Diantara perkara yang wajib
diketahui dalam hal ini adalah menyikapi setiap permasalahan sesuai dengan
porsinya, tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kurang dari kadar semestinya.
Demikian pula dalam hal menyikapi adanya perselisihan yang terjadi di kalangan
para ulama. Ada perkara-perkara yang bisa ditolerir yang memerlukan sikap
lapang dada dalam menghadapi adanya khilaf, adapula yang membutuhkan sikap
tegas bahkan sampai pada tingkat memperingatkan umat dari bahaya pendapat yang
keliru tersebut.
Barangsiapa
berpendapat bahwa masalah khilafiyah ijtihadiyyah tidak boleh ada
pengingkaran atau tahdzir padanya, maka sungguh dia telah melakukan suatu
kesalahan yang fatal.
ليس كل خلاف جاء معتبرا إلا خلاف له حظ من النظر
“Tidak semua khilaf yang datang itu bisa dianggap
Kecuali jika khilaf tersebut memiliki sisi pandang”
Bila kita telah memahami masalah
ini di saat kita mendapati adanya permasalahan yang diperselisihkan di kalangan
para ulama, maka sikap pertama bagi seorang muslim adalah menimbang masalah
tersebut berdasarkan A-Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman Salafus-Shalih
sebagaimana firmannya :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian
jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” [QS. An-Nisa’ : 59]
Juga firman-Nya :
“Dan
tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada
bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang
nyata.” [QS. Al-Ahzab : 36]
Dan firman-Nya :
“Maka
demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak
merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan,
dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” [QS. An-Nisa’ : 65]
Nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah
dalam perkara ini masih sangat banyak.
Oleh karena itu, jika muncul satu
pendapat dari seorang alim atau yang lainnya yang menyelisihi nash yang sharih
(jelas), bukanlah hal yang bercela
apabila pendapat tersebut diingkari dan umat diperingatkan (tahdzir)
agar mereka menjauhi pendapat itu. Bahkan itu termasuk dalam nasehat yang
dianjurkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya :
الدين النصيحة
“Agama itu adalah nasehat” [HR. Muslim dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus Ad-Dary]
Oleh karenanya para ulama masih
saja mengeluarkan bantahan-bantahannya dan memperingatkan umat dari bahaya
mengambil satu pendapat yang telah jelas menyelisihi apa yang telah tsabit dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Disini akan kami nukilkan
beberapa contoh dari apa yang kami sebutkan :
1) Nikah mut’ah
yang telah jelas keharamannya berdasarkan dali-dalil yang datang dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau mengharamkannya.
Saya kira, keharamannya bukanlah perkara yang samar bagi kita sekalian sehingga
tidak perlu kita sebutkan dalil-dalilnnya. Namun, bukan itu tujuan yang kita
bahas di sini. Yang perlu diketahui bahwa di kalangan para ulama bahkan sahabat
ada yang menghalalkannyaa sebagaimana telah tsabit dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu
‘anhu. Diantara yang masyhur berpendapat demikian adalah Ibnu Juraij Abdul
Malik bin Abdil Aziz radhiyallahu ‘anhu. Lalu, jika ada orang di zaman
kita mau melakukan nikah mut’ah, apakah kita tidak mengingkarinya ?
Apakah kita tidak mentahdzirnya dengan alasan bahwa ini adalah masalah khilafiyyah
ijtihadiyyah ?
