Saat
semburat cahaya Islam mulai terpancar di ufuk Mekah, banyak pihak
memberikan reaksi. Ada yang langsung menyambutnya dan ada yang langsung
menolaknya. Allah memilih siapa yang pantas menerima kemuliaan hidayah
untuk memeluk Islam hingga akhir hayatnya, siapa yang ditunda
keislamannya, dan siapa yang tetap di dalam kekafiran sehingga kekal di
neraka kelak.
Salah seorang yang Allah beri cahaya hidayah itu adalah Mush’ab bin
‘Umair atau yang sering dijuluki Mush’ab Al-Khair (Mush’ab yang baik).
Sebelum Islam, Mush’ab adalah pemuda yang hidup mewah. Dia adalah
pemuda tampan yang menyebarkan semerbak wewangian kepada orang yang di
dekatnya. Kedua orang tuanya adalah orang Quraisy yang memiliki harta
berlimpah. Ibunya sangat memperhatikan pakaian yang dikenakan Mush’ab.
Sehingga, apa yang beliau kenakan adalah pakaian yang terbaik waktu itu.
Hingga, pada waktu Nabi diutus membawa cahaya penerang, Mush’ab
tertarik untuk mendengar gaung Islam. Pergilah beliau menemui Rasulullah di rumah Al-Arqam bin Abil Arqam, rumah yang biasa dijadikan oleh
Nabi sebagai tempat mengajarkan Islam.
Setelah beliau masuk rumah Arqam bin Abil Arqam, beliau pun
menyatakan keislamannya kepada Rasulullah. Maka, pemeluk Islam pun
bertambah satu lagi.
Mush’ab bin ‘Umair masih menyembunyikan keislamannya kepada
orang-orang. Beliau mendatangi majelis Nabi ` dengan sembunyi-sembunyi
karena takut kepada ibu dan kaumnya. Namun, Allah berkehendak lain.
Allah berkehendak untuk memperlihatkan bahwa pemuda tampan dan gagah ini
lebih memilih cinta Rabbnya meskipun bayarannya adalah hilangnya
kedudukan yang dahulu dia miliki.
Allah telah menakdirkan Utsman bin Thalhah melihat Mush’ab sedang
melakukan shalat. Dia pun melaporkannya kepada ibu dan kaumnya. Lalu,
sepulangnya dia ke rumah, ibunya membujuk dirinya agar tetap beragama
seperti agama kaumnya. Namun, Mush’ab yang kalbunya telah disinari
cahaya hidayah enggan untuk mengikuti perintah ibunya. Dia lebih memilih
cinta Rabbnya daripada cinta orang tuanya.
Tidak hanya itu, keluarganya pun memberi beliau ‘pelajaran’ agar
Mush’ab kembali dari agama yang dianutnya ini. Namun, Mush’ab tetap
tidak bergeming memeluk agamanya ini.
Mengetahui bahwa hati Mush’ab tak tergoyahkan lagi, ibunya pun
mengurungnya di dalam rumah. Demikianlah, Mush’ab bin ‘Umair terus di
dalam rumahnya menjalani hukuman keluarganya.
Hari-hari berlalu, hingga akhirnya Allah ta’ala memberi izin
para sahabat berhijrah ke Negeri Habasyah, bernaung di bawah pimpinan
yang bijak, Raja Najasyi. Mendengar yang demikian, Mush’ab berusaha
untuk membebaskan dirinya dan mengikuti rombongan kaum muslimin ke
Negeri Habasyah, memerdekakan dirinya dari kekangan kekolotan kaumnya,
lari menuju kebebasan menyembah Rabbnya. Mush’ab pun termasuk rombongan
pertama ke negeri Habasyah.
Dikisahkan, saat para sahabat berkumpul untuk bersiap-siap berhijrah
ke Habasyah, Rasulullah bersabda, “Mush’ab bin Umair telah ditahan
oleh ibunya, tetapi dia ingin keluar malam ini.”
“Kami akan menunggunya dan tidak menutup pintu kami.” kata ‘Amir bin Rabi’ah.
