Apakah bulu dan seluruh anggota tubuh anjing najis
sebagaimana air liurnya? Para ulama memiliki tiga pendapat dalam permasalahan
ini.
[Pendapat Pertama] Air liur anjing
najis, sedangkan bulunya suci.
Ini merupakan madzhab Abu Hanifah, Ahmad dalam satu
riwayat dan dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahumullah. Mereka
berdalil dengan hadits-hadits berikut:
1. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu’[1],
طهور إناء أحدكم إذا ولغ فيه الكلب أن
يغسله سبع مرات ، أولاهن بالتراب
“Cara mensucikan bejana salah seorang kalian ketika
dijilat oleh anjing adalah dengan dicuci tujuh kali, salah satunya dengan
tanah.”[Diriwayatkan oleh Muslim no. 91 dan 279]
Ungkapan [طهور] dalam syariat bermakna mengangkat hadats atau najis.
2. Lafadz hadits [أن يغسله سبع مرات]
Ketika syariat memerintahkan untuk
mencuci bekas jilatannya, menunjukkan bahwa jilatannya adalah najis. Dikuatkan
lagi dengan perintah mengulang-ulang cuciannya sebanyak tujuh kali, Allahua’lam
mungkin hikmah dari perintah tersebut agar najisnya benar-benar telah hilang.
3. Dalam riwayat Muslim no. hadits
98 disebutkan lafadz [فليرقه] yaitu perintah untuk
menumpahkan sisa air dalam bejana bekas jilatannya.
Seandainya air tersebut tidak najis,
tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak akan memerintahkan
untuk menumpahkannya karena hal tersebut termasuk tindakan israf (berlebih-lebihan)
dan menyia-nyiakan harta.
4. Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah
berkata dalam Fathul Bari :
وقد ثبت عن
ابن عباس التصريح بأن الغسل من ولوغ الكلب بأنه رجس
“Telah shahih dari Ibnu ‘Abbas
secara tegas bahwa sebab perintah mencuci bekas air liur anjing disebabkan
karena najis”[Dikeluarkan oleh Muhammad bin Nashr Al-Marwazi dengan sanad
shahih]
Perkataan Ibnu Abbas ini tidak
diingkari dan diselisihi oleh sahabat yang lain”
Mengenai bulu anjing, maka tidak ada
dalil sharih yang menyatakan najisnya sehingga dikembalikan kepada hukum
asal sesuatu yaitu suci.
[Pendapat Kedua] Air liur, bulu dan seluruh tubuh anjing najis.
Ini merupakan madzhab Asy-Syafi’i, Ahmad
dalam satu riwayat yang masyhur, Al-Auza’i, Ishaq, Abu ‘Ubaid, Malik dalam satu
riwayat dan merupakan pendapat jumhur ulama[2]
1. Mereka berdalil dengan
hadits-hadits yang dibawakan pendapat pertama, kemudian mengqiyaskan najisnya
bulu dan seluruh tubuh anjing denan najisnya air liur.
Air liur anjing berada dalam
mulutnya, sedangkan mulut termasuk anggota tubuh yang paling mulia dalam sebuah
jasad, misalkan dalam tubuh manusia mulut digunakan untuk membaca Al-Qur’an,
diperintahkan untuk berpuasa dari makan dan minum dan digunakan untuk berdoa.
Ketika syariat menyatakan najisnya air liur anjing yang terdapat dalam
mulutnya, maka anggota tubuh yang lebih rendah kedudukannya lebih pantas
dikatakan najis.
2. Hadits Maimunah radhiyallahu
‘anha,
أن النبي
أخرج جرو الكلب من بيته ثم نضح مكانه بالماء
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam pernah mengeluarkan anak anjing dari rumahnya lalu memercikkan
bekas tempatnya dengan air” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2105]
[Pendapat Ketiga] Air liur, bulu dan seluruh anggota tubuh anjing suci.
