Wednesday, October 14, 2015

Manakah Jarh yang Lebih Parah, Kadzdzab atau Mubtadi’?

Jika ditinjau dari periwayatan hadits, kadzab lebih jelek dari mubtadi’ (ahlul bid’ah), karena para ulama jarh wa ta’dil telah bersepakat meninggalkan riwayat para pendusta (kadzab).  

Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razi rahimahullah berkata:

وإذا قالوا: متروك الحديث، أو ذاهب الحديث، أو كذاب، فهو ساقط الحديث، لا يُكتب حديثه،

“Apabila mereka (ulama jarh wa ta’dil) menyatakan matruuk al-hadits, dzahibul hadits atau kadzab, maka haditsnya jatuh, tidak ditulis haditsnya” [Al-Jarh wat Ta’dil, 2/37]

Al-Hafizh An-Nawawi rahimahullah berkata:

وإذا قالوا: متروك الحديث، أو ذاهبه، أو كذاب، فهو ساقط لا يكتب حديثه

“Apabila mereka (ulama jarh wa ta’dil) menyatakan matruuk al-hadits, dzahibah atau kadzab, maka ia telah jatuh, tidak ditulis haditsnya” [At-Taqriib, 1/8]

Adapun mubtadi’, para ulama masih berselisih tentang kebolehan mengambil riwayat darinya.

Pendapat pertama,  menolak riwayat mubtadi’ secara mutlak. Pendapat ini dipegang oleh Al-Imam Malik, Sufyan bin Uyainah, Ibnu Sirin, Al-Humaidi, Yunus bin Ishaq, Ali bin Harb[1], Al-Qadhi Abu Bakr Al-Baqillani[2], Al-Amidiy[3] dan Ibnul Hajib[4].

Alasan pendapat ini karena seorang mubtadi’ tidak lepas dari dua keadaan, yaitu kafir atau fasik. Kafir jika bid’ahnya menjerumuskan dalam kekafiran dan fasik jika kebid’ahannya tidak sampai pada kekafiran. Riwayat dari orang kafir dan fasik tertolak dengan kesepakatan ulama

Al-Hafizh An-Nawawi rahimahullah berkata:

من كفر ببدعته لم يحتج به بالاتفاق

“Barangsiapa yang kafir disebabkan bid’ahnya, tidak bisa dijadikan hujjah dengan kesepakatan ulama” [Tadribur Rawi, 1/383]

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata:

المبتدع إن كفر ببدعته فلا إشكال في رد روايته

“Seorang mubtadi’ jika kafir disebabkan bid’ahnya, tidak ada keraguan dalam menolak riwayatnya” [Ikhtishar Ulumil Hadits, 1/299]

Asy-Syaikh Mu’allimi Al-Yamani rahimahullah berkata:

لا شبهة أن المبتدع إن خرج ببدعته عن الإسلام لم تقبل روايته لأن من شروط قبول الراوية الإسلام

“Tidak ada keraguan bahwa seorang mubtadi’ jika bid’ahnya mengeluarkannya dari Islam, maka riwayatnya ditolak. Sebab diantara syarat diterimanya riwayat hadits adalah Islam” [At-Tankiil, 1/42]

Al-Khathib Al-Baghdadi rahimahullah berkata:

اختلف أهل العلم في السماع من أهل البدع والأهواء كالقدرية والخوارج والرافضة وفي الاحتجاج بما يروونه فمنعت طائفة من السلف صحة ذلك لعلة أنهم كفار عند من ذهب إلى اكفار  المتأولين وفساق عند من لم يحكم بكفر متأول وممن يروى عنه ذلك مالك بن أنس

“Para ulama berselisih tentang kebolehan mendengar (mengambil riwayat) dari ahlul bid’ah seperti Qadariyyah, Khawarij dan Rafidhah dalam berhujjah dengan hadits-hadits yang mereka riwayatkan. Sekelompok ulama salaf melarangnya, karena mereka telah kafir, bagi ulama yang berpendapat kekafiran ahlul bid’ah yang memiliki takwil atau fasik bagi ulama yang tidak mengkafirkan ahlul bid’ah yang memiliki takwil. Pendapat ini diriwayatkan dari Malik bin Anas” [Al-Kifayah fi ‘Ilmi Ar-Riwayah 1/148]

