Thursday, April 23, 2020

Wanita Hamil dan Menyusui Membayar Fidyah atau Qadha?


Pertanyaan:

Assalamu'alaykum ustadz ijin bertanya. Anak saya umur 6 bulan minum nya ASI terus dikasih bubur instan paling hanya sekali sehari. Bagaimana saat puasa nanti? Apakah istri saya harus puasa atau membayar fidyah atau mengganti di bulan yang lain ustadz?

Jawaban:

Apabila wanita hamil atau menyusui merasakan kesulitan dan kepayahan saat berpuasa atau mengkhawatirkan keselamatan anak dan janinnya, maka ia mendapatkan rukhshoh (keringanan) tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Kewajibannya adalah membayar fidyah (memberi makan) satu orang miskin untuk satu hari puasa dan tidak perlu qadha’ (mengganti) puasanya.

Dari Anas bin Malik Al-Ka’biy Al-Qusyairiy  radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلَاةِ، وَعَنِ الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوِ الصِّيَامَ

“Sesungguhnya Allah ‘azza wajalla menggugurkan separuh (rakaat) shalat bagi musafir dan menggugurkan (kewajiban) puasa bagi musafir, wanita hamil dan menyusui” [HR. Abu Daud no. 2408, At-Tirmidzi no. 715, An-Nasa’i no. 2275 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahumullah dalam Shahih Abu Daud no. 2083]


Diantara faidah yang bisa dipetik dari hadits di atas:

Pertama, Allah ‘azza wajalla menggugurkan saparuh rakaat shalat musafir artinya ia boleh mengqashar shalat yang berjumlah empat rakaat saat safar. Ia boleh shalat shalat Zhuhur dua rakaat, shalat Ashar dua rakaat dan shalat Isya dua rakaat.

Kedua, Allah ta’ala juga menggugurkan kewajiban puasa bagi musafir, wanita hamil dan menyusui, artinya mereka diberi keringanan berbuka di siang hari Ramadhan. Lalu apa kewajiban mereka saat tidak berpuasa?

Berkenaan dengan kondisi musafir (seorang yang melakukan perjalanan jauh), Allah ta’ala memerintahkannya untuk mengganti puasa di hari yang lain (qadha’). Allah ‘azza wajalla berfirman:

وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَو عَلَىٰ سَفَر فَعِدَّة مِّن أَيَّامٍ أُخَرَ

“Siapa yang sakit atau safar (dan berbuka) , maka ia wajib mengganti puasanya di hari yang lain…” [QS. Al-Baqarah: 185]

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata:

المريض والمسافر لا يصومان في حال المرض والسفر ; لما في ذلك من المشقة عليهما ، بل يفطران ويقضيان بعدة ذلك من أيام أخر

“Orang yang sakit dan musafir boleh tidak bepuasa saat sakit dan safar, karena hal itu akan memberatkannya. Bahkan keduanya boleh berbuka dan mengqadha sejumlah puasanya di hari yang lain” [Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Baqarah ayat 185]

Sedangkan mewajibkan qadha’ bagi wanita hamil dan menyusui membutuhkan dalil yang shahih dan sharih (tegas).  Saya pribadi belum menemukan nash khusus dalam Al-Qur’an maupun hadits yang memerintahkan wanita hamil atau menyusui agar mengqadha’ puasanya. Dalam ayat Al-Qur’an, Allah ta’ala hanya menyinggung fidyah bagi mereka.

وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِديَة طَعَامُ مِسكِين

“Dan bagi orang-orang yang berat berpuasa, hendaklah ia membayar fidyah memberi makan satu orang miskin” [QS. Al-Baqarah: 184]

Sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma menafsirkan ayat tersebut,

هو للشيخ الكبير والمرأة الكبيرة لا يستطيعان أن يصوما ، فيطعمان مكان كل يوم مسكينا

“Yaitu kakek dan nenek lanjut usia yang tidak mampu berpuasa, maka ia memberi makan satu orang miskin untuk satu hari puasa” [Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 184]

Disebutkan dalam riwayat lain dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,