2) Nikah dengan cara tahlil, yaitu menikahi seorang wanita yang telah becerai dengan suami pertamanya dengan maksud untuk menceraikannya, sehingga dia (wanita tersebut) bisa kembali kepada suami pertamanya. Atau telah terjadi kesepakatan diantara mereka jika ia menikahinya dan telah menyetubuhinya, maka dia harus mencerainya agar ia dapat kembali kepada suaminya yang pertama. Jumhur para ulama mengharamkan pernikahan model ini. Umar radhiyallahu ‘anhu mengatakan : “Tidaklah ada orang yang didatangkan kepadaku melakukan nikah tahlil melainkan akan aku rajam keduanya”. Namun diriwayatkan dari Abu Hanifah rahimahullah bahwa ia membolehkannya. Lalu jika ada orang yang melakukannya pada hari ini, apakah anda tidak memberi peringatan (tahdzir) dari pendapat tersebut dengan alasan bahwa masalah ini termasuk khilafiyyah ijtihadiyyah ? Silahkan lihat pembahasan nikah tahlil dalam Majmu’ul Fatawa (20/266-dst jilid 32/93 dan hal 96-97)
3) Jama’ah Tabligh adalah jama’ah Sufiyyah yang telah ditahdzir oleh para ulama, dan mereka memberi peringatan darinya. Ini adalah perkara yang sudah ma’ruf di kalangan kita sekalian tetapi ternyata masih ada yang memberi pujian pada mereka, diantaranya adalah Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairy yang bahkan mengarang sebuah kitab sebagai bentuk pujian terhadap mereka yang akhirnya kitab tersebut dijadikan tameng oleh Jama’ah Tabligh. Apakah kita tidak mengingkari Jama’ah Tabligh dan mentahdzirnya darinya? Atau kita masih menganggap bahwa ini adalah masalah khilafiyyah ijtihadiyyah yang tidak boleh ada pengingkaran dan tahdzir padanya?
4) Masalah demonstrasi, ketika Syaikh Ali Hasan hafidzahullah berkunjung ke Makassar, dalam salah satu pertemuan beliau ditanya tentang hukum melakukan demonstrasi. Beliau pun menjawab bahwa ini termasuk perkara yang diperselisihkan oleh para ulama walaupun yang rajih menurut beliau adalah terlarang. Saya sendiri belum mengetahui siapa di kalangan para ulama Ahlus Sunnah yang membolehkan demonstrasi. Namun, kalaulah apa yang disebutkan oleh Syaikh Ali Hasan tersebut benar, Apakah jika ada yang membolehkan demonstrasi bahkan melakukannya, kemudian kita tidak diperbolehkan mentahdzir darinya dengan alasan bahwa ini termasuk khilaf ijtihadiyyah?
5) Masalah haramnya musik. Kita tentu telah mengetahui berdasarkan banyak dalil baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang menjelaskan tentang diharamkannya musik. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, namun di kalangan mereka masih ada juga yang menghalalkannya seperti Ibnu Hazm rahimahullah. Apakah kita tidak mentahdzir dari musik karena termasuk masalah khilafiyyah ijtihadiyyah?
6) Hasan Al-Banna, Sayyid Quthb, Salman dan Safar Hawali. Para ulama telah menjelaskan dn mentahdzir dari kesesatannya, diantaranya Syaikh Al-Albani, Syaikh bin Baz, Syaikh Ibnu Utsaimin dan Syaikh Rabi’ melalui kitab-kitab bantahan yang ma’ruf beliau tulis rahimahumullah. Bahkan telah dinyatakan bahwa mereka tergolong di antara kaum neo-Khawarij. Namun masih ada juga ulama membela mereka, seperti Syaikh Abdurrahman Jibrin, Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid dan mungkin masih ada yang lain yang tidak saya ketahui. Apakah kita tidak mentahdzir dari mereka karena termasuk khilafiyyah ijtihadiyyah?
Saya kira
beberapa contoh ini sudah cukup mewakili yang lainnya sebab masih banyak lagi
contoh yang disebutkan oleh para ulama, diantaranya Syaikhul Islam dalam Majmu’ul
Fatawa dan Ibnul Qayyim dalam I’lamul Muwaqi’in.
Bila hal ini
telah kita pahami, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya para ulama masih saja
memperingatkan dari bahaya suatu pendapat yang menyelisihi dalil walaupun di
kalangan para ulama ada yang masih berpendapat dengannya. Sebab, tidak seorang
pun dari kalangan para ulama melainkan ia memiliki kekeliruan.
