Saturday, November 14, 2015

Menjawab Syubhat Kyai Idrus Ramli dalam Melegalkan Bid’ah Hasanah

Saat Wahabi berdalil dengan hadits “setiap bid’ah adalah sesat” untuk menggenalisir semua bid’ah, seringkali Kyai Idrus Ramli menjawabnya dengan perkataan Al-Imam An-Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan hadits tersebut. Berikut redaksi hadits yang dimaksud beserta keterangan perkataan An-Nawawi rahimahullah,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Setiap bid’ah adalah sesat” [HR. Muslim no. 867]

Kyai Idrus Ramli berkata saat menukil perkataan Al-Imam An-Nawawi rahimahullah:

قَوْلُهُ صلى الله عليه وسلم وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ هَذَا عَامٌّ مَخْصُوْصٌ وَالْمُرَادُ غَالِبُ الْبِدَعِ. (الإمام الحافظ النووي، شرح صحيح مسلم، ٦/١٥٤).

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “semua bid’ah adalah sesat”, ini adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Maksud “semua bid’ah itu sesat”, adalah sebagian besar bid’ah itu sesat, bukan seluruhnya.” (al-Imam al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, 6/154)”

Oleh karena hadits “semua bid’ah itu sesat”, adalah redaksi general yang jangkauan hukumnya dibatasi, maka para ulama membagi bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah sayyi’ah (buruk). Lebih rinci lagi, bid’ah itu terbagi menjadi lima bagian sesuai dengan komposisi hukum Islam yang lima; wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah” [Dinukil dari blog Idrusramli.com]

Pernyataan Kyai Idrus Ramli dapat dijawab dari dua sisi:


Pertama, anggaplah perkataan An-Nawawi bertentangan dengan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam. Rasulullah menyatakan semua bid'ah sesat, sedangkan An-Nawawi menyatakan tidak semua bid'ah sesat, hanya sebagian besar bid'ah yang dianggap sesat. Perkataan siapakah yang lebih didahulukan dan lebih wajib kita terima?

Anda tidak berdosa ketika menolak perkataan An-Nawawi, namun Anda akan berdosa dan dihisab karena menolak perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Allah ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya. Bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” [QS. Al-Hujurat: 1]

Perkataan siapa pun bisa diterima dan ditolak, kecuali perkataan nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dinyatakan oleh para ulama:

كل أحد يقبل ويرد قوله إلا النبي

“Setiap manusia perkataannya bisa diterima dan ditolak, kecuali Nabi”

Ulama yang pertama kali mengucapkan perkataan di atas adalah sahabat Ibnu Abbas[1] radhiyallahu ‘anhuma, diikuti oleh Hakam bin Utaibah dan Mujahid[2]. Kemudian Al-Imam Malik[3] mengambil ucapan ulama tersebut karena takjub akan keindahannya, hingga manusia menyandarkan ucapan tersebut kepada beliau.  

Jangankan perkataan An-Nawawi, perkataan Al-Imam Syafi’i saja yang lebih berilmu dari An-Nawawi, jika bertentangan dengan hadits nabi, maka perkataan beliau wajib ditinggalkan. Sebelum muncul fenomena taklid buta seperti sekarang, jauh-jauh hari Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah telah melarang pengikutnya taklid.

[1] Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

وإذا شبت الخبر عن النبي صلى الله عليه و سلم، لم يجز تر كه لشيء

“Apabila telah shahih hadits dari Nabi shalallahu alaihi wa sallam, maka tidak boleh ditinggalkan dengan alasan apapun” [Al-Umm, 2/248]

[2] Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

كلّ ما قلت: وكان عن النّبي صلى الله عليه و سلم خلا ف قو لي ممّا يصعّ، فحديث النّبي صلى الله عليه و سلم أو لى ولا تقلّد وني

“Setiap perkataanku yang bertentangan dengan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang shahih, maka mengambil hadits Nabi shalallahu alaihi wasallam lebih utama. Janganlah kamu bertaqlid kepadaku”

Perkataan Asy-Syafi’i tersebut dinukil oleh Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq (51/ 386), Al-Baihaqi dalam Manaaqib Syafi’i (1/473), Abu Nu’aim dalam Hilyatul  Auliya’ (9/106-107) dan Adz-Dzahabi dalam Siyar A’lamin Nubala (10/33).

