Tuesday, December 25, 2012

Apakah Seluruh Anggota Tubuh Anjing Najis?

Apakah bulu dan seluruh anggota tubuh anjing najis sebagaimana air liurnya? Para ulama memiliki tiga pendapat dalam permasalahan ini.

[Pendapat Pertama] Air liur anjing najis, sedangkan bulunya suci.

Ini merupakan madzhab Abu Hanifah, Ahmad dalam satu riwayat dan dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahumullah. Mereka berdalil dengan hadits-hadits berikut:
                                                                                
1. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu’[1],

طهور إناء أحدكم إذا ولغ فيه الكلب أن يغسله سبع مرات ، أولاهن بالتراب

“Cara mensucikan bejana salah seorang kalian ketika dijilat oleh anjing adalah dengan dicuci tujuh kali, salah satunya dengan tanah.”[Diriwayatkan oleh Muslim no. 91 dan 279]

Ungkapan [طهور] dalam syariat bermakna mengangkat hadats atau najis.

2. Lafadz hadits [أن يغسله سبع مرات]

Ketika syariat memerintahkan untuk mencuci bekas jilatannya, menunjukkan bahwa jilatannya adalah najis. Dikuatkan lagi dengan perintah mengulang-ulang cuciannya sebanyak tujuh kali, Allahua’lam mungkin hikmah dari perintah tersebut agar najisnya benar-benar telah hilang.

3. Dalam riwayat Muslim no. hadits 98 disebutkan lafadz [فليرقه]  yaitu perintah untuk menumpahkan sisa air dalam bejana bekas jilatannya.

Seandainya air tersebut tidak najis, tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak akan memerintahkan untuk menumpahkannya karena hal tersebut termasuk tindakan israf (berlebih-lebihan) dan menyia-nyiakan harta.

4. Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Fathul Bari :

وقد ثبت عن ابن عباس التصريح بأن الغسل من ولوغ الكلب بأنه رجس

“Telah shahih dari Ibnu ‘Abbas secara tegas bahwa sebab perintah mencuci bekas air liur anjing disebabkan karena najis”[Dikeluarkan oleh Muhammad bin Nashr Al-Marwazi dengan sanad shahih]

Perkataan Ibnu Abbas ini tidak diingkari dan diselisihi oleh sahabat yang lain”

Mengenai bulu anjing, maka tidak ada dalil sharih yang menyatakan najisnya sehingga dikembalikan kepada hukum asal sesuatu yaitu suci.


[Pendapat Kedua] Air liur, bulu dan seluruh tubuh anjing najis.

Ini merupakan madzhab Asy-Syafi’i, Ahmad dalam satu riwayat yang masyhur, Al-Auza’i, Ishaq, Abu ‘Ubaid, Malik dalam satu riwayat dan merupakan pendapat jumhur ulama[2]

1. Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang dibawakan pendapat pertama, kemudian mengqiyaskan najisnya bulu dan seluruh tubuh anjing denan najisnya air liur.

Air liur anjing berada dalam mulutnya, sedangkan mulut termasuk anggota tubuh yang paling mulia dalam sebuah jasad, misalkan dalam tubuh manusia mulut digunakan untuk membaca Al-Qur’an, diperintahkan untuk berpuasa dari makan dan minum dan digunakan untuk berdoa. Ketika syariat menyatakan najisnya air liur anjing yang terdapat dalam mulutnya, maka anggota tubuh yang lebih rendah kedudukannya lebih pantas dikatakan najis.

2. Hadits Maimunah radhiyallahu ‘anha,

أن النبي أخرج جرو الكلب من بيته ثم نضح مكانه بالماء

“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengeluarkan anak anjing dari rumahnya lalu memercikkan bekas tempatnya dengan air” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2105]


[Pendapat Ketiga] Air liur, bulu dan seluruh anggota tubuh anjing suci.

Ini merupakan madzhab yang masyhur dari Malik, Ahmad dalam satu riwayat, Dawud Adz-Dzahiri, Az-Zuhri, Sufyan Ats-Tsauri, Al-Bukhari, Ibnul Mundzir dan dikuatkan oleh Ibnu Abdil Barr rahimahumullah.

Mereka berdalil dengan hadits-hadits berikut :

1. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu’,

أن رجلا ممن كان قبلنا سقى الكلب بخفه فغفرالله له

“Bahwa ada seorang dari umat sebelum kita memberi minum seekor anjing dengan khuf (sepatunya) maka Allah mengampuninya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 173 dan Muslim no. 2244]

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata :

“Penulis kitab berdalil dengan hadits ini tentang sucinya air liur anjing. Karena dzahir hadits ini menunjukkan bahwa ketika ia memberi minum anjing dengan sepatunya, tidak diperintahkan untuk mencucinya sebanyak tujuh kali”

2. Hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma,

كانت الكلاب تبول وتقبل وتدبرفي المسجد في زمن رسول الله فلم يكونوا يرشون شيئا من ذلك

“Dahulu di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam anjing biasa kencing dan bolak-balik masuk masjid, tidak pernah mereka menyiramkan sesuatu di tempat bekas anjing tersebut.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 173]

3. Allah ta’ala menghalalkan hewan hasil buruan anjing yang terlatih dan tidak memerintahkan untuk mencuci bekas gigitan anjing tersebut.

Allah ta’ala berfirman :

فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ

“Makanlah dari apa-apa yang ditangkapnya untuk kalian” [Al-Maidah: 4]

4. Perintah untuk mencucinya tujuh kali bukan karena air liurnya najis, namun semata-mata untuk mengamalkan perintah syariat (ta’abudiyyah). Seandainya bekas jilatan anjing najis, seharusnya cukup dicuci sekali sebagaimana mencuci air kencing. Adanya bilangan cucian sebanyak tujuh kali lebih menguatkan bahwa hal tersebut bersifat ta’abudiyyah.


