Wednesday, December 4, 2013

Benarkah Syaikh Rabi Tidak Menimbang Maslahat dan Mafsadah dalam Permasalahan "Hajr"?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, berikut saya nukilkan beberapa fatwa Syaikh Rabi’ berkenaan dengan hal ini,

Pertama, dari pertanyaan yang diajukan oleh penuntut ilmu dari Aljaza’ir via telpon pada hari Ahad, 3 Agustus 2003

Penanya:

“Berkenaan dengan permasalahan maslahat dan mafsadah wahai syaikh, siapakah yang berhak menimbang maslahat dan mafsadah?

Syaikh Rabi’:

“Para ulama yang memiliki kesempurnaan akal, pemberi nasihat lagi memiliki kekokohan ilmu lah yang menimbang maslahat dan mafsadah. Aku katakan para ulama lah yang menimbang permasalahan ini, kapan diterapkan hajr, kapan tidak di hajr. Adapun orang-orang awam, penuntut ilmu pemula, penuntut ilmu yang masih lemah keilmuanya dan orang-orang yang dikhawatirkan akan terbawa oleh arus fitnah, mereka tidak boleh berinteraksi dengan da’i-da’i penyeru fitnah. Ulama dan penuntut ilmu yang kokoh lagi memiliki pengaruh terhadap da’i-da’i fitnah, hanya mereka yang boleh berinteraksi. Mereka lah (ulama dan penuntut ilmu –pen) yang akan mendakwahi da’i-da’i fitnah tersebut kepada kebenaran dan as-sunnah”

Berikut transkrip fatwanya,

السائل : قتلك يعني في مسألة المصالح والمفاسد يا شيخ من الذي يحدد المصلحة من المفسدة ؟

الشيخ : يقدرها العلماء العقلاء الواعين الناصحين هذا أقول لك يقدرها العلماء ، وأما بالنسبة بارك الله فيك للعالم متى يهجر ومتى لا يهجر أما عوام الناس ، وصغار الطلبة والضعفاء منهم ، من يخاف عليهم من الفتن فهؤلاء لا يخالطون أهل الفتن وإنما يخالطهم العالم وطالب العلم القوي الذي يؤثر فيهم ويدعوهم إلى الحق والسنة .

[Dengarkan rekaman suara beliau di sini]

Kedua, beberapa nukilan perkataan Syaikh Rabi’ hafizhahullah dari situs resmi beliau di www.rabee.net

Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah berkata:

أقول : إنَّ إنكار المنكر من أعظم الواجبات ومن أصول الدِّين ,لكنَّه قد يجب التنازل عنه مراعاة للمصالح والمفاسد وهذا ما يراه علماء الإسلام ودلَّت عليه الشريعة وهذا ما يقرِّره شيخ الإسلام

“Aku katakan, sesungguhnya mengingkari kemungkaran merupakan kewajiban yang paling besar dan termasuk dalam prinsip agama ini. Meskipun demikian, terkadang kita harus mengalah demi menimbang maslahat dan mafsadah. Ini adalah pandangan para ulama Islam dan ditunjukkan dalam syariat. Hal ini juga telah dinyatakan oleh Syaikhul Islam
                                                   
فقد يقدِّر عالم- يعني- هل من المصلحة أ ن نهجر هذا أو لا أهجره؛ لأنه عنده بصيرة نافذة وخبرة واسعة فقد يرى هذا العالم مشروعية الهجران ، أو عدم المشروعية.
أما الجاهل فما يستطيع أن يرجح لنا المصالح والمفاسد، إلى آخر ما ذكرته لكم.فما هو الأسلم له؟ وما هي المصلحة بالنسبة له؟ المصلحة أن يحفظ دينه؛ لأن أهل البدع عندهم شبهات، - ولاسيما في هذا العصر-عندهم شبهات ، وعندهم إعلام ، وكثرت وسائل التضليل عندهم، ومصائدهم كثيرة

