وَإِذَا جَاءَهُمْ
أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ
إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ
يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ
وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا
“Dan apabila datang kepada mereka suatu
berita tentang keamanan atau pun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya.
Andaikan mereka menyerahkan urusannya kepada Rasul dan Ulil Amri
(pemegang urusan dari kalangan umaro dan orang-orang berilmu) di antara
mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan
dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah
karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut
setan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).” [An-Nisa’: 83]
Al-‘Allamah Al-Mufassir Abdur Rahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata,
هذا تأديب من الله
لعباده عن فعلهم هذا غير اللائق. وأنه ينبغي لهم إذا جاءهم أمر من الأمور
المهمة والمصالح العامة ما يتعلق بالأمن وسرور المؤمنين، أو بالخوف الذي
فيه مصيبة عليهم أن يتثبتوا ولا يستعجلوا بإشاعة ذلك الخبر، بل يردونه إلى
الرسول وإلى أولي الأمر منهم، أهلِ الرأي والعلم والنصح والعقل والرزانة،
الذين يعرفون الأمور ويعرفون المصالح وضدها. فإن رأوا في إذاعته مصلحة
ونشاطا للمؤمنين وسرورا لهم وتحرزا من أعدائهم فعلوا ذلك. وإن رأوا أنه ليس
فيه مصلحة أو فيه مصلحة ولكن مضرته تزيد على مصلحته، لم يذيعوه، ولهذا
قال: { لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ } أي: يستخرجونه
بفكرهم وآرائهم السديدة وعلومهم الرشيدة.
“Ini adalah pengajaran adab dari Allah ta’ala bagi hamba-hamba-Nya atas perbuatan mereka (tergesa-gesa menyebarkan berita-berita dan mengambil sikap, pen)
yang tidak layak. Padahal yang seharusnya mereka lakukan, apabila
datang kepada mereka berita tentang urusan besar dan berhubungan dengan
kemaslahatan umum, yaitu yang berkaitan dengan keamanan dan perkara yang
menyenangkan kaum mukminin atau ketakutan yang di dalamnya terkandung
musibah atas mereka, maka hendaklah mereka melakukan tatsabbut (memastikan beritanya) dan tidak tergesa-gesa menyiarkan berita tersebut.
Akan tetapi hendaklah mereka kembalikan
urusan itu kepada Rasul dan Ulil amri (pemegang urusan dari kalangan
umaro dan orang-orang berilmu) di antara mereka, yaitu orang-orang yang
memiliki pandangan, memiliki ilmu, memiliki nasihat (yakni yang pantas
menasihati dalam masalah umum, pen), memiliki akal dan memiliki
ketenangan (tidak tergesa-gesa dalam memutuskan). Merekalah yang
mengetahui kemaslahatan dan kemudaratan.
Maka jika mereka memandang dalam
penyiaran berita tersebut terdapat kemaslahatan, kemajuan dan
kegembiraan terhadap kaum muslimin dan penjagaan dari musuh-musuh
mereka, baru kemudian boleh disebarkan. Namun jika mereka memandang
dalam penyiarannya tidak mengandung maslahat sama sekali, atau terdapat
maslahat akan tetapi kemudaratannya lebih besar, maka mereka tidak
menyiarkan berita tersebut. Oleh karena itu Allah ta’ala mengatakan, “Tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri),”
yakni, orang-orang yang mau mencari kebenaran dapat mengambilnya dari
pemikiran dan pandangan mereka yang benar serta ilmu-ilmu mereka yang
terbimbing.”