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata:

فالمنع من قبول رواية المبتدعة الذين لم يكفروا ببدعتهم كالرافضة والخوارج ونحوهم ذهب إليه مالك وأصحابه والقاضي أبو بكر الباقلاني وأتباعه

“Sebagian ulama melarang untuk menerima riwayat mubtadi’ yang tidak sampai kafir dengan kebid’ahannya seperti Rafidhah, Khawarij, dan semisal mereka. Pendapat ini dipegang oleh Malik dan murid-muridnya, Al-Qadhi Abu Bakr Al-Baqillani dan pengikutnya” [Lisanul Mizan, 1/10]

Namun pendapat ini dinilai lemah oleh Ibnu Ash-Shalah, karena kebanyakan ahlul-hadits menerima riwayat mubtadi’ dan mengeluarkan hadits-hadits mereka dalam kitab shahih.

Al-Hafizh Ibnu Ash-Shalah rahimahullah berkata:

والقول بالمنع مطلقاً بعيد مباعد للشائع عن أئمة الحديث فإن كتبهم طافحة بالرواية عن المبتدعة غير الدعاة

“Pendapat yang melarang secara mutlak jauh dari kebenaran dan bertolak belakang dengan para imam ahlul-hadits. Sebab kitab-kitab mereka dipenuhi dengan riwayat dari mubtadi’ selain da’i.” [Ulumul Hadits, 1/104]

Pendapat kedua, jika mubtadi’ tersebut bukan da’i yang menyeru kepada bid’ahnya, riwayatnya diterima. Jika ia da’i mubtadi’, riwayatnya ditolak. Pendapat ini dipegang oleh Ahmad bin Hambal, Yahya bin Ma’in, Abdullah bin Al-Mubarak, Abdurrahman bin Mahdi[5], Al-Jauzajani, Ibnu Hajar, An-Nawawi dan Ibnu Ash-Shalah

Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah berkata:

من رأى رأياً ولم يدع إليه أحتمل ، ومن رأى رأياً ودعا إليه فقد استحق الترك

“Barangsiapa yang memiliki pemikiran (bid’ah) namun tidak menyeru kepada bid’ahnya, aku masih mengambil darinya. Barangsiapa yang memiliki pemikiran (bid’ah) dan menyeru kepada bid’ahnya, sungguh ia berhak ditinggalkan” [Al-Kifayah 1/155]

Al-Khathib Al-Baghdadi rahimahullah berkata:

وقال كثير من العلماء يقبل أخبار غير الدعاة من أهل الأهواء فأما الدعاة فلا يحتج بأخبارهم وممن ذهب إلى ذلك أبو عبدالله أحمد بن محمد بن حنبل

“Kebanyakan ulama menerima riwayat ahlul-bid’ah yang tidak menyeru kepada bid’ahnya. Adapun riwayat dari da’i ahlul-bid’ah, tidak bisa dijadikan hujjah. Diantara ulama yang berpendapat demikian adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hambal” [Al-Kifayah 1/149]

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata:

وينبغي أن يقيد قولنا بقبول رواية المبتدع إذا كان صدوقا ولم يكن داعية بشرط أن لا يكون الحديث الذي يحدث به مما يعضد بدعته ويشيدها

“Semestinya perkataan kami yang menerima riwayat mubtadi’ dibatasi, jika ia jujur dan bukan da’i yang menyeru kepada bid’ahnya, serta hadits yang ia riwayatkan tidak mendukung dan menguatkan bid’ahnya.” [Lisanul Mizan, 1/11]

ثم البدعة إما بكفر أو بمفسق : 
فالأول : لا يقبل صاحبها الجمهور .
الثاني : يقبل من لم يكن داعية في الأصح إلا إن روى ما يقوي بدعته فيرد على المختار وبه صرح الجوزجاني شيخ النسائي