Benarlah, saat malam telah sepi, datanglah Mush’ab bin Umair. Dia
bermalam di rumah Amir bin Rabi’ah. Dia tetap berada di rumah itu dan
tidak keluar hingga malam berikutnya.
Malam selanjutnya, mereka berangkat menuju pantai, mencari tumpangan
yang bisa menyampaikannya ke Habasyah. Di tengah perjalanan, kedua kaki
Mush’ab mengeluarkan darah lantaran lembutnya kaki yang dia miliki.
Maka, sahabat yang setia, Amir bin Rabi’ah, pun menanggalkan sepatunya
dan memakaikannya kepada Mush’ab. Demikianlah, Mush’ab tidak membawa
bekal apapun. Berserah diri kepada Rabbnya Yang Maha Memberi rizki.
Hingga, mereka pun sampai ke pelabuhan dan mendapati sebuah kapal
dari Maur. Maka, mereka pun berlayar ke Maur lalu dari Maur mereka
bertolak ke Habasyah.
Syahdan, beberapa waktu berlalu. Mush’ab bin Umair pulang ke tanah air, negeri Mekah bersama sebagian sahabat lainnya.
Sang Pengajar Kaum Anshar
Saat gema dakwah Rasul mulai bergaung di telinga sebagian penduduk
Madinah, enam orang jemaah haji datang menemui Rasulullah. Mereka
berkumpul di bukit ‘Aqabah dan menyatakan keislamannya kepada Nabi.
Sekembalinya ke Madinah, mereka mendakwahkan Islam yang mereka terima
dari Rasulullah.
Musim haji tahun berikutnya, jumlah yang mulanya enam orang ini
bertambah menjadi dua belas, lima orang dari jemaah tahun lalu, sisanya
adalah orang baru yang menyatakan ke-Islam-annya. Mereka pun meminta
Rasulullah mengutus salah seorang dari sahabat beliau di Mekah untuk
mengajar Islam di Madinah. Sebab, suku Aus dan Khazraj keberatan salah
seorang mereka menjadi imam bagi lainnya. Nabi memilih Mush’ab bin
Umair sebagai utusan di negeri hijrah tersebut. Beliau tinggal di rumah
As’ad bin Zurarah. Beliau adalah muhajirin pertama yang mendatangi
Madinah.
Mush’ab bin Umair mulai melakukan tugasnya membacakan Al-Quran dan
mengajari muslimin Madinah syariat Islam. Banyak dari penduduk Madinah
yang masuk Islam melalui perantaraan beliau. Beliau adalah sahabat
pertama yang mengumpulkan orang untuk melakukan shalat Jumat. Waktu itu,
Nabi yang berada di Mekah kondisinya tidak memungkinkan untuk
menegakkan shalat Jumat. Maka, beliau pun menulis surat kepada Mush’ab
bin Umair untuk menegakkan shalat Jumat di Madinah. Surat tersebut
berbunyi, “Amma ba’d: Carilah hari di mana Yahudi mengeraskan
membaca Zabur. Kumpulkanlah wanita dan anak-anak kalian. Jika siang hari
telah condong dari setengahnya, ketika zawal, pada hari Jumat, ber-taqarrub
(mendekatkan diri)-lah kepada Allah dengan dua rakaat.” Inilah shalat
Jumat pertama di dalam Islam. Hal ini terus berlangsung hingga Rasul berhijrah ke Madinah.
Islamnya Usaid bin Hudhair dan Sa’ad bin Mu’adz
Suatu hari, Mush’ab bin Umair hendak mengajar ilmu yang beliau
peroleh dari Rasulullah kepada penduduk Madinah. Beliau bersama dengan
As’ad bin Zurarah berangkat menuju sebuah kebun milik Kabilah Bani
Zhufr. Kaum muslimin di sana pun berkumpul mendengarkan pengajaran dari
Mush’ab bin Umair.
Usaid bin Hudhair dan Sa’ad bin Mu’adz, dua tokoh yang masih
musyrik pada waktu itu, merasa gerah karena hal ini. Sa’ad bin Mu’adz
masih memiliki tali persaudaraan dengan As’ad bin Zurarah. Tali
kekerabatannya ini menghalanginya untuk terang-terangan memusuhi As’ad.
