Saturday, May 4, 2013

Sepakat Bercerai, Tapi Suami Tidak Mau Memberikan Harta Gono-Gini pada Istri

Tanya:

"Assalamu’alaikum wr. wb. saya mau tanya ustadz, suami saya mentalaq saya setelah kami punya 3 anak, apa hak-hak saya sebagai istri yang di talaq suami ? anak-anak bersama saya, suami berkeberatan membagi harta gono gini kepada saya, minta penjelasannya ustadz, terimakasih sebelumnya. wassalamu’alaikum wr.wb" (A. Rosana)

Jawab:

Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh,

Jika Ibu Rosana baru pertama kali dicerai oleh suami (masih talak satu atau dua), berikut diantara hak dan kewajiban ibu sebagai istri yang dicerai:

[Pertama] Ibu wajib melewati masa iddah (masa menunggu) sebagai istri yang dicerai dengan rincian:

- jika ibu dicerai dalam keadaan hamil, masa iddahnya sampai melahirkan. Allah ta’ala berfirman:

وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُن

Wanita-wanita yang hamil, masa iddah mereka adalah sampai melahirkan kandungannya” [Ath-Thalaq: 4]

- jika ibu dicerai tidak dalam keadaan hamil, maka masa iddahnya tiga kali haid. misalkan sekarang ibu suci, maka ibu harus menunggu hingga haid, kemudian suci, kemudian haid lagi, kemudian suci lagi, kemudian haid lagi, kemudian suci. Setelah itu silahkan jika ibu ingin menikah lagi.

- jika ibu telah manopause (tidak haid lagi), masa iddahnya adalah 3 bulan. Allah ta’ala berfirman:

وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ

Wanita-wanita yang tidak mengalami haid lagi diantara istri-istri kalian, maka masa iddah mereka adalah 3 bulan” [Ath-Thalaq: 4]

[Kedua] Dalam masa iddah, ibu masih berstatus sebagai istrinya. Ibu berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal dari suami.

Allah ta’ala berfirman:

لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَة

Janganlah kalian mengeluarkan mereka (istri -pen-) dari rumahnya dan jangan pula mereka (istri -pen-) keluar, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata” [Ath-Thalaq: 1]

[Ketiga] Dalam masa iddah, suami berhak untuk rujuk pada ibu, meskipun ibu tidak mau dirujuk. Cara rujuk adalah dengan suami “menggauli” istrinya dengan niat rujuk atau suami berkata “aku rujuk padamu”

[Keempat] Jika ibu telah sempurna melewati masa iddah (baca point pertama), lalu suami ingin rujuk, maka harus dengan akad nikah baru. Harus ada wali nikah dari ibu, dua saksi, mahar dan ijab qabul

[Kelima] Ibu lebih berhak mengurus anak-anak selama ibu belum menikah lagi. Jika ibu menikah lagi, maka suami yang lebih berhak. Jika anak-anak telah dewasa, mereka lebih berhak untuk memilih hak pengasuhan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي

“Kamu (istri -pen-) lebih berhak untuk mengurus anak-anak selama kamu belum menikah” [HR. Abu Daud no. 2276, hasan]

[Keenam] Jika suami tetap memilih menceraikan ibu (tidak mau rujuk), maka ia wajib memberikan “mut’ah” (pemberian yang patut) pada ibu.

Allah ta’ala berfirman:

وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِين

Bagi wanita-wanita yang dicerai, hendaknya diberikan mut’ah dengan cara yang patut, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa” [Al-Baqarah: 241]

Allah ta’ala juga berfirman:

وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِين

Hendaklah kalian memberikan mereka (istri -pen-) mut’ah, bagi yang mampu menurut kemampuannya dan bagi tidak mampu menurut kesanggupannya, yaitu pemberian dengan cara yang patut yang merupakan kewajiban bagi orang-orang yang berbuat baik” [Al-Baqarah: 236]

Mut’ah (pemberian) tersebut dapat berupa perhiasan, uang, pakaian, dll yang tentunya tergantung keadaan ekonomi suami. Jika suami enggan memberi mut’ah, hendaknya dinasehati dengan firman Allah dalam surat Al-Baqarah di atas, mudah-mudahan Allah bukakan hatinya. Ingatkan pula bahwa pemberian itu merupakan kewajiban suami.