Sungguh yang berhak menimbangnya adalah ulama yaitu apakah menghajr orang ini termasuk maslahat ataukah kita tidak menghajrnya. Karena ulama memiliki kekokohan ilmu dan pengalaman yang luas. Terkadang seorang ulama berpendapat disyariatkannya hajr, namun yang lain berpendapat tidak disyariatkannya hajr. Adapun orang-orang jahil, mereka tidak mampu menimbang maslahat dan mafsadah hingga akhir perkataanku pada kalian (dalam point sebelumnya –pen).  Manakah yang lebih selamat baginya? Manakah yang lebih mendatangkan maslahat untuknya? Yang lebih maslahat, hendaklah ia menjaga agamanya, karena ahlul-bid’ah memiliki syubhat-syubhat, terutama pada masa ini. Mereka memiliki segudang syubhat, tipu daya dan sarana penyesatan, selain itu mereka juga gencar mempublikasikan (kebid’ahannya –pen).”

ومن أصول أهل السنة احترام العلماء ومراعاة المصالح والمفاسد

“Diantara prinsip ahlus-sunnah adalah memuliakan ulama dan menimbang maslahat dan mafsadah

ودرء المفاسد مقدم على جلب المصالح , وسد الذرائع المفضية إلى الأضرار والفاسد من الأصول العظيمة التي لا يقوم الإسلام وحياة المسلمين إلا عليها .

خذ مثلاً قول الله تعالى :
) وَلا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْواً بِغَيْرِ عِلْمٍ( (الأنعام: من الآية 108) .
فإن سب أوثان المشركين حقٌّ وقُربةٌ إلى الله وإهانة للأنداد , لكن لما كان يؤدي إلى مفسدة كبرى هي سب الله وجب تركه , فليس هذا العمل من باب الفروع  وإنما هو من باب الأصول والعقائد


Menghindari mafsadah lebih didahulukan dari memperoleh maslahat. Menutup pintu yang mengantarkan pada kemudharatan dan kerusakan merupakan prinsip yang agung. Agama Islam dan kehidupan kaum muslimin tidak akan tegak tanpa prinsip ini. Sebagai permisalan, ambillah firman Allah ta’ala berikut:

وَلا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْواً بِغَيْرِ عِلْمٍ

Janganlah kalian mencela tuhan-tuhan yang mereka sembah selain Allah, mereka akan (berbalik –pen) mencela Allah dengan permusuhan dan tanpa dilandasi ilmu” [Al-An’am: 108]. 

Mencela berhala-berhala kaum musyrikin merupakan kebenaran dan pendekatan diri kepada Allah dalam rangka menghinakan tandingan-tandingan (bagi Allah –pen). Namun tatkala hal itu mengantarkan pada mafsadah yang lebih besar yaitu menyebabkan mereka mencela Allah, maka perbuatan tersebut wajib ditinggalkan. Menimbang maslahat dan mafsadah bukanlah termasuk permasalahan furu’, bahkan hal itu merupakan prinsip agama dan masuk dalam permasalahan aqidah

Sumber: http://www.rabee.net/show_book.aspx?id=598&pid=1&bid=38

Dari untaian perkataan Syaikh Rabi’ di atas dapat diambil beberapa kesimpulan:

1. Syaikh Rabi’ dengan tegas menyatakan wajibnya menimbang maslahat dan mafsadah dalam permasalahan hajr

2. Yang berhak menimbang maslahat dan mafsadah hanyalah ulama, bukan penuntut ilmu pemula maupun orang-orang awam

3. Prinsip yang agung ini yaitu “menimbang maslahat dan mafsadah dalam hajr” seringkali disalah-gunakan oleh ahlul-bid’ah untuk menyusupkan kebid’ahan dan syubhat mereka pada orang-orang awam terkhusus para pemuda. Mereka menyatakan “tidak disyariatkan hajr pada masa ini”, sehingga tidak ada seorang pun yang berhak ditahdzir dan diperingatkan kesesatannya di hadapan umat. Lalu mereka para da’i-da’i fitnah pun leluasa menyusupkan pemikiran sesatnya pada para pemuda dan orang-orang awam.

