Ada beberapa perkara yang dianggap oleh sebagian orang bahwa ia adalah najis. Eh, ternyata bukan najis sehingga ada diantara mereka yang menyangka kalau mani atau muntah itu adalah najis. Lebih parah lagi, jika menyangka ludah atau keringat seseorang itu adalah najis.
Sebagian orang pernah bertanya kepada kami tentang sholat dengan pakaian yang terkena lumpur atau olie, maka kami katakan bahwa hal itu bukan najis. Ini penting kita ketahui, sebab
sebagian kaum muslimin ada yang tak mau sholat dengan pakaiannya yang
kotor karena lumpur saat ia sedang di sawah dengan dalih lumpur itu
najis !! Padahal ternyata bukan najis !!! Perlu diketahui bahwa
tidak semua yang kotor pasti najis. Jadi, lumpur, olie, tahi ayam, dan
lainnya bukan najis, kecuali yang telah kami jelaskan dalam buletin
mungil ini, edisi ke-23 ("Barang-barang Najis").
Diantara perkara-perkara yang dianggap najis sebagian orang, bahkan kebanyakan orang, padahal ia bukan najis:
1. Cairan Mani
Mani adalah asal penciptaan bani Adam yang suci. Karenanya seorang
yang mengalami mimpi basah, maka ia tak wajib mencuci bajunya, karena
mani itu bukan najis. Cukup baginya untuk mencuci bagian yang terkena
mani saat maninya basah. Tapi tidak wajib mencucinya. Boleh ia
membiarkannya kering. Jika mani kering, maka seorang mengoreknya dengan
kuku, atau kayu, dan lainnya yang bisa menghilangkan bekasnya.
‘Alqomah dan Al-Aswad berkata, " Ada seorang
(yaitu, Hammam bin Al-Harits, -pent.) pernah singgah pada A’isyah. Di
pagi hari, ia mencuci pakaiannya. Maka A’isyah pun berkata,
إِنَّمَاكَانَ
يُجْزِئُكَ إِنْ رَأَيْتَهُ أَنْ تَغْسِلَ مَكَانَهُ فَإِنْ لَمْ تَرَ
نَضَحْتَ حَوْلَهُ، وَلَقَدْ رَأَيْتُنِيْ أَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُوْلِ
اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَرْكًا فَيُصَلِّيْ فِيْهِ
"Sesungguhnya cukup bagimu untuk mencuci tempatnya (yang terkena
mani). Jika kamu tak melihat mani, maka perciki sekitarnya. Sungguh aku
menyaksikan diriku telah mengorek-ngorek mani (dengan kuku, dan
lainnya) dari pakaian Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-, lalu
beliau sholat dengan pakaian itu". [HR. Muslim dalam Shohih-nya (288)]
A’isyah -radhiyallahu ‘anha- berkata,
كُنْتُ أَفْرُكُ الْمَنِيَّ مِنْ ثَوْبِ رَسُوْلِ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَابِسًا وَأَغْسِلُهُ إِذَا كَانَ رَطْبًا
"Dahulu aku mengerik mani dari pakaian Rasulullah -Shallallahu
‘alaihi wa sallam-, jika maninya kering; aku mencucinya (yang terkena
mani, pent.), jika mani itu basah". [HR. Ad-Daruquthniy dalam Sunan-nya (3), Ath-Thohawiy dalam Syarh Al-Ma'ani (266), dan lainnya. Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Irwa' Al-Gholil (180)]
Abdullah Ibnu Abbas-radhiyallahu ‘anhu- pernah ditanya tentang mani yang mengenai pakaian, kemudian beliau menjawab,
إِنَّمَا هُوَ بِمَنْزِلَةِ الْبُصَاقِ أَوِ الْمُخَاطِ إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيْكَ أَنْ تَمْسَحَهُ بِخِرْقَةٍ أَوْ إِذْخِرٍ
"Mani itu sama kedudukannya dengan ludah atau dahak. Cukup
bagimu untuk mengusapnya dengan secarik kain atau idzkhir (sejenis
rumput yang harum)". [HR. Asy-Syafi'iy dalam Musnad-nya (1593), dan Al-Baihaqiy dalam As-Sunan Al-Kubro (2977 & 2978). Syaikh Al-Albaniy berkata tentang hadits ini secara mauquf dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dho'ifah (2/361), "Ini adalah sanad yang shohih sesuai ketentuan dua Syaikh (Al-Bukhoriy & Muslim)"]
Al-Imam Muhammad bin Isma’il Ash-Shon’aniy-rahimahullah- berkata dalam Subul As-Salam (1/55), "
Para ulama’ Syafi’iyyah berkata, "Mani adalah suci". Mereka berdalil
dengan hadits-hadits ini. Mereka berkata, "Hadits-hadits mencuci mani
dipahami dengan makna mandub (sunnah). Mencuci mani bukan dalil tentang
najisnya mani, karena terkadang (seseorang mencuci mani, -pent.) untuk
membersihkan, dan menghilangkan nodanya, dan sejenisnya". Usai ucapannya.
