Tuesday, January 17, 2012

Menyikapi Masalah Khilaf

Diantara perkara yang wajib diketahui dalam hal ini adalah menyikapi setiap permasalahan sesuai dengan porsinya, tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kurang dari kadar semestinya. Demikian pula dalam hal menyikapi adanya perselisihan yang terjadi di kalangan para ulama. Ada perkara-perkara yang bisa ditolerir yang memerlukan sikap lapang dada dalam menghadapi adanya khilaf, adapula yang membutuhkan sikap tegas bahkan sampai pada tingkat memperingatkan umat dari bahaya pendapat yang keliru tersebut.

Barangsiapa berpendapat bahwa masalah khilafiyah ijtihadiyyah tidak boleh ada pengingkaran atau tahdzir padanya, maka sungguh dia telah melakukan suatu kesalahan yang fatal.

Sungguh benar apa yang dikatakan oleh seorang penyair :

ليس كل خلاف جاء معتبرا          إلا خلاف له حظ من النظر

“Tidak semua khilaf yang datang itu bisa dianggap

        Kecuali jika khilaf tersebut memiliki sisi pandang”

Bila kita telah memahami masalah ini di saat kita mendapati adanya permasalahan yang diperselisihkan di kalangan para ulama, maka sikap pertama bagi seorang muslim adalah menimbang masalah tersebut berdasarkan A-Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman Salafus-Shalih sebagaimana firmannya :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [QS. An-Nisa’ : 59]

Juga firman-Nya :

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata.” [QS. Al-Ahzab : 36]

Dan firman-Nya :

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” [QS. An-Nisa’ : 65]

Nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam perkara ini masih sangat banyak.

Oleh karena itu, jika muncul satu pendapat dari seorang alim atau yang lainnya yang menyelisihi nash yang sharih (jelas), bukanlah hal yang  bercela apabila pendapat tersebut diingkari dan umat diperingatkan (tahdzir) agar mereka menjauhi pendapat itu. Bahkan itu termasuk dalam nasehat yang dianjurkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya :

الدين النصيحة

“Agama itu adalah nasehat” [HR. Muslim dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus Ad-Dary]

Oleh karenanya para ulama masih saja mengeluarkan bantahan-bantahannya dan memperingatkan umat dari bahaya mengambil satu pendapat yang telah jelas menyelisihi apa yang telah tsabit dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Disini akan kami nukilkan beberapa contoh dari apa yang kami sebutkan :

1) Nikah mut’ah yang telah jelas keharamannya berdasarkan dali-dalil yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau mengharamkannya. Saya kira, keharamannya bukanlah perkara yang samar bagi kita sekalian sehingga tidak perlu kita sebutkan dalil-dalilnnya. Namun, bukan itu tujuan yang kita bahas di sini. Yang perlu diketahui bahwa di kalangan para ulama bahkan sahabat ada yang menghalalkannyaa sebagaimana telah tsabit dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu. Diantara yang masyhur berpendapat demikian adalah Ibnu Juraij Abdul Malik bin Abdil Aziz radhiyallahu ‘anhu. Lalu, jika ada orang di zaman kita mau melakukan nikah mut’ah, apakah kita tidak mengingkarinya ? Apakah kita tidak mentahdzirnya dengan alasan bahwa ini adalah masalah khilafiyyah ijtihadiyyah ?

