Sunday, August 31, 2014

4 Syarat Pengobatan Penyakit Lemah Syahwat

Tanya: 
Bolehkah mencari pengobatan penyakit lemah syahwat?
Jawab:
Alhamdulillah, boleh hukumnya mencari pengobatan penyakit lemah syahwat. Karena hal itu tergolong penyakit, dan secara umum syariat telah membolehkan pengobatan. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Wahai hamba Allah berobatlah, sebab Allah telah menurunkan obat bagi setiap penyakit yang diturunkan-Nya, kecuali satu penyakit. Para sahabat bertanya: “Apa gerangan penyakit itu wahai Rasulullah?” beliau menjawab: “Penyakit pikun” [HR. At-Tirmidzi no. 1961 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah 20/202]
Dalam hadits lain Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Tidaklah Allah turunkan satu penyakit kecuali Allah turunkan juga obatnya. Sebagian orang ada yang mengetahuinya dan sebagian lagi tidak mengetahuinya.” [HR. Al-Bukhari no. 5246 dan Ahmad no. 3397, lafal matan ini adalah riwayat Ahmad]
Pengobatannya harus memenuhi persyaratan berikut ini:

Kisah Laki-laki Yang Terakhir Masuk Surga

Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahihnya dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

« آخِرُ مَنْ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ رَجُلٌ فَهُوَ يَمْشِى مَرَّةً وَيَكْبُو مَرَّةً وَتَسْفَعُهُ النَّارُ مَرَّةً فَإِذَا مَا جَاوَزَهَا الْتَفَتَ إِلَيْهَا فَقَالَ تَبَارَكَ الَّذِى نَجَّانِى مِنْكِ لَقَدْ أَعْطَانِىَ اللَّهُ شَيْئًا مَا أَعْطَاهُ أَحَدًا مِنَ الأَوَّلِينَ وَالآخِرِينَ. فَتُرْفَعُ لَهُ شَجَرَةٌ فَيَقُولُ أَىْ رَبِّ أَدْنِنِى مِنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ فَلأَسْتَظِلَّ بِظِلِّهَا وَأَشْرَبَ مِنْ مَائِهَا. فَيَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يَا ابْنَ آدَمَ لَعَلِّى إِنْ أَعْطَيْتُكَهَا سَأَلْتَنِى غَيْرَهَا. فَيَقُولُ لاَ يَا رَبِّ. وَيُعَاهِدُهُ أَنْ لاَ يَسْأَلَهُ غَيْرَهَا وَرَبُّهُ يَعْذِرُهُ لأَنَّهُ يَرَى مَا لاَ صَبْرَ لَهُ عَلَيْهِ فَيُدْنِيهِ مِنْهَا فَيَسْتَظِلُّ بِظِلِّهَا وَيَشْرَبُ مِنْ مَائِهَا ثُمَّ تُرْفَعُ لَهُ شَجَرَةٌ هِىَ أَحْسَنُ مِنَ الأُولَى فَيَقُولُ أَىْ رَبِّ أَدْنِنِى مِنْ هَذِهِ لأَشْرَبَ مِنْ مَائِهَا وَأَسْتَظِلَّ بِظِلِّهَا لاَ أَسْأَلُكَ غَيْرَهَا. فَيَقُولُ يَا ابْنَ آدَمَ أَلَمْ تُعَاهِدْنِى أَنْ لاَ تَسْأَلَنِى غَيْرَهَا فَيَقُولُ لَعَلِّى إِنْ أَدْنَيْتُكَ مِنْهَا تَسْأَلُنِى غَيْرَهَا . فَيُعَاهِدُهُ أَنْ لاَ يَسْأَلَهُ غَيْرَهَا وَرَبُّهُ يَعْذِرُهُ لأَنَّهُ يَرَى مَا لاَ صَبْرَ لَهُ عَلَيْهِ فَيُدْنِيهِ مِنْهَا فَيَسْتَظِلُّ بِظِلِّهَا وَيَشْرَبُ مِنْ مَائِهَا. ثُمَّ تُرْفَعُ لَهُ شَجَرَةٌ عِنْدَ بَابِ الْجَنَّةِ هِىَ أَحْسَنُ مِنَ الأُولَيَيْنِ. فَيَقُولُ أَىْ رَبِّ أَدْنِنِى مِنْ هَذِهِ لأَسْتَظِلَّ بِظِلِّهَا وَأَشْرَبَ مِنْ مَائِهَا لاَ أَسْأَلُكَ غَيْرَهَا. فَيَقُولُ يَا ابْنَ آدَمَ أَلَمْ تُعَاهِدْنِى أَنْ لاَ تَسْأَلَنِى غَيْرَهَا قَالَ بَلَى يَا رَبِّ هَذِهِ لاَ أَسْأَلُكَ غَيْرَهَا. وَرَبُّهُ يَعْذِرُهُ لأَنَّهُ يَرَى مَا لاَ صَبْرَ لَهُ عَلَيْهَا فَيُدْنِيهِ مِنْهَا فَإِذَا أَدْنَاهُ مِنْهَا فَيَسْمَعُ أَصْوَاتَ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَقُولُ أَىْ رَبِّ أَدْخِلْنِيهَا
فَيَقُولُ يَا ابْنَ آدَمَ مَا يَصْرِينِى مِنْكَ أَيُرْضِيكَ أَنْ أُعْطِيَكَ الدُّنْيَا وَمِثْلَهَا مَعَهَا قَالَ يَا رَبِّ أَتَسْتَهْزِئُ مِنِّى وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ ». فَضَحِكَ ابْنُ مَسْعُودٍ فَقَالَ أَلاَ تَسْأَلُونِّى مِمَّ أَضْحَكُ فَقَالُوا مِمَّ تَضْحَكُ قَالَ هَكَذَا ضَحِكَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-. فَقَالُوا مِمَّ تَضْحَكُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « مِنْ ضِحْكِ رَبِّ الْعَالَمِينَ حِينَ قَالَ أَتَسْتَهْزِئُ مِنِّى وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ فَيَقُولُ إِنِّى لاَ أَسْتَهْزِئُ مِنْكَ وَلَكِنِّى عَلَى مَا أَشَاءُ قَادِرٌ ». رواه مسلم
“Orang yang terakhir masuk surga adalah seorang yang sesekali berjalan dan sesekali tersungkur dan sesekali api melahapnya. Maka ketika ia telah melewatinya, ia menoleh kepada neraka, lalu berkata: “Maha suci dzat yang menyelamatkan aku darimu, sungguh Allah telah memberikan padaku sesuatu yang tidak Dia berikan pada seorangpun dari orang terdahulu atau orang belakangan.”

