبُهِتَ الَّذِي كَفَرَ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ [البقرة/258]
Apakah kamu tidak memperhatikan orang[11] yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan, “Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan,” orang itu berkata, “Saya dapat menghidupkan dan mematikan”[12].Ibrahim berkata: “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, Maka terbitkanlah dia dari barat”, lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim”. (QS. Al-Baqoroh : 258)
Al-Imam Al-Hafizh Abul Fidaa’ Muhammad bin Ismai’il Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy -rahimahullah- berkata dalam mengomentari ayat ini,
“Maksudnya, jika kamu (Namrud) sebagaimana yang kamu klaim bahwa kamu dapat menghidupkan dan mematikan. Nah, yang menghidupkan dan mematikan, dialah yang mampu berbuat apa saja di alam nyata ini, seperti menciptakan benda-benda, menundukkan benda-benda langit dan pergerakannya. Nah, matahari ini muncul setiap hari dari Timur; jika kamu memang ilah (sembahan) -sebagaimana yang kamu klaim- dapat menghidupkan dan mematikan, maka coba datangkan matahari ini dari barat. Tatkala Namrud mengetahui ketidakmampuannya dan bahwa ia tidak mampu lagi membantah pada kesempatan itu, maka terdiamlah ia, tidak mampu berbicara dan tegaklah hujjah atasnya”. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (1/686)]
Lihatlah Namrud diam membisu dan tidak mampu menjawab permintaan dan pertanyaan Ibrahim -Shallallahu alaihi wa sallam-, sebab pertanyaan itu adalah pertanyaan yang melahirkan jawaban fitrah yang membungkam mulut Namrud.
Konon kabarnya, Raja Namrud bin Kan’an adalah raja pertama yang mengaku sebagai ilah(tuhan yang disembah). Orang ini amat menyombongkan diri. Namun Ibrahim mementahkan semua pengakuannya sampai ia harus mengakui kebenaran yang dibawa oleh Ibrahim. Tapi apakah ia rujuk?Susah baginya rujuk, sebab kekuasaan telah menguasai hatinya. Andaikan bukan karena hal itu, maka ia akan rujuk dan diberi hidayah oleh Allah -Subhanahu wa Ta’ala-. Apalagi percakapan itu, bukan hanya sekali saja, bahkan Nabi Ibrahim -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah mendebatnya sampai Namrud dan kaumnya terbisu dan merenung. [Lihat Ruhul Ma'ani (3/15) karya Mahmud Al-Alusiy -rahimahullah-, cet. Dar Ihya' At-Turots Al-Arobiy, Beirut]
Allah -Azza wa Jalla- mengisahkan perdebatan beliau dengan Raja Namrud bersama kaumnya,
وَتَاللَّهِ لَأَكِيدَنَّ أَصْنَامَكُمْ بَعْدَ أَنْ تُوَلُّوا مُدْبِرِينَ (57) فَجَعَلَهُمْ جُذَاذًا إِلَّا كَبِيرًا لَهُمْ لَعَلَّهُمْ إِلَيْهِ يَرْجِعُونَ (58) قَالُوا مَنْ فَعَلَ هَذَا بِآَلِهَتِنَا إِنَّهُ لَمِنَ الظَّالِمِينَ (59) قَالُوا سَمِعْنَا فَتًى يَذْكُرُهُمْ يُقَالُ لَهُ إِبْرَاهِيمُ (60) قَالُوا فَأْتُوا بِهِ عَلَى أَعْيُنِ النَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَشْهَدُونَ (61) قَالُوا أَأَنْتَ فَعَلْتَ هَذَا بِآَلِهَتِنَا يَا إِبْرَاهِيمُ (62) قَالَ بَلْ فَعَلَهُ كَبِيرُهُمْ هَذَا فَاسْأَلُوهُمْ إِنْ كَانُوا يَنْطِقُونَ (63) فَرَجَعُوا إِلَى أَنْفُسِهِمْ فَقَالُوا إِنَّكُمْ أَنْتُمُ الظَّالِمُونَ (64) ثُمَّ نُكِسُوا عَلَى رُءُوسِهِمْ لَقَدْ عَلِمْتَ مَا هَؤُلَاءِ يَنْطِقُونَ (65) قَالَ أَفَتَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنْفَعُكُمْ شَيْئًا وَلَا يَضُرُّكُمْ (66) أُفٍّ لَكُمْ وَلِمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَفَلَا تَعْقِلُونَ (67) قَالُوا حَرِّقُوهُ وَانْصُرُوا آَلِهَتَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ فَاعِلِينَ (68) قُلْنَا يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلَامًا عَلَى إِبْرَاهِيمَ (69) وَأَرَادُوا بِهِ كَيْدًا فَجَعَلْنَاهُمُ الْأَخْسَرِينَ (70) وَنَجَّيْنَاهُ وَلُوطًا إِلَى الْأَرْضِ الَّتِي بَارَكْنَا فِيهَا لِلْعَالَمِينَ (71) [الأنبياء/58-71]
“Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhala kalian sesudah kalian pergi meninggalkannya. Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur terpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain; agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya.