Maka, dia pun mengutus Usaid bin Hudhair untuk membereskan keduanya.
Sa’ad mengatakan kepada Usaid, “Temuilah dua orang ini. Mereka berdua
telah mendatangi rumah kita untuk membuat bodoh orang-orang lemah kita.
Peringatkan dan laranglah keduanya untuk mendatangi rumah kita. Andai
bukan karena aku memiliki tali kekeluargaan dengan As’ad -seperti engkau
ketahui- niscaya aku telah menyelesaikan masalah ini.”
Usaid mengambil tombaknya, lalu berjalan menuju Mush’ab dan As’ad.
Saat As’ad melihat Usaid, dia mengatakan kepada Mush’ab, “Ini adalah
pemuka kaumnya, dia mendatangimu.”
Mush’ab pun mengatakan, “Jika dia mau duduk, aku akan berbicara kepadanya.”
Usaid pun datang dengan mencaci maki keduanya dan mengatakan, “Kenapa
kalian datang kepada kami membodohi orang lemah kami?! Pergi kalian
dari kami, jika kalian masih sayang kepada nyawa kalian!”
Dengan sabar, Mush’ab menjawab, “Tidakkah Anda duduk sejenak,
mendengar dari kami. Jika Anda menyukainya, Anda terima, jika tidak,
kami akan menuruti kemauan Anda.”
Usaid menjawab, “Baik, ini adil.”
Dia pun menancapkan tombaknya ke tanah dan duduk menghadap keduanya.
Mush’ab memberi tahu dia tentang Islam dan membacakan Al-Quran
kepadanya. Hingga, cahaya Islam mulai nampak berpendar di wajahnya
sebelum dia mengungkapkannya.
Terlontarlah dari lisannya, “Alangkah baik dan bagusnya ucapan ini.
Apa yang kalian lakukan jika kalian ingin masuk ke dalam agama ini?”
Mush’ab dan As’ad menjawab, “Engkau mandi, bersuci, menyucikan
bajumu, lalu mengucapkan syahadat yang benar, kemudian engkau shalat.”
Usaid melakukan yang diperintahkan padanya: mandi, menyucikan
bajunya, mengucapkan syahadat, dan shalat dua rakaat. Setelah itu, dia
mengatakan, “Sesungguhnya di belakangku ada seseorang yang jika
mengikutimu, tidak akan tertinggal seorang pun dari kaumnya. Aku akan
mempertemukannya dengan kalian.” Usaid mengambil tombaknya dan pergi
menemui Sa’ad bin Mu’adz.
Waktu itu, Sa’ad sedang berada di tempat berkumpul kaumnya. Demi melihatnya datang, Sa’ad mengatakan, “Apa yang engkau lakukan?”
“Aku telah berbicara dengan dua orang itu. Demi Allah, aku tidak
melihat ada kesalahan pada keduanya. Dan aku telah melarang keduanya,
lalu mereka mengatakan, ‘Kami perbuat apa yang engkau kehendaki.’” jawab
Usaid.
Usaid menambahkan, “Aku diberi tahu bahwa kabilah Bani Haritsah
keluar menuju As’ad bin Zurarah untuk membunuhnya. Mereka tahu bahwa dia
adalah sepupumu. Mereka ingin mengkhianatimu.”
Sa’ad bangkit dari duduknya dengan marah dan merebut tombak yang ada
di tangan Usaid. Takut terjadi sesuatu dengan kerabatnya, Sa’ad langsung
menuju tempat As’ad dan Mush’ab. Tatkala Sa’ad melihat bahwa tidak
terjadi apa-apa pada keduanya, dia paham bahwa Usaid ingin agar dirinya
mendengarkan apa yang dikatakan oleh Mush’ab.
Lalu, Sa’ad berdiri di hadapan keduanya, mencaci-maki, dan mengatakan
kepada As’ad, “Abu Umamah (panggilan kehormatan As’ad bin Zurarah)!
Demi Allah! Andai bukan karena kekerabatan antara engkau dan aku, engkau
tidak akan merasakan kelembutanku. Kenapa engkau melakukan apa yang
kami benci?!”