Saturday, August 30, 2014

Pakaian Anak Kecil yang Terbuka Auratnya

Tanya:
Sebagian wanita, semoga Allâh memberikan hidâyah kepada mereka, memakaikan pakaian pendek yang memperlihatkan betis kepada anak-anak putri mereka. Ketika kami menasehati mereka, mereka mengatakan, “Kami pun mengenakan pakaian yang serupa sewaktu kami masih anak-anak, namun tidak membahayakan kami ketika kami dewasa.” Apa pendapat Anda tentang perkara ini?
Jawab:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab:

"Saya berpendapat, tidak sepantasnya seseorang memakaikan pakaian seperti itu kepada putrinya meskipun ia masih kecil. Sebab, jika ia tumbuh terbiasa dengan pakaian tersebut, maka ia akan melekat dengannya (tetap memakainya) dan akan menganggapnya sebagai perkara yang sepele. Namun, jika kalian mendidiknya dengan baik untuk berhias dengan rasa malu sejak dini, maka ia akan terus terbiasa dengan keadaan ini hingga ia dewasa.
Saya nasehatkan kepada saudari-saudariku kaum muslimah agar meninggalkan pakaian orang-orang asing yang merupakan musuh-musuh agama, membiasakan anak-anak mereka untuk memakai pakaian yang menutupi tubuh (‘aurat -pent.) mereka, dan mengajari mereka untuk berhias dengan rasa malu, karena malu adalah bagian dari îmân." [Fatâwâ al-Mar’ah]
Sumber: http://almadinahpekanbaru.wordpress.com/2011/02/10/pakaian-pendek-untuk-anak-anak-perempuan/