“Kemudian bid’ah terkadang menjerumuskan dalam kekafiran atau kefasikan. Keadaan pertama (kafir), riwayatnya tidak diterima oleh jumhur ulama. Keadaan kedua (fasik), riwayatnya diterima asalkan ia bukan da’i yang menyeru kepada bid’ahnya. Kecuali riwayat hadits yang menguatkan bid’ahnya, maka riwayat tersebut tetap ditolak menurut pendapat yang terpilih. Pendapat ini dipegang oleh Al-Jauzajani, syaikh dari An-Nasa’i” [Nukhbatul Fikar hal. 136]

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata:

والذي عليه الأكثرون التفصيل بين الداعية وغيره

“Pendapat yang dipegang oleh kebanyakan ulama merinci antara da’i penyeru bid’ah dan yang bukan” [Ikhtishar Ulumil Hadits 1/299]

Al-Hafizh An-Nawawi rahimahullah berkata:

هو الأظهر والأعدل وقول الكثير أو الأكثر

“Pendapat ini yang lebih nampak (kebenarannya), lebih adil dan merupakan pendapat sekelompok ulama atau bahkan kebanyakan ulama” [At-Taqriib 1/43]

Al-Hafizh Ibnu Ash-Shalah rahimahullah berkata:

وهذا أعدل الأقوال وأولاها

“Pendapat ini lebih adil dari seluruh pendapat, serta merupakan pendapat yang terbaik” [Ulumul Hadits 1/104]

Bahkan Ibnu Hibban[6] dan Al-Hakim[7] menukil kesepakatan ulama dalam permasalahan ini.

Pendapat ketiga, menerima riwayat mubtadi’, jika ia seorang yang hafizh, jujur dan mutqin. Pendapat ini dipegang oleh jumhur ahlul-hadits semisal Al-Bukhari, Muslim, Ali bin Al-Madini, Yahya bin Sa’id Al-Qathan, Asy-Syafi’i, Ibnu Khuzaimah dan lainnya.

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

وتقبل شهادة أهل الأهواء إلا الخطابية من الرافضة لأنهم يرون الشهادة بالزور

“Persaksian ahlul-bid’ah diterima kecuali Al-Khathabiyyah dari kalangan Rafidhah, karena mereka meyakini kebolehan berdusta” [Al-Kifayah, 1/194]

Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan satu hadits dari seorang da’i Khawarij bernama Imran bin Hathan dalam Shahih-nya[8]. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan tentang biografinya:

كان داعية إلى مذهبه

“Ia adalah da’i yang menyeru kepada pemikiran (bid’ah)nya” [Hadyus Sari, 1/432]

Al-Imam Al-Bukhari juga meriwayatkan satu hadits dalam Shahih-nya[9] dari seorang Murji’ah bernama Abdul Hamid bin Abdurrahman Al-Hamani[10].

Al-Imam Muslim meriwayatkan satu hadits  dari seorang Syi’ah bernama Adi bin Tsabit, dari Zurr bin Hubaisy, dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

إنه لعهد النبي الأمي إلى أنه لا يحبك إلا مؤمن ولا يبغضك إلا منافق

“Sungguh itu adalah janji dari nabi yang ummi, tidak ada yang mencintaimu melainkan mukmin dan tidak ada yang membencimu kecuali munafik” [HR. Muslim no. 237]

Al-Hafizh Adz-Dzahabi rahimahullah menyebutkan biografinya:

عدي بن ثابت عالم الشيعة وصادقهم وقاصهم وإمام مسجدهم

“Adi bin Tsabit adalah ulama Syi’ah, seorang yang jujur dari mereka, seorang pendongeng dari mereka dan imam masjid mereka” [Mizanul I’tidal, 3/61]

Ketika menyebutkan biografi seorang Syi’ah bernama Abban bin Taghlib Al-Kufi, Adz-Dzahabi berkata:

شيعي جلد، لكنّه صدوق، فلنا صدقه وعليه بدعته، وقد وثّقه أحمد بن حنبل ويحيى بن معين، وأبو حاتم

“Seorang Syi’ah tulen, namun ia jujur. Kejujurannya kita ambil, bid’ahnya untuk dirinya. Ahmad bin Hambal, Yahya bin Ma’in dan Abu Hatim menilainya tsiqah” [Al-Mizan, 1/5]