2) Nikah dengan cara tahlil, yaitu menikahi seorang wanita yang telah becerai dengan suami pertamanya dengan maksud untuk menceraikannya, sehingga dia (wanita tersebut) bisa kembali kepada suami pertamanya. Atau telah terjadi kesepakatan diantara mereka jika ia menikahinya dan telah menyetubuhinya, maka dia harus mencerainya agar ia dapat kembali kepada suaminya yang pertama. Jumhur para ulama mengharamkan pernikahan model ini. Umar radhiyallahu ‘anhu mengatakan : “Tidaklah ada orang yang didatangkan kepadaku melakukan nikah tahlil melainkan akan aku rajam keduanya”. Namun diriwayatkan dari Abu Hanifah rahimahullah bahwa ia membolehkannya. Lalu jika ada orang yang melakukannya pada hari ini, apakah anda tidak memberi peringatan (tahdzir) dari pendapat tersebut dengan alasan bahwa masalah ini termasuk khilafiyyah ijtihadiyyah ? Silahkan lihat pembahasan nikah tahlil dalam Majmu’ul Fatawa (20/266-dst jilid 32/93 dan hal 96-97)

3)  Jama’ah Tabligh adalah jama’ah Sufiyyah yang telah ditahdzir oleh para ulama, dan mereka memberi peringatan darinya. Ini adalah perkara yang sudah ma’ruf di kalangan kita sekalian tetapi ternyata masih ada yang memberi pujian pada mereka, diantaranya adalah Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairy yang bahkan mengarang sebuah kitab sebagai bentuk pujian terhadap mereka  yang akhirnya kitab tersebut dijadikan tameng oleh Jama’ah Tabligh. Apakah kita tidak mengingkari Jama’ah Tabligh dan mentahdzirnya darinya? Atau kita masih menganggap bahwa ini adalah masalah khilafiyyah ijtihadiyyah yang tidak boleh ada pengingkaran dan tahdzir padanya?

4) Masalah demonstrasi, ketika Syaikh Ali Hasan hafidzahullah berkunjung ke Makassar, dalam salah satu pertemuan beliau ditanya tentang hukum melakukan demonstrasi. Beliau pun menjawab bahwa ini termasuk perkara yang diperselisihkan oleh para ulama walaupun yang rajih menurut beliau adalah terlarang. Saya sendiri belum mengetahui siapa di kalangan para ulama Ahlus Sunnah yang membolehkan demonstrasi. Namun, kalaulah apa yang disebutkan oleh Syaikh Ali Hasan tersebut benar, Apakah jika ada yang membolehkan demonstrasi bahkan melakukannya, kemudian kita tidak diperbolehkan mentahdzir darinya dengan alasan bahwa ini termasuk khilaf ijtihadiyyah?

5) Masalah haramnya musik. Kita tentu telah mengetahui berdasarkan banyak dalil baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang menjelaskan tentang diharamkannya musik. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, namun di kalangan mereka masih ada juga yang menghalalkannya seperti Ibnu Hazm rahimahullah. Apakah kita tidak mentahdzir dari musik karena termasuk masalah khilafiyyah ijtihadiyyah?

6) Hasan Al-Banna, Sayyid Quthb, Salman dan Safar Hawali. Para ulama telah menjelaskan dn mentahdzir dari kesesatannya, diantaranya Syaikh Al-Albani, Syaikh bin Baz, Syaikh Ibnu Utsaimin dan Syaikh Rabi’ melalui kitab-kitab bantahan yang ma’ruf beliau tulis rahimahumullah. Bahkan telah dinyatakan bahwa mereka tergolong di antara kaum neo-Khawarij. Namun masih ada juga ulama membela mereka, seperti Syaikh Abdurrahman Jibrin, Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid dan mungkin masih ada yang lain yang tidak saya ketahui. Apakah kita tidak mentahdzir dari mereka karena termasuk khilafiyyah ijtihadiyyah?

Saya kira beberapa contoh ini sudah cukup mewakili yang lainnya sebab masih banyak lagi contoh yang disebutkan oleh para ulama, diantaranya Syaikhul Islam dalam Majmu’ul Fatawa dan Ibnul Qayyim dalam I’lamul Muwaqi’in.

Bila hal ini telah kita pahami, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya para ulama masih saja memperingatkan dari bahaya suatu pendapat yang menyelisihi dalil walaupun di kalangan para ulama ada yang masih berpendapat dengannya. Sebab, tidak seorang pun dari kalangan para ulama melainkan ia memiliki kekeliruan.

