Barakah atau yang lazim disebut berkah oleh kebanyakan orang, secara bahasa berarti kebaikan yang banyak dan tetap. Diambil dari kata ‘birkah’ yang artinya kumpulan air. Sedangkan menurut syariat adalah kebaikan yang banyak yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
Bertabarruk (mencari berkah) ada yang disyariatkan dan ada pula yang dilarang oleh agama. Berikut adalah tabarruk yang syar’i (disyariatkan):
a. Tabarruk dengan ucapan, amalan, dan keadaan-keadaan (perilaku).
Di dalam Islam, ada beberapa perkataan, amalan, dan perilaku yang apabila dipraktekkan akan terwujud kebaikan dan barakah yang banyak. Tentu selama hal tersebut mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Contohnya adalah dzikir kepada Allah dan membaca Al-Qur’an. Di antara barakah dzikir kepada Allah adalah mendapatkan doa dari malaikat, sanjungan di hadapan makhluk-Nya dan ampunan dari Allah, sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari. Di antara barakah Al-Qur’an adalah sebagai obat, petunjuk, dan rahmat bagi seluruh manusia. Serta sebagai pemberi syafa'at kelak di hadapan Allah sebagaimana dalam hadits Abu Umamah yang dikeluarkan Al-Imam Muslim.
Adapun contoh amalan yang mengandung berkah adalah menuntut ilmu dan mengajarkannya. Di antara barakahnya adalah terangkatnya derajat di dunia dan di akhirat. Kemudian shalat secara berjamaah, yang barakahnya adalah dihapuskannya dosa-dosa dan dilipatgandakannya kebaikan-kebaikan.
Contoh perilaku (keadaan) di antaranya makan berjamaah, makan dari pinggir nampan, menjilati lidah (setelah makan) dan menakar makanan sebagaimana dijelaskan dalam riwayat-riwayat yang shahih.
b. Tabarruk dengan tempat.
Memang ada sejumlah tempat yang oleh Allah dijadikan tempat yang mengandung banyak kebaikan (barakah). Yakni apabila beramal di tempat tersebut dengan ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Contohnya adalah masjid-masjid, di mana mencari barakahnya dengan melaksanakan shalat lima waktu, beri’tikaf, menghadiri majelis ilmu, dan sebagainya dengan cara-cara yang disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Perlu diketahui, bertabarruk pada masjid-masjid itu bukan dengan cara mengusap-ngusap tembok atau tanah masjid tersebut, atau yang hal-hal lain yang dilarang syariat.
Contoh lain bahwa Allah melalui lisan Rasul-Nya telah menjelaskan barakah kota Makkah, Madinah, Syam, Masjid Al-Haram, Masjid Quba, dan Masjid Al-Aqsha. Mencari barakah padanya bukan dengan menziarahi semata, mencium, atau mengusap tanahnya, namun dengan cara beribadah di dalamnya sebagaimana disebutkan dalam banyak hadits.
c. Tabarruk dengan waktu.
Contoh waktu yang telah dikhususkan oleh syariat di mana waktu tersebut mengandung kebaikan yang banyak (barakah) adalah bulan Ramadhan. Caranya, mengisi bulan mulia tersebut dengan berpuasa yang akan terhapuskan dosa-dosa dan bertambahnya rizki orang-orang yang beriman. Contoh lain adalah malam Lailatul Qadar, sepuluh pertama bulan Dzulhijjah, hari Jum’at, sepertiga malam terakhir, dan lain-lain. Dan mencari barakah pada waktu-waktu tersebut adalah dengan cara melaksanakan apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sesuai dengan bimbingan beliau.
Apa-apa yang disebutkan di atas maupun yang belum disebutkan yang sudah jelas nashnya, mencari barakahnya adalah dengan cara yang telah disyariatkan oleh Allah dan tidak keluar dari pensyariatan tersebut. (At-Tabarruk Al-Masyru’, Al-’Ulyani, hal. 33-50)
Pembaca yang semoga dirahmati Allah, kebaikan atau barakah itu datang dari Allah sebagai satu bentuk karunia yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Namun banyak orang melupakan hal ini, mereka justru bertabarruk (mencari berkah) dengan hal-hal yang dilarang agama. Setelah kita mengetahui beberapa tabarruk yang diperbolehkan dalam agama maka selanjutnya kita pun harus mengetahui tabarruk batil yang dilarang oleh syariat. Di antara bentuk-bentuk tabarruk batil ini adalah:
a. Tabarruk pada tempat-tempat yang tidak dijelaskan oleh syariat baik dengan cara mencium, mengusap, atau mencari syafaat darinya.