Mereka berkata, “Siapakah yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami. Sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang zhalim.” Mereka berkata, “Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim”.
Mereka berkata, “(Kalau demikian) bawalah dia dengan cara yang dapat dilihat orang banyak, agar mereka menyaksikan”. Mereka bertanya, “Apakah kamu, yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim?”
Ibrahim menjawab, “Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya. Karenanya, tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara”.
Maka mereka telah kembali kepada kesadarannya, seraya mereka berkata, “Sesungguhnya kalian semuanya adalah orang-orang yang zhalim/menganiaya (diri sendiri)”,
Kemudian kepala mereka jadi tertunduk[13], (lalu berkata): “Sesungguhnya kamu (hai Ibrahim) telah mengetahui bahwa berhala-berhala itu tidak dapat berbicara.”
Ibrahim berkata, “Maka mengapakah kalian menyembah dari selain Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikitpun dan tidak (pula) memberi mudharat kepada kalian? Ah (celakalah) kalian dan apa yang kalian sembah dari selain Allah. Maka apakah kalian tidak memahami?
Mereka berkata, “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak”.
Kami berfirman, “Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim”,
Mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim. Maka Kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling merugi dan Kami selamatkan Ibrahim dan Luth ke sebuah negeri yang Kami telah memberkahinya untuk sekalian manusia”. (QS. Al-Anbiyaa’ : 57-71)
Raja Namrud dan kaumnya enggan rujuk kebenaran. Itulah sikap setiap pembangkang. Nah, disini kita mendapatkan sebuah isyarat bahwa kecintaan terhadap kekuasaan kadang menjadi sebab seseorang gengsi dan enggan menerima kebenaran, walaupun telah jelas sekali.
- 2. Menyombongkan diri dan Enggan Menerima Kebenaran
Sebab kedua yang membuat sebagian orang jauh dari kebenaran dan tidak mau rujuk kepadanya, yaituadanya sifat sombong pada dirinya. Kesombongan itu telah bercokol dalam dirinya karena dilatari oleh beberapa sebab, seperti ia melihat dirinya lebih tinggi dan mulia, sedang orang lain lebih hina dan rendah di matanya!!
Kesombongan sebagaimana yang dijelaskan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam sabdanya,
الْكِبْرُ: بَطْرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan memandang remeh orang lain”. [HR.Muslim dalamShohih-nya (91)]
Menolak kebenaran dan memandang remeh orang lain lahir dari kesombongan, bahkan ia adalah kesombongan itu sendiri.
Kesombongan membuat orang jauh dari petunjuk Allah -Azza wa Jalla-. Itulah sebabnya Iblis membangkang perintah Allah untuk bersujud kepada Adam –alaihissalam-, sebab ia memandang remeh dan hina Nabi Adam dari sisi asal penciptaan.