Imam Al-Auza’i rahimahullah
berkata:
من أخذ بنوادر العلماء خرج من الإسلام
“Barangsiapa mengambil pendapat yang ganjil dari para ulama,
maka dia keluar dari Islam” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, 10/211]
Ibnu Hazm rahimahullah
tatkala menyebutkan tentang sedikitnya jumlah ijma’ yang tsabit, beliau
mengatakan:
ولو امرأ لا يأخذ إلا بما اجتمعت عليه الأمة فقط ويترك كل ما اختلفوا فيه مما
قد جا ءت فيه النصوص لكان فاسقا بإجمع الأمة
“...Kalau sekiranya seseorang tidak
mengambil kecuali apa yang disepakati umat ini, lalu meninggalkan setiap apa
yang diperselisihkan dari perkara yang telah datang padanya nash, maka dia
menjadi seorang yang fasiq berdasarkan kesepakatan ulama”. [Al-Ihkam 2/208]
Dari penjelasan para ulama di
atas, kita dapat mengambil pelajaran dalam menyikapi permasalahan ini,
semestinya menerapkan kaidah yang sudah ma’ruf bahwa “Yang mengetahui adalah
hujjah bagi yang tidak mengetahui, dan yang menetapkan lebih didahulukan
ucapannya dari yang menafikan (meniadakan)”.
Dan dengan kaidah tersebut, saya
tidak bermaksud menuduh ulama dengan
tuduhan “jahil terhadap fiqhul waqi’ ” atau para ulama “tidak tahu
penyimpangan tokoh-tokoh bid’ah yang ma’ruf” ataupun ingin merendahkan
kedudukan mereka sama sekali.
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah ketika menjelaskan hadits riwayat Bukhari (8/565) berkata:
و فيه أن العالم الكبير قد
يخفى عليه بعض ما يدركه من دونه لأن العلم مواهب والله يؤتي فضله من يشاء
“Dalam hadits ini (terdapat faedah) bahwa seorang ulama kibar terkadang tersamarkan baginya sebagian perkara yang diketahui oleh orang yang lebih rendah tingkatannya, sebab ilmu merupakan anugrah dan Allah memberikan keutamaan-Nya kepada siapa yang dikehendakinya.” [Fathul Bari, 1/144]
Namun untuk menunjukkan beberapa
bukti, marilah kita simak kisah penuturan ulama berikut ini :
- Syaikh Rabi’ berkata dalam kitab
Izhaq Abathil Abdi al-Lathif Ba Syumail, halaman 104 :
“Sungguh aku telah berziarah
kepada samahatus Syaikh Ibnu Baz hafidzahullah, lalu beliau menasehatiku
untuk membantah setiap yang menyelisihi kebenaran dan sunnah”.
Demikian besar rasa kepercayaan
Syaikh Ibnu Baz terhadap ilmu yang dimiliki Syaikh Rabi’ sehingga beliau
beberapa kali meminta penjelasan dari Syaikh Rabi’ dalam menyikapi beberapa
tokoh.
Diantaranya adalah surat beliau
nomor 352/2 tanggal 7-2-1413 H :
“Bismillahirrahmanirrahim
Dari Abdul Aziz bin Baz kepada
Al-Akh yang mulia, Fadhilatus Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, pengajar di
Jami’ah Islamiyyah –semoga Allah memberinya taufiq-
Salamun
‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Telah sampai kepadaku bahwa engkau
–yang mulia- telah menulis perihal Ustadz Abul A’la Al-Maududi rahimahullah,
maka aku berharap engkau membekaliku satu salinan dari apa yang telah engkau
tulis dalam hal itu”
Perhatikan surat dari Syaikh bin
Baz rahimahullah! Itu adalah bukti kepercayaan beliau kepada Syaikh Rabi’ dalam
tulisan-tulisan beliau, terkhusus berkenaan tentang Jarh wa Ta’dil. Ini
tidak menunjukkan bahwa Syaikh Ibnu Baz tidak mengetahui fiqhul waqi’
hanya karena tidak mengetahui keadaan Abul A’la Al-Maududi yang sangat terkenal
kiprahnya dan telah diketahui oleh banyak orang.