Asy-Syaikh Al-Mu’allimi Al-Yamani rahimahullah berkata:

وقد وثق أئمة الحديث جماعة من المبتدعة واحتجوا بأحاديثهم وأخرجوها في الصحاح . ومن تتبع رواياتهم وجد فيها كثيراً مما يوافق ظاهره بدعهم ،

“Para imam ahlul-hadits telah menilai tsiqah sekelompok mubtadi’, berhujjah dengan hadits-haditsnya dan mengeluarkan hadits-hadits tersebut dalam kitab shahih. Barangsiapa yang menelaah riwayat-riwayat tersebut, ia akan menemukan hadits-hadits itu menguatkan zhahir bid’ah mereka.” [At-Tankiil, 1/50]

Al-Hafizh Ad-Dzahabi rahimahullah berkata:

قد يقول قائل : كيف ساغ توثيق مبتدع وحد الثقة العدالة والإتقان ؟ وجوابه : أن البدعة على ضربين :
1- 
فبدعة صغرى كغلو التشيع أو كالتشيع بلا غلو ولا تحرف فهذا كثير في التابعين وتابعيهم مع الدين والورع والصدق فلو رد حديث هؤلاء لذهب جملة من الآثار النبوية وهذه مفسدة بينة .
2- 
بدعة كبرى : كالرفض الكامل والغلو فيه والحط على أبي بكر وعمر والدعاء إلى ذلك فهذا النوع لا يحتج بحديثهم ولا كرامة

“Barangkali ada seorang yang berkata, bagaimana mungkin menilai tsiqah mubtadi’!! apa batasan tsiqah, adil dan itqaan? Jawabnya, bid’ah terbagi menjadi dua:

Pertama, bid’ah kecil seperti ghuluw tasyayyu’ (mengutamakan Ali di atas Utsman) atau tasyayyu’ tanpa disertai ghuluw dan tahriif. Banyak dari kalangan tabi’in dan tabi’ut tabi’in terjatuh dalam bid’ah ini, bersamaan dengan sifat wara’, kejujuran dan agama yang ada pada mereka. Seandainya hadits-hadits mereka ditolak, tentu akan hilang sejumlah besar atsar-atsar nabi, ini merupakan kerusakan yang nyata

Kedua, bid’ah besar seperti Rafidhah tulen yang ghuluw, menodai kehormatan Abu Bakr dan Umar, serta mendoakan keburukan keduanya. Untuk model yang kedua ini, hadits hadits mereka tidak dijadikan hujjah dan tidak ada kemuliaan bagi mereka.” [Mizanul I’tidal, 1/5]

Kesimpulan dari pembahasan di atas: jarh dengan vonis “kadzab”  di sisi salafiyyin lebih buruk dan lebih parah dari vonis mubtadi’. Maka berhati-hatilah dari tokoh yang divonis kadzab oleh ulama, ia tidak pantas diambil ilmunya, tidak pantas dijadikan rujukan salafiyyin, apalagi dinukil perkataannya untuk men-jarh para ulama mu’tabar.

Asy-Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah berkata:

الكذب أخبث من البدع يا إخوان والكذَّاب أخبث عند أهل السنة من المبتدع المبتدع يروى عنه ,رَوَوْا عن القدرية رَوَوْا عن المرجئة ورَوَوْا عن غيرهم من أصناف أهل البدع ما لم تكن بدعة كفرية ما لم يكن كذابا .لو كان ينتمي إلى أهل السنة كذَّاب فهو عندهم أحــطّ من أهل البدع . ومن هنا عقد ابن عدي-رحمه الله- في كتابه "الكامل" حوالي تسعة وعشرين باباً للكذَّابين وبابًا واحداً لأهل البدع . وقَبِل أهل السنة رواية أهل البدع الصادقين غير الدعاة

“Dusta lebih buruk dari bid’ah wahai ikhwan. Kadzab lebih buruk dari mubtadi’ di sisi ahlus-sunnah, karena mubtadi’ masih diambil riwayatnya. Para ulama salaf meriwayatkan dari Qadariyyah, Murji’ah dan berbagai kelompok ahlul-bid’ah selama bid’ah mereka bukan bid’ah yang menyebabkan kekafiran, dan tidak dikenal sebagai pendusta (kadzab).