Allah -Ta’ala- berfirman dalam mengisahkan kesombongan Iblis,
قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ (75) قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ (76) قَالَ فَاخْرُجْ مِنْهَا فَإِنَّكَ رَجِيمٌ (77) وَإِنَّ عَلَيْكَ لَعْنَتِي إِلَى يَوْمِ الدِّينِ (78) قَالَ رَبِّ فَأَنْظِرْنِي إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ (79) قَالَ فَإِنَّكَ مِنَ الْمُنْظَرِينَ (80) إِلَى يَوْمِ الْوَقْتِ الْمَعْلُومِ (81) قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ (82) إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ (83) [ص/75-83]
“Allah berfirman: “Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu bersujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?”. Iblis berkata, “Aku lebih baik daripadanya. Karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah”. Allah berfirman, “Maka keluarlah kamu dari surga; Sesungguhnya kamu adalah orang yang terkutuk. Sesungguhnya kutukan-Ku tetap atasmu sampai hari pembalasan”. Iblis berkata, “Ya Tuhanku, beri tangguhlah Aku sampai hari mereka dibangkitkan”. Allah berfirman, “Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh, sampai kepada hari yang telah ditentukan waktunya (hari kiamat)”. Iblis menjawab, “Demi kekuasaan-Mu, aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis (diberi keikhlasan) di antara mereka”. (QS. Shood : 75-83)
Lihatlah Iblis yang memandang remeh Nabi Adam dengan dalih aqli yang masih bisa dipatahkan dengan mudah. Tapi kesombongan di hatinya, maka ia lebih memilih tidak bersujud sehingga ia pun diusir. Ketika diusir, ia tidak bertobat, bahkan ia menjadi-jadi dalam pembangkangan dan kesombongannya demi menentang perintah dan petunjuk Allah -Azza wa Jalla-. Subhanallah, demikianlah sifat orang-orang sombong, ia enggan menerima nasihat dan arahan, walapun ia jelas-jelas salah dan menentang kebenaran.
Sebaliknya, Adam saat bersalah, ia bertobat di hadapan Tuhan-nya sebagaimana yang Allah abadikan dalam Al-Qur’an,
قَالا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ [الأعراف/23]
“Keduanya berkata, “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi”. (QS. Al-A’raaf : 23)
Demikianlah sifat orang yang diberi hidayah, ia bertobat dan meminta ampunan dosanya selama ini serta bersegera rujuk kepada kebenaran.
Para pembaca yang budiman, kesombongan adalah penyakit berbahaya yang dapat menjangkiti semua kalangan, kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Allah. Hendaknya setiap orang berusaha dan membiasakan diri menerima kebenaran dari siapa saja, baik dari orang yang lebih mulia, maupun dari orang yang lebih rendah darinya.
Semua kalangan mungkin untuk dijangkiti penyakit sombong, baik itu pemerintah, maupun rakyat atau ustadz yang berilmu, maupun santri.
Ketahuilah kesombongan jangan dianggap remeh!! Seorang jangan tertipu bahwa dirinya adalah seorang ustadz atau ulama, lalu ia tidak akan terjangkiti penyakit berbahaya ini.Tidaklah demikian, bahkan yang sering terjangkiti penyakit ini adalah orang-orang yang diberi kelebihan ilmu, atau harta benda, atau kedudukan, atau kekuasaan!![14]
Alangkah banyaknya orang-orang yang berilmu dari kalangan ulama dan ustadz yang menyangka dirinya memiliki segudang ilmu, namun di saat ia diuji dengan kebenaran yang datang dari orang yang lebih rendah daripada dirinya dari sisi ilmu, maka ia serta-merta menolak kebenaran, walapun nyata-nyata ia salah. Sikap meremehkan orang lain, membuatnya gengsi menerima dan rujuk kepada al-haqq (kebenaran).
Al-Imam Sufyan bin Uyainah Al-Kufiy -rahimahullah- berkata,
ليس العاقل الذي يعرف الخير والشر، وإنما العاقل الذي إذا رأى الخير اتبعه وإذا رأى الشر اجتنبه” (الحلية) (8 / 339)
“Bukanlah orang yang berakal itu adalah orang yang sekedar mengetahui kebaikan dan keburukan. Hanyalah orang yang berakal itu adalah orang yang bila melihat kebenaran, maka ia mengikutinya; jika ia melihat keburukan, maka ia jauhi”. [Lihat Hilyah Al-Auwliya' (8/339)]
Orang-orang yang berilmu seperti ini kadang tidak menyadari dirinya telah terjerumus dalam kubang kesombongan, sehingga ia pun berusaha mendatangkan berbagai argumen dan dalih yang amat lemah demi menguatkan pendapatnya.
Selayaknya orang yang berilmu semakin tawadhu di saat ilmu bertambah, bukan semakin sombong. Inilah tanda kebahagiaan seorang hamba.
