Friday, January 3, 2014

Keterkaitan Ashlul-Iman dan A'mal Jawarih

Tanya:

“PERTAMA
Ustadz, bisa dijelaskan tentang apa saja yang termasuk ke dalam 
A. ashlul iman (pokok keimanan), 
B. al-iman al-wajib (iman yang wajib), 
C. kamaalul iman (iman yang sunah/penyempurna iman)”

Jawab:

Iman terdiri dari tiga tingkatan:

1. Ashlul-iman disebut juga al-iman al-mujmal atau muthlaqul iman

2. Al-Iman al-wajib disebut juga al-iman al-mufashshal atau al-iman al-muthlaq atau haqiqatul iman

3. Al-Iman al-mustahabb disebut juga al-iman al-kamil

Berikut penjelasannya,

[Pertama] Ashlul-iman adalah bagian paling minimal dalam iman seorang muslim, ketiadaan ashlul-iman melazimkan kekafiran. Bagian tersebut diantaranya ucapan syahadat beserta amalan hati seperti tashdiiq (pembenaran), inqiyad (kepatuhan), mahabbah (kecintaan), dan lainnya. Syarat-syarat Lailahaillah juga termasuk dalam ashlul-iman.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

فأهل السنة مجمعون على زوال الإيمان ، وأنه لا ينفع التصديق ، مع انتفاء عمل القلب ومحبته وانقياده

“Ahlus-Sunnah bersepakat tentang ketiadaan iman bagi seorang yang tidak memiliki amalan hati, kecintaan dan inqiyad (kepatuhan). Keberadaan tashdiq (membenarkan syahadat dalam hatinya) tidaklah bermanfaat.” [Kitabus Shalah hal. 54]

Syaikhul Islam menukil ijma’ bahwa ketiadaan amalan hati melazimkan kekufuran dalam Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/550

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

فعامة الناس إذا أسلموا بعد كفر أو ولدوا على الإسلام والتزموا شرائعه، وكانوا من أهل الطاعة لله ورسوله، فهم مسلمون ومعهم إيمان مجمل، ولكن دخول حقيقة الإيمان إلى قلوبهم إنما يحصل شيئا فشيئا

“Kebanyakan manusia ketika mereka masuk Islam setelah dulunya kafir atau memang terlahir beragama Islam,  mereka melaksanakan syariat-syariat Islam. Dalam keadaan ini, mereka tergolong muslim yang taat pada Allah dan Rasul-Nya. Telah terwujud iman mujmal (ashlul-iman) dalam diri mereka. Kemudian haqiqatul iman (al-iman al-wajib) akan masuk dalam hati mereka sedikit demi sedikit.”

Ibnu Mandah rahimahullah berkata:

وقال أهل الجماعة : الإيمان هي الطاعات كلها بالقلب واللسان وسائر الجوارح ، غير أن له أصلاً وفرعاً ، فأصله المعرفة بالله والتصديق له وبه ، وبما جاء من عنده بالقلب واللسان مع الخضوع له والحب له والخوف منه والتعظيم له ، مع ترك التكبر والاستنكاف والمعاندة ، فإذا أتى بهذا الأصل فقد دخل في الإيمان ، ولزمه اسمه وأحكامه ،

“Ahlus (Sunnah) wal Jama’ah berkata: iman mencakup seluruh ketaatan dalam hati, lisan dan amal anggota badan. Imam memiki ashl (pokok) dan far’ (cabang). Ashlul-iman adalah ma’rifah (mengenal) Allah, tashdiq yaitu membenarkan apa yang datang dari sisi Allah dalam hati dan lisan bersamaan dengan ketundukan, kecintaan, khauf, pengagungan, meninggalkan sikap sombong, pongah dan pengingkaran. Tatkala seorang memiliki pokok tersebut, maka ia telah masuk dalam iman yang melazimkan nama dan hukum-hukumnya.” [Kitabul Iman, 1/331]

Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Nashr Al-Marwazi rahimahullah berkata:

الكفر ضد أصل الإيمان، لأن للإيمان أصلاً وفروعاً فلا يثبت الكفر حتى يزول أصل الإيمان

“Kekufuran merupakan lawan dari ashlul-iman, karena iman memiliki ashl (pokok) dan furu’ (cabang). Tidak tetap hukum kekufuran hingga ashlul-iman itu hilang” [Ad-Durar As-Saniyyah, 1/191]

Al-Imam Al-Khaththabi rahimahullah berkata:

أصل الإسلام : الاستسلام والانقياد ، وأصل الإيمان : التصديق. وقد يكون المرء مستسلماً في الظاهر غير منقاد في الباطن ، ولا يكون صادقَ الباطن غير منقاد في الظاهر

Ashlul Islam adalah berserah diri dan patuh, sedangkan Ashlul Iman adalah tashdiq. Terkadang seorang berserah diri secara zhahir ternyata batinnya menyelisihinya. Tidak dikatakan tashdiq dalam batin tanpa kepatuhan dalam amal dhahir" [Syarhus Sunnah lil Baghawi, 1/11]

[Kedua] Al-Iman Al-Wajib adalah tambahan dari ashlul-iman yaitu tatkala seorang muslim melakukan ketaatan yang wajib dan meninggalkan kemaksiatan.