Imam Al-Auza’i rahimahullah berkata:

من أخذ بنوادر العلماء خرج من الإسلام
“Barangsiapa mengambil pendapat yang ganjil dari para ulama, maka dia keluar dari Islam” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, 10/211]

Ibnu Hazm rahimahullah tatkala menyebutkan tentang sedikitnya jumlah ijma’ yang tsabit, beliau mengatakan:

ولو امرأ لا يأخذ إلا بما اجتمعت عليه الأمة فقط ويترك كل ما اختلفوا فيه مما قد جا ءت فيه النصوص لكان فاسقا بإجمع الأمة

“...Kalau sekiranya seseorang tidak mengambil kecuali apa yang disepakati umat ini, lalu meninggalkan setiap apa yang diperselisihkan dari perkara yang telah datang padanya nash, maka dia menjadi seorang yang fasiq berdasarkan kesepakatan ulama”. [Al-Ihkam 2/208]

Dari penjelasan para ulama di atas, kita dapat mengambil pelajaran dalam menyikapi permasalahan ini, semestinya menerapkan kaidah yang sudah ma’ruf bahwa “Yang mengetahui adalah hujjah bagi yang tidak mengetahui, dan yang menetapkan lebih didahulukan ucapannya dari yang menafikan (meniadakan)”.

Dan dengan kaidah tersebut, saya tidak bermaksud menuduh  ulama dengan tuduhan “jahil terhadap fiqhul waqi’ ” atau para ulama “tidak tahu penyimpangan tokoh-tokoh bid’ah yang ma’ruf” ataupun ingin merendahkan kedudukan mereka sama sekali.

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah  ketika menjelaskan hadits riwayat Bukhari (8/565) berkata:

و فيه أن العالم الكبير قد يخفى عليه بعض ما يدركه من دونه لأن العلم مواهب والله يؤتي فضله من يشاء

“Dalam hadits ini (terdapat faedah) bahwa seorang ulama kibar terkadang tersamarkan baginya sebagian perkara yang diketahui oleh orang yang lebih rendah tingkatannya, sebab ilmu merupakan anugrah dan Allah memberikan keutamaan-Nya kepada siapa yang dikehendakinya.” [Fathul Bari, 1/144]

Namun untuk menunjukkan beberapa bukti, marilah kita simak kisah penuturan ulama berikut ini :

- Syaikh Rabi’ berkata dalam kitab Izhaq Abathil Abdi al-Lathif Ba Syumail, halaman 104 :

“Sungguh aku telah berziarah kepada samahatus Syaikh Ibnu Baz hafidzahullah, lalu beliau menasehatiku untuk membantah setiap yang menyelisihi kebenaran dan sunnah”.

Demikian besar rasa kepercayaan Syaikh Ibnu Baz terhadap ilmu yang dimiliki Syaikh Rabi’ sehingga beliau beberapa kali meminta penjelasan dari Syaikh Rabi’ dalam menyikapi beberapa tokoh.

Diantaranya adalah surat beliau nomor 352/2 tanggal 7-2-1413 H :

Bismillahirrahmanirrahim

Dari Abdul Aziz bin Baz kepada Al-Akh yang mulia, Fadhilatus Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, pengajar di Jami’ah Islamiyyah –semoga Allah memberinya taufiq-

Salamun ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Telah sampai kepadaku bahwa engkau –yang mulia- telah menulis perihal Ustadz Abul A’la Al-Maududi rahimahullah, maka aku berharap engkau membekaliku satu salinan dari apa yang telah engkau tulis dalam hal itu”

Perhatikan surat dari Syaikh bin Baz rahimahullah! Itu adalah bukti kepercayaan beliau kepada Syaikh Rabi’ dalam tulisan-tulisan beliau, terkhusus berkenaan tentang Jarh wa Ta’dil. Ini tidak menunjukkan bahwa Syaikh Ibnu Baz tidak mengetahui fiqhul waqi’ hanya karena tidak mengetahui keadaan Abul A’la Al-Maududi yang sangat terkenal kiprahnya dan telah diketahui oleh banyak orang.