Hanya saja sebagian orang, bila ia diberi ilmu tentang Al-Kitab dan Sunnah, maka iapun tinggi hati, sombong dan congkak, sehingga ia tidak mau menerima nasihat dan kebenaran dari orang lain. Ini adalah tanda kesengsaraan seorang hamba. Orang sombong seperti ini biasanya berlagak layaknya seorang nabi yang tidak pernah salah. Orang sombong dengan ilmunya, jika keliru, maka ia akan berusaha mencari-cari dalil bagi pendapat batilnya, bukan malah rujuk kepada pendapat yang haqq.Prinsipnya, semua pendapat orang salah, kecuali yang bersesuaian dengan pendapatnya. Subhanallah, orang yang lebih baik saja daripada dirinya tidak pernah berkata demikian. Ya, demikianlah kesombongan menguasai hatinya dan merusaknya sehingga yang haqq, ia anggap batil, lalu yang batil ia anggap haqq.
Al-Imam Abu Abdillah Ibnu Qoyyim Al-Jawziyyah -rahimahullah- berkata dalam kitabnya Al-Fawa’id,
من علامات السعادة والفلاح: أنَّ العبد كُلَّما زيدَ في عِلْمِه زِيْدَ في تواضعهِ ورَحْمَتِهِ، وكُلَّما زِيدَ في عملهِ زِيدَ في خَوْفِهِ وحذَرِهِ، وكُلَّما زِيدَ في عمرهِ نَقَصَ مِنْ حِرْصِهِ، وكُلَّما زِيدَ في مالهِ زِيْدَ في سَخَائِهِ وبذلهِ، وكُلَّما زيدَ في قَدْرِهِ وَجَاهِهِ زيدَ في قُرْبِهِ مِنَ النَّاسِ وقضاءِ حوائجهم والتَّواضع لهم.
“Diantara tanda-tanda kebahagian dan keberuntungan bahwa seorang hamba, setiap kali diberi tambahan ilmu, maka ia pun diberi tambahan tawadhu’ dan kasih sayangnya. Setiap kali diberi tambahan ilmu, maka ia pun diberi tambahan sifat takut dan waspada. Setiap kali diberi tambahan umur, maka sikap rakusnya berkurang. Setiap kali ia diberi tambahan harta, maka ia diberi tambahan sifat pemurah dan berkorban. Setiap kali ia diberi tambahan kemuliaan dan kedudukan, maka ia diberi tambahan kedekatan kepada manusia dan ia semakin memenuhi hajat-hajat manusia serta tawadhu’ (rendah diri) kepada mereka.
Tanda-tanda kesengsaraan (bagi seorang hamba) adalah setiap kali diberi tambahan ilmu, maka ia diberi tambahan kesombongan dan kesesatan. Setiap kali ia diberi tambahan amalan, maka ia diberi tambahan kebanggaan dan perendahan terhadap manusia serta berbaik sangka pada diri sendiri. Setiap kali diberi tambahan umur, maka ia diberi tambahan kerakusan. Setiap kali ia diberi tambahan harta benda, maka ia diberi tambahan kebakhilan dan penahanan harta. Setiap kali ia diberi tambahan kemuliaan dan kedudukan, maka ia diberi tambahan kesombongan dan kesesatan.
Perkara-perkara ini adalah ujian dan cobaan dari Allah, yang Allah menguji dengannya para hamba-Nya. Lantaran itu, berbahagialah karenanya beberapa kaum dan sengsara karenanya beberapa kaum”. [LihatAl-Fawa'id (hal. 155), oleh Ibnul Qoyyim, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 1393 H]
Berbangga dengan ilmu yang diperoleh merupakan tanda kesombongan pada diri seorang penuntut ilmu.Penyakit ini banyak menimpa para penuntut ilmu syar’i. semua itu menunjukkan tanda kejahilannya. Walaupun banyak ilmu yang ia tulis, dengar dan hafal, namun hakikatnya ia adalah orang yang jahil. Apalah gunanya seorang bergelar “Al-Ustadz” atau “Al-Faqih” dan “Al-Muhaddits”, sementara ia direndahkan oleh sifat hina pada dirinya berupa sifat takjub dan bangga diri dengan ilmunya?!