Beliau rahimahullah juga berkata,
وفي هذا دليل لقاعدة
أدبية وهي أنه إذا حصل بحث في أمر من الأمور ينبغي أن يولَّى مَنْ هو أهل
لذلك ويجعل إلى أهله، ولا يتقدم بين أيديهم، فإنه أقرب إلى الصواب وأحرى
للسلامة من الخطأ. وفيه النهي عن العجلة والتسرع لنشر الأمور من حين
سماعها، والأمر بالتأمل قبل الكلام والنظر فيه، هل هو مصلحة، فيُقْدِم عليه
الإنسان؟ أم لافيحجم عنه؟
Dan dalam ayat ini terdapat dalil bagi kaidah adab, yaitu apabila terjadi pembahasan suatu permasalahan maka hendaklah diserahkan kepada ahlinya. Hendaklah diserahkan kepada orang yang berhak membahasnya, dan janganlah (orang yang jahil atau tidak mengerti urusan, pen) mendahului mereka, karena sikap seperti ini lebih dekat kepada kebenaran dan lebih dapat menyelamatkan dari kesalahan.
Dalam ayat ini juga terdapat larangan
tergesa-gesa dan terburu-buru untuk menyebarkan suatu berita setelah
mendengarkan berita tersebut. Dan (dalam ayat ini) terdapat perintah
untuk meneliti dan mempelajari dengan baik sebelum berbicara; apakah
pembicaraannya itu adalah kemaslahatan sehingga boleh dia lakukan?
Ataukah mengandung kemudaratan sehingga patut dijauhi?”
[Taysirul Kariimir Rahman fi Tafsiri Kalaamil Mannan, hal, 184, Maktabah Al-Ma’arif Riyadh]
Asy-Syaikh Al-‘Allamah Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah menerangkan
dua perkara yang harus dijauhi karena termasuk karakter orang-orang
Jahiliyah yang Allah ta’ala kabarkan dalam kitab-Nya yang mulia,
بَلْ كَذَّبُوا بِمَا لَمْ يُحِيطُوا بِعِلْمِهِ وَلَمَّا يَأْتِهِمْ تَأْوِيلُهُ
“Bahkan yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka belum memiliki ilmu tentangnya dengan sempurna padahal belum datang kepada mereka penjelasannya.” [Yunus: 39]
Dalam ayat ini terdapat dua sisi penting yang harus diperhatikan:
Pertama: Hendaklah seseorang tidak memasuki permasalahan yang dia tidak memiliki ilmu tentangnya, dan janganlah dia mengingkari sesuatu yang tidak dia ketahui. Tapi hendaklah dia katakan, “Allahu A’lam.”
Kedua: Janganlah seseorang mengingkari sesuatu yang diketahui oleh selainnya. Jika dia belum mengetahui permasalahan tersebut, hendaklah dia jangan terburu-buru mengingkari saudaranya yang lebih mengetahui permasalahan tersebut.
[Diringkas secara makna dari Syarh Masaail Jaahiliyah, hal. 293-294, Darul ‘Ashimah Riyadh]
Apa yang dijelaskan para ulama di atas sesuai dengan akhlak mulia yang dijelaskan oleh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam ketika beliau bersabda kepada Asyaj Abdil Qois,[1]
إنَّ فيكَ لَخَصْلَتَيْن يُحِبُّهُمَا اللهُ : الْحِلْمُ وَالأنَاةُ
“Sesungguhnya pada dirimu ada dua akhlak yang dicintai Allah, yaitu al-hilm (menahan diri ketika marah, tidak tergesa-gesa menyikapi suatu masalah) dan al-anaah (berhati-hati dalam menghadapi suatu masalah, menahan diri dan tidak terburu-buru).” [HR. Muslim dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma]
Terlebih lagi jika berita-berita
tersebut tentang celaan terhadap orang-orang yang berilmu, para pembawa
bendera Tauhid dan Sunnah, pembimbing umat di tengah kegelapan, maka
hendaklah seseorang lebih berhati-hati lagi, karena jika tidak maka dia
akan menyebabkan terjadinya kerusakan dan perpecahan di tengah-tengah
Ahlus Sunnah dan menjauhkan kaum muslimin dari dakwah yang haq.
Oleh karena itu, kami ingin mengingatkan kembali nasihat para ulama
–walaupun sayang setelah mendapat nasihat ini masih banyak yang mengaku
Ahlus Sunnah namun mengabaikannya- tentang sikap yang syar’i dalam
menyikapi kesalahan orang-orang yang berilmu dari kalangan Ahlus Sunnah.