Demikian pula ketika Syaikh Ibnu Baz menampakkan tazkiyah kepada Jama’ah Tabligh sedangkan para ulama lain mentahdzirnya. Yang pada akhirnya Syaikh Ibnu Baz mengeluarkan fatwa terakhir yang mentahdzir mereka dan menganggap mereka sebagai ahli bid’ah. Ketika Syaikh Ibnu Baz menampakkan tazkiyah pada mereka, hal itu tidak menunjukkan beliau tidak mengerti fiqhul waqi’ , hanya saja, belum sampai kepada beliau hakekat penyimpangan yang ada pada kelompok tersebut.

- Syaikh Rabi’ juga telah ditazkiyah oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah diantaranya apa yang disebutkan dalam kaset yang berjudul Al-Muwazanat Bid’atul ‘Ashr, Syaikh Al-Albani berkata :

“Secara ringkas aku mengatakan bahwa sesungguhnya pembawa bendera Jarh wa Ta’dil pada hari ini, di masa ini secara hakiki adalah saudara kami Rabi’. Orang-orang yang membantahnya, tidak membantahnya dengan ilmu sama sekali sedangkan ilmu bersamanya (Syaikh Rabi’). Walaupun aku selalu mengatakan dan lebih dari sekali aku mengatakan kepada beliau melalui telepon, kalau sekiranya beliau berlemah lembut dalam metodenya, maka itu akan lebih bemanfaat untuk banyak kalangan manusia, apakah dia kawan maupun lawan. Adapun dari sisi ilmu, maka tidak ada celah untuk membantah beliau sama sekali, kecuali apa yang telah aku isyaratkan tadi yaitu pernyataan keras dalam uslub (cara penyampaiannya).”

Perhatikan ucapan Syaikh Al-Albani, beliau telah memeriksa tulisan dan makalah-makalah Syaikh Rabi’ dan beliau tidak mengkritik satupun darinya dari sisi keilmiahan dan kekuatan hujjah yang beliau sebutkan. Adapun yang beliau kritisi hanya dalam hal cara beliau yang ‘agak kenceng’ di dalam ungkapan yang beliau gunakan. Ini menunjukkan bahwa bantahan-bantahan beliau dari sisi kelilmiahannya lebih terjamin.

Disebutkan pula oleh Syaikh Al-Albani dalam kitabnya Shifatus Shalah halaman 68 tatkala berbicara tentang (Muhammad) Al-Ghazali yanag ada di zaman sekarang :

“Banyak para ulama yang mulia telah bangkit –semoga Allah membalas mereka dengan kebaikan- dalam membantah dan merinci pembahasannya yang menerangkan kebingungan dan peyimpangan. Diantara yang terbaik dari apa yang aku ketahui adalah bantahan sahabat kami Doktor Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali di Majalah Al-Mujahid, Afghanistan edisi 9-11 (3) dan risalah al Akh Al-Fadhil Shalih bin Abdil Aziz bin Muhammad Alus Syaikh yang berjudul Al-Mi’yar li Ilmil Ghazali.”

Bahkan, Syaikh Al-Albani rahimahullah memberikan ta’liq terhadap kitab Syaikh Rabi’ yang berjudul Al-‘Awashim fi Kutub Sayyid Quthb min al-Qawashim :

Semua yang engkau bantah terhadap Sayyid  Quthb adalah benar dan sesuai. Dari sini jelaslah bagi setiap pembaca muslim yang memiliki wawasan keislaman bahwa Sayyid Quthb dalam keadaan tidak mengetahui Islam, prinsip-prinsipnya dan cabang-cabangnya. Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan wahai Akh Rabi’ atas usahamu dalam menegakkan kewajiban menjelaskan dan menyingkap tentang kejahilan dan penyimpangannya dari Islam.”