Kesana-kemari ia banggakan dirinya bahwa ia adalah murid salah seorang ulama kibar (besar). Ia pamerkan bahwa dirinya telah menghafal sekian dan sekian ilmu. Ia tunjukkan kepada orang bahwa dirinya adalah orang yang paling pantas berbicara di segala cabang ilmu. Adapun yang lainnya dari kalangan ustadz dan penuntut ilmu syar’iy, maka tidak ada tempat baginya untuk berbicara. Ia sebarkan opini bahwa ia adalah orang yang paling pandai dan berilmu sehingga ia pun melakukan rihlah da’wiyyah (perjalanan dakwah) kemana-mana agar ia dikenal orang di segala tempat, sementara itu ia menelantarkan anak-anak kaum muslimin (baca: para santrinya) yang menunggu siraman ilmunya. Apa yang ia inginkan di balik popularitasnya sebagai “dai sejuta umat”, sedang ia menzhalimi para santrinya?
Jika ia ingin pahala, bukankah ia lebih utama meraih pahala dengan mengader dan membina para santrinya sehingga dari mereka lahir dan berkembang ilmu yang ia miliki. Sebab merekalah kelak akan meneruskan estafet ilmunya. Adapun masyarakat awam –pada umumnya-, maka mendakwahi mereka memang perlu, namun jangan menjadi prioritas. Mendidik seorang santri jauh lebih baik dibandingkan menyampaikan ilmu di hadapan orang-orang yang tidak fokus menerima dan mengambil ilmu darinya dari kalangan masyarakat awam.
Dai yang berbangga dengan ilmunya tidak punya semangat mendidik para santrinya di pesantren, bahkan ia punya semangat menyampaikan ilmunya dimana-mana. Semuanya demi popularitas dan dunia. Hendaknya dai yang seperti ini waspada dengan gejala buruk ini.
Dai-dai semodel ini hakikatnya orang yang lemah dan jahil tentang hakikat ilmu. tidak heran jika para ulama salaf men-tahdzir (memperingatkan) kita dari sifat takjub, bangga dan menyombongkan diri dengan ilmu yang telah diraih.
Seorang ulama tabi’in, Masruq bin Al-Ajda’ -rahimahullah- berkata,
كفى بالمرء علمًا أن يخشى الله، وكفى بالمرء جهلًا أن يعجب بعلمه. قال أبو عمر: إنما أعرفه بعمله
“Cukuplah seorang (dikatakan) berilmu jika ia takut kepada Allah dan cukuplah seseorang (dikatakan) jahil, jika ia berbangga dengan ilmunya”.
Ibnu Abdil Barr Al-Andalusiy -rahimahullah- berkomentar usai membawakan atsar ini, “Aku hanyalah mengenalinya dengan amal perbuatannya”.[15]
Sahabat Abud Darda’ Uwaimir bin Zaid Al-Khozrojiy -radhiyallahu anhu- berkata,
علامة الجهلِ ثلاثة: العجبُ، وكثرة المنطق فيما لا يعنيه، وأنْ ينهى عن شيءٍ ويأتيه
“Tanda kejahilan ada tiga: ujub (bangga diri dan sombong), banyak bicara dalam perkara yang tidak bermanfaat baginya dan melarang (orang lain) dari sesuatu (yang munkar), namun ia sendiri yang melakukannya”.
Ujub (bangga diri) yang biasa menghinggapi sebagian orang-orang yang diberi kelebihan dan kecakapan merupakan penyakit yang amat berbahaya bagi pelakunya.
Ali bin Abi Tholib -radhiyallahu anhu- berkata,
الإِعْجَابُ آفَةُ اْلألْبَابِ
“Bangga diri merupakan penyakit hati”.
Saking berbahayanya penyakit ini sampai ia dapat memengaruhi gaya dan cara berpikir seseorang. tidak ada dalam pikirannya, selain usaha untuk mencari popularitas dan perhatian manusia agar mereka terpukau dengan kelebihan yang dimiliki orang yang berpenyakit bangga diri ini.
Sebagian ulama salaf berkata,
إعجابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ دَلِيْلٌ عَلَى ضَعْفِ عَقْلِهِ
“Bangganya seseorang terhadap dirinya sendiri merupakan tanda atas kelemahan akal (pikiran)nya”.
Tahukah anda rahasianya, kenapa sebagian orang senang berbangga diri dengan ilmunya?! Jawabnya, silakan anda dengar ucapan para salaf di bawah ini.
Mereka (para salaf) berkata,
“لا ترى المعجب إلاَّ طالباً للرئاسة”.
