Untuk menjawab pertanyaan
tersebut, berikut saya nukilkan beberapa fatwa Syaikh Rabi’ berkenaan dengan
hal ini,
Pertama, dari pertanyaan yang
diajukan oleh penuntut ilmu dari Aljaza’ir via telpon pada hari Ahad, 3 Agustus
2003
Penanya:
“Berkenaan dengan
permasalahan maslahat dan mafsadah wahai syaikh, siapakah yang berhak menimbang
maslahat dan mafsadah?
Syaikh Rabi’:
“Para ulama yang memiliki
kesempurnaan akal, pemberi nasihat lagi memiliki kekokohan ilmu lah yang menimbang
maslahat dan mafsadah. Aku katakan para ulama lah yang menimbang permasalahan
ini, kapan diterapkan hajr, kapan tidak di hajr. Adapun orang-orang awam,
penuntut ilmu pemula, penuntut ilmu yang masih lemah keilmuanya dan orang-orang
yang dikhawatirkan akan terbawa oleh arus fitnah, mereka tidak boleh berinteraksi
dengan da’i-da’i penyeru fitnah. Ulama dan penuntut ilmu yang kokoh lagi
memiliki pengaruh terhadap da’i-da’i fitnah, hanya mereka yang boleh berinteraksi.
Mereka lah (ulama dan penuntut ilmu –pen) yang akan mendakwahi da’i-da’i fitnah
tersebut kepada kebenaran dan as-sunnah”
Berikut transkrip
fatwanya,
السائل : قتلك يعني في مسألة المصالح والمفاسد يا شيخ من الذي يحدد
المصلحة من المفسدة ؟
الشيخ : يقدرها العلماء العقلاء الواعين الناصحين هذا أقول لك يقدرها
العلماء ، وأما بالنسبة بارك الله فيك للعالم متى يهجر ومتى لا يهجر أما عوام
الناس ، وصغار الطلبة والضعفاء منهم ، من يخاف عليهم من الفتن فهؤلاء لا يخالطون
أهل الفتن وإنما يخالطهم العالم وطالب العلم القوي الذي يؤثر فيهم ويدعوهم إلى
الحق والسنة
.
Kedua, beberapa nukilan
perkataan Syaikh Rabi’ hafizhahullah dari situs resmi beliau di www.rabee.net
أقول : إنَّ إنكار المنكر من أعظم الواجبات ومن أصول الدِّين ,لكنَّه قد
يجب التنازل عنه مراعاة للمصالح والمفاسد وهذا ما يراه علماء الإسلام ودلَّت عليه
الشريعة وهذا ما يقرِّره شيخ الإسلام
“Aku katakan, sesungguhnya
mengingkari kemungkaran merupakan kewajiban yang paling besar dan termasuk
dalam prinsip agama ini. Meskipun demikian, terkadang kita harus mengalah demi menimbang
maslahat dan mafsadah. Ini adalah pandangan para ulama Islam dan
ditunjukkan dalam syariat. Hal ini juga telah dinyatakan oleh Syaikhul Islam”
فقد يقدِّر عالم- يعني- هل من المصلحة أ ن نهجر هذا أو لا أهجره؛ لأنه
عنده بصيرة نافذة وخبرة واسعة فقد يرى هذا العالم مشروعية الهجران ، أو عدم
المشروعية.
أما الجاهل فما يستطيع أن يرجح لنا المصالح والمفاسد، إلى آخر ما ذكرته لكم.فما هو الأسلم له؟ وما هي المصلحة بالنسبة له؟ المصلحة أن يحفظ دينه؛ لأن أهل البدع عندهم شبهات، - ولاسيما في هذا العصر-عندهم شبهات ، وعندهم إعلام ، وكثرت وسائل التضليل عندهم، ومصائدهم كثيرة
أما الجاهل فما يستطيع أن يرجح لنا المصالح والمفاسد، إلى آخر ما ذكرته لكم.فما هو الأسلم له؟ وما هي المصلحة بالنسبة له؟ المصلحة أن يحفظ دينه؛ لأن أهل البدع عندهم شبهات، - ولاسيما في هذا العصر-عندهم شبهات ، وعندهم إعلام ، وكثرت وسائل التضليل عندهم، ومصائدهم كثيرة
“Sungguh yang berhak
menimbangnya adalah ulama yaitu apakah menghajr orang ini termasuk maslahat
ataukah kita tidak menghajrnya. Karena ulama memiliki kekokohan ilmu dan
pengalaman yang luas. Terkadang seorang ulama berpendapat disyariatkannya hajr,
namun yang lain berpendapat tidak disyariatkannya hajr. Adapun orang-orang
jahil, mereka tidak mampu menimbang maslahat dan mafsadah hingga akhir
perkataanku pada kalian (dalam point sebelumnya –pen). Manakah yang lebih selamat baginya? Manakah
yang lebih mendatangkan maslahat untuknya? Yang lebih maslahat, hendaklah ia
menjaga agamanya, karena ahlul-bid’ah memiliki syubhat-syubhat, terutama pada
masa ini. Mereka memiliki segudang syubhat, tipu daya dan sarana penyesatan,
selain itu mereka juga gencar mempublikasikan (kebid’ahannya –pen).”