- Demikian halnya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah yang juga merekomendasi Fadhilatus Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafidzahullah tatkala ada yang bertanya kepada beliau tentang kitab-kitab Syaikh Rabi’. Maka beliau menjawab:

“Zhahirnya, pertanyaan ini tidaklah dibutuhkan sebagaimana Imam Ahmad ditanya tentang Ishaq bin Rahuyah –semoga Allah merahmati mereka semuanya- lalu beliau menjawab : “Semisal aku ditanya tentang Ishaq! Bahkan semestinya Ishaq yang ditanya tentang aku.”

Dalam kaset “Pertemuan Syaikh Rabi’ bersama Syaikh Ibnu Utsaimin Seputar Manhaj”, beliau (Syaikh Ibnu Utsaimin) ditanya dengan pertanyaan berikut :

“Sesungguhnya kita semua mengetahui sikap melampaui batas dari Sayid Quthb, namun satu hal yang saya belum mendengar darinya dan telah saya dengar dari salah seorang penuntut ilmu dan saya belum puas dengan itu, dia mengatakan bahwa Sayyid Quthb berpendapat tentang wihdatul wujud (keyakinan bersatunya Allah dengan makhluknya). Tentu ini adalah kekufuran yang jelas. Apakah Sayyid Quthb termasuk diantara orang yang berpendapat tentang wihdatul wujud? Saya berharap jawabannya. Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan.”

Maka beliau menjawab :

“Telaahku terhadap kitab-kitab Sayyid Quthb sedikit dan saya tidak mengetahui keadaan orang ini. Namun, para ulama telah menulis berkaitan tentang tulisannya dalam tafsir Fi Dzilalil Qur’an, yang mereka menuliskan beberapa peringatan dalam kitabnya tentang kitab tafsir tersebut seperti yang ditulis oleh Syaikh Abdullah bin Duwaisy rahimahullah dan yang ditulis oleh saudara kami Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali beberapa peringatan atas Sayyid Quthb dalam  tafsirnya dan dalam kitab yang lain. Barangsiapa yang ingin  merujuk ke sana, maka silahkan merujuknya.”

Perhatikan jawaban Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah! Beliau menganjurkan kaum muslimin yang ingin mengetahui penyimpangan Sayyid Quthb untuk membaca kitab Syaikh Rabi’. Tentunya kita tidak akan mengatakan bahwa Syaikh Ibnu Utsaimin menganjurkan kita untuk taklid kepada Syaikh Rabi’ dalam permasalahan ini, hanya karena kita belum tatsabbut membaca kitab Sayid Quthb secara langsung, sebagaimana Syaikh Ibnu Utsaimin pun sedikit menelaah kitab-kitab tulisan Sayyid Quthb. Dan orang-orang yang mengikuti nasehat Syaikh Ibnu Utsaimin di atas tidak sepantasnya kita tuduh mereka dengan sebutan muqallid (taklid buta ataupun hanya ikut-ikutan tanpa tahu duduk permasalahannya).

Sekali lagi saya ingin menegaskan bahwa maksud saya menukil tulisan ini hanyalah menunjukkan kepada Al-Ustadz dan para pembaca bahwa apa yang kami yakini pun berdasarkan dalil-dalil yang lebih rajih menurut kami. Kami pun tidak pernah meyakini bahwa ulama yang diakui keilmuannya hanyalah sebatas para ulama yang kami ikuti pendapatnya, namun mungkin persepsi ini dibangun di atas kesalahpahaman yang seyogyanya perlu diluruskan.

Pembahasan ini pun masih global, seandainya point-point dari apa yang diperselisihkan para ulama di bahas rinci satu per satu tentu akan  menghabiskan waktu  dan tulisan yang tidak sedikit.