“Anda tidak akan memandang orang yang berbangga diri, selain ia sebagai pencari kepemimpinan”.[16]
Inilah hakikat tujuan orang-orang yang berbangga diri. Ia tampakkan pada manusia bahwa ia adalah seorang yang menginginkan kebaikan dengan segala macam usaha di jalan Allah. Ia tampakkan amal sholih di depan orang. Walapun hakikatnya ia mencari jalan untuk mencapai kepemimpinan dan kekuasaan. Inilah penyakit yang amat samar pada sebagian penuntut ilmu syar’iy.
Anda dapat mendeteksi dan mengenal bahwa ia adalah pencinta kekuasaan melalui sepak terjangnya dalam dakwah. Ia selalu harus berada di depan dan dianggap paling hebat dan berilmu. Ia maunya dijadikan rujukan dan tempat mengadu. Hatinya tidak senang jika melihat ada orang yang menyertainya dalam dakwah, kecuali jika orang itu mau ikut petuah, aturan dan kemauannya atas nama dakwah!!!
Tak boleh ada kegiatan dakwah, kecuali dengan izinnya. Dia bagaikan gubernur yang selalu dijadikan rujukan dan tempat melapor oleh rakyatnya!!!! Maunya, segala keputusan dan kegiatan harus di bawah perintah dan komandonya!!!!!
Jika ia membangun pesantren, ia tidak mau, kecuali ia berkedudukan sebagai mudir (kepala pesantren). Padahal boleh jadi ada orang lain yang lebih berhak menjadi mudir dibanding dirinya.
Dalam dunia tanya-jawab, ia maunya menangani semua pertanyaan sampai ia berlagak ulama. Hatinya tidak senang jika ada yang ikut menjawab pertanyaan yang diajukan oleh manusia. Padahal ustadz lain juga mampu memberikan jawaban. Bahkan terkadang jawaban si ustadz lain lebih lurus daripada jawabannya.
Ustadz lain boleh memberikan jawaban jika sesuai dengan pendapatnya. Sungguh ini adalah penyakit yang amat berbahaya dan kronis seringkali menjangkiti para penuntut ilmu.
Fakta lain, sebagian ustadz yang cinta kekuasaan jika mengikuti rapat bersama rekan-rekannya,maka ia selalu menguasai majelis dan tidak memberikan kesempatan kepada yang lain untuk berpendapat. Jika ada yang angkat bicara, maka ia akan arahkan orang agar pada akhirnya mengambil pendapatnya, atau ia akan membuang saran orang lain, lalu menetapkan pendapatnya secara sepihak.
Ada lagi yang lebih para dari itu, ada yang tidak mau menerima kritik. Jika ia dikritik, maka ia berusaha keras mencari si pengeritik. Jika ia tahu pelakunya, maka ia benci, ancam, boikot dan marahi. Jika ia tidak tahu pelakunya, maka dimana-mana ia selalu membela diri dan menggambarkan kepada orang lain bahwa dirinya benar dan semua yang mengeritiknya adalah salah dan keliru!!!
Pintu nasihat baginya tidak ada!! Semua kelakuannya adalah benar di sisinya. Subhanallah, dai berlagak nabi yang ma’shum. Nas’alullahal afiyah was salamah.
Lantaran itu, hendaknya para penuntut ilmu syar’iy –apalagi ia adalah Ahlus Sunnah- waspada terhadap penyakit hati ini. Jangan sampai penyakit ini menjadi sebab Allah sesatkan hatinya dan balikkan ke arah yang buruk. Ketahuilah bahwa hati kita yang amat lemah ini mudah berbalik. Karenanya, semua orang harus waspada, baik saya selaku penulis, atau pun yang lainnya dari kalangan pegiat dakwah. Takutlah jangan sampai hati kita disesatkan akibat sepak terjang kita sendiri. Sekali lagi, hati yang lemah dan lembut ini mudah berubah!!
