Friday, July 27, 2012

Zuhudnya Putra Khalifah Harun Ar-Rasyid

Menceritakan kepadaku Muhammad bin Al Husain, aku mendengar Abu Bakar bin Abi Thayyib berkata, telah sampai kepadaku dari Abdullah bin Faraj (beliau seorang ahli ibadah) yang berkata: Aku membutuhkan seorang kuli yang akan bekerja untukku, maka aku pergi ke pasar melihat-lihat kuli.

Tiba-tiba di bagian akhir aku melihat seorang remaja berkulit putih, di  tangannya terdapat bungkusan besar. Dia lewat dengan mengenakan jubah serta kain dari bulu domba kasar.

Aku berkata padanya, “Apakah kau ingin bekerja?”

Dia menjawab, “Iya.”

Aku katakan, “Berapa upah yang kau minta?”

Dia menjawab, “Satu dirham dan satu daniq (total tujuh daniq).”

Aku katakan, “Baiklah, bekerjalah padaku.”

Dia berkata, “Dengan satu syarat.”

Aku katakan, “Apa itu?”

Dia menjawab, “Jika telah datang waktu dzuhur aku akan keluar wudhu shalat kemudian kembali bekerja, dan jika datang waktu asar demikian pula.”

Aku katakan, “Ya.”

Kemudian ia mengikutiku sampai rumah dan aku merintahkannya untuk mengangkut barang dari satu tempat ke tempat lain. Ia pun mengencangkan tali pinggang dan bekerja serta tidak berbicara sepatah kata pun sampai tiba waktu dzuhur dan berkata kepadaku, “Wahai Abdullah, muadzin telah mengumandangkan adzan dzuhur.”

Aku menjawab, “Terserah kau saja.”

Kemudian dia keluar shalat dan kembali bekerja dengan giat sampai ketika telah tiba waktu asar, ia berkata lagi kepadaku, “Wahai Abdullah, muadzin telah mengumandangkan adzan asar.”

Aku menjawab, “Terserah kau saja.”

Kemudian ia keluar shalat asar dan kembali bekerja sampai senja hari. Aku pun memberikan upahnya dan ia bergegas pulang.

Sampai setelah beberapa hari setelahnya aku membutuhkan kuli kembali, maka istriku berkata kepadaku, “Suruh saja kuli muda yang kemarin itu, karena ia bekerja dengan sangat giat!”

Aku pun mendatangi pasar akan tetapi aku tidak melihat remaja itu. Lantas aku bertanya pada orang-orang dan mereka menjawab, “Jika kau bertanya tentang remaja berkulit putih  itu, ia tidak akan datang kecuali pada hari Sabtu saja dan ia selalu duduk sendirian di bagian belakang.”

Aku pun pulang dan kembali ke pasar pada hari Sabtu, aku berjumpa dengannya dan bertanya, “Apakah kau ingin bekerja lagi?”

Dia menjawab, “Kau telah mengetahui upah serta syarat yang aku ajukan.”

Aku berkata, “wabillahit taufiq.”

Ia pun bangkit dan bekerja dengan baik sebagaimana waktu yang lalu. Ketika ia telah selesai dari pekerjaannya, aku memberikan upah dan menambahnya, namun ia tidak mau menerima tambahan upah tersebut. Aku pun membujuknya agar mau menerimanya. Akan tetapi ia justru marah dan meninggalkanku sendirian.

Aku merasa sedih dan berusaha menyusulnya. Aku berhasil menyusulnya dan membujuknya, akhirnya ia mau mengambil upahnya tanpa tambahan.

Setelah berlalu beberapa waktu lamanya, aku membutuhkan kuli lagi, maka aku menunggu sampai tiba hari Sabtu, namun aku tidak melihat remaja tadi di pasar. Aku lantas bertanya pada orang-orang tentang keadaannya. Dikatakan kepadaku bahwa remaja itu sakit.

Ada seseorang yang memberikan kabar mengenai keadaan remaja tadi bahwa ia hanya bekerja pada hari Sabtu (6 hari yang lain digunakan untuk menuntut ilmu), lalu ia makan setiap harinya dengan satu daniq. Sekarang  ia sedang sakit.

Aku pun bertanya tentang lokasi rumahnya dan mendatanginya, rupanya ia tinggal di rumah seorang nenek tua. Aku bertanya pada nenek tadi, “Apakah di sini tinggal seorang remaja yang bekerja sebagai kuli?”

Nenek tua tadi menjawab, “Ia sakit sejak beberapa hari yang lalu.”

Aku kemudian masuk menemuinya, ia benar-benar sakit dan di bawah kepalanya terdapat batu bata sebagai bantal. Aku mengucapkan salam padanya dan berkata, “Apakah engkau membutuhkan bantuan?”

Ia menjawab, “Iya, jika tidak merepotkanmu.”

Aku berkata, “Tidak merepotkan insya Allah.”