Demikian pula ketika Syaikh Ibnu
Baz menampakkan tazkiyah kepada Jama’ah Tabligh sedangkan para ulama lain mentahdzirnya.
Yang pada akhirnya Syaikh Ibnu Baz mengeluarkan fatwa terakhir yang mentahdzir
mereka dan menganggap mereka sebagai ahli bid’ah. Ketika Syaikh Ibnu Baz
menampakkan tazkiyah pada mereka, hal itu tidak menunjukkan beliau tidak
mengerti fiqhul waqi’ , hanya saja, belum sampai kepada beliau hakekat
penyimpangan yang ada pada kelompok tersebut.
- Syaikh Rabi’ juga telah
ditazkiyah oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah diantaranya apa yang
disebutkan dalam kaset yang berjudul Al-Muwazanat Bid’atul ‘Ashr, Syaikh
Al-Albani berkata :
“Secara ringkas aku mengatakan
bahwa sesungguhnya pembawa bendera Jarh wa Ta’dil pada hari ini, di
masa ini secara hakiki adalah saudara kami Rabi’. Orang-orang yang
membantahnya, tidak membantahnya dengan ilmu sama sekali sedangkan ilmu
bersamanya (Syaikh Rabi’). Walaupun aku selalu mengatakan dan lebih dari sekali
aku mengatakan kepada beliau melalui telepon, kalau sekiranya beliau berlemah
lembut dalam metodenya, maka itu akan lebih bemanfaat untuk banyak kalangan
manusia, apakah dia kawan maupun lawan. Adapun dari sisi ilmu, maka tidak
ada celah untuk membantah beliau sama sekali, kecuali apa yang telah aku
isyaratkan tadi yaitu pernyataan keras dalam uslub (cara
penyampaiannya).”
Perhatikan ucapan Syaikh
Al-Albani, beliau telah memeriksa tulisan dan makalah-makalah Syaikh Rabi’ dan
beliau tidak mengkritik satupun darinya dari sisi keilmiahan dan kekuatan
hujjah yang beliau sebutkan. Adapun yang beliau kritisi hanya dalam hal cara
beliau yang ‘agak kenceng’ di dalam ungkapan yang beliau gunakan. Ini
menunjukkan bahwa bantahan-bantahan beliau dari sisi kelilmiahannya lebih
terjamin.
Disebutkan pula oleh Syaikh
Al-Albani dalam kitabnya Shifatus Shalah halaman 68 tatkala berbicara
tentang (Muhammad) Al-Ghazali yanag ada di zaman sekarang :
“Banyak para ulama yang mulia
telah bangkit –semoga Allah membalas mereka dengan kebaikan- dalam membantah
dan merinci pembahasannya yang menerangkan kebingungan dan peyimpangan.
Diantara yang terbaik dari apa yang aku ketahui adalah bantahan sahabat kami
Doktor Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali di Majalah Al-Mujahid, Afghanistan
edisi 9-11 (3) dan risalah al Akh Al-Fadhil Shalih bin Abdil Aziz bin Muhammad
Alus Syaikh yang berjudul Al-Mi’yar li Ilmil Ghazali.”
Bahkan, Syaikh Al-Albani rahimahullah
memberikan ta’liq terhadap kitab Syaikh Rabi’ yang berjudul Al-‘Awashim
fi Kutub Sayyid Quthb min al-Qawashim :
“Semua yang engkau bantah terhadap
Sayyid Quthb adalah benar dan sesuai.