Ini merupakan madzhab yang masyhur
dari Malik, Ahmad dalam satu riwayat, Dawud Adz-Dzahiri, Az-Zuhri, Sufyan
Ats-Tsauri, Al-Bukhari, Ibnul Mundzir dan dikuatkan oleh Ibnu Abdil Barr rahimahumullah.
Mereka berdalil dengan hadits-hadits
berikut :
1. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu secara marfu’,
أن رجلا ممن
كان قبلنا سقى الكلب بخفه فغفرالله له
“Bahwa ada seorang dari umat
sebelum kita memberi minum seekor anjing dengan khuf (sepatunya) maka Allah
mengampuninya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 173 dan Muslim no. 2244]
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah
berkata :
“Penulis kitab berdalil dengan
hadits ini tentang sucinya air liur anjing. Karena dzahir hadits ini menunjukkan
bahwa ketika ia memberi minum anjing dengan sepatunya, tidak diperintahkan
untuk mencucinya sebanyak tujuh kali”
2. Hadits Ibnu Umar radhiyallahu
‘anhuma,
كانت الكلاب
تبول وتقبل وتدبرفي المسجد في زمن رسول الله فلم يكونوا يرشون شيئا من ذلك
“Dahulu di masa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam anjing biasa kencing dan bolak-balik masuk masjid,
tidak pernah mereka menyiramkan sesuatu di tempat bekas anjing tersebut.”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 173]
3. Allah ta’ala menghalalkan
hewan hasil buruan anjing yang terlatih dan tidak memerintahkan untuk mencuci
bekas gigitan anjing tersebut.
Allah ta’ala berfirman :
فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ
عَلَيْكُمْ
“Makanlah dari apa-apa yang ditangkapnya untuk kalian” [Al-Maidah: 4]
4. Perintah untuk mencucinya tujuh kali bukan karena air liurnya
najis, namun semata-mata untuk mengamalkan perintah syariat (ta’abudiyyah).
Seandainya bekas jilatan anjing najis, seharusnya cukup dicuci sekali
sebagaimana mencuci air kencing. Adanya bilangan cucian sebanyak tujuh kali
lebih menguatkan bahwa hal tersebut bersifat ta’abudiyyah.
Tarjih
Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama, Allahua’lam.
Adapun dalil-dalil pendapat kedua dapat dijawab dalam beberapa
sisi :
1. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
“Adapun mengqiyaskan antara air liur dengan bulu anjing maka ini
kurang tepat, karena air liur berada di dalam anggota tubuh (mulut –pen-)
sedangkan bulu anjing berada di luar tubuh.” [Majmu’ Al-Fatawa 21/618]
Dalil qiyas jumhur ulama dalam permasalahan ini merupakan qiyas
ma’al fariq, karena syariat tidak menyamakan hukum dari dua hal yang
berbeda.
2. Adapun hadits Maimunah yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam memercikkan air di rumahnya pada bekas tempat anak anjing,
maka hal itu tidak mesti menunjukkan najisnya. Karena bisa jadi Rasulullah
ingin membersihkan rumahnya dari sesuatu yang kotor sebagaimana kita biasa
membersihkan dan mengepel rumah kita meskipun tidak terdapat najis di lantai.
3. Seandainya hadits Maimunah menunjukkan najisnya bulu dan
seluruh anggota tubuh anjing, maka tidak cukup membersihkannya dengan
memercikkan air, bahkan harus dicuci sebanyak tujuh kali sebagaimana mencuci
bekas jilatannya.
Adapun dalil-dalil pendapat ketiga dapat dijawab dalam beberapa
sisi :
1. Adapun hadits Abu Hurairah menceritakan kisah yang terjadi di
zaman nabi sebelum kita, sedangkan para ulama masih berselisih apakah syariat
umat sebelum kita merupakan syariat kita?