[3] Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

كلّ مسألة تكلّمت فيها صعّ الخبر فيها عن النّبي صلى االله عليه و سلم عند أهل النّقل بخلاف ما قلت، فأ نا را جع عنها في حيا تي وبعد موتي

“Setiap permasalahan yang aku ucapkan, padahal telah shahih hadits dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menurut para ulama ahlu-hadits yang bertentangan dengan perkataanku, maka aku akan rujuk (kembali) dari pendapatku tersebut, baik saat aku masih hidup maupun setelah aku mati”. [Dinukilkan oleh Al-Baihaqi dalam Manaqib Asy-Syafi’i, 1/473]

[4] Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

إذا صحّ لكم الحديث عن رسو ل الله صلى الله عليه و سلم فخذوا به ود عوا قولي

“Apabila telah shahih sebuah hadits dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bagimu, maka ambillah hadits  shahih tersebut dan tinggalkan pendapatku” [Shahih Ibnu Hibban, 9/235 no. 2159]

[5] Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

إذا وجدتم لي مذ هبا، ووجدتم خبرا على خلاف مذ هبي، فاعلموا أن مذ هبي ذلك الخبر

“Apabila kalian mengetahui madzhabku (pendapat ku), kemudian kalian menemukan hadits yang mennyelisihi madzhabku. Ketahuilah bahwa madzhabku adalah hadits tersebut" [Dinukil oleh Asy-Syihristani dalam Al-Milal wan Nihal, 1/244]

Perlu Anda ketahui, perkataan Asy-Syafi’i yang lain masih banyak, terlalu panjang jika saya menyebutkan seluruhnya di sini. Maksud dari perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i adalah Anda wajib menerima hadits nabi, jika Anda mengaku beriman kepada nabi.


Kedua, anggaplah perkataan An-Nawawi tidak bertentangan dengan hadits nabi, karena kita wajib berprasangka baik (husnuzhan) pada ulama. Tidak mungkin seorang ulama sengaja menyelisihi hadits nabi dalam berkata dan berpendapat. Lalu apa yang dimaksud oleh An-Nawawi dalam perkataan tersebut?

Sebelum mengambil perkataan An-Nawawi, kita perlu mengetahui definisi bid’ah menurut An-Nawawi, karena para ulama sendiri berbeda-beda dalam mendefinisikan bid’ah.

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:

والبدعة بكسر الباء في الشرع هي إحداث ما لم يكن في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم

“Bid’ah (dengan ba’ yang dikasrah) dalam syariat adalah mengada-adakan sesuatu yang tidak ada pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam” [Tahdziib Al-Asmaa’ wal Lughaat, 2/22]

Jika kita memahami definisi bid’ah sebagaimana penjelasan An-Nawawi, maka segala sesuatu yang diada-adakan sepeninggal nabi adalah bid’ah. Berangkat dari definisi ini, maka mempelajari ilmu Nahwu adalah bid’ah, belajar ilmu Ushul Fiqh adalah bid’ah, Shalat Tarawih secara berjama’ah di Masjid sebulan penuh adalah bid’ah, penggunaan komputer, mobil, pesawat adalah bid’ah, pembukuan Al-Qur’an di masa khalifah Abu Bakar adalah bid’ah, dan masih banyak contoh lain. Seluruhnya tergolong bid’ah menurut definisi ini, karena memang tidak ada pada masa nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Setelah itu, kita analogikan definisi bid’ah An-Nawawi dalam hadits nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah bersabda:

وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Setiap bid’ah (segala sesuatu yang diada-adakan sepeninggal nabi) adalah sesat”.