semoga ibu dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari ini semua,

wabillahittaufiq



Dijawab oleh Abul-Harits 

============================

Tanya (2):
"Assalamu alaikumMohon penjelasan saya rencana akan mengabulkan permintaan cerai istri karena sudah tidak ada perasaan cinta sang istri lagi, yang ingin saya mohon penjelasan , bagaimana dengan harta kami berdua dan hutang hutang kami yang masih belum lunas terutama yang berjalan tiap bulan harus dibayar, kemudian perabotan rumah tangga apa itu mutlak jadi milik sang istri semuanya saat pembagian gono gini


Terimakasih atas penjelasannya
Wassalam
Dari: Tri Riwayan
Jawab:
"Wa'alaikumus salam, Pernikahan adalah tali perekat terkuat yang menyatukan antara dua insan yang saling mencintai. Begitu kuatnya, sampai-sampai menjadikan dua insan yang berbeda seakan menyatu. Menyatu dalam urusan rasa, duka, suka, cita-cita, harta dan lainnya.
Begitu eratnya hubungan mereka sampai-sampai berbagai batasan personal antara mereka seakan sirna. Mereka bahu membahu membangun bahtera rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Kebahagian suami adalah kebahagian istri, dan sebaliknyapun juga demikian, kebahagiaan istri adalah sumber kebanggaan suami.
Sebagaimana keeratan hubungan antara suami istri ini menjadikan batasan harta-harta mereka tersamarkan. Sehingga dalam banyak kasus sulit membedakan antara harta milik suami dengan hak milik istri. Akibatnya terjadi kesusahan ketika salah satu dari mereka meninggal dunia, dan hendak diadakan pembagian warisan. Kondisi serupa juga terjadi pada saat mereka berdua terpaksa mengakhiri hubungan mereka melalui perceraian atau lainnya.
Untuk menyelesaikan masalah ini, biasanya masyarakat kita menempuh tradisi gono-gini, yaitu membagi sama rata seluru harta yang dimiliki sejak awal pernikahan.

Mengenal Harta Gono-gini


Yang dimaksud dengan harta gono-gini (harta bersama) yaitu semua harta yang diperoleh selama pernikahan. Dengan demikian, semua harta yang diperoleh atas jerih payah suami bersama isteri atau oleh suami seorang diri secara hukum positif dihukumi sebagai harta bersama. Demikianlah penjabaran harta bersama yang termaktub pada pasal 35, dari UU Perkawinan No 1, thn 1974, .
Karena harta tersebut adalah milik bersamam maka konsekwensinya:
  • Suami atau istri hanya dapat menggunakannya bila mendapat persetujuan dari pasangannya. Suami atau istri tidak dapat menjual, atau menggadaikan atau menghibahkan harta ini semaunya sendiri, tanpa restu dari pihak kedua. Ketentuan ini termaktub dengan jelas pada pasal 36 dari Undang-undang Perkawinan.
  • Apabila tali perkawinan antara mereka putus karena perceraian, maka menurut Undang-Undang ini, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing, sebagaimana ditegaskan ada pasal 37. Dan pada penjelasan pasal 37, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “hukumnya masing-masing” mencakup hukum agama, adat dan lainnya.
Walaupun mayoritas masyarakat beragama Islam, namun dalam hal ini kebanyakan mereka memilih hukum adat untuk menyelesaikannya. Yang demikian itu, karena masing-masing dari suami atau istri berhasrat kuat untuk mendapatkan bagian terbesar, paling kurang 50 % dari total harta yang mereka anggap sebagai harta gono gini.

Tinjauan Syariat Harta Gono-gini.