Boneka Yang Diperbolehkan

Tanya:
Ada beragam boneka, di antaranya yang terbuat dari kapas yang memiliki kepala, dua tangan, dan dua kaki. Ada pula yang sempurna menyerupai manusia. Ada yang bisa bicara, menangis, atau berjalan. Lalu apa hukum membuat atau membeli boneka semacam itu untuk anak-anak perempuan dalam rangka pengajaran sekaligus hiburan?
Jawab:
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu menjawab:
“Boneka yang tidak detail bentuknya menyerupai manusia/makhluk hidup (secara sempurna) namun hanya berbentuk anggota tubuh dan kepala yang tidak begitu jelas maka tidak diragukan kebolehannya dan ini termasuk jenis anak-anakan yang dimainkan Aisyah radhiallahu ‘anha.
Adapun bila boneka itu bentuknya detail, mirip sekali dengan manusia sehingga seakan-akan kita melihat sosok seorang manusia, apalagi bila dapat bergerak atau bersuara, maka ada keraguan di jiwa saya untuk membolehkannya. Karena boneka itu menyerupai makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala secara sempurna. Sedangkan yang dzahir, boneka yang dimainkan `Aisyah, tidaklah demikian modelnya (tidaklah rinci/detail bentuknya). 

Hukum Makan Daging Biawak, Katak dan Tupai

Alhamdulillah. Biawak dalam bahasa Arab disebut waral. Binatang ini adalah jenis binatang melata, termasuk golongan kadal besar dan sangat dikenal di negeri ini. Hidupnya di tepi sungai dan berdiam dalam lubang di tanah, bisa berenang di air serta memanjat pohon. Binatang ini tergolong hewan pemangsa dengan gigi taringnya yang memangsa ular, ayam dan lainnya. [1] Ada biawak yang lebih besar dan lebih buas, disebut komodo.
Dengan demikian, biawak haram dimakan berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam:
“Seluruh binatang pemangsa dengan gigi taringnya maka haram memakannya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Terdapat hadits-hadits lainnya yang semakna dengan ini dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim serta lainnya.
Jangan disangka bahwa biawak (waral) adalah dhab (hewan mirip biawak) yang halal. Dhab dihalalkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam, sebagaimana dalam hadits Khalid bin al-Walid radhiyallahu ‘anhu:
“Ia masuk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam ke rumah Maimunah, lalu disajikan daging dhab panggang. Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam menjulurkan tangannya (untuk mengambilnya). Berkatalah sebagian wanita (yang ada di dalam rumah), ‘Beritahu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam apa yang akan dimakannya.’ Mereka lantas berkata, ‘Wahai Rasulullah, itu adalah daging dhab.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam pun menarik kembali tangannya. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah binatang ini haram?’ Beliau menjawab, ‘Tidak, tetapi binatang ini tidak ada di tanah kaumku sehingga aku merasa jijik padanya’.” Khalid berkata, “Aku pun mencuilnya dan memakannya sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam memerhatikanku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim serta lainnya) [2]
Dhab adalah golongan kadal besar yang serupa dengan biawak dan sama-sama berdiam di dalam lubang di tanah. Berikut ini keterangan ahli bahasa Arab tentang dhab sekaligus perbandingannya dengan biawak.
- Binatang ini adalah jenis melata yang tergolong kadal besar [3], seperti halnya biawak.
- Bentuknya mirip biawak. [4]
- Banyak ditemukan di gurun pasir (sahara) Arab. [5] Lain halnya dengan biawak yang hidupnya di tepi-tepi sungai.
- Panjang tubuhnya lebih pendek dari biawak. [6]
- Ekornya bersisik kasar seperti ekor buaya dengan bentuk yang lebar dan maksimal panjangnya hanya sejengkal. Berbeda halnya dengan ekor biawak yang tidak bersisik kasar dan berukuran panjang seperti ekor ular. [7]
- Makanannya adalah rumput, belalang kecil (dabah), dan jenis belalang lainnya yang disebut jundub (jamaknya janaadib). Adapun biawak adalah predator (hewan pemangsa hewan lain) yang memangsa ular dan lainnya. [8]
Wallahu a’lam.
Hukum Memakan Daging Katak
Alhamdulillah. Katak haram menurut pendapat yang rajih (kuat). Ini adalah pendapat al-Imam Ahmad, yang dirajihkan oleh Ibnu ‘Utsaimin dan al-Lajnah ad-Da’imah (diketuai oleh Ibnu Baz).
Dalilnya adalah hadits ‘Abdurrahman bin ‘Utsman al-Qurasyi radhiyallahu ‘anhu:
“Seorang tabib bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam tentang katak untuk dijadikan obat. Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam melarang membunuhnya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i, dan al-Hakim. Hadits ini dishahihkan oleh al-Albani) [9]
Kata al-Lajnah, “Ini adalah dalil haramnya makan katak. Larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam membunuh makhluk hidup tidak lepas dari dua kemungkinan:
- kehormatan makhluk itu seperti manusia; atau,
- keharaman memakannya, seperti katak.
Karena katak bukan makhluk terhormat, maka larangan membunuhnya tertuju kepada faktor haramnya dimakan.”
Ibnu ‘Utsaimin berkata dalam Fath Dzil Jalali wal Ikram [10], “Larangan membunuh suatu jenis binatang mengandung larangan memakannya karena tidak mungkin memakannya melainkan setelah disembelih atau dibunuh.” Ya, seandainya boleh memakannya, tidak mungkin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam melarang membunuhnya.
Dengan demikian, tampaklah kelemahan pendapat yang mengatakan bahwa katak halal dengan alasan katak termasuk binatang air. Sebab, memakannya berkonsekuensi membunuhnya, dan ini haram.
Wallahu a’lam. [11]
Apakah Tupai Halal Dimakan?
Alhamdulillah. Istilah tupai dalam bahasa Indonesia digunakan untuk menyebut semua celurut pohon dan bajing karena keduanya sangat mirip. Tupai/bajing keumumannya berdiam di pohon. Ada juga jenis yang berdiam di tanah. Makanannya adalah buah-buahan dan serangga. [12]
Hewan kecil ini dijadikan permisalan dalam kepandaian melompat, ekornya panjang dengan bulu yang lebat dan terangkat ke atas. [13]
Berdasarkan keterangan ini, tupai/bajing tidak tergolong predator (hewan pemangsa hewan lain). Dengan demikian, pendapat yang mengharamkannya dengan alasan tergolong predator dengan gigi taringnya adalah pendapat yang lemah.
Di antara yang menghalalkan tupai/bajing adalahal-Imam asy-Syafi’i rahimahullahu. Pendapat ini juga yang dirajihkan oleh an-Nawawi rahimahullahu.
Ibnu Qudamah rahimahullahu menyatakan ada kemungkinan halal dengan alasan bahwa binatang yang diragukan antara halal dan haramnya maka didominankan sisi kehalalannya, karena hukum asalnya halal dan keumuman nash-nash menuntut demikian.
Jadi, hewan ini halal, insya Allah. [14]
Dijawab oleh Al-Ustadz Abu ‘Abdillah Muhammad As-Sarbini hafizhahullah