أَنَّهُ رَأَى أُمَّ وَلَدٍ لَهُ حَامِلًا أَوْ مُرْضِعًا فَقَالَ: «أَنْتِ بِمَنْزِلَةِ الَّذِي لَا يُطِيقُهُ، عَلَيْكِ أَنْ تُطْعِمِي مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا، وَلَا قَضَاءَ عَلَيْكِ

“Bahwa Ibnu Abbas melihat seorang ibu hamil atau menyusui, kemudian beliau berkata: Engkau termasuk orang-orang yang berat berpuasa, wajib bagimu memberi makan satu orang miskin untuk satu hari puasa dan tidak ada qadha’ bagimu”

Atsar di atas dikeluarkan oleh Ad-Daraquhtni no. 2382  dan beliau mengomentari riwayat tersebut:

إسنادٌ صحيحٌ

“Sanadnya shahih”.

Juga dikeluarkan oleh Imam At-Thabari dalam tafsirnya (2/136). Syaikh Al-Albani rahimahumullah menilai shahih sanad riwayat tersebut, beliau menyatakan,

إسناده صحيحٌ على شرط مسلمٍ

“Sanadnya shahih sesuai syarat Muslim”[1]

Dalam ilmu Musthalah Hadits ditetapkan bahwa tafsir Sahabat Nabi yang berkaitan dengan sebab turunnya ayat Al-Qur’an (asbabun nuzuul) dihukumi marfu’ (berasal dari Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam), karena para sahabat mustahil menyatakan hal itu dari pendapat pribadi maupun dari akalnya semata. Tafsir para sahabat berkaitan dengan sebab nuzul ayat Al-Qur’an dipahami bahwa mereka mendengar dari Nabi atau menyaksikan langsung saat ayat tersebut diturunkan, sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ibnus Shalah[2], As-Suyuthi[3], As-Shan’ani[4] dan Asy-Syinqithiy[5] rahimahullah. Hal ini berdasarkan perkataan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,

والله الذي لا إله غيره، ما أنزلت سورة من كتاب الله إلّا وأنا أعلم أين نزلت، ولا أنزلت آية من كتاب الله تعالى إلا وأنا أعلم فيمن نزلت ولو أعلم أحدا أعلم مني بكتاب الله تبلغه الإبل، لركبت إليه

 “Demi Allah yang tidak ada sesembahan yang haq selain Dia. Tidaklah diturunkan satu surat dari Al-Qur’an kecuali aku tahu di mana ayat itu turun. Tidak pula diturunkan ayat dari Al-Qur’an kecuali aku tahu kepada siapa ayat itu turun. Seandainya ada seorang yang lebih tahu dariku tentang Al-Quran yang bisa ditempuh dengan mengendarai unta, tentu aku aku akan menempuh perjalanan kepadanya” [HR. Al-Bukhari]

Atsar yang senada juga diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma,

أَنَّ امْرَأَتَهُ سَأَلَتْهُ ـ وَهِيَ حُبْلَى ـ فَقَالَ: «أَفْطِرِي وَأَطْعِمِي عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا وَلَا تَقْضِي

“Bahwa seorang wanita hamil bertanya pada Ibnu Umar  tentang puasa, beliau berkata: Berbukalah dan berikan makan satu orang miskin untuk setiap harinya, engkau tidak perlu mengqadha’.[6]

Dari penjelasan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa kewajiban fidyah bagi wanita hamil atau menyusui diambil dari tafsir Ibnu Abbas tentang asbabun nuzul ayat Al-Qur’an dan ini merupakan hujjah sebagaimana ditetapkan para ulama dalam ilmu Musthalah Hadits. Hal ini dikuatkan pula oleh tafsir para ulama tabi’in  berkenaan dengan ayat tersebut. Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah menafsirkan,

هو الكبير الذي كان يصوم فكبر وعجز عنه، وهي الحامل التي ليس عليها الصيام، فعلى كل واحد منهما طعام مسكين، مدّ من حنطة لكل يوم حتى ينقضي رمضان

“Orang-orang yang berat berpuasa adalah orang lanjut usia yang tidak mampu berpuasa dan wanita hamil, tidak ada kewajiban puasa baginya. Masing-masing dari keduanya wajib memberi makan satu orang miskin, satu mudd gandum untuk satu hari hingga akhir Ramadhan”