Faqihul ‘Ashr Asy-Syaikh Al-‘Allamah Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah menerangkan hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,
الدِّينُ النَّصِيحَةُ قُلْنَا لِمَنْ قَالَ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
“Agama itu adalah nasihat,” Kami bertanya, “Bagi siapa wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Bagi Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya dan para pemimpin (ulama dan pemerintah) kaum muslimin dan seluruh kaum muslimin.” [HR. Muslim dari Tamim bin Aus Ad-Dari radhiyallahu’anhu]
Adapun yang dimaksud dengan nasihat terhadap orang-orang yang berilmu adalah:
1. Mencintai mereka
2. Menolong mereka dalam menyampaikan kebenaran
3. Membela kehormatan mereka
4. Meluruskan kesalahan mereka dengan ADAB dan PENGHORMATAN
5. Menunjukkan cara terbaik dalam mendakwahi manusia.
Tahapan Dalam Menyikapi Kesalahan Orang yang Berilmu
TAHAPAN PERTAMA: Melakukan tatsabbut [pemastian] berita tentang kesalahan tersebut kepadanya, karena berapa banyak kesalahan yang dinisbahkan kepada seorang yang berilmu secara dusta.
TAHAPAN KEDUA: Hendaklah diteliti apakah yang dianggap sebagai kesalahan tersebut benar-benar suatu kesalahan atau ternyata justru itulah kebenaran, karena sering terjadi di awal kali kita menganggap sesuatu sebagai kesalahan padahal yang sebenarnya setelah diteliti lebih jauh maka menjadi jelas bahwa hal itu adalah kebenaran.
TAHAPAN KETIGA: Apabila ternyata hal itu bukan suatu kesalahan maka wajib bagi engkau untuk membela orang yang berilmu dan menerangkan kepada manusia bahwa ucapannya adalah suatu kebenaran.
TAHAPAN KEEMPAT: Adapun jika ternyata ucapan orang yang berilmu itu memang suatu kesalahan dan penisbatan kesalahan itu kepadanya juga benar, maka yang wajib engkau lakukan adalah:
- MENGHUBUNGI orang yang berilmu tersebut dengan ADAB dan SOPAN SANTUN, lalu engkau katakan, “Aku mendengar darimu kesalahan ini dan itu, maka aku ingin engkau jelaskan kepadaku sisi kebenarannya, sebab engkau lebih tahu dariku?”
- Setelah benar-benar jelas bagimu bahwa sang ‘alim tersebut telah salah maka engkau memiliki hak untuk munaqosyah [menyampaikan pendapatmu], akan tetapi dengan ADAB dan PENGHORMATAN kepadanya sesuai dengan kedudukan dan kehormatannya sebagai seorang ‘alim.
- Adapun yang dilakukan oleh sebagian orang, berupa sikap keras dan kasar serta menjatuhkan kehormatan orang-orang yang berilmu maka hal tersebut muncul dari sikap ‘ujub [kagum terhadap diri sendiri] dalam keadaan mereka menyangka bahwa merekalah Ahlus Sunnah yang berjalan di atas manhaj Salaf padahal mereka itulah yang paling jauh dari jalan Salaf. Demikianlah manusia, jika memiliki sifat ‘ujub maka dia akan melihat yang lainnya kecil di hadapannya.
[Diringkas secara makna dari Syarhul ‘Arba’in An-Nawawiyah, hal. 140-142, Darus Tsuroyya Unaizah ]
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
[1] Pembahasan hadits ini secara khusus dan akhlak mulia secara umum –alhamdulillah- telah kami sampaikan pada Dauroh di Masjid Agung Purwokerto, dapat diunduh di sini: http://rizkytulus.wordpress.com/2012/04/15/download-dauroh-purwokerto-wasiat-untuk-takwa-dan-berakhlak-mulia-bersama-al-ustadz-sofyan-chalid-ruray/
Ditulis oleh Ustadz Sofyan Ruray hafidzahullah di nasehatonline.wordpress.com
No comments:
Post a Comment