Al-Imam Al-Hasan Ibnu Abil Hasan Al-Bashriy -rahimahullah- berkata,
(إنَّ القَلْبَ لأَشَدُّ طَيْرُوْرَةً مِنَ الرِّيْشَةِ فِيْ يَوْمٍ عَاصِفٍ
“Sesungguhnya hati cepat terbang (berpindah dan berubah) dibandingkan bulu di hari angin bertiup kencang”. [HR. Ibnu Abi Hatim dalam Az-Zuhd (no. 39)-Syamilah]
Para pembaca yang budiman, inilah sebagian sebab yang menjadikan seseorang susah rujuk dan kembali kepada al-haqq (kebenaran). Walaupun disana masih ada sebab lain yang belum sempat kami sebutkan, semoga suatu saat nanti kami lanjutkan, insya Allah. Wallahul muwaffiq ilaa sawa’is sabil wa nas’alullahal afiyah was salamh min aafatil albab. Innaka sami’un qorib mujibud da’awat.
Terakhir, sebagai penutup bagi risalah ini, kami nukilkan sebuah atsar dari Amirul Mukminin, Abu Hafzh Umar bin Al-Khoththob Al-Adawiy -radhiyallahu anhu-. Beliau -radhiyallahu anhu- berkata dalam sebuah suratnya kepada Abu Musa Al-Asy’ariy -radhiyallahu anhu-,
((وَمُرَاجَعَةُ الْحَقِّ خَيْرٌ مِنَ التَّمَادِيْ فِي الْبَاطِلِ))
“Rujuk kepada al-haqq lebih baik dibandingkan terus-menerus dalam kebatilan”. [HR. Al-Baihaqiy dalamMa'rifah As-Sunan wa Al-Atsar (14/240/no. 6041)][17]
Demikian risalah ringkas ini semoga mengandung banyak kebaikan dan manfaat dalam membina hati kita. Washollahu ala Nabiyyina wa alih wa shohbihi ajma’in.
[2] Lihat kedua atsar ini dalam Jami’ Bayan Al-Ilm wa Fadhlih (1/286-287) karya Ibnu Abdil Barr Al-Qurthubiy, cet. Mu’assasah Ar-Royyan dan Dar Ibni Hazm, 1424 H.
[3] Orang seperti ini jika ada yang menasihati dan mengeritiknya, maka lisannya berterima kasih, namun hatinya tidak menerima, bahkan kadang kesal. Wallahul musta’an.
[4] Yakni, Raja Ghossan, Penguasa Negeri Bushro yang berada di bawah kekuasaan Heraklius.
[5] Pahalanya sendiri dan pahala orang-orang yang mengikutinya dalam kebaikan, jika ia masuk Islam. Wallahu a’lam.
[6] Kaum dan rakyat Heraklius mayoritasnya adalah kaum petani. Jadi, maksudnya, Heraklius akan menanggung dosanya sendiri dan dosa rakyatnya yang telah mengikutinya dalam kesesatan dan kekafiran. Demikian yang dijelaskan oleh Al-Imam Abu Ubaidah dan Al-Khoththobiy. [Lihat Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhoriy (1/39) karya Ibnu Hajar, cet. Dar Al-Fikr]
[7] (QS. Ali Imraan : 64)
[8] Konon kabarnya Abu Kabsyah adalah panggilan bagi salah kakeknya Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- yang tidak dikenal. Nah, kebiasaan orang Arab jika ingin merendahkan orang, ia menisbahkan orang lain kepada si kakek yang tidak jelas tersebut. Sebagian ulama –seperti, Ibnu Qutaibah, Al-Khoththobiy dan Ad-Daruquthniy- menjelaskan bahwa Abu Kabsyah adalah seorang dari kalangan suku Khuza’ah yang menyelisihi agama Quraisy. Nah, sejak saat itu, setiap orang yang menyelisihi agama Quraisy, maka mereka gelari dengan “cucu Abu Kabsyah” dalam rangka menghinakannya. [Lihat Fathul Bari (1/40)]
[9] Ini membantah pernyataan sebagian orang yang menyangka bahwa keislaman Abu Sufyan tidak sampai di hati, hanya di lisan saja!!
[10] Yakni, seorang astrolog (ahli nujum).
[11] Konon kabarnya, orang itu adalah Raja Namrud dari Babilonia, wallahu a’lam. [Lihat Zaadul Masir(1/264) karya Ibnul Jawziy dan Tafsir Al-Jalalain (1/264)]
[12] Maksud Raja Namrudz dengan “menghidupkan” ialah membiarkan hidup, dan yang dimaksudnya dengan mematikan ialah membunuh. perkataan itu untuk mengejek Nabi Ibrahim
[13] Ini menunjukkan lemahnya dan patahnya hujjah batil mereka di depan Ibrahim. Namun setelah sadar, mereka kembali lagi membangkang dan tidak mau rujuk kepada al-haqq (kebenaran). Na’udzu billah.