Seandainya ada seorang pendusta (kadzab) yang menyandarkan dirinya kepada ahlus-sunnah, ia di sisi ahlus-sunnah lebih patut dicurigai dari ahlul-bid’ah. Oleh karena itu, Ibnu Adi rahimahullah menyusun 29 bab yang berisi para perawi kadzab dan satu bab yang menyebutkan ahlul-bid’ah dalam kitab Al-Kamil. Ahlus-sunnah menerima riwayat ahlul-bid’ah yang jujur selain da’i ” 

[Nasehat Asy-Syaikh Rabi’ saat Daurah Ilmiyyah Al-Imam Abdul Aziz bin Baz di Masjid Al-Malik Fahd, Tha’if 22/06/1426 atau dengarkan rekaman Asy-Syaikh di sini dengan redaksi yang berbeda]

Allahua’lam, semoga bermanfaat







[1] Syarh ‘Ilal At-Tirmidzi, 1/64

[2] Al-Mustashfaa, 2/160

[3] Al-Ahkam, 2/83

[4] Mukhtashar Ibnil Hajib, 2/62-63

[5] Syarh ‘Ilal At-Tirmidzi, 1/64

[6] Ats-Tsiqaat, 6/140

[7]At-Tankiil, 1/43

[8] Shahih Al-Bukhari, Kitab Al-Libas [باب لبس الحرير للرجال وقدر ما يجوز منه] hadits no. 5835

[9] Shahih Al-Bukhari, Kitab Fadha’il Al-Qur’an [باب حق حسن الصوت بالقراءة للقرآن] hadits no. 4761

[10] Tahdzibut Tahdzib, 2/487 dan Hadyus Sari, 1/416

17 comments:

  1. Bagaimana dengan ustadz Luqman Baabdu yg divonis oleh syekh Muhammad bin hadi sebagai kadzzab (pendusta)?

    ReplyDelete
  2. Jangan karena senangnya kita dengan ustadz tertentu, sehingga lupa kesalahan-kesalahannya yang harus dihindari

    ReplyDelete
  3. Saya sengaja menunda untuk menjawab pertanyaan antum, karena sedang menulis artikel baru. Tak disangka antum begitu lama menunggu jawaban saya. Setiap da'i tidak lepas dari pihak yang memberikan tazkiyah dan pihak yang memberikan jarh atau tahdzir. Karena antum bertanya kepada saya tentang tahdzir Asy-Syaikh Muhammad bin Hadi kepada Ustadz Luqman, saya akan menjawab sesuai apa yang saya ketahui. Saya akan menyebutkan masyayikh yang memberikan tazkiyyah dan yang mentahdzir.

    Dengan menutup mata dari sebab jarh yang dialamatkan kepada beliau, anggaplah para ulama telah membangun fatwa di atas ilmu, telah tatsabbut terhadap khabar yang disampaikan kepadanya dan anggaplah orang-orang yang menyampaikan khabar adalah tsiqah.

    Diantara masyayikh yang memberikan tazkiyah kepada Ustadz Luqman: Asy-Syaikh Rabi' Al-Madkhali, Asy-Syaikh Ubaid Al-Jabiri dan lainnya. Dan diantara masyayikh yang mentahdzir beliau: Asy-Syaikh Muhammad bin Hadi Al-Madkhali, Asy-Syaikh Abdurrahman Al-Adeni, Asy-Syaikh Yahya Al-Hajuri, Asy-Syaikh Utsman As-Salimi, dan lainnya.

    Tentunya, di sini juga berlaku kaidah-kaidah untuk mendudukkan perselisihan ulama dalam masalah jarh wa ta'dil, tergantung siapa yang memandang dan membahas. Kalo antum bersama pihak yang berseberangan dengan beliau, seperti asatidzah Rodja atau asatidzah yang bersama Ustadz Dzulqarnain. Kaidah jarh wa ta'dil yang dipakai untuk mendudukkan masalah akan cenderung menjatuhkan Ustadz Luqman. Tapi kalo antum berjalan dengan asatidzah yang bersama Ustadz Luqman, kaidah jarh wa ta'dil yang dipakai pun lain. Intinya masing-masing pihak akan ta'ashub dengan kelompoknya...Saya tidak mau pusing membahas masalah tersebut, karena itu bukan urusan saya. Biarlah pihak-pihak yang terlibat konflik yang menyelesaikannya.