Jadi, mani adalah sesuatu yang suci, bukan najis sebagaimana yang
disangka oleh sebagian orang. Andaikan mani kita anggap najis, berarti
asal kejadian dan penciptaan kita dari sesuatu yang najis. Padahal
tidaklah demikian sebagaimana yang dijelaskan oleh Nabi -Shallallahu
‘alaihi wa sallam-. Bahkan kita tercipta dari mani yang suci !!
2. Minuman Khomer
Khomer alias minuman keras, walaupun haram diminum, dan digunakan
berobat, maka dzatnya tidaklah najis menurut pendapat yang terkuat di
kalangan ulama’, karena tak ada dalil yang menyatakan najisnya secara
jelas.
Sebagian ulama’ yang berpendapat najisnya berdalil dengan ayat ini:
"Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya khamar,
berjudi, berhala, (mengundi nasib dengan) panah, adalah termasuk najis
dari perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan". (QS.Al-Maa’idah :90)
Kata Ar-Rijsu (najis) disini bukanlah najis hissiyyah (pada dzatnya), tapi itu adalah najis hukmiyyah
(maknawi). Jika khomer dianggap najis, maka judi, berhala, anak panah
pun harus dianggap najis. Padahal tidaklah demikian tentunya.
Syaikh Husain bin ‘Audah Al-’Awayisyah berkata, "Demikian
pula pengharaman tidaklah mengharuskan najisnya (sesuatu yang haram
itu). Jika tidak, maka kita harus pula menyatakan najisnya ibu, putri,
saudari, dan bibi, dan lainnya. Karena, Allah -Ta’ala- berfirman,
"Diharamkan atas kamu ibu-ibumu; anak-anakmu yang
perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu
yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan…" (QS. An-Nisaa’: 23).
Makanan yang dicuri, haram dimakan, tapi tidak dikatakan bahwa ia najis". [Lihat Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah (1/48)]
Al-Imam Asy-Syaukaniy-rahimahullah- berkata, "Tak ada dalil yang cocok dipegangi tentang najisnya minuman keras (khomer)".[Lihat As-Sail Al-Jarror (1/137), cet. Dar Ibni Katsir]
Jadi, sekalipun khomer haram ditenggak dan diminum, namun tak ada dalil yang menjelaskan bahwa ia adalah barang-barang najis . Sedang mengeluarkan sesuatu dari kesucian harus menggunakan dalil yang jelas, wallahu a’lam.
3. Kotoran Hewan yang Bisa Dimakan
Banyak di sekitar kita hewan yang berseliweran, sebangsa ayam, itik,
kambing, sapi, kerbau, dan lainnya diantara hewan-hewan yang halal
dimakan. Hewan-hewan ini jika mengeluarkan tahi dan kencing, maka tahi
dan kencingnya tidaklah najis.
Anas bin Malik -radhiyallahu ‘anhu- berkata, "
Ada beberapa orang dari Uroinah datang kepada Rasulullah -Shallallahu
‘alaihi wa sallam-. Tapi mereka tidak cocok dengan (cuaca) kota Madinah.
Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda kepada mereka,
إِنْ شِئْتُمْ أَنْ تَخْرُجُوْا إِلَى إِبِلِ الصَّدَقَةِ فَتَشْرَبُوْا مِنْ أَلْبَانِهَا وَأَبْوَالِهَا
"Jika kalian mau (pergi), maka keluarlah menuju onta shodaqoh (hasil zakat). Kemudian kalian minum susu, dan kencingnya".
Mereka pun melakukannya, lalu mereka semua jadi sehat". [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (233), dan Muslim dalam Shohih-nya (1671)]
Muhaddits Negeri Yaman, Al-Imam Asy-Syaukaniy-rahimahullah- berkata, "Maka
penghalalan untuk berobat dengannya (air kencing onta, dan lainnya)
merupakan dalil tentang kesuciannya. Jadi, kencing onta, dan sebangsanya
adalah suci".[Lihat Nailul Author (1/99)]
Andaikan kencing onta atau hewan yang halal dimakan adalah najis, maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-
tak akan memerintahkan orang-orang Uroinah meminum kencingnya, karena
tak mungkin beliau akan memerintahkan mereka berobat dengan sesuatu yang
najis. Karenanya, Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu- berkata tentang khomer,
إِنَّ اللهَ لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَكُمْ فِيْمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ
"Allah tidaklah menjadikan kesembuhan kalian dalam sesuatu yang Allah haramkan atas kalian". [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab Al-Asyribah (10/98)-Fathul Bari]
4. Bangkai Hewan yang Tak Memiliki Darah
Para ulama kaum muslimin telah menggolongkan hewan menjadi dua macam.