Tarjih

Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama, Allahua’lam.

Adapun dalil-dalil pendapat kedua dapat dijawab dalam beberapa sisi :

1. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

“Adapun mengqiyaskan antara air liur dengan bulu anjing maka ini kurang tepat, karena air liur berada di dalam anggota tubuh (mulut –pen-) sedangkan bulu anjing berada di luar tubuh.” [Majmu’ Al-Fatawa 21/618]

Dalil qiyas jumhur ulama dalam permasalahan ini merupakan qiyas ma’al fariq, karena syariat tidak menyamakan hukum dari dua hal yang berbeda.

2. Adapun hadits Maimunah yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memercikkan air di rumahnya pada bekas tempat anak anjing, maka hal itu tidak mesti menunjukkan najisnya. Karena bisa jadi Rasulullah ingin membersihkan rumahnya dari sesuatu yang kotor sebagaimana kita biasa membersihkan dan mengepel rumah kita meskipun tidak terdapat najis di lantai.

3. Seandainya hadits Maimunah menunjukkan najisnya bulu dan seluruh anggota tubuh anjing, maka tidak cukup membersihkannya dengan memercikkan air, bahkan harus dicuci sebanyak tujuh kali sebagaimana mencuci bekas jilatannya.

Adapun dalil-dalil pendapat ketiga dapat dijawab dalam beberapa sisi :

1. Adapun hadits Abu Hurairah menceritakan kisah yang terjadi di zaman nabi sebelum kita, sedangkan para ulama masih berselisih apakah syariat umat sebelum kita merupakan syariat kita?

Sedangkan agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menghapus syariat para nabi sebelum beliau dalam hal halal haram dan ahkam syar’iyyah.

2. Bisa jadi setelah memberi minum anjing dengan sepatunya, ia mencuci bekas jilatannya atau membuang sepatunya. Dalam hadits Abu Hurairah masih terdapat beberapa kemungkinan sehingga tidak kuat untuk dijadikan dalil. Kecuali jika dalam hadits disebutkan secara sharih bahwa ia memakai sepatunya setelah itu tanpa dicuci.

3. Ibnul Munir[3], Al-Baihaqi[4] dan Asy-Syaukani[5] rahimahumullah menukilkan ijma’ para ulama tentang najisnya air liur anjing.

4. Adapun hadits Ibnu Umar yang menyatakan bahwa Rasulullah dan para sahabatnya tidak mencuci bekas air kencing anjing dalam masjid, maka telah dijawab oleh para ulama dengan beberapa jawaban :

- Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata :

“Yang lebih mendekati kebenaran, dikatakan bahwa hal tersebut terjadi sebelum turun perintah untuk memuliakan masjid dan mensucikannya dari najis yaitu terjadi di permulaan Islam sehingga hal itu diperbolehkan karena kembali pada hukum asal segala sesuatu (sebelum datang perintah atau larangan syariat –pen-)”

- Al-Baihaqi rahimahullah berkata :

“Hal itu terjadi sebelum datangnya perintah syariat untuk membunuh anjing dan mencuci bekas jilatannya atau mereka (Rasulullah dan para sahabat) tidak mengetahui dimana anjing itu kencing. Seandainya mereka mengetahuinya tentu wajib bagi mereka untuk mencucinya” [As-Sunan Al-Kubra 1/243]

- Ibnu At-Turkumani rahimahullah berkata :

“Yang lebih nampak dari kedua penjelasan di atas, bahwa bekas air kencing anjing tersebut telah kering disebabkan sinar matahari atau disucikan oleh tanah.” Inilah alasan yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah[6] dan Ibnu ‘Utsamin rahimahumullah.

5. Adapun ayat Al-Maidah ayat 4 yang dijadikan dalil oleh pendapat ketiga,

Maka telah dijawab oleh Asy-Syaukani rahimahullah dalam perkataanya,

“Penghalalan makan dari hewan hasil buruan anjing yang terlatih, tidak menunjukkan terhapusnya keharusan dan perintah untuk mencuci bekas gigitannya…Seandainya memang hukumnya terhapus, maka hanya menunjukkan rukhsah (keringanan syariat) dan takhshish (pengkhususan hukum) dalam keadaan tertentu.” [Nailul Authar 1/69]

6. Adapun pernyataan bahwa perintah mencuci bekas jilatan anjing tujuh kali merupakan ta’abudiyyah, maka Imam Ash-Shan’ani rahimahullah menjawab :

“Dijawab bahwa perintah mencuci sesuatu pada asalnya dapat dipahami secara akal karena adanya ‘illat yaitu disebabkan najis. Adapun perintah yang dipahami ta’abbud hanya dalam bilangan jumlah cuciannya (tujuh kali –pen-).” [Subulus Salam 1/52]

Allahua’lam.


Disarikan oleh Abul-Harits dari Fathul ‘Allam Syarh Bulughul Maram di Madinah, 12 Shafar 1434 H.


[1] Hadits yang disandarkan kepada nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
[2] Imam Ash-Shan’ani dan Asy-Syaukani rahimahumallah menyandarkan pendapat ini kepada jumhur ulama dalam Subulus Salam 1/52 dan Nailul Authar 1/69
[3] Fathul Bari 1/172
[4] Syarh Al-Muhadzab 2/568
[5] Nailul Authar 1/70
[6] Majmu’ Al-Fatawa 11/247

No comments:

Post a Comment