    Akhi, antum terlalu su'udzan kepada saya, saya bukan pengikut Ustadz Luqman. Antum pikir beliau itu makshum ya? gak punya kesalahan. Apa asatidzah antum juga makshum? Alhamdulillah saya dimudahkan untuk duduk di sisi para ulama di Madinah, saya tahu bagaimana sikap Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad, Asy-Syaikh Rabi', Asy-Syaikh Muhammad bin Hadi, Asy-Syaikh Ubaid, Asy-Syaikh Shalih As-Suhaimi dan Asy-Syaikh Abdurrazaq dalam menghadapi fitnah, terutama perselisihan di kalangan salafiyyin. Apakah masuk akal jika saya meninggalkan bimbingan para ulama rabbani, kemudian mengikuti sikap ustadz di Indonesia??

    Semoga bisa dipahami..

    ReplyDelete
    Replies
    1. 'Afwan ustadz, perselisihan asaatidz di indonesia ini menurut ana yg bodoh ini bukan lagi perselisihan yang kita mesti berlapang dada di dalamnya.. Ana dan keluarga termasuk yg tawaqquf trhdp tahdzir sy.robi' kpd ust.dzul. tapi apa yg terjadi mereka yg berpihak kpd ust.luqman mngeluarkan anak kami dri madrosah mereka.. Anak umur 4 thn yg bicara sj kadang msh nd nyambung.. Kemudian melarang kami utk menghadir majelis2 mereka lagi.. Manhaj macam apa ini? Apa dibiarkan org2 dgn cara2 seperti ini menganggap dirinya sebagai salafy paling sejati? Mengilzam org2 utk mngikuti pendapatnya semata. Wala wal baro' mereka hanya berlandaskan menerima tahdzir ato tdk? Allohul musta'an
      Apakah ust tdk pernah membaca situs fitnah tukpencarialhaq.com? Jgn katakan bhwa ini hanya situs org jahil yg tdk ada sangkut pautnya dgn ust.luqman dan yg bersamanya.. Artikel2 Situs ini dicopas di grup2 whatsappnya mereka. Ust2nya mentazkiyah pemilik situs ini sbg org yg menginginkan kebaikan.. Dimana akal sehat kita? Sampe2 situs ghibah wan namimah mnjadi rujukan dlm mslh manhaj?
      Setiap pihak yg berselisih pasti punya kesalahan.. Tetapi hendaknya kita lihat siapa yg menimbulkan kerusakan palimg besar? Apakah yg bgini tdk perlu ada pnjelasan trhdp ummat?
      Baarokallohu fiik

      Delete
  4. Syukron ustadz, bukankah vonis kadzzab bagi seseorang adalah jarah mufassar yang harus diterima?
    Kalau ternyata vonis dari Syeikh Muhammad bin Hadi adalah benar, apakah saya menyelisihi ulama salaf jika masih mengambil ilmu dan menerima riwayat ustadz Luqman Baabdu?

    ReplyDelete
  5. Afwan ustadz, setahu saya ustadz Luqman sendiri yang menasehatkan untuk menerima jarah mufassar. Bukankan vonis kazzab (pendusta) adalah jarh mufassar, karena tidaklah beliau mengucapkan hal ini kecuali beliau mengetahui keadaan ustadz Luqman?

    ReplyDelete
  6. Salam Ustadz. Antum mengatakan bahawa antum tahu bagaimana sikap Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad, Asy-Syaikh Rabi', Asy-Syaikh Muhammad bin Hadi, Asy-Syaikh Ubaid, Asy-Syaikh Shalih As-Suhaimi dan Asy-Syaikh Abdurrazaq dalam menghadapi fitnah, terutama perselisihan di kalangan salafiyyin. Jadi, boleh antum kongsikan sikap ulama2 ini agar kami boleh ambil pengajaran. JazakAllahu khayran

    ReplyDelete
  7. Wa'alaikumussalam warahmatullah..