4. Jika memang benar ternukil dari perkataan Syaikh Rabi' bahwa beliau mengingkari “wajibnya menimbang maslahat dan mafsadah dalam hajr”, maka dipahami sebagai berikut:

- Beliau mengingkari timbangan maslahat dan mafsadah yang dilakukan oleh orang-orang awam dan penuntut ilmu pemula. Dimana menurut pandangan mereka yang pendek, hajr tidak disyariatkan pada masa ini. Karena akan menimbulkan mafsadah yang lebih besar yaitu perpecahan di kalangan kaum muslimin pada umumnya, maupun di kalangan salafiyyin pada khususnya.

- Beliau ingin menutup pintu celah bagi ahlul-bid’ah dalam mengelabui orang-orang awam. Dengan slogan “menimbang maslahat dan mafsadah”, mereka (tokoh-tokoh ahlul-bid’ah) tidak boleh dikritik dan dihajr, sebesar apapun penyimpangannya dan seburuk apapun kebid’ahan yang ia lakukan. 

5. Syaikh Rabi’ sependapat dengan para ulama terkhusus Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahumullah dalam hal wajibnya menimbang maslahat dan mafsadah dalam hajr. Beliau sendiri telah menyatakan secara tegas:

Aku katakan, sesungguhnya mengingkari kemungkaran merupakan kewajiban yang paling besar dan termasuk dalam prinsip agama ini. Meskipun demikian, terkadang kita harus mengalah demi menimbang maslahat dan mafsadah. Ini adalah pandangan para ulama Islam dan ditunjukkan dalam syariat. Hal ini juga telah dinyatakan oleh Syaikhul Islam’ ”

6. Syaikh Rabi’ menyatakan bahwa menimbang maslahat dan mafsadah merupakan prinsip Islam dan termasuk dalam permasalahan aqidah. Ini merupakan pernyataan tegas, tanpa bisa diselewengkan lagi maknanya oleh sebagian orang. Setelah Syaikh Rabi menjelaskan dengan gamblang permasalahan ini, apakah masuk akal jika beliau kemudian mengingkarinya?

7. Hanya para ulama dan penuntut ilmu yang kokoh keilmuannya yang boleh berinteraksi dengan tokoh-tokoh bid’ah dalam rangka memberikan nasehat dan menegakkan hujjah atas mereka. Adapun orang-orang awam, maka yang lebih maslahat adalah menjauh dan tidak berinteraksi dengan mereka.

8. Meskipun hanya para ulama yang boleh menimbang maslahat dan mafsadah hajr, terkadang ulama pun berselisih, apakah fulan berhak dihajr ataukah tidak? Sebagian ulama berpendapat disyariatkannya hajr, sedangkan ulama yang lain menyatakan tidak perlu. Ijtihad salah satu ulama dalam permasalahan ini bukanlah hujjah terhadap ulama yang lain.

Sebagai contoh, tatkala Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad dan Syaikh Rabi’ berselisih dalam penerapan hajr terhadap tokoh-tokoh tertentu. Ijtihad Syaikh Al-Abbad bukanlah merupakan hujjah yang harus diikuti oleh Syaikh Rabi’. Ijtihad Syaikh Rabi’ juga bukan merupakan hujjah yang harus diikuti oleh Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad. Masing-masing ulama memiliki hikmah dalam menimbang maslahat dan mafsadah, hingga ditulislah beberapa risalah sebagai wujud perhatian para ulama dalam permasalahan ini. Hal itu bertujuan memberikan nasehat dan peringatan yang bermanfaat.

Namun orang-orang yang suka menebar fitnah diantara para ulama dan penuntut ilmu, mereka menyalah-gunakan beberapa nasehat sebagian ulama untuk menjatuhkan dan melecehkan ulama yang lain. Allahulmusta’an..

Apakah Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah ridha dengan hal tersebut?



Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 1 Shafar 1435 H

No comments:

Post a Comment