Al-Imam Abu ‘Amr Ibnu Ash-Shalah rahimahullah berkata:

ولهذا لا يقع اسم المؤمن المطلق على من ارتكب كبيرة

“Oleh karena itu penamaan al-mu’min al-muthlaq (seorang yang memiliki al-iman al-muthlaq/al-iman al-wajib) tidak diberikan pada pelaku dosa besar” [Syarh Shahih Muslim, 1/148]

Al-Imam Al-Marwazi rahimahullah berkata:

فكل آية وعد الله المؤمنين فيها الجنة، وبشرهم بها، فإنما أراد الذين عملوا الصالحات

“Setiap ayat yang berisi kabar gembira serta janji surga dari Allah kepada orang-orang beriman hanyalah diperuntukkan bagi orang-orang yang beramal shalih” [Ta’zhiim Qadris Shalah, 2/567]

Ibnu Ash-Shalah rahimahullah juga berkata:

هَذَا بَيَانٌ لِأَصْلِ الْإِيمَانِ وَهُوَ التَّصْدِيقُ الْبَاطِنُ وَبَيَانٌ لِأَصْلِ الْإِسْلَامِ وَهُوَ الِاسْتِسْلَامُ وَالِانْقِيَادُ الظَّاهِرُ

“Ini merupakan penjelasan tentang ashlul-iman yaitu at-tashdiiq dalam hati, serta penjelasan ashlul-islam yaitu penyerahan diri dan inqiyaad (ketundukan) yang nampak.” [Majmuu’ Al-Fatawa, 7/361]

Dipahami dari perkataan di atas, barangsiapa yang tidak nampak padanya amal shalih secara zhahir, maka ia tidak memiliki ashlul-islam sehingga dihukumi kafir.

[Ketiga] Al-Iman Al-Mustahabb adalah tambahan dari al-iman al-wajib yaitu tatkala seorang muslim melakukan ketaatan yang sifatnya sunah, meninggalkan perkara yang makruh serta meninggalkan perkara syubhat (belum jelas kehalalan ataupun keharamannya).

Allah ta’ala menjelaskan tingkatan iman yang ketiga ini dalam firman-Nya,

وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ

Diantara mereka ada orang-orang yang bersegera dalam kebaikan dengan izin Allah. Itulah keutamaan yang besar” [QS. Faathir: 32]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

وهو مركب – أي الإيمان – من أصل لا يتم بدونه، ومن واجب ينقص بفواته نقصا يستحق صاحبه العقوبة، ومن مستحب يفوت بفواته علو الدرجة

“Iman terdiri dari ashl yang tidak sempurna (tetap –pen) hukum iman kecuali dengannya, kemudian (iman) wajib yang jika berkurang akan menyebabkan pelakunya terancam azab, kemudian (iman) mustahhab yang jika berkurang akan menurunkan ketinggian derajatnya” [Majmuu’ Al-Fatawa, 7/637]

Keterkaitan Ashlul-Iman dan Amal Jawarih

* Apakah ashlul-iman dalam hati dan amal jawarih memiliki keterkaitan?

Iya, keduanya memiliki keterkaitan yang erat. Amal jawarih merupakan tashdiiq (pembenaran) dari ashlul-iman dalam hati, sehingga ketiadaan amal jawarih melazimkan ketiadaan ashlul-iman.

Dalilnya adalah hadits An-Nu'man bin Basyir radhiyallahu 'anhu yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

ألا وإن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله ، وإذا فسدت فسد الجسد كله ، ألا وهي القلب 

"Ketahuilah, sesungguhnya dalam jasad terdapat segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik, maka baiklah seluruh tubuhnya. Ketika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati"

Al-Imam Ibnu Baththah Al-‘Ukbari rahimahullah berkata:

من صدق بالقول وترك العمل كان مكذباً وخارجاً من الإيمان. وأن الله لا يقبل قولاً إلا بعمل

Barangsiapa yang membenarkan (tashdiq) dengan lisannya lalu meninggalkan amal maka ia telah berdusta dan ia telah keluar dari iman. Allah tidaklah menerima perkataan kecuali dengan amal” [Al-Ibanah, 2/795]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

وقول القائل : الطاعات ثمرات التصديق الباطن ، يراد به شيئان : يراد به أنها لوازم له ، فمتى وجد الإيمان الباطن وجدت. وهذا مذهب السلف وأهل السنة

“Perkataan seorang bahwa amalan ketaatan merupakan buah dari tashdiq dalam hati, memiliki dua makna yaitu amal merupakan kelaziman dari keimanan , kapan terdapat iman dalam hatinya maka terpadat padanya amal ketaatan. Ini adalah madzhab Salaf dan Ahlu Sunnah.” [Majmuu’ Al-Fatawa, 363/7]

Al-Imam Al-Khaththabi rahimahullah berkata:

أصل الإسلام : الاستسلام والانقياد ، وأصل الإيمان : التصديق. وقد يكون المرء مستسلماً في الظاهر غير منقاد في الباطن ، ولا يكون صادقَ الباطن غير منقاد في الظاهر

Ashlul Islam adalah berserah diri dan patuh, sedangkan Ashlul Iman adalah tashdiq. Terkadang seorang berserah diri secara zhahir ternyata batinnya menyelisihinya. Tidak dikatakan tashdiq dalam batin tanpa kepatuhan dalam amal dhahir" [Syarhus Sunnah lil Baghawi, 1/11]

Al-Imam Al-Ajurry rahimahullah berkata:

 فالأعمال - رحمكم الله تعالى - بالجوارح: تصديق عن الإيمان بالقلب واللسان ، فمن لم يصدق