Catatan kaki:
[1] Lihat Lisanul ‘Arab, al-Mu’jam al-Wasith, dan Tajul ‘Arus.
[2] Al-Imam Muslim meriwayatkannya dari musnad Ibnu ‘Abbas bahwa dia dan Khalid masuk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam …. dst.
Lihat tentang dhab pada kitab Fathul Bari (9/”Kitab adz-Dzaba’ih wash-Shaid Bab adh-Dhabb”), ash-Shahihah (5/505-507), dan Fatawa al-Lajnah (22/311).
[3] Lihat al-Mu’jam al-Wasith.
[4] Lihat Lisanul ‘Arab, al-Mu’jam al-Wasith, dan Tajul ‘Arus.
[5] Lihat al-Mu’jam al-Wasith.
[6] Lihat al-Mu’jam al-Wasith.
[7] Lihat Lisanul ‘Arab, al-Mu’jam al-Wasith, dan Tajul ‘Arus.
[8] Lihat Lisanul ‘Arab.
[9] Lihat kitab Takhrij al-Misykah (no. 4545) dan Shahih al-Jami’ (no. 6971).
[10] Pada syarah hadits Ibnu ‘Abbas tentang larangan membunuh empat binatang.
[11] Lihat kitab al-Mughni (2/345-346), Fatawa al-Lajnah (22/322-324), dan Fath Dzil Jalali wal Ikram (syarah hadits ‘Abdurrahman bin ‘Utsman al-Qurasyi).
[12] Lihat Ensiklopedi Indonesia seri Fauna/Mamalia 1.
[13] Lihat Ensiklopedi Indonesia seri Fauna/Mamalia 1.
[14] Lihat kitab al-Majmu’ (9/13) dan al-Mughni (13/326, terbitan Dar ‘Alam al-Kutub).

Sumber: Majalah Asy Syariah no. 71/VI/1432 H/2011, hal. 77-79