[14] Suatu saat kami pernah berziarah ke salah satu pesantren yang dibina oleh seorang alumni Timur Tengah. Di sela-sela ziarah, kami menghadiri majelis taklimnya. Saat itu ia berkata, “Ilmu itu harus dihafal di dalam dada, bukan di dalam tulisan (yakni, kitab). Ilmu kalian harus hafal, seperti kaedah-kaedah yang kalian pelajari ini!! Kalian jangan seperti lulusan Al-Jami’ah Al-Islamiyyah (Islamic University) di Madinah, dimana para alumninya tidak memiliki ilmu, kecuali di kitab saja. Kalau ditanya persoalan agama, jawabnya, “Tunggu dulu, saya buka kitab dulu!!”
Lanjut si ustadz sombong ini berceloteh, “Jangankan siswanya, dosennya saja demikian. Ditanya di kelas, maka ia akan bilang, “Tunggu dulu, aku cari jawabannya di kitab!!!”
Saya (Penulis) katakan bahwa sungguh ini adalah kesombongan, sebab sang ustadz ini telah meremehkan orang lain. Ia tidak tahu bahwa di Al-Jami’ah Al-Islamiyyah ada ulama Ahlus sunnah yang ia rendahkan seperti itu.
Sisi lain, siapa yang memberitahunya bahwa di Al-Jami’ah demikian halnya?!! Demi Allah, sungguh kami telah menyaksikan para penuntut ilmu disana, banyak yang menghafal matan-matan ilmu di luar kepala!! Diantara para dosen, ada yang datang ke kelas, tanpa selembar kertas pun, selain lembaran absen!!
Yakinlah bahwa orang yang sombong ini, jika ia berada di atas kesalahan dan kebatilan, maka pasti ia akan menolaknya dan tidak mau rujuk kepada kebenaran, akibat kesombongannya. Karena itu, hati-hatilah wahai para penuntut ilmu!!
Kisah lain, seorang ustadz saat membantah kelompok dakwah yang sesat, ia berkata, “Kelompok ini, ustadznya saja saya bisa ajari!! Jangankan dia, dosennya si ustadz ini saja mampu aku ajari ilmu”. Aku (Penulis) katakan, “Subhanallah, membantah penyimpangan mereka tidaklah butuh kesombongan, bantahlah mereka dengan rendah hati dan berdasarkan ilmu”.
[15] Seorang yang bangga diri dengan ilmunya dapat dikenali melalui tingkah lakunya sehari. Walaupun bangga diri itu adalah amalan hati, namun ia dapat tergambar lewat gerak-gerik dan tingkah lakunya. Contoh-contoh dapat anda temukan di sela-sela tulisan ini.
[16] Lihat lima atsar ini dalam kitab Jami’ Bayan Al-Ilm wa Fadhlih (1/285-286), oleh Ibnu Abdil Barr, cet. Mu’assasah Ar-Royyan & Dar Ibnu Hazm, dengan tahqiq Abu Abdir Rahman Fawwaz Ahmad Zamroliy, 1424 H.
[17] Tulisan ini terinspirasi oleh sebuah ceramah yang disampaikan oleh Syaikh Abdullah bin Abdir Rahim Al-Bukhoriy –hafizhahullah- dalam Daurah Syar’iyyah di Bantul. Semangat untuk mewujudkannya dalam bentuk tulisan semakin kuat saat kami menemukan isi ceramah beliau diwww.sahab.net dengan judul “Asbab Tamaadil Mar’i fil Bathil ba’da Bayanihi lahu”.
Walillahil hamdu wal minnah wa jazallahu khoiron Syaikhona Asy-Syaikh Abdillah Al-Bukhoriy wa saddada khuthoohu li suluki manhajis salaf ilaa akhiri hayatih.
Tulisan ini kami rampungkan pada tanggal 9 Jumadal Akhir 1434 H yang bertepatan dengan tanggal 19 April 2013 M.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah Al-Bughisiy –hafizhahullah-
(Pengasuh Pesantren Al-Ihsan, Gowa, Sulsel)
No comments:
Post a Comment