    Mengenai sikap para masyayikh yang saya sebutkan di atas dalam menghadapi fitnah diantara salafiyyin, sulit rasanya mengungkapkan dalam kata-kata. Perlu contoh aplikasi nyata untuk mendekatkan pemahaman kita. Saya akan memberikan contoh tentang perselisihan ulama dalam jarh wa ta'dil terhadap Asy-Syaikh Prof. Dr. Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaili hafizhahullah, beliau adalah guru besar Fakultas Aqidah di Universitas Islam Madinah.

    Para ulama di Madinah berselisih, sebagian memberikan tahdzir dan sebagian membela beliau dengan memberikan tazkiyyah. Diantara ulama yang mentahdzir beliau: Asy-Syaikh Dr. Rabi' Al-Madkhali, Asy-Syaikh Ubaid Al-Jabiri, Asy-Syaikh Muhammad bin Hadi, Asy-Syaikh Abdullah Al-Bukhari dan lainnya. Dan diantara ulama yang membela beliau dengan memberikan tazkiyyah: Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad, Asy-Syaikh Shalih As-Suhaimi, Asy-Syaikh Sulaiman Ar-Ruhaili, Asy-Syaikh Shalih As-Sindi dan lainnya.

    Meskipun demikian, para ulama yang men-jarh tidak mentahdzir ulama yang mentazkiyyah dan ulama yang mentazkiyyah tidak mencela ulama yang men-jarh. Bukti dari apa yang saya katakan, belum lama ini, Asy-Syaikh Sulaiman Ar-Ruhaili diundang sebagai pembicara dalam muhadharah yang dilaksanakan oleh pihak ulama yang men-jarh. Bahkan para ulama berselisih tersebut biasa melakukan ziarah (berkunjung) satu sama lain. Demikian apa yang saya saksikan dari akhlak, adab dan kelapangan dada para ulama kita dalam menerima perbedaan ijtihad.

    Berbeda dengan para penuntut ilmu yang sok tahu, terkadang mereka menggelari para ulama yang men-jarh dengan sebutan mutasyaddid, tukang jarh, haddadi dan gelar-gelar buruk lainnya. Demikian pula sebaliknya, ada saja yang menggelari para ulama yang mentazkiyyah dengan sebutan mumayyi', ulama yang tidak mengerti manhaj, dan seterusnya. Para penuntut ilmu harus tahu kadar dirinya, siapa Anda, berani mencela para ulama yang memiliki jasa besar kepada Islam dan muslimin.

    Nasihat-nasihat seperti yang saya sebutkan di atas sering diingatkan oleh Asy-Syaikh Sulaiman Ar-Ruhaili hafizhahullah kepada para penuntut ilmu di Madinah dalam berbagai kesempatan. Beliau adalah seorang ulama yang faqih, ushuli, memiliki akhlak dan adab yang luar biasa kepada ulama yang lebih senior, meskipun ulama tersebut berbeda pandangan dengan beliau dalam ijtihad. Allahua'lam, semoga bisa dipahami

    Semoga Allah memberikan balasan yang baik kepada para ulama kita, wabillahittaufiq

    ReplyDelete
  8. Bolehkah ana mengambil ilmu dari ust luqman? Walaupun beliau dicap kazzab?

    ReplyDelete
  9. Saya tidak menasehatkan antum mengambil ilmu dari Ustadz Luqman, karena sebagian ulama telah mentahdzir beliau dengan jarh mufassar. Baru-baru ini saya mendengarkan rekaman muhadharah Ust Luqman, yang mengagetkan saya, beliau menasehatkan untuk meninggalkan orang-orang yang tidak sepaham (semanhaj), meskipun ia adalah kawan terdekat dalam rumah tangga, kata beliau... Allahulmusta'aan. Yang saya pahami dari ucapan tersebut, beliau menasehatkan untuk menceraikan suami atau istri yang tidak sepaham (ngaji dengan ustadz yang berbeda).

