Monday, August 12, 2013

Sejarah Suram Pendiri Ikhwanul Muslimin

Ikhwanul Muslimin, gerakan ini tidak bisa lepas dari sosok pendirinya, Hasan Al-Banna. Dialah gerakan Ikhwanul Muslimin dan Ikhwanul Muslimin adalah dia. Karismanya benar-benar tertanam di hati pengikut dan simpatisannya, yang kemudian senantiasa mengabadikan gagasan dan pemikiran Al-Banna di medan dakwah sepeninggalnya. Untuk mengetahui lebih dekat hakikat gerakan ini, mari kita simak sejarah singkat Hasan Al-Banna dan berdirinya gerakan Ikhwanul Muslimin.
Kelahirannya
Hasan Al-Banna dilahirkan pada tahun 1906 M, di sebuah desa bernama Al-Mahmudiyyah, yang masuk wilayah Al-Buhairah. Ayahnya seorang yang cukup terkenal dan memiliki sejumlah peninggalan ilmiah seperti Al-Fathurrabbani Fi Tartib Musnad Al-Imam Ahmad Asy-Syaibani, beliau adalah Ahmad bin Abdurrahman Al-Banna yang lebih dikenal dengan As-Sa’ati.
Pendidikannya
Ia mulai pendidikannya di Madrasah Ar-Rasyad Ad-Diniyyah dengan menghafal Al-Qur`an dan sebagian hadits-hadits Nabi serta dasar-dasar ilmu bahasa Arab, di bawah bimbingan Asy-Syaikh Zahran seorang pengikut tarekat shufi Al-Hashafiyyah. Al-Banna benar-benar terkesan dengan sifat-sifat gurunya yang mendidik, sehingga ketika Asy-Syaikh Zahran menyerahkan kepemimpinan Madrasah itu kepada orang lain, Hasan Al-Banna pun ikut meninggalkan madrasah.