Semoga sedikit memberikan pencerahan,

Sumber : buku “Al-Mirats min Fatawa Al-‘Ulama ‘an Jum’iyyah Ihyaut Turats


[Abul-Harits – 24 Shafar 1433- Banyumas]

6 comments:

  1. sukron akhi ijin copi buat bekal ilmu saya,semoga antum diberi kesehatan oleh Alllah subhanahu wa ta'alla dan selalu istiqomahdalam berdakwah

    ReplyDelete
  2. silahkan bagi yang mau copy, mudah-mudahan bermanfaat...amin, semoga Allah juga memberikan kesehatan dan istiqomah kepada antum..

    ReplyDelete
  3. Apakah saya diharuskan mengambil seluruh pendapat Ustadz Abul-Jauza hafidzahullah ??? Apakah beliau ma'shum (tidak mungkin keliru) ???

    ungkapan antum benar, sebagian saya mengambil bahan dari blog beliau untuk diposting di blog ini, selain itu terkadang saya juga baca-baca artikel di situ mengambil faidah...

    Saya hanya mengkritik bebrapa ungkapan Ustadz Abul-Jauza yang menyelisihi kebenaran menurut saya..saya pun mengakui dalam blog Abul-Jauza banyak terdapat manfaat dan faidah ilmiyyah..

    ReplyDelete
  4. "Apakah saya diharuskan mengambil seluruh pendapat Ustadz Abul-Jauza hafidzahullah ??? Apakah beliau ma'shum (tidak mungkin keliru)???"

    Ungkapan yang gak perlu dan gak penting buat dijawab...

    Tetapi, biasanya ungkapan: "...yang banyak mengambil "faidah" dari tulisan Ustadz..." muncul dari seseorang yang SEPEMIKIRAN namun ingin meringkasnya, atau malah memperluasnya. Kalo yang ini sih, luar-biasa, makanya aneh bin ajaib.

    Trus juga, yang dikomentari kan tentang ungkapan di artikel ini, kok bawa-bawa blog segala. Ya gak nyambung.


    Jika pengen inshaf dan menegakkan muwazanah, harusnya ditulis di bawah artikel tsb: "artikel ini menyelisihi Ustadz Fulan di blog ini, meskipun saya banyak mengambil faidah dari blog tsb." Ini supaya tidak mengarahkan persepsi pembaca, seolah artikel ini sejalan dengan Ustadz ybs.

    Sekedar nasehat, mudah-mudahan dirasa untuk membangun dan memperbaiki.

    ReplyDelete
  5. trimakasih atas nasehatnya, waffaqaniyallah waiyyakum...

    Kalo saya ga sepemikiran dengan Ustadz Abul-Jauza tentunya saya ga akan copy artikel beliau buat di posting di blog ini..

    Tapi yang jelas, ada permasalahan yang sepaham dan ada pula yang berbeda paham. jadi perlu didiskusikan lagi.

    Apa salah kalo Abul-Jauza dikritik...Beliu sendiri juga suka mengkritik orang lain yang tidak sependapat...

    ReplyDelete
  6. "Kalo saya ga sepemikiran dengan Ustadz Abul-Jauza tentunya saya ga akan copy artikel beliau buat di posting di blog ini.."

    Kayaknya postingan ARTIKEL DI ATAS bukan postingan dari Abul-Jauza tuh... Kayaknya lagi, Abul-Jauza gak SEPEMIKIRAN dengan konten dari ARTIKEL DI ATAS...

    "Apa salah kalo Abul-Jauza dikritik...Beliu sendiri juga suka mengkritik orang lain yang tidak sependapat..."

    Siapa yang nyalah-nyalahin? Mau dikritik, dibantah, ya terserah. Asalkan jangan dijelekkan dan dilecehkan, ntar bisa dibilang kurang adab alias bi****.

    ReplyDelete