Maka penggunaan komputer, mobil dan pesawat adalah sesat, mempelajari ilmu Nahwu dan Ushul Fiqh adalah sesat, pembukuan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar adalah sesat, karena semuanya itu adalah perkara yang diada-adakan sepeninggal nabi. Hadits di atas adalah musykil (sulit dipahami secara zhahir) bagi para ulama yang mendefinisikan bid’ah seperti definisi An-Nawawi. Karena An-Nawawi tidak membatasi bid'ah dalam masalah agama saja, namun mencakup masalah dunia dan masalah agama. Pokoknya segala sesuatu yang tidak ada di zaman Nabi adalah bid'ah. Oleh karena itu, An-Nawawi rahimahullah melakukan takwil untuk mengatasi kemusykilan tersebut.

An-Nawawi rahimahullah menyatakan:

قَوْلُهُ صلى الله عليه وسلم وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ هَذَا عَامٌّ مَخْصُوْصٌ وَالْمُرَادُ غَالِبُ الْبِدَعِ. (الإمام الحافظ النووي، شرح صحيح مسلم، ٦/١٥٤).

“Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “semua bid’ah adalah sesat”, ini adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Maksud “semua bid’ah itu sesat”, adalah sebagian besar bid’ah itu sesat, bukan seluruhnya.” [Syarh Shahih Muslim, 6/154]

Namun Kyai Idrus Ramli lalai, meskipun An-Nawawi tidak menggenalisir semua bid’ah adalah sesat, namun An-Nawawi menyatakan sebagian besar bid’ah adalah sesat. Mungkin berbeda dengan pemahaman Kyai, sebagian besar bid’ah menurut kyai adalah bid’ah hasanah dan baik.

Kyai juga tidak menyebutkan contoh bid’ah sesat yang dimaksud oleh An-Nawawi. Ketika menukil dan berdalil dengan perkataan ulama, Anda harus menukil secara keseluruhan, tidak mengambil perkataan An-Nawawi di sebagian tempat, kemudian meninggalkan perkataannya di tempat yang lain.

Anda terjatuh dalam kesalahan besar, tatkala Anda membawakan perkataan An-Nawawi untuk melegalkan amalan bid’ah yang Anda lakukan sekarang. Apakah An-Nawawi mengetahui amalan bid’ah yang Anda ada-adakan sekarang? Tentu tidak. Supaya fair, Anda juga harus menjelaskan contoh sebagian kecil bid’ah yang tidak dianggap sesat oleh An-Nawawi. Kenyataannya Anda tidak menyebutkan permasalahan tersebut. Jadi mohon maaf, saya terpaksa membantu Anda menyebutkan sebagian kecil bid’ah yang dianggap sesat oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullah.

Menurut An-Nawawi, mencari berkah (tabarruk) dengan mengusap kuburan para wali dan orang shalih adalah bid’ah yang sesat

[1] Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:

وقال الفقهاء المتبحرون الخراسانيون المستحب في زيارة القبور أن يقف مستدبر القبلة مستقبلا وجه الميت يسلم ولا يمسح
القبر ولا يقبله ولا يمسه فان ذلك عادة النصارى (قال) وما ذكروه صحيح لانه قد صح النهى عن تعظيم القبور ولانه إذا لم يستحب استلام الركنين الشاميين من اركان الكعبة لكونه لم يسن مع استحباب استلام الركنين الآخرين فلان لا يستحب مس القبور أولي والله أعلم


“Para Fuqaha’ dari Khurasan berkata: “Disunahkan ketika ziarah kubur berdiri membelakangi kiblat dan menghadap wajah mayit. Lalu memberi salam tanpa mengusap, mencium dan menyentuh kuburnya. Karena hal tersebut merupakan kebiasaan orang-orang Nashrani.” An-Nawawi berkata: “Perkataan mereka benar, karena telah shahih (hadits-hadits –pen) tentang larangan mengagungkan kuburan. Alasan yang lain, ketika seorang tidak disunahkan untuk mencium dua rukun Syam yang merupakan bagian dari rukun Ka’bah, bersamaan dengan disunahkannya mencium dua rukun yang lain. Maka tidak disunahkannya mengusap kuburan lebih utama, Allahua’lam.” [Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, 5/311] 

[2] Al-Imam An-Nawawi rahimahullah juga menukil perkataan sebagian ulama:

اتبع طرق الهدى ولا يضرك قلة السالكين وإياك وطرق الضلالة ولا تغتر بكثرة الهالكين ومن خطر بباله أن المسح باليد ونحوه أبلغ في البركة فهو من جهالته وغفلته لان البركة إنما هي فيما وافق الشرع وكيف ينبغي الفضل في مخالفة الصواب

“Ikutilah jalan-jalan hidayah, meskipun orang-orang yang berada di atas hidayah sangat sedikit. Hal itu tidak akan memberikan mudharat padamu. Waspadalah dari jalan-jalan kesesatan. Janganlah tertipu dengan banyaknya orang yang binasa. Diantara kesesatan yang berbahaya adalah keyakinan mereka bahwa mengusap (kuburan atau tempat-tempat yang dikeramatkan –pen) dengan tangan dan semisalnya dapat mendatangkan keberkahan yang lebih banyak. Keyakinan ini disebabkan oleh kebodohan dan kelalaian mereka. Sesungguhnya keberkahan hanyalah diperoleh dalam hal-hal yang sesuai dengan syariat. Bagaimana mungkin mereka mencari keutamaan (berkah –pen) dalam perkara-perkara yang menyelisihi kebenaran!!” [Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, 8/275]

Menurut An-Nawawi, mencari berkah (tabarruk) dengan shalat di kuburan para wali dan orang shalih juga merupakan bid’ah yang sesat.

[3] Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:

هذا هو الصواب الذي قاله العلماء وأطبقوا عليه ولا يغتر بمخالفة كثيرين من العوام وفعلهم ذلك.
فان الاقتداء والعمل انما يكون بالاحاديث الصحيحة وأقوال العلماء ولا يلتفت إلى محدثات العوام وغيرهم وجهالاتهم

“Inilah (aqidah –pen-) yang benar, aqidah yang diyakini oleh para ulama dan apa yang  diterapkan langsung oleh mereka. Janganlah tertipu dengan banyaknya orang-orang awam yang melakukan penyelisihan. Sesungguhnya ittiba’ dan amal hanyalah diambil dari hadits-hadits yang shahih dan perkataan para ulama. Janganlah menoleh pada bid’ah-bid’ah yang dilakukan orang-orang awam dan orang-orang bodoh di kalangan mereka.” [Al-Majmu’, 8/275]

[4] Al-Munawi rahimahullah menukilkan perkataan An-Nawawi dalam kitabnya,

(لا تصلوا إلى قبر ولا تصلوا على قبر) فإن ذلك مكروه فإن قصد إنسان التبرك بالصلاة في تلك البقعة فقد ابتدع في الدين ما لم يأذن به الله والمراد كراهة التنزيه قال النووي : كذا قال أصحابنا ولو قيل بتحريمه لظاهر الحديث لم يبعد ويؤخذ من الحديث النهي عن الصلاة في المقبرة فهي مكروهة كراهة تحريم

“Perkataan nabi “Janganlah kalian shalat menghadap kuburan dan jangan pula shalat di atasnya”menunjukkan bahwa amalan ini tidak disukai. Jika seorang menyengaja untuk mencari berkah (tabarruk) dengan melakukan shalat di kuburan, sungguh ia telah berbuat bid’ah dalam agama yang tidak diridhai Allah. Menurutku, perbuatan tersebut dibenci. An-Nawawi berkata: “Demikianlah pendapat sebagian sahabat kami. Seandainya perbutan tersebut dihukumi haram sebagaimana dzahir hadits, maka hal ini pun dapat dibenarkan. Keharaman perbuatan tersebut diambil dari hadits larangan shalat di kuburan.” [Faidhul Qadir, 6/528]

Menurut An-Nawawi, shalat Ar-Raghaib adalah bid’ah yang sesat dan munkar

[5] An-Nawawi rahimahullah berkata:

واحتج به العلماء على كراهة هذه الصلاة المبتدعة التي تسمى الرغائب قاتل الله واضعها ومخترعها فانها بدعة منكرة من البدع التي هي ضلالة وجهالة وفيها منكرات ظاهرة وقد صنف جماعة من الأئمة مصنفات نفيسة في تقبيحها وتضليل مصليها ومبتدعها ودلائل قبحها وبطلانها وتضلل فاعلها أكثر من أن تحصر والله أعلم

“Para ulama berhujjah tentang dibencinya shalat bid’ah ini yaitu yang dinamakan Shalat Ar-Raghaib. Semoga Allah membinasakan orang yang pertama kali mengamalkan dan mengada-adakannya, karena shalat itu adalah bid’ah yang munkar. Perbuatan itu termasuk bid’ah yang merupakan kesesatan dan kebodohan.

Di dalamnya terdapat berbagai kemungkaran yang sangat jelas. Sekumpulan para ulama telah menulis kitab-kitab yang bagus untuk menjelaskan keburukan dan kesesatan orang yang melakukan shalat ini. Dalam kitab itu disebutkan keburukan, kebatilan dan kesesatan pelakunya dengan bilangan yang tidak terhitung jumlahnya. Allahua’lam” [Syarh Shahih Muslim, 8/20]  

Dalam hal ini, Ibnu Taimiyyah yang bermadzhab Hambali lebih dekat dengan keyakinan An-Nawawi daripada Anda yang mengaku-ngaku pengikut madzhab Syafi’i tulen.

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

وأما صلاة الرغائب فلا أصل لها ، بل هي محدثة ، فلا تستحب لا جماعة ولا فراداى

“Adapun Shalat Ar-Raghaib, maka shalat ini tidak dalilnya, bahkan termasuk perkara yang diada-adakan, tidak disunahkan melakukan shalat tersebut baik secara jama’ah maupun sendirian” [Majmuu’ Al-Fatawa, 23/132]

Begitu banyak contoh bid’ah yang dianggap sesat oleh An-Nawawi, karena beliau memang menganggap sebagian besar bid’ah adalah sesat. Namun saya cukupkan dengan tiga contoh di atas, agar Anda dan para pengikut Anda bisa mengambil ibrah dan pelajaran dari seorang An-Nawawi. Beliau adalah imam kita bersama, Imam dari pihak Wahhabi dan Imam dari pihak Aswaja.

Allahua’lam, semoga bermanfaat

Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 2 Shafar 1437





[1] Fatawaa As-Subki, 1/148

[2] Dinukil oleh Ibnu Abdil Barr dalam Jami Bayan ‘Ilmi wa Fadhlihi, 2/291 dan Ibnu Hazm dalam Ushul Al-Ahkam, 6/145

[3] Dinukil oleh Ibnu Abdil Hadi dalam Irsyadus Salik, 1/227

4 comments:

  1. Bila ada waktu mohon dibantah tulisan-tulisan temannya Idrus Ramli ini Ustadz terutama aqidah mereka bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah :
    http://kitab-kuneng.blogspot.co.id/2012/07/debat-lucu-ahlussunnah-vs-salafy-wahabi.html

    ReplyDelete
  2. "Menjawab Syubhat Kyai Idrus Ramli dalam Melegalkan Bid’ah Hasanah."

    kalau kita perhatikan perkataan Kyai Idrus Ramli -Hafizhohullah-, bukan beliau saja yang melegalkan adanya pembagian bid'ah menjadi bid'ah hasanah. sebelum beliau banyak ulama membagi bid'ah (hasanah dan sasyyi'ah). jadi saran saya, judl tulisan ini tolong sedikit disesuaikan. beliau tidak lah membuat sybuhat. salah beliau (anggaplah kalau beliau salah) kan cuma karen tidak menyebutkan contoh-bid'ah hasanah yang dimaksud Imam Nawawi.
    sebagai kesimpulan, bid'ah hasanah seperti pemahaman imam Nawawi memang benar. dan hadits Nabi saw diatas adalah umum.

    ReplyDelete
  3. jgn dibandingkan pemahaman imam Nawawi dgn hadits Rasul. Krn hadits Nabi tersebut..difahami seperti itu oleh Imam Nawawi..

    ReplyDelete