Selanjutnya ia masuk ke Madrasah I’dadiyyah di Mahmudiyyah, setelah berjanji kepada ayahnya untuk menyelesaikan hafalan Al-Qur`an-nya di rumah. Tahun ketiga di madrasah ini adalah awal perkenalannya dengan gerakan-gerakan dakwah melalui sebuah organisasi, Jum’iyyatul Akhlaq Al-Adabiyyah, yang dibentuk oleh guru matematika di madrasah tersebut. Bahkan Al-Banna sendiri terpilih sebagai ketuanya. Aktivitasnya terus berlanjut hingga ia bergabung dengan organisasi Man’ul Muharramat.
Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Madrasah Al-Mu’allimin Al-Ula di kota Damanhur. Di sinilah ia berkenalan dengan tarekat shufi Al-Hashafiyyah. Ia terkagum-kagum dengan majelis-majelis dzikir dan lantunan nasyid yang didendangkan secara bersamaan oleh pengikut tarekat tersebut. Lebih tercengang lagi ketika ia dapati bahwa di antara pengikut tarekat tersebut ada guru lamanya yang ia kagumi, Asy-Syaikh Zahran. Akhirnya Al-Banna bergabung dengan tarekat tersebut. Sehingga ia pun aktif dan rutin mengamalkan dzikir-dzikir Ar-Ruzuqiyyah pagi dan petang hari. Tak ketinggalan, acara maulud Nabi pun rutin ia ikuti: “…Dan kami pergi bersama-sama di setiap malam ke masjid Sayyidah Zainab, lalu melakukan shalat ‘Isya di sana. Kemudian kami keluar dari masjid dan membuat barisan-barisan. Pimpinan umum Al-Ustadz Hasan Al-Banna maju dan melantunkan sebuah nasyid dari nasyid-nasyid maulud Nabi, dan kamipun mengikutinya secara bersamaan dengan suara yang nyaring, membuat orang melihat kami,” ujar Mahmud Abdul Halim dalam bukunya. (Al-Ikhwanul Muslimun Ahdats Shana’at Tarikh, 1/109)
Di antara aktivitas selama bergabung dengan tarekat ini ialah pergi bersama teman-teman setarekat ke kuburan, untuk mengingatkan mereka tentang kematian dan hisab (perhitungan amal). Mereka duduk di depan kuburan yang masih terbuka, bahkan salah seorang mereka terkadang masuk ke liang kubur tersebut dan berbaring di dalamnya agar lebih menghayati hakekat kematian nanti.
Al-Banna terus bergabung dengan tarekat tersebut sampai pada akhirnya ia berbai’at kepada syaikh tarekat saat itu yaitu Asy-Syaikh Basyuni Al-’Abd. Jabir Rizq mengatakan: “…(Hasan Al-Banna) sangat berkeinginan mengambil ajaran tarekat itu, sampai-sampai ia meningkat dari sekedar simpatisan ke pengikut yang berbai’at.” Sepeninggal Basyuni, Al-Banna berbai’at kepada Asy-Syaikh Abdul Wahhab Al-Hashafi, pengganti pendiri tarekat tersebut. Ia diberi ijazah wirid-wirid tarekat tersebut. Dengan bangga Al-Banna mengungkapkan: “Dan saya berteman dengan saudara-saudara dari tarekat Al-Hashafiyyah di Damanhur. Saya rutin mengikuti acara al-hadhrah di Masjid Taubah setiap malam… Sayyid Abdul Wahhab pun datang, dialah yang memberikan ijazah di kelompok tarekat Hashafiyyah Syadziliyyah, dan saya mendapat ajaran tarekat ini darinya. Ia juga memberi saya wirid dan amalan tarekat itu.”
Karena faktor tertentu, akhirnya kelompok tarekat ini mendirikan sebuah organisasi, bernama Jum’iyyah Al-Hashafiyyah Al-Khairiyyah yang diketuai oleh teman lamanya, Ahmad As-Sukkari. Sementara Hasan Al-Banna menjadi sekretarisnya. Al-Banna mengatakan: “Di saat-saat ini, nampak pada kami untuk mendirikan organisasi perbaikan yaitu Al-Jum’iyyah Al-Hashafiyyah Al-Khairiyyah, dan aku terpilih sebagai sekretarisnya… Lalu dalam perjuangan ini, aku menggantikannya dengan organisasi Ikhwanul Muslimin setelah itu.”
Al-Banna menghabiskan waktunya di madrasah Al-Mu’allimin dari tahun 1920-1923 M. Di sela-sela masa itu, ia juga banyak membaca majalah Al-Manar yang diterbitkan oleh Muhammad Rasyid Ridha, salah seorang tokoh gerakan Ishlahiyyah yang banyak dipengaruhi pemikiran Mu’tazilah. Di sisi lain, iapun suka mendatangi Asy-Syaikh Muhibbuddin Al-Khathib di perpustakaan salafinya.
Al-Banna, ketika ingin melanjutkan pendidikannya ke Darul Ulum, sempat bimbang antara melanjutkan atau menekuni dakwah dan amal. Ini dikarenakan interaksinya dengan buku Ihya‘ Ulumuddin. Namun bermodalkan nasehat dari salah seorang gurunya, ia mantap untuk melanjutkan pendidikan.