    Ini termasuk nasehat yang ghuluw. Setahu saya, tidak ada satu pun masyayikh kibar yang menasehatkan demikian, tidak Syaikh Rabi', tidak Syaikh Ubaid, tidak pula masyayikh yang lain. Jadi "fatwa" tersebut murni muncul dari kantong Ustadz Luqman sendiri, sehingga timbullah kasus perceraian di sana sini. Dalam qa'idah ushuliyyah disebutkan "menghindarkan mafsadah lebih didahulukan dari memperoleh maslahat". Mafadah besar yang ditimbulkan berupa perceraian, rusaknya hubungan baik antara orang tua dan anak, tentu harus dihindarkan. Ilmu tidak hanya diambil dari Ustadz Luqman.

    Nasehat saya, ambillah ilmu dari ustadz lain yang bermanhaj salaf, silahkan dengarkan kajian Ustadz Qomar Sua'idi atau Ustadz Afifuddin atau yang lain. Wabillahittaufiq

    ReplyDelete
    Replies
    1. Afwan ustadz, apakah jarh dari informasi yg salah boleh diambil?

      Ana baca di sini http://tukpencarialhaq.com/2016/01/24/benarkah-kalam-syaikh-ruzaiq-hafizhahullah-yang-memvonis-ustadz-luqman-hafizhahullah-dengan-vonis-kadzdzab-dan-laporan-apa-yang-melatarbelakangi-vonis-tersebut/
      sepertinya ada salah informasi sehingga muncul jarh ladzdzab dari syaikh muhammad hafizhahullah utk ustadz luwman hafizhahullah. Allaahu a'lam

      Delete
    2. Ustadz, kafwan kalau begitu mengambil ilmu dari ustadz Abdullah bin Taslim, Abdullah Zain, Erwandi Tarmidzi, Syafiq Reza Basalamah boleh ya?

      Delete
  10. Asslamu'alaikum ustadz, alhamdulillah suatu nikmat yg tiada tara bagi orang2 seperti ustadz yg bisa memetik ilmu langsung dari para ulama di tempat yg mulia, mekkah dan madinah. sehingga dapat langsung mencontoh adab dan akhlak mereka hafidzahumullahu ta'ala. sedangkan di negeri kita ini, banyak mungkin yg seperti saya, bingung untuk ikut kajian yg mana, masing2 pihak mengeluarkan klaim dan statement yg berbeda2 bahkan bertolak belakang. dan perselisihan itu tersebar luas, baik dari rekaman audo, tulisan2 di media online, ataupun ceramah2 di radio. Allahul musta'an. teruslah ustadz untuk menyebarkan nasihat para ulama, sikap dan adab mereka minimalnya di blog ustadz ini. semoga Allah selalu memberikan taufik dan membalas usaha ustadz dengan kebaikan di sisi-Nya.

    ReplyDelete
  11. Syukron ustadz, betul sekali perkataan antum bahwa ilmu tidak hanya diambil dari ustadz Luqman, lagi pula beliau tidak diketahui memiliki ta'sil ilmu yg kokoh.
    Ilmu bukan dilihat dari retorika dan kemampuan gaya bicara.
    Setahu saya, tidak ada ulama yg memuji ust Luqman karena keilmuan beliau.
    Hendaknya kita mendudukkan seseorang sesuai dgn tempatnya.

    ReplyDelete
  12. Assalamu'alaikum ustadz, apakah antum sudah pulang ke Indonesia? apakah antum sudah tau perkembangan dakwah salaf di negeri kita?mohon bimbingannya ustadz terkait manhaj salaf di negeri kita ini, asatidzah mana saja yg masih kokoh di atasnya?sebagai rujukan untuk mengambil ilmu. kalau antum belum pulang, kapankah antum akan pulang? apakah ada rencana untuk membuka ma'had atau kajian2 rutin? terus terang ana makin bingung dengan perselisihan salafiyin di negeri kita.

    ReplyDelete
  13. Ustadz afwan apakah info berikut ini benar?
    https://seindahsunnah.com/mahasiswa-madinah/daftar-nama-lembaga-dan-pondok-di-indonesia-yang-mendapat-akreditasi-dari-universitas-islam-madinah/

    ReplyDelete