Sebagai seorang muslim yang patuh beragama, anda pasti penasaran ingin mengetahui status hukum Syariat harta gono-gini seperti yang dimaksudkan di atas. Terlebih bila anda menyadari bahwa status harta gono-gini semacam ini erat kaitannya dengan budaya lokal masyarakat kita. Wajar bila anda tidak menemukan sebutan harta gono-gini dalam berbagai referensi ilmu Islam. Bahkan yang anda temukan sebaliknya, yaitu adanya pemisahan antara harta suami dari harta istri.
Berikut beberapa hukum Syariat yang dapat menjadi petunjuk kuat bahwa Islam tidak mengenal istilah “harta bersama/gono-gini”. Berikut berapa bukti nyata akan ketentuan hukum ini:
1. Mas kawin sepenuhnya milik istri.
Diantara bukti nyata penyimpangan status gono-gini ialah adanya mas kawin pada setiap pernikahan. Dengan tegas Al Qur’an menjelaskan bahwa mas kawin adalah sepenuhnya milik istri dan tidak halal bagi suami untuk mengambilnya kecuali atas kerelaan istrinya. Allah berfirman, yang artinya:
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” [QS. An Nisa’: 4]
Bahkan Al-Qur’an mengharamkan atas suami untuk mengambil kembali mas kawin yang telah ia berikan kepada istrinya, walau hanya sedikit. Allah berfirman, yang artinya
Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali harta itu barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata.” (QS. An Nisa’: 20).
2. Kewajiban nafkah atas suami.
Diantara bukti nyata bahwa secara syariat harta istri terpisah dari harta suami sehingga tidak ada status harta gono gini ialah kewajiban nafkah atas suami terhadap istrinya. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya,
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf.” (QS. Al-Baqarah: 233).
Pada suatu hari sahabat Mu’awiyah Al Qusyairi bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
Ya Rasulullah, apakah hak-hak istri yang kita tunaikan?

Beliau menjawab:
“Engkau memberinya makan bila engkau memiliki makanan, memberiya pakaian bila engkau memiliki pakaian. Dan janganlah engkau memukul wajahnya, mencelanya dengan mengatakan: “semoga Allah menjelekkan wajahmu”, dan janganlah engkau mengucilkannya kecuali di dalam rumahmu sendiri.” (HR. Abu Dawud).
Anggapan bahwa seluruh harta yang diperoleh selama masa pernikahan adalah milik berdua sama rata, bertentangan dengan ketentuan kewajiban nafkah suami kepada istrinya.
3. Istri berhak mengajukan gugatan hukum atas nafkahnya yang tertunda
Hak istri untuk mendapat nafkah dari suaminya telah jelas. Bahkan bila suami tidak patuh hukum sehingga menelantarkan istrinya, maka istri berhak mengajukan gugatan hukum terhadap suaminya. Secara hukum, istri berhak mengajukan gugatan cerai, atau gugatan agar suaminya patuh hukum dengan memberi nafkah kepada istrinya tanpa syarat.
Aisyah radhiallahu ‘anha mengisahkan: Suatu hari Hindun binti ‘Utbah istri Abu Sufyan mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata: Wahai Rasulullah, Abu Sufyan adalah lelaki pelit. Ia tidak memberiku nafkah yang mencukupi kebutuhanku dan kebutuhan anak-anakku, kecuali bila aku secara sembunyi-sebunyi dan tanpa sepengetahuannya mengambil sebagian hartanya.
Apakah aku berdosa melakukan yang demikian itu?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
“Silahkan engkau mengambil dari hartanya dalam jumlah yang sewajarnya sesuai dengan kebutuhanmu dan kebutuhah anak-anakmu.” (Muttafaqun ‘Alaih).
Dengan jelas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut harta Abu Sufyan adalah miliknya dan bukan milik bersama. Sementara istrinya hanya diizinkan untuk mengambil jatah nafkah yang cukup untuknya. Andai ada status harta gono-gini, niscaya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa harta Abu Sufyan adalah harta milik Hindun juga.
4. Suami miskin, berhak menerima zakat istrinya
Dikisahkah bahwa Zaenab istri sahabat Abdullah bin Mas’ud bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang rencananya menyalurkan zakatnya kepada suaminya yang miskin. Menanggapi pertanyaan ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Iya, zakatnya sah, dan ia mendapat dua pahala; pahala kekerabatan dan pahala sedekah.” (Muttafaqun ‘alaih).
Berdasarkan hadits ini, mayoritas ulama menyatakan bahwa seorang istri yang kaya dapat menyalurkan zakatnya kepada suaminya yang miskin. (Simak Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 2/545 dan Subulus Salam oleh As-Shan’any 2/143).
Andai ada sistem gono-gini pada suami dan istri, niscaya bila istri kaya, maka suami secara otomatis turut menjadi kaya, dan demikian pula sebaliknya. Bila demikian halnya, maka tidak mungkin ada seorang istri berkewajiban membayar zakat sedangkan suaminya tidak mampu.
5. Adanya hukum waris antara suami istri
Allah Azza wa Jala menegaskan hal ini pada ayat berikut, yang artinya,
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu.” (QS. An Nisa’: 12)
Berbagai hukum di atas dan lainnya menjadi bukti nyata bahwa status gono gini cacat secara Syariat.