b. Pergi ke kuburan dengan tujuan ziarah dan berdoa di sisinya, dengan keyakinan bahwa berdoa di sisinya lebih utama. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim (hal. 433) mengatakan, “Bila seseorang shalat di sisi kuburan para nabi atau orang-orang shalih dengan tujuan untuk mencari barakah, maka ini merupakan bentuk penentangan kepada Allah dan Rasul-Nya, menyelisihi agama, dan mengada-ada di dalam agama yang tidak diizinkan oleh Allah.”
c. Disebutkan oleh Syaikhul Islam dalam Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim juga (hal. 424-426) contohnya seperti orang yang pergi ke gua Hira kemudian shalat di dalamnya, berdoa ke gua Tsur lalu shalat dan berdoa di dalamnya, atau ke bukit Thursina lalu shalat dan berdoa padanya. Atau pergi ke gunung-gunung atau selainnya yang disebut sebagai maqamat (tempat bersejarah) para nabi.
Asy-Syaikh Ibnu Baz dalam fatwa beliau (3/334) membantah orang-orang yang menghidupkan peninggalan-peninggalan nubuwwah seperti jalan yang dilalui oleh beliau ketika berhijrah, atau tempat tenda Ummu Abd (atau Ummu Ma’bad ???) atau yang sejenisnya. Beliau menjelaskan bahwa cara demikian dapat mengarah pada perbuatan mengagungkan, berdoa di sisinya, atau shalat, dan lain sebagainya. Semua ini merupakan jalan-jalan yang akan mengantarkan kepada kesyirikan.
d. Menetapkan waktu-waktu tertentu dengan berbagai macam bentuk pengagungan dan acara-acara serta berbagai bentuk ibadah lainnya. Seperti menyambut hari kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, hari Isra’ Mi’raj, hari hijrah, hari Badr, hari Fathu Makkah, dan sebagainya. Bertabarruk pada hari-hari di atas termasuk perbuatan bid’ah dalam agama.
e. Bertabarruk dengan orang-orang shalih, peninggalan-peninggalan mereka seperti tongkatnya, air ludahnya, rambutnya, keringatnya, pakaian-pakaiannya, tempat tidurnya dan lain sebagainya. (Ta’liq Al-Qaul Al-Mufid, 1/246-250)
Lalu bagaimana dengan perbuatan para shahabat terhadap diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di mana mereka berebutan mengambil ludah beliau, air wudhu beliau, bahkan di antara mereka ada yang mengumpulkan keringat dan rambut beliau?
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan di dalam Fathul Majid (1/264), syarah beliau terhadap Kitab Tauhid, menjawab syubhat ini, dengan ucapan: “Adapun yang didengungkan oleh orang-orang sekarang ini bahwa boleh bertabarruk dengan peninggalan-peninggalan orang shalih, maka hal demikian terlarang dari beberapa sisi:
1. Generasi pertama umat ini dari kalangan shahabat dan generasi setelahnya tidak pernah melakukannya kepada selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak di masa hidup beliau ataupun setelah meninggalnya.
2. Bila yang demikian itu adalah baik, niscaya mereka akan lebih dahulu melakukannya.
3. Seutama-utama shahabat adalah Abu Bakr, kemudian ‘Umar, kemudian ‘Utsman dan ‘Ali radhiyallahu ‘anhum. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahkan telah mempersaksikan mereka menjadi penghuni surga. Namun tidak ada seorangpun dari kalangan shahabat atau tabi’in yang melakukan amalan tersebut (yaitu bertabarruk) kepada tokoh-tokoh shahabat itu. Begitu juga tidak pernah dilakukan oleh generasi tabi’in kepada ahli ilmu dan ulama di masa mereka.
4. Tidak boleh mengqiyaskan (menyamakan) kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan seorangpun dari umat ini.
5. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki kekhususan-kekhususan yang tidak boleh orang lain masuk ikut menyertai beliau dalam kekhususan itu.
6. Melarang yang demikian ini dimaksudkan sebagai cara untuk menutup pintu-pintu kesyirikan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Bila seseorang sholat di kuburan para nabi atau orang-orang shalih dengan tujuan mencari barakah, maka ini merupakan bentuk penentangan kepada Allah dan Rasul-Nya, menyelisihi agama, dan mengada-ada di dalam agama yang tidak diijinkan oleh Allah.” (Iqtidha Ash Shirathil Mustaqim, hal. 433)
Wallahu a’lam bish shawab.
sumber:http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=161 via fadhlihsan.wordpress.com
No comments:
Post a Comment