Dari sini jelaslah bagi setiap pembaca muslim yang memiliki wawasan keislaman
bahwa Sayyid Quthb dalam keadaan tidak mengetahui Islam, prinsip-prinsipnya dan
cabang-cabangnya. Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan wahai Akh Rabi’ atas
usahamu dalam menegakkan kewajiban menjelaskan dan menyingkap tentang kejahilan
dan penyimpangannya dari Islam.”
- Demikian halnya Syaikh Muhammad
bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah yang juga merekomendasi Fadhilatus
Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafidzahullah tatkala ada yang
bertanya kepada beliau tentang kitab-kitab Syaikh Rabi’. Maka beliau menjawab:
“Zhahirnya, pertanyaan ini
tidaklah dibutuhkan sebagaimana Imam Ahmad ditanya tentang Ishaq bin Rahuyah
–semoga Allah merahmati mereka semuanya- lalu beliau menjawab : “Semisal aku
ditanya tentang Ishaq! Bahkan semestinya Ishaq yang ditanya tentang aku.”
Dalam kaset “Pertemuan Syaikh
Rabi’ bersama Syaikh Ibnu Utsaimin Seputar Manhaj”, beliau (Syaikh Ibnu
Utsaimin) ditanya dengan pertanyaan berikut :
“Sesungguhnya kita semua
mengetahui sikap melampaui batas dari Sayid Quthb, namun satu hal yang saya
belum mendengar darinya dan telah saya dengar dari salah seorang penuntut ilmu
dan saya belum puas dengan itu, dia mengatakan bahwa Sayyid Quthb berpendapat
tentang wihdatul wujud (keyakinan bersatunya Allah dengan makhluknya).
Tentu ini adalah kekufuran yang jelas. Apakah Sayyid Quthb termasuk diantara
orang yang berpendapat tentang wihdatul wujud? Saya berharap jawabannya.
Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan.”
Maka beliau menjawab :
“Telaahku terhadap kitab-kitab
Sayyid Quthb sedikit dan saya tidak mengetahui keadaan orang ini. Namun,
para ulama telah menulis berkaitan tentang tulisannya dalam tafsir Fi
Dzilalil Qur’an, yang mereka menuliskan beberapa peringatan dalam kitabnya tentang
kitab tafsir tersebut seperti yang ditulis oleh Syaikh Abdullah bin Duwaisy rahimahullah
dan yang ditulis oleh saudara kami Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali beberapa
peringatan atas Sayyid Quthb dalam
tafsirnya dan dalam kitab yang lain. Barangsiapa yang ingin merujuk ke sana, maka silahkan merujuknya.”
Perhatikan jawaban Syaikh Ibnu
Utsaimin rahimahullah! Beliau menganjurkan kaum muslimin yang ingin
mengetahui penyimpangan Sayyid Quthb untuk membaca kitab Syaikh Rabi’. Tentunya
kita tidak akan mengatakan bahwa Syaikh Ibnu Utsaimin menganjurkan
kita untuk taklid kepada Syaikh Rabi’ dalam permasalahan ini, hanya
karena kita belum tatsabbut membaca kitab Sayid Quthb secara langsung, sebagaimana
Syaikh Ibnu Utsaimin pun sedikit menelaah kitab-kitab tulisan Sayyid Quthb. Dan
orang-orang yang mengikuti nasehat Syaikh Ibnu Utsaimin di atas tidak
sepantasnya kita tuduh mereka dengan sebutan muqallid (taklid buta
ataupun hanya ikut-ikutan tanpa tahu duduk permasalahannya).
Sekali lagi saya ingin menegaskan
bahwa maksud saya menukil tulisan ini hanyalah menunjukkan kepada Al-Ustadz dan
para pembaca bahwa apa yang kami yakini pun berdasarkan dalil-dalil yang lebih
rajih menurut kami. Kami pun tidak
pernah meyakini bahwa ulama yang diakui keilmuannya hanyalah sebatas para ulama yang
kami ikuti pendapatnya, namun mungkin persepsi ini dibangun di atas
kesalahpahaman yang seyogyanya perlu diluruskan.