Ia akhirnya memutuskan melanjutkan pendidikannya di Darul Ulum. Di sini, ia sangat giat membentuk jamaah-jamaah dakwah, sehingga di tengah-tengah aktivitasnya tercetus dalam benaknya, ide untuk menjalin hubungan dengan orang-orang yang duduk di warung-warung kopi dan di desa-desa terpencil untuk mendakwahi mereka. Pada akhirnya Al-Banna lulus dari Darul Ulum pada tahun 1927 M.
Usai pendidikannya di Darul Ulum, ia diangkat menjadi guru di daerah Al-Isma’iliyyah. Iapun mengajar di sekolah dasar selama 19 tahun. Sebelumnya, ia datang ke daerah itu pada tanggal 19 September 1927 dan tinggal di sana selama 40 hari untuk mempelajari seluk-beluk lingkungan tersebut. Ternyata, ia dapati banyak terjadi perselisihan di antara masyarakat, sementara ia berkehendak agar dapat berkomunikasi, bergaul dengan semua pihak, dan mempersatukannya. Usai berpikir panjang, akhirnya ia memutuskan untuk menjauh dari semua kelompok yang ada dan berkonsentrasi mendakwahi mereka yang berada di warung-warung kopi. Lambat laun dakwahnya pun tersebar dan semakin bertambah jumlah pengikutnya.
Pembentukan Gerakan Ikhwanul Muslimin
Pada bulan Dzulqa’dah 1347 H yang bertepatan dengan Maret 1928, enam orang dari pengikutnya mendatangi rumahnya, membai’atnya demi beramal untuk Islam dan sama-sama bersumpah untuk menjadikan hidup mereka untuk dakwah dan jihad. Dengan itu muncullah tunas pertama gerakan Ikhwanul Muslimin. Selang empat tahun, dakwahnya meluas, sehingga ia pindah ke ibukota Kairo, bersama markas besar Ikhwanul Muslimin.
Dengan bergulirnya waktu, jangkauan dakwah semakin lebar. Kini saatnya bagi Al-Banna untuk mengajak anggotanya melakukan jihad amali. Dengan situasi yang ada saat itu, ia membentuk pasukan khusus untuk melindungi jamaahnya.
Pada tahun 1942 M, Hasan Al-Banna menetapkan untuk mencalonkan dirinya dalam pemilihan umum, tapi ia mencabutnya setelah maju, karena ada ancaman dari Musthafa Al-Basya, yang waktu itu menjabat sebagai pimpinan Al-Wizarah (Perdana Menteri, ed.). Dua tahun kemudian, ia mencalonkan diri kembali, namun Inggris memanipulasi hasil pemilihan umum.
Wafatnya
Pada tahun 1949 M, Al-Banna mendapat undangan gelap untuk hadir di kantor pusat organisasi Jum’iyyatusy Syubban Al-Muslimin beberapa saat sebelum maghrib. Ketika ia hendak naik taksi bersama Abdul Karim Manshur, tiba-tiba lampu penerang jalan tersebut dipadamkan. Bersamaan dengan itu peluru-peluru beterbangan mengarah ke tubuhnya. Ia sempat dievakuasi dengan ambulans. Namun karena pendarahan yang hebat, ajal menjemputnya. Dengan itu, tertutuplah lembaran kehidupannya.
Demikian sejarah ringkas Hasan Al-Banna bersama gerakan dakwah yang ia dirikan.
Pembaca mungkin berbeda-beda dalam menanggapi sejarah tersebut, sesuai dengan sudut pandang yang digunakan. Namun bila kita melihatnya dengan kacamata syar’i, menimbangnya dengan timbangan Ahlus Sunnah, maka kita akan mendapatinya sebagai sejarah yang suram. Mengapa?
Karena kita melihat, ternyata gerakan tersebut lahir dari sebuah sosok yang berlatar belakang aliran shufi Hashafi dengan berbagai kegiatan bid’ahnya, seperti bai’at kepada syaikh tarekat dan kepada Al-Banna sendiri sebagai pimpinan gerakan, amalan wirid-wirid Ruzuqiyyah yang diada-adakan, dzikir berjamaah, maulud Nabi, ziarah-ziarah kubur dengan cara bid’ah sampai pada praktek politik praktis di atas asas demokrasi. Gurunyapun campur aduk, dari syaikh tarekat, seorang yang terpengaruh madzhab Mu’tazilah, dan seorang yang berakidah salafi. Warna-warni sosok pendiri tersebut sangat berpengaruh dalam menentukan corak gerakan tersebut, sehingga warnanyapun tidak jelas, buram.
Tidak seperti Ash-Shirathul Mustaqim yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam katakan:
تَرَكْتُكُمْ عَلىَ مِثْلِ‏‎ ‎الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا‎ ‎كَنَهَارِهَا
“Aku tinggalkan kalian di atas yang putih bersih, malamnya seperti siangnya.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Abi ‘Ashim, Al-Hakim, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah no. 33)
Penulis : Al-Ustadz Qomar ZA, Lc.
sumber: fadhlihsan.wordpress.com