Pertama, hewan yang memiliki darah yang mengalir, seperti sapi, kambing, kucing, rusa, anjing, dan lainnya.
Kedua,
hewan yang tak memiliki darah yang mengalir, seperti nyamuk,
kalajengking, laba-laba, semut, lalat, serangga-serangga kecil, dan
lainnya.
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
إِذَا
وَقَعَ الذُّبَابُ فِيْ شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ ثُمَّ
لْيَنْزِعْهُ فَإِنَّ فِيْ إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءً وَاْلأُخْرَى شِفَاءً
"Jika lalat jatuh pada minuman seorang diantara kalian, maka
hendaknya ia menenggelamkannya, kemudian ia mencabutnya (membuangnya),
karena pada salah satu diantara dua sayapnya terdapat penyakit, dan pada
sayapnya yang lain terdapat obatnya". [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (3320 & 5782), Abu Dawud dalam Sunan-nya (3844), An-Nasa'iy dalam Sunan-nya (4262), dan Ibnu Majah (3505)]
Abul Fadhl Ibnu Hajar Al-Asqolaniy-rahimahullah- berkata, "Hadits
ini dijadikan dalil bahwa air yang sedikit tidak najis karena jatuhnya
hewan yang tak memiliki darah yang mengalir dalam air". [Lihat Fathul Bari (10/251)]
Al-Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisiy-rahimahullah- berkata, "Segala
sesuatu yang tak memiliki darah yang mengalir, seperti yang disebutkan
oleh Al-Khiroqiy berupa hewan darat atau hewan laut, diantaranya:
lintah, ulat, kepiting, dan sejenisnya. Semua ini tidaklah najis karena
mati, dan tidak menajisi air, jika ia mati di dalamnya menurut pendapat
mayoritas ulama’". [Lihat Al-Mughniy (1/68)]
Semakna dengan ini, ucapan Ibnu Dhuwayyan dalam Manar As-Sabil (1/40), "Ini
umum pada semua (air) yang panas, dan dingin, serta minyak diantara
cairan yang lalat akan mati jika dicelupkan ke dalamnya. Andai lalat itu
menajisi air, maka itu (yakni perintah menenggelamkannya) adalah
perintah untuk merusak air. Jadi, lalat tidaklah najis karena mati, dan
tidak menajisi air, jika ia mati di dalamnya".
Sebagai kesimpulan pembahasan ini, kami nukilkan ucapan Al-Allamah Syamsul Haq Al-Azhim Abadi-rahimahullah- ketika beliau mengomentari hadits lalat tersebut, "Hadits
ini merupakan dalil yang jelas tentang bolehnya membunuh lalat demi
mencegah bahayanya, dan bahwa ia dibuang, tidak dimakan; bahwa lalat
jika mati di air, maka ia tak menajisi air, karena Nabi -Shallallahu
‘alaihi wa sallam- memerintahkan untuk menenggelamkannya. Sudah
dimaklumi bahwa lalat itu mati karena (menenggelamkan)nya, utamanya jika
makanan panas. Andai lalat itu menajisi air, maka hal itu (perintah
menenggelamkannya) merupakan perintah untuk merusak makanan. Padahal
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- hanyalah memerintahkan untuk
memperbaikinya. Kemudian hukum ini (yakni, sucinya lalat) berpindah
(sama) pada semua hewan yang tak memiliki darah yang mengalir, seperti
lebah, kumbang, laba-laba, dan semisalnya". [Lihat Aunul Ma'budSyarh Sunan Abi Dawud (10/231)]
Sumber: http://almakassari.com/ternyata-bukan-najis.html
Terima kasih atas ditulisnya artikel ini karena inilah pertama kalinya saya mengetahui bahwa air mani yang keluar dikarenakan mimpi basah tidak serta merta mewajibkan agar pakaian yang terkena air mani tersebut harus dicuci seluruhnya namun cukup bagian yang terkena air mani saja dan pakaian tersebut tetap dapat dikenakan untuk melaksanakan ibadah sholat. Artikel ini menambah wawasan dan pengetahuan baru bagi saya.
ReplyDeleteAssalamualaikum, mau tanya hukum kotoran laba laba najis atau tidak?
ReplyDelete