Mush’ab yang menjawab, “Tidakkah Anda duduk dan mendengarkan kami
dahulu? Jika Anda suka, silakan terima, jika tidak, kami akan
menghilangkan kebencian Anda.”
“Baik, ini adil.” kata Sa’ad. Dia tancapkan tombaknya dan duduk mendengarkan.
Mush’ab menawarkan kepada Sa’ad agama Islam dan membacakan ayat-ayat
Al-Quran kepadanya. Hingga, nampaklah pancaran cahaya hidayah di dalam
wajah Sa’ad bin Mu’adz sebelum dia ucapkan.
Meluncurlah dari lisannya, “Apa yang kalian perbuat jika masuk Islam?”
”Engkau mandi, bersuci, menyucikan baju, lalu bersyahadat yang benar, dan shalat dua rakaat.” jawab Mush’ab.
Saat kaumnya melihat Sa’ad datang, mereka mengatakan, “Demi Allah,
Sa’ad telah datang dengan wajah yang berbeda dengan wajahnya ketika
pergi.”
Sa’ad kemudian mengatakan, “Wahai kabilah Bani Abdul Asyhal, bagaimana reputasiku di tengah-tengah kalian?”
Mereka pun menyanjung dan menyebutkan kedudukan Sa’ad bagi kabilah
Bani Abdul Asyhal. Kemudian, Sa’ad menegaskan, “Sungguh, ucapan lelaki
dan wanita kalian haram atasku, hingga kalian beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya.” Maka, pada sore harinya, seluruh kabilah Bani Abdul Asyhal
sudah masuk Islam.
Kembalilah Mush’ab dan As’ad pulang ke rumah. Mush’ab terus berdakwah
hingga tidak tersisa satu kampun pun kecuali di dalamnya pasti ada kaum
muslimin, kecuali kempung Bani Umayyah, Khithmah, Wa`il, dan Waqif.
Hal ini dikarenakan mereka mendengar dan menaati ucapan Abu Qais bin
Al-Aslat. Mereka semua menunda masuk Islam hingga Rasulullah berhijrah
ke Madinah dan terlewat perang Badar serta Uhud.
Mush’ab bin Umair Menuju ke Hadirat Rabbul ‘Alamin
Beberapa tahun setelah hijrah Nabi, pecahlah perang Uhud. Mush’ab
bin Umair tak mau ketinggalan dalam kancah peperangan membela agama
Allah ini. Beliau diamanahi Rasulullah untuk membawa panji kaum
muslimin pada perang itu.
Mush’ab bin Umair terbunuh pada perang tersebut di tangan seorang
musyrik yang bernama Ibnu Qami`ah dan dia menyangka bahwa yang dia bunuh
adalah Rasulullah.
Mush’ab bin Umair wafat dengan hanya meninggalkan namirah (sejenis pakaian dari wol yang biasa dipakai kaum rendahan). Jika namirah
tersebut dipakaikan untuk menutupi kepalanya, kakinya kelihatan, dan
jika dipakaikan untuk menutupi kakinya, kepalanya yang terlihat. Maka,
Rasulullah pun mengatakan, “Tutupkanlah pada kepalanya dan tutuplah
kakinya dengan rumput idzkhir.”
Demikianlah kehidupan Mush’ab bin Umair, sahabat yang rela
meninggalkan nikmatnya dunia di tangan orang tuanya menuju cinta
Rabbnya. Beliau berjalan di atas jalan dakwah dan meninggal syahid di
medan pertempuran. Semoga Allah meridhainya dan merahmatinya. Allahu a’lam bish shawab. (Abdurrahman)
Referensi:
Ath-Thabaqat Al-Kubra (Thabaqat Ibni Sa’d), Imam Muhammad bin Sa’d Al-Bashri
Al-Isti’ab fi Ma’rifatil Ashhab, Imam Abu Umar Ibnu Abdil Barr
Al-Ahad wal Matsani, Imam Ibnu Abi ‘Ashim
As-Sirah An-Nabawiyah, Imam Ibnu Hisyam
Tarikh Al-Umam wal Muluk, Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At-Thabari
Sumber: www.tashfiyah.net
No comments:
Post a Comment