Sedangkan agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam telah menghapus syariat para nabi sebelum beliau dalam hal
halal haram dan ahkam syar’iyyah.
2. Bisa jadi setelah memberi minum anjing dengan sepatunya, ia
mencuci bekas jilatannya atau membuang sepatunya. Dalam hadits Abu Hurairah
masih terdapat beberapa kemungkinan sehingga tidak kuat untuk dijadikan dalil.
Kecuali jika dalam hadits disebutkan secara sharih bahwa ia memakai
sepatunya setelah itu tanpa dicuci.
3. Ibnul Munir[3], Al-Baihaqi[4] dan Asy-Syaukani[5] rahimahumullah
menukilkan ijma’ para ulama tentang najisnya air liur anjing.
4. Adapun hadits Ibnu Umar yang menyatakan bahwa Rasulullah dan
para sahabatnya tidak mencuci bekas air kencing anjing dalam masjid, maka telah
dijawab oleh para ulama dengan beberapa jawaban :
- Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
“Yang lebih mendekati kebenaran, dikatakan bahwa hal tersebut
terjadi sebelum turun perintah untuk memuliakan masjid dan mensucikannya dari
najis yaitu terjadi di permulaan Islam sehingga hal itu diperbolehkan karena
kembali pada hukum asal segala sesuatu (sebelum datang perintah atau larangan
syariat –pen-)”
- Al-Baihaqi rahimahullah berkata :
“Hal itu terjadi sebelum datangnya perintah syariat untuk membunuh
anjing dan mencuci bekas jilatannya atau mereka (Rasulullah dan para sahabat)
tidak mengetahui dimana anjing itu kencing. Seandainya mereka mengetahuinya
tentu wajib bagi mereka untuk mencucinya” [As-Sunan Al-Kubra 1/243]
- Ibnu At-Turkumani rahimahullah berkata :
“Yang lebih nampak dari kedua penjelasan di atas, bahwa bekas air
kencing anjing tersebut telah kering disebabkan sinar matahari atau disucikan
oleh tanah.” Inilah alasan yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah[6] dan Ibnu ‘Utsamin rahimahumullah.
5. Adapun ayat Al-Maidah ayat 4 yang dijadikan dalil oleh pendapat
ketiga,
Maka telah dijawab oleh Asy-Syaukani rahimahullah dalam
perkataanya,
“Penghalalan makan dari hewan hasil buruan anjing yang terlatih,
tidak menunjukkan terhapusnya keharusan dan perintah untuk mencuci bekas
gigitannya…Seandainya memang hukumnya terhapus, maka hanya menunjukkan rukhsah (keringanan syariat) dan takhshish (pengkhususan hukum) dalam keadaan
tertentu.” [Nailul Authar 1/69]
6. Adapun pernyataan bahwa perintah mencuci bekas jilatan anjing
tujuh kali merupakan ta’abudiyyah, maka Imam Ash-Shan’ani rahimahullah
menjawab :
“Dijawab bahwa perintah mencuci sesuatu pada asalnya dapat dipahami
secara akal karena adanya ‘illat yaitu disebabkan najis. Adapun perintah yang
dipahami ta’abbud hanya dalam bilangan jumlah cuciannya (tujuh kali
–pen-).” [Subulus Salam 1/52]
Allahua’lam.
Disarikan oleh Abul-Harits dari Fathul ‘Allam Syarh Bulughul
Maram di Madinah, 12 Shafar 1434 H.
[1] Hadits yang disandarkan kepada nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
[2] Imam Ash-Shan’ani dan Asy-Syaukani
rahimahumallah menyandarkan pendapat ini kepada jumhur ulama dalam Subulus
Salam 1/52 dan Nailul Authar 1/69
[3] Fathul Bari 1/172
[4] Syarh Al-Muhadzab 2/568
[5] Nailul Authar 1/70
[6] Majmu’ Al-Fatawa 11/247
No comments:
Post a Comment