Masalah Dan Solusi Harta Gono-gini


Rendahnya kesadaran masyarakat tentang hukum syariat, sering kali menyebabkan kepemilikan harta dalam rumah tangga menjadi samar. Dan keberadan adat “harta gono-gini” semakin memperburuk kondisi, sehingga suami dan istri tidak ada kesadaran untuk mengenali hartanya masing-masing.
Biasanya, kesadaran baru muncul setelah terjadi sengketa atau perceraian. Namun tentunya kesadaran yang telat datangnya ini tidak banyak berguna; mengingat dalam kondisi semacam ini kedua belah pihak kesulitan untuk menelusuri status kepemilikan seluruh harta kekayaan yang ada.
Untuk mengurai kebuntuan status seperti dalam kondisi ini, maka secara syariat anda harus mengenali tingkat kontribusi keduanya dalam kepemilikan harta yang dianggap sebagai “harta gono-gini”.
1. Istri tidak memiliki kontribusi
Pada kondisi semacam ini, istri sama sekali tidak berhak mengajukan tuntutan harta gono-gini. Dan bila masalah mencuat karena perceraian, maka istri hanya berhak mendapatkan mut’ah (pemberian sebagai bentuk penghargaan), sebagaimana disebutkan pada ayat berikut, yang artinya,
“Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut`ah yang sewajarnya, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa.” (QS. Al-Baqarah: 241).
Adapun bila masalah ini muncul karena kematian suami, maka istri hanya berhak mendapatkan bagian dari warisan, sebagaimana yang ditegaskan di atas. Demikian pula halnya bila yang meninggal dunia adalah istri, maka suami hanya berhak mendapatkan bagian dari warisannya.
2. Istri atau suami berkontribusi dalam kepemilikan harta
Pada kondisi semacam ini, maka secara yariat hanya ada satu cara, yaitu dengan menempuh jalur musyawarah untuk mencapai kata mufakat. Demikianlah solusi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menyelesaikan kasus serupa, yaitu sengketa kepemilikan harta yang masing-masing pihak telah kehilangan alat bukti.
Ummu Salamah mengisahkan: Suatu hari ada dua lelaki yang bersengketa perihal harta warisan datang menemui Rasulullah shalllalllahu ‘alaihi wa sallam. Keduanya sama-sama mengajukan klaim yang tidak didukung oleh alat bukti.
Sebelum Nabi shalllalllahu ‘alaihi wa sallam memutuskan, beliau terlebih dahulu memberikan petuah kepada mereka:
“Sejatinya aku adalah manusia biasa, sedangkan kalian berdua mengangkat persengketaan kalian kepadaku. Bisa jadi sebagian dari kalian lebih mahir dibanding lawannya dalam mengutarakan alasan. Dan berdasarkan keterangannya, aku membuat keputusan yang memenangkan klaimnya. Maka barang siapa yang aku menangkan klaimnya, sehingga aku memberinya sebagian dari hak saudaranya, maka hendaknya ia tidak mengambilnya walau hanya sedikit. Karena sejatinya dengan itu aku telah memotongkan sebongkah api neraka untuknya.”
Mendengar petuah ini, kedua sahabat tersebut menangis, dan masing-masing berkata: Bila demikian, maka lebih baik aku merelakan hakku untuknya.
Mengetahui bahwa di hati kedua orang yang pada awalnya bersengketa ini telah tumbuh kesadaran hukum, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Bila kalian berdua telah mengikrarkan yang demikian ini, maka silahkan kalian berdua membagi harta yang kalian perselisihkan, dan upayakan dengan maksimal agar pembagiannya benar. Selajutnya masing-masing dari kalian memaafkan saudaranya.” (HR. Abu Dawud).
Inilah solusi jitu yang dapat ditempuh guna menyelesaikan kebuntuan dalam masalah seperti hak milik tanpa bukti. Semoga penjelasan ini dapat dipahami dengan baik, dan semoga menambah hazanah keilmuan anda.
Wallahu Ta’ala a’alam bisshawab."
Keterangan di atas adalah artikel yang ditulis Dr. Muhammad Arifin Baderi. Artikel ini diterbitkan oleh Majalah Pengusaha Muslim edisi 36, yang secara khusus mengupas serba-serbi keuangan Keluarga.

No comments:

Post a Comment