4 comments:

  1. ust, bagaimana bai'at syahid yang dilakukan ikramah dan beberapa sahabat yang lain? apakah termasuk bid'ah?

    ReplyDelete
  2. Bai'at yang dilakukan oleh para sahabat kepada rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di medan jihad adalah bai'at yang syar'i.

    Kenapa dikatakan syar'i? Karena bai'at tersebut diberikan kepada imam/penguasa/pemimpin/waliyyul amr ketika itu yaitu rasulullah shallalahu 'alaihi wasallam.

    sedangkan bai'at bid'ah yang semarak dewasa ini hanyalah akal-akalan kelompok-kelompok sempalan yang sesat untuk mengikat anggotanya. Semisal bai'at yang dilakukan oleh kelompok LDII, NII, dan yang setipe dengan mereka.

    makna "imam" yang disebutkan dalam redaksi hadits bukan imam jama'ah sempalan, namun yang dimaksud adalah penguasa dan pemimpin kaum muslimin selama mereka masih muslim. Merekalah yang berhak untuk dibai'at. wabillahittaufiq

    ReplyDelete
  3. Jadi baiat adalah bidah?

    ReplyDelete
  4. Bai'at yang dilakukan oleh kaum muslimin terbagi dua, ada bai'at syar'i, ada pula bai'at bid'ah.

    Kapan suatu bai'at dikatakan sebagai bai'at syar'i? Jawabannya jika bai'at itu diberikan pada pemimpin/imam/penguasa/waliyyul amr/pemerintah muslim. Pemimpin yang benar-benar memiliki wilayah kekuasaan dan dapat menerapkan hukum-hukum Islam pada rakyatnya.

    Imam-imam jama'ah sempalan semisal NII dan LDII, mampukah mereka menerapkan hukum qishash pada anggota jama'ahnya jika terbukti melanggar syariat? Atau mampukah imam tersebut menerapkan hukum potong tangan bagi jama'ahnya yang mencuri, mampukah??

    Jika imam jama'ah sempalan tersebut ternyata benar-benar menerapkan hukum qishash pada anggotanya dengan memenggal leher pelaku pembunuhan misalkan, lalu ada masyarakat yang melaporkan pada pihak yang berwajib, kira-kira apakah yang terjadi setelah itu?

    Saya yakin imam jama'ah sempalan tersebut mendekam di penjara tanpa bisa melakukan perlawanan. Aneh kan, imam kok dipenjara lho.. Seharusnya kan imam yang memberikan perintah dan ditaati oleh rakyat. Ini malah masuk penjara, jadi sebenarnya siapa yang menjadi imam, siapa rakyatnya??

    Jadi, bai'at-bai'at yang diberikan pada imam jama'ah sempalan tersebut 100 % termasuk ba'iat bid'ah yang menyelisihi syariat Islam..

    Kemudian point berikutnya, bai'at yang syar'i hanya diberikan pada satu imam/pemimpin/penguasa/pemerintah muslim. Di zaman Nabi, bai'at hanya diberikan pada nabi shallallahu 'alaihi wasallam, di zaman kekhilafahan Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali juga demikian. Para khalifah lah yang berhak dibai'at.

    Nah sekarang imam jama'ah sempalan sangatlah banyak, masing-masing imam mewajibkan dirinya untuk dibai'at. jadi, imam jama'ah mana yang mesti dibai'at?? Apakah dibai'at semuanya.. Ini jelas-jelas menyelisi petunjuk Nabi dan Al-Khulafa Ar-Rasyidin

    Mudah-mudahan dapat dipahami dengan baik..

    ReplyDelete