Ia berkata, “Apabila aku mati nanti maka juallah ini, dan cucilah jubahku serta kain bulu kambing ini kemudian kafanilah aku dengannya! Bukalah saku jubahku karena di dalamnya ada sebuah cincin, ambillah cincin itu, kemudian perhatikanlah kapan Kalifah Harun Ar-Rasyid lewat di suatu jalan, dan berdirilah di lokasi yang memungkinkan bagi dia untuk melihatmu. Panggilah ia dan perlihatkan cincin itu maka ia akan memanggilmu. Setelah itu serahkanlah cincin itu kepadanya! Janganlah kau melakukan apa yang aku katakan kecuali setelah aku mati.”

Aku menjawab, “Ya.”

Setelah ia meninggal dunia aku melaksanakan apa yang ia perintahkan, dan aku memperhatikan hari di mana Harun Ar Rasyid lewat di suatu jalan. Aku pun duduk di pinggir jalan, ketika ia lewat aku memanggilnya, “Wahai amirul mukminin aku memiliki titipan untuk engkau”, sambil aku memperlihatkan cincin permata.

Ia pun memerintahkan untuk membawaku bersamanya, ketika ia memasuki rumahnya ia menyuruh orang yang bersamanya agar keluar lantas bertanya kepadaku, “Siapa engkau ini?”

Aku menjawab, “Abdullah bin Al-Faraj.”

Ia bertanya lagi, “Dari mana engkau mendapatkan cincin ini?”

Kemudian aku menceritakan kisah remaja yang aku temui. Tiba-tiba ia berlinangan air mata dan menangis terisak-isak sampai aku merasa iba kepadanya.

Setelah ia agak tenang aku bertanya kepadanya, “Wahai amirul mukminin, siapakah remaja itu sebenarnya?”

Ia menjawab, “Ia adalah anakku.”

Aku bertanya kembali, “Bagaimana hal ini bisa terjadi?”

Ia menjawab, “Ia dilahirkan sebelum aku menjabat sebagai khalifah, dan ia tumbuh menjadi anak yang shalih, ia menghafal al Qur’an dan mempelajari ilmu syar’i. Ketika aku diangkat menjadi khalifah ia meninggalkan aku dan tidak mau menikmati harta dunia yang aku miliki sedikit pun juga. Maka aku menyerahkan cincin ini kepada ibunya, ia adalah permata yang sangat mahal harganya. Aku berkata kepada ibunya, serahkan cincin ini kepada anak kita dan mintalah agar ia membawanya agar ia bisa memanfaatkannya suatu hari kelak. Ia adalah seorang anak yang sangat berbakti kepada ibunya. Semenjak ibunya meninggal aku tidak pernah lagi mendengar kabarnya kecuali kabar yang telah engkau sampaikan kepadaku.”

Kemudian Harun Ar Rasyid berkata lagi kepadaku, “Malam ini keluarlah bersamaku menuju kuburan anakku.”

Ketika malam telah tiba ia keluar bersamaku menuju kuburan anaknya, manakala kami sampai di kuburan anaknya ia duduk di samping kuburan dan menangis terisak-isak, sampai ketika fajar telah terbit kami terbangun dan pulang

Harun Ar Rasyid berkata kembali, “Berjanjilah kepadaku untuk senantiasa menemaniku setiap malam untuk berziarah ke kuburan anakku!”

Aku pun berjanji untuk senantiasa menemaninya berziarah setiap malam.

Berkata Abdullah bin Al Faraj, “Aku sungguh tidak mengetahui bahwa remaja itu anak khalifah sampai Harun Ar Rasyid memberitahuku.”

Berkata Abu Bakar Muhammad bin Al Husain, “Dan sungguh telah mengabarkan kepadaku Abu Abdillah bin Mikhlad Al Athar tentang berita Abdullah bin Al Faraj di dalamnya disebutkan riwayat ini dan disebutkan pula bahwa Harun Ar Rasyid kemudian menawarkan harta yang sangat banyak kepadanya akan tetapi ia menolaknya.

Abu Bakar juga mengatakan bahwa ketika Abdullah bin Al Faraj meninggal dunia istrinya tidak memberitahukan kematiannya kepada saudara-saudaranya Abdullah yang duduk-duduk di depan pintu menunggu untuk diijinkan masuk rumah. Kemudian ia memandikannya dan mengkafaninya dengan kain kisa’ miliknya lalu menuju pintu dan menutup dirinya lalu mengatakan kepada saudara-saudara Abdullah, “Abdullah telah meninggal dunia dan aku telah mengurus jenazahnya.”

Saudara-saudaranya lantas masuk dan membawa jenazahnya menuju kuburan dan istrinya menutup pintu dari belakang mereka. (Saudara-saudara Abdullah tidak bisa melihat istri Abdullah).

[Dialih bahasakan secara bebas oleh Abul Aswad Al-Bayaty dari Ghuroba’ minal Mukminin dengan sedikit perubahan: 41 karya Al Imam Al Aajurry rahimahullahu ta’ala, Maktabah Syamilah]

No comments:

Post a Comment