Bagaimana hukum menyebut Allah ‘Azza wa Jalla dengan “Gusti Allah”
dan juga menyebut Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan “Kanjeng
Nabi”?
Berikut ini adalah jawaban dari asatidzah tentang permasalahan
tersebut.
Jawaban dari Al Ustadz Dzulqarnain hafizhahulah
Pemberitaan tentang Allah ‘Azza wa Jalla terbagi tiga:
1. Pemberitaan dalam bentuk Penamaan.
2. Pemberitaan dalam bentuk Pensifatan.
3. Pemberitaan dalam bentuk Pengkabaran.
Bentuk penamaan dan pensifatan harus terbatas pada dalil dari
Al-Qur`an dan As-Sunnah. Ada pengabaran tentang Allah tidak diingkari
oleh para ulama sepanjang mengandung makna kesempurnaan, tidak ada
bentuk kekurangan dan tidak ada dalil yang melarang. Seperti Allah `Azza
wa Jalla dikabarkan tentangnya dengan lafazh Asy-Syai’ (sesuatu),
Al-Maujûd (yang ada) dan Al-Ma’lûm (yang diketahui). Akan tetapi
lafazh-lafazh ini tidak tergolong dalam nama-nama Allah yang mulia dan
tidak pula sifat-sifat-Nya yang sempurna karena tidak ada nash dalil
yang menyebutkannya.
Tapi perlu diingat bahwa bab pengabaran hendaknya terbatas pada
apa-apa yang dibicarakan oleh para ulama salaf dan ulama yang kokoh di
atas keilmuan. Demikian kaidah dalam hal ini.
Silakan mengukur kata “Gusti”, apakah layak dalam bentuk pengabaran
atau tidak dari sisi penggunaan bahasa orang yang menggunakannya. Tapi yang bisa saya pastikan bahwa harus meninggalkan penggunaannya
dan menggantinya dengan pemberitaan yang mempunyai nash dari Al-Qur’an
dan As-Sunnah serta dikenal di kalangan ulama Salaf.
Dalam bahasa Indonesia, Gusti berarti:
1. Sebutan bangsawan : Ke mana pun ____ pergi hamba akan ikut.
2. Sebutan untuk Tuhan (atau yang dianggap Tuhan) : Aduh ____ , saya mohon ampun, saya bertobat. [1]
Dan untuk Nabi shollahu ‘alaihi wa sallam juga saya pandang kurang layak, karena dalam kamus Bahasa Indonesia,
Kanjeng berarti:
Pangkat atau gelar yang diberikan oleh Sultan Yogyakarta atau Sunan
Surakarta kepada orang yang kedudukannya sepangkat bupati : Ia
dianugerahi pangkat Bupati Anom di samping mendapat gelar ____ Raden
Tumenggung.
____ gusti gelar dimiliki oleh Mangkunegara di Surakarta dan Paku Alam di Yogyakarta.
____ pangeran harya gelar yang diberikan kepada keluarga dekat raja-raja di Jawa. [2]
Jawaban dari Al Ustadz ‘Abdul Mu’thi Al Maidany hafizhahulah
Oleh karena itu kita tidak boleh menetapkan sebuah nama bagi Allah
kecuali dengan dalil dari Al Qur’an dan Al Hadits, karena kita tidak
tahu apakah nama itu mengandung makna yang mencapai puncak keindahan
atau tidak.
Yang tahu bahwa nama itu mengandung makna yang mencapai puncak
keindahan atau tidak hanyalah Allah, yang kemudian diwahyukan kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka kalau ingin menetapkan sebuah nama bagi Allah harus ada dalilnya
dari Al Qur’an dan Al Hadits. Oleh karena itu kita tidak menyematkan
sebuah sebutan bagi Allah kecuali dengan adanya dalil.
Seperti kita mengatakan “Gusti Allah”, apakah “Gusti” ini mengandung
makna yang mencapai puncak keindahan? Yang seperti ini sebaiknya kita
menjaga diri, tidak menetapkannya bagi Allah. Supaya kita tidak
menetapkan kepada Allah sesuatu yang tidak tepat bagi Allah. Supaya kita
tidak masuk ke dalam perbuatan berucap atas nama Allah tanpa ilmu.
Sehingga kalau kita ingin menetapkan suatu sebutan atau nama bagi
Allah, maka harus memiliki dalil dari Al Qur’an dan Al Hadits. Karena
nama-nama Allah itu adalah nama-nama yang mencapai puncak daripada
keindahan.
Kalau ada yang mengatakan, “Tapi kan niatnya baik insya Allah, bukan
ingin melecehkan Allah. Dan sebutan itu sebagai pengagungan kepada
Allah.” Maka kita katakan, “Niatan baik itu tidak cukup.” Berkata
‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,
“Dan betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.” [4]
Jawaban dari Al Ustadz Abu Karimah Asykari hafizhahulah
Arti “Gusti” kalau tidak salah adalah “Sayyid (seorang yang utama,
mulia, agung, berkedudukan tinggi, pemimpin umat)”, wallohu a’lam
sebaiknya kalau seseorang sudah mengerti hendaknya kata-kata ini
dihilangkan saja. Alhamdulillah kita sudah mendapatkan ilmu, sehingga
lebih berhati-hati, dikhawatirkan terjatuh di dalam perkara Al Ilhad
(memalingkan dari nama-nama Allah yang sebenarnya). Allohu a’lam.
_______________________
[1] http://groups.yahoo.com/group/nashihah/message/67
[2] http://m.artikata.com/arti-329362-gusti.html
[3] http://m.artikata.com/arti-332838-kanjeng.html
[4] HR. Ad Darimi no. 204. Husain Salim Asad mengatakan sanad hadits ini
jayyid, riwayat ini dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam As Silsilah
Ash Shohihah no. 2005.
Maroji’:
1. Kajian kitab Syarh Lum’atil I’tiqad Al-Hadi ila Sabili Ar-Rasyad
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin bersama Al Ustadz ‘Abdul Mu’thi
hafizhahullah.
Bagaimana dengan Lafadz “Nabi Besar”
Assalamu’alaykum. Bagaimana dengan penyebutan “Nabi besar” untuk Rasululloh Muhammad sholallohu ’alayhi wasallam?
Jawab:
Wa’alaykumussalam warahmatullah.
Berikut jawaban dari Al Ustadz ‘Abdul Mu’thi Al Maidany dan Al Ustadz
Hamzah Rifa’i ketika ditanya: Bagaimana hukum menyebut Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan “Nabi besar atau Nabi agung”?
Jawaban:
“Tidak mengapa insya Allah selama tidak mengandung keyakinan yang
menyekutukan beliau dengan Allah subhanahu wa ta’ala. Allohu a’lam.”
[Ustadz 'Abdul Mu'thi]
“Wallohu a’lam, secara zhohir diperbolehkan karena semakna dengan
sayyidul mursalin (pemimpin para nabi).” [Ustadz Hamzah Rifa'i]
No comments:
Post a Comment