Imam As-Suddiy rahimahullah berkata,

أو المرأة المرضع لا تستطيع أن تصوم، فإن أولئك عليهم مكان كل يوم إطعام مسكين

“…atau wanita hamil yang tidak mampu berpuasa, maka mereka wajib memberi makan satu orang miskin untuk satu hari”[7]

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

ومما يلتحق بهذا المعنى : الحامل والمرضع ، إذا خافتا على أنفسهما أو ولديهما

“Diantara mereka yang termasuk berat melakukan puasa adalah wanita hamil dan menyusui apabila mengkhawatirkan keselamatan dirinya atau anaknya” [Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah Ayat 184]

 Jika ada yang menyanggah, barangkali penafsiran tersebut hanya berasal dari ijtihad pribadi Ibnu Abbas, ijtihad sahabat bukan hujjah!!

Maka kita jawab, tafsir Ibnu Abbas dan fatwa Ibnu Umar tersebut masyhur di kalangan para sahabat dan tidak ada sahabat lain yang menyelisihinya. Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata:

قال ابن عمر وابن عباس ولا مخالف لهما من الصحابة: لا قضاء عليهما لأن الأية تناولتهما وليس فيها إلا الإطعام

"Ibnu Umar dan Ibnu Abbas berkata tidak ada qadha bagi wanita hamil dan menyusui karena makna ayat Al-Quran telah mencakup keduanya. Tidak disebutkan dalam ayat selain fidyah. Demikian pula tidak ada sahabat lain yang menyelisihi fatwa Ibnu Umar dan Ibnu Abbas” [Al-Mughniy, 4/395]

Kondisi dimana terdapat fatwa atau pendapat sahabat nabi yang tersebar dan masyhur, sementara tidak  ada sahabat lain yang menyelisihi atau mengingkarinya, ulama ushuliyyun mengistilahkannya dengan Ijma’ Sukuti, sebagaimana dinyatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah[8] dan muridnya Imam Ibnul Qayyim[9] rahimahumallah.

Dari dalil-dalil yang dipaparkan di atas, kita dapat menilai kuatnya pendapat ulama yang hanya mewajibkan fidyah bagi wanita hamil atau menyusui. Ini merupakan pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Sa’id bin Al-Musayyib, Sa’id bin Jubair, Al-Qasim bin Muhammad, Atha’, Mujahid, Thawus, Ikrimah, Ibrahim An-Nakha’iy, As-Suddiy dan zhahir pendapat Ibnu Katsir. Dan dari kalangan ulama mu’ashirin, Al-Albani[10], Muhammad Ali Firkuuz[11], Abdul Azhiim Badawi[12] dan Adil bin Yusuf Al-Azzazi[13] rahimahumullah jami’an. Dalam permasalahan ini para ulama tersebut berdalil dengan ayat Al-Qur’an, hadits shahih dan ijma’. Sengaja saya tidak menuliskan hujjah pendapat ulama yang lain di sini beserta sanggahannya, khawatir akan semakin menambah panjang pembahasan. Allahua’lam

Demikian sedikit yang bisa dituliskan, semoga bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimmusshalihat.


Ditulis oleh Abul-Harits di Boyolali pada akhir Sya’ban bertepatan dengan Kamis, 23 April 2020  






[1] Irwa’ul Ghalil (4/19)
[2] Muqaddimah Ibnus Shalah (1/24)
[3] Tadriibur Raawi (1/157)
[4] Taudhiihul Afkaar (1/280)
[5] Adhwaa’ul Bayaan (1/144)
[6] Atsar tersebut diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni no. 2388 dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani rahimahumallah dalam Irwaa’ul Ghaliil (4/20), beliau berkata: “sanadnya jayyid”
[7] Tafsir At-Thabariy (3/169)
[8] Al-Muswaddah (1/335)
[9] I’llamul Muwaqqi’in, (4/120)
[10] Irwaa’ul Ghaliil (4/17-24)
[11] Fatawa Syaikh Muhammad Ali Firkuuz Al-Jazaa’iriy no. 470
[12] Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunah wal Kitabil Aziiz (1/199)
[13] Tamamul Minnah fi Fiqhil Kitab wa Shahihis Sunnah (1/171)

No comments:

Post a Comment