Sunday, September 15, 2013

Hukum Menghajikan Orang Yang Meninggal

Tanya:
Manakah yang lebih tepat, boleh atau tidak menghajikan orang yang telah mati? Bagaimanakah tuntunannya?
Jawab:
Asy Syaikh Abu Usamah Abdullah bin ‘Abdurrahim Al-Bukhari hafidzahullah pada sore 5 syawal 1425 H, bertepatan 17/11/2004, menjawab sebagai berikut:
“Para ulama telah membahas permasalahan ini. Mereka menyatakan kebolehan menghajikan orang telah meninggal dengan syarat orang yang (akan menghajikan) telah melakukan haji untuk dirinya sendiri, sebagaimana dalam hadits Syubrumah, tatkala Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam mendengar seorang lelaki bertalbiyah, “Labbaikalla ‘an Syubrumah,” maka Beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: “Apakah engkau telah haji untuk dirimu?”, “Belum” Jawabnya. Maka beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Berhajilah untuk dirimu, kemudian berhajilah engkau untuk Syubrumah.”
Apabila seseorang telah berhaji untuk dirinya, diperbolehkan baginya (untuk menghajikan, -pent.) dan bukan wajib, apalagi bila yang dihajikan itu adalah ayahnya, ibu atau karib kerabatnya yang meninggal dan belum mampu berhaji.”
Dalam pertanyaan pertama dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah no. 2200 yang ditanda tangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Syaikh ‘Abdurrazzaq ‘Afify dan Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud rahimahumullah, disebutkan:
Tanya: 
Apakah boleh seorang muslim yang telah menunaikan kewajiban haji untuk menghajikan salah seorang kerabatnya yang berada di negeri Cina, karena ia tidak mampu untuk menunaikan ibadah haji?
Jawab:
Diperbolehkan bagi seorang muslim yang telah menunaikan kewajiban haji bagi dirinya untuk menghajikan orang lain berdasarkan hadits-hadits yang shohih yang menjelaskan tentang itu, jika orang lain tersebut tidak mampu karena umur yang tua, penyakit yang tidak diharapkan sembuhnya atau karena ia telah meninggal.
Adapun jika yang akan dihajikan tidak mampu karena suatu perkara yang diharapkan hilang udzurnya, seperti sakit yang diharapkan kesembuhannya, atau suatu alasan berkaitan dengan keadaan politik, atau keamanan dalam perjalanan dan selainnya, maka tidak sah untuk dihajikan. [Fatawa Al-Lajnah Ad Da’imah, 11/51]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
“Boleh bagi seorang perempuan untuk menghajikan perempuan lain menurut kesepakatan para ‘ulama, baik itu putrinya atau selainnya. Dan demikian pula boleh seorang perempuan menghajikan seorang lelaki menurut Imam Empat [1] dan jumhur Ulama (kebanyakan ulama), sebagaimana Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan perempuan Al Juts’amiyah untuk menghajikan ayahnya, tatkala ia berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kewajiban haji kepada hamba-hamba-Nya telah mendapati ayahku dan beliau adalah orang sudah tua,“ maka Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk menghajikan ayahnya. Namun hajinya seorang lelaki lebih sempurna dari seorang perempuan.”
Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya sebagai berikut:
“Apakah boleh seorang ibu untuk menghajikan anaknya ketika ia telah meninggal, sementara ia sendiri sudah menunaikan ibadah haji?”
Jawab:
“Apabila ia telah menunaikan kewajiban haji untuk dirinya sebelum itu, maka tidaklah mengapa ia menghajikan anaknya yang telah meninggal, apalagi jika (anak itu) belum haji.” [Al-Muntaqa Min Fatawa Syaikh Shalih Al-Fauzan jilid 3 no.294)]
Referensi: Majalah An Nashihah Volume 09 Th. 1/1426 H./2005 M. Hal. 5
Footnote:
[1] Yaitu Imam Syafi’I, Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Ahmad bin Hambal, (-admin)

No comments:

Post a Comment