ومن أصول أهل السنة احترام العلماء ومراعاة المصالح والمفاسد
“Diantara prinsip
ahlus-sunnah adalah memuliakan ulama dan menimbang maslahat dan mafsadah”
ودرء المفاسد مقدم على جلب المصالح , وسد الذرائع المفضية إلى الأضرار
والفاسد من الأصول العظيمة التي لا يقوم الإسلام وحياة المسلمين إلا عليها .
خذ مثلاً قول الله تعالى :
) وَلا
تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْواً
بِغَيْرِ عِلْمٍ( (الأنعام:
من الآية 108) .
فإن سب أوثان المشركين حقٌّ وقُربةٌ إلى الله وإهانة للأنداد , لكن لما
كان يؤدي إلى مفسدة كبرى هي سب الله وجب تركه , فليس هذا العمل من باب
الفروع وإنما هو من باب الأصول والعقائد
“Menghindari mafsadah
lebih didahulukan dari memperoleh maslahat. Menutup pintu yang mengantarkan
pada kemudharatan dan kerusakan merupakan prinsip yang agung. Agama Islam dan
kehidupan kaum muslimin tidak akan tegak tanpa prinsip ini. Sebagai permisalan,
ambillah firman Allah ta’ala berikut:
وَلا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْواً بِغَيْرِ عِلْمٍ
وَلا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْواً بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Janganlah kalian
mencela tuhan-tuhan yang mereka sembah selain Allah, mereka akan (berbalik
–pen) mencela Allah dengan permusuhan dan tanpa dilandasi ilmu” [Al-An’am:
108].
Mencela berhala-berhala kaum musyrikin merupakan kebenaran dan pendekatan diri kepada Allah dalam rangka menghinakan tandingan-tandingan (bagi Allah –pen). Namun tatkala hal itu mengantarkan pada mafsadah yang lebih besar yaitu menyebabkan mereka mencela Allah, maka perbuatan tersebut wajib ditinggalkan. Menimbang maslahat dan mafsadah bukanlah termasuk permasalahan furu’, bahkan hal itu merupakan prinsip agama dan masuk dalam permasalahan aqidah”
Mencela berhala-berhala kaum musyrikin merupakan kebenaran dan pendekatan diri kepada Allah dalam rangka menghinakan tandingan-tandingan (bagi Allah –pen). Namun tatkala hal itu mengantarkan pada mafsadah yang lebih besar yaitu menyebabkan mereka mencela Allah, maka perbuatan tersebut wajib ditinggalkan. Menimbang maslahat dan mafsadah bukanlah termasuk permasalahan furu’, bahkan hal itu merupakan prinsip agama dan masuk dalam permasalahan aqidah”
Sumber: http://www.rabee.net/show_book.aspx?id=598&pid=1&bid=38
Dari untaian perkataan
Syaikh Rabi’ di atas dapat diambil beberapa kesimpulan:
1. Syaikh Rabi’ dengan
tegas menyatakan wajibnya menimbang maslahat dan mafsadah dalam permasalahan
hajr
2. Yang berhak menimbang
maslahat dan mafsadah hanyalah ulama, bukan penuntut ilmu pemula maupun
orang-orang awam
3. Prinsip yang agung ini
yaitu “menimbang maslahat dan mafsadah dalam hajr” seringkali disalah-gunakan
oleh ahlul-bid’ah untuk menyusupkan kebid’ahan dan syubhat mereka pada
orang-orang awam terkhusus para pemuda. Mereka menyatakan “tidak disyariatkan
hajr pada masa ini”, sehingga tidak ada seorang pun yang berhak ditahdzir dan
diperingatkan kesesatannya di hadapan umat. Lalu mereka para da’i-da’i fitnah
pun leluasa menyusupkan pemikiran sesatnya pada para pemuda dan orang-orang
awam.
4. Jika memang benar
ternukil dari perkataan Syaikh Rabi' bahwa beliau mengingkari “wajibnya
menimbang maslahat dan mafsadah dalam hajr”, maka dipahami sebagai berikut:
- Beliau mengingkari
timbangan maslahat dan mafsadah yang dilakukan oleh orang-orang awam dan
penuntut ilmu pemula. Dimana menurut pandangan mereka yang pendek, hajr tidak
disyariatkan pada masa ini. Karena akan menimbulkan mafsadah yang lebih besar
yaitu perpecahan di kalangan kaum muslimin pada umumnya, maupun di kalangan
salafiyyin pada khususnya.
- Beliau ingin menutup
pintu celah bagi ahlul-bid’ah dalam mengelabui orang-orang awam. Dengan slogan
“menimbang maslahat dan mafsadah”, mereka (tokoh-tokoh ahlul-bid’ah) tidak
boleh dikritik dan dihajr, sebesar apapun penyimpangannya dan seburuk apapun
kebid’ahan yang ia lakukan.
5. Syaikh Rabi’ sependapat
dengan para ulama terkhusus Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahumullah
dalam hal wajibnya menimbang maslahat dan mafsadah dalam hajr. Beliau sendiri
telah menyatakan secara tegas:
“Aku katakan,
sesungguhnya mengingkari kemungkaran merupakan kewajiban yang paling besar dan
termasuk dalam prinsip agama ini. Meskipun demikian, terkadang kita harus
mengalah demi menimbang maslahat dan mafsadah. Ini adalah pandangan para
ulama Islam dan ditunjukkan dalam syariat. Hal ini juga telah dinyatakan
oleh Syaikhul Islam’ ”
6. Syaikh Rabi’ menyatakan
bahwa menimbang maslahat dan mafsadah merupakan prinsip Islam dan termasuk
dalam permasalahan aqidah. Ini merupakan pernyataan tegas, tanpa bisa
diselewengkan lagi maknanya oleh sebagian orang. Setelah Syaikh Rabi
menjelaskan dengan gamblang permasalahan ini, apakah masuk akal jika beliau kemudian mengingkarinya?
7. Hanya para ulama dan
penuntut ilmu yang kokoh keilmuannya yang boleh berinteraksi dengan tokoh-tokoh
bid’ah dalam rangka memberikan nasehat dan menegakkan hujjah atas mereka.
Adapun orang-orang awam, maka yang lebih maslahat adalah menjauh dan tidak
berinteraksi dengan mereka.
8. Meskipun hanya para
ulama yang boleh menimbang maslahat dan mafsadah hajr, terkadang ulama pun
berselisih, apakah fulan berhak dihajr ataukah tidak? Sebagian ulama
berpendapat disyariatkannya hajr, sedangkan ulama yang lain menyatakan tidak perlu.
Ijtihad salah satu ulama dalam permasalahan ini bukanlah hujjah terhadap ulama
yang lain.
Sebagai contoh, tatkala
Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad dan Syaikh Rabi’ berselisih dalam penerapan hajr
terhadap tokoh-tokoh tertentu. Ijtihad Syaikh Al-Abbad bukanlah merupakan hujjah
yang harus diikuti oleh Syaikh Rabi’. Ijtihad Syaikh Rabi’ juga bukan merupakan
hujjah yang harus diikuti oleh Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad. Masing-masing
ulama memiliki hikmah dalam menimbang maslahat dan mafsadah, hingga ditulislah beberapa
risalah sebagai wujud perhatian para ulama dalam permasalahan ini. Hal itu bertujuan
memberikan nasehat dan peringatan yang bermanfaat.
Namun orang-orang yang
suka menebar fitnah diantara para ulama dan penuntut ilmu, mereka
menyalah-gunakan beberapa nasehat sebagian ulama untuk menjatuhkan dan
melecehkan ulama yang lain. Allahulmusta’an..
Apakah Syaikh Abdul Muhsin
Al-Abbad hafizhahullah ridha dengan hal tersebut?
Ditulis oleh Abul-Harits
di Madinah, 1 Shafar 1435 H
No comments:
Post a Comment