Pembahasan ini pun masih global,
seandainya point-point dari apa yang diperselisihkan para ulama di bahas rinci
satu per satu tentu akan menghabiskan
waktu dan tulisan yang tidak sedikit.
Semoga sedikit memberikan pencerahan,
Sumber : buku “Al-Mirats min
Fatawa Al-‘Ulama ‘an Jum’iyyah Ihyaut Turats”
[Abul-Harits – 24 Shafar 1433-
Banyumas]
sukron akhi ijin copi buat bekal ilmu saya,semoga antum diberi kesehatan oleh Alllah subhanahu wa ta'alla dan selalu istiqomahdalam berdakwah
ReplyDeletesilahkan bagi yang mau copy, mudah-mudahan bermanfaat...amin, semoga Allah juga memberikan kesehatan dan istiqomah kepada antum..
ReplyDeleteApakah saya diharuskan mengambil seluruh pendapat Ustadz Abul-Jauza hafidzahullah ??? Apakah beliau ma'shum (tidak mungkin keliru) ???
ReplyDeleteungkapan antum benar, sebagian saya mengambil bahan dari blog beliau untuk diposting di blog ini, selain itu terkadang saya juga baca-baca artikel di situ mengambil faidah...
Saya hanya mengkritik bebrapa ungkapan Ustadz Abul-Jauza yang menyelisihi kebenaran menurut saya..saya pun mengakui dalam blog Abul-Jauza banyak terdapat manfaat dan faidah ilmiyyah..
"Apakah saya diharuskan mengambil seluruh pendapat Ustadz Abul-Jauza hafidzahullah ??? Apakah beliau ma'shum (tidak mungkin keliru)???"
ReplyDeleteUngkapan yang gak perlu dan gak penting buat dijawab...
Tetapi, biasanya ungkapan: "...yang banyak mengambil "faidah" dari tulisan Ustadz..." muncul dari seseorang yang SEPEMIKIRAN namun ingin meringkasnya, atau malah memperluasnya. Kalo yang ini sih, luar-biasa, makanya aneh bin ajaib.
Trus juga, yang dikomentari kan tentang ungkapan di artikel ini, kok bawa-bawa blog segala. Ya gak nyambung.
Jika pengen inshaf dan menegakkan muwazanah, harusnya ditulis di bawah artikel tsb: "artikel ini menyelisihi Ustadz Fulan di blog ini, meskipun saya banyak mengambil faidah dari blog tsb." Ini supaya tidak mengarahkan persepsi pembaca, seolah artikel ini sejalan dengan Ustadz ybs.
Sekedar nasehat, mudah-mudahan dirasa untuk membangun dan memperbaiki.
trimakasih atas nasehatnya, waffaqaniyallah waiyyakum...
ReplyDeleteKalo saya ga sepemikiran dengan Ustadz Abul-Jauza tentunya saya ga akan copy artikel beliau buat di posting di blog ini..
Tapi yang jelas, ada permasalahan yang sepaham dan ada pula yang berbeda paham. jadi perlu didiskusikan lagi.
Apa salah kalo Abul-Jauza dikritik...Beliu sendiri juga suka mengkritik orang lain yang tidak sependapat...
"Kalo saya ga sepemikiran dengan Ustadz Abul-Jauza tentunya saya ga akan copy artikel beliau buat di posting di blog ini.."
ReplyDeleteKayaknya postingan ARTIKEL DI ATAS bukan postingan dari Abul-Jauza tuh... Kayaknya lagi, Abul-Jauza gak SEPEMIKIRAN dengan konten dari ARTIKEL DI ATAS...
"Apa salah kalo Abul-Jauza dikritik...Beliu sendiri juga suka mengkritik orang lain yang tidak sependapat..."
Siapa yang nyalah-nyalahin? Mau dikritik, dibantah, ya terserah. Asalkan jangan dijelekkan dan dilecehkan, ntar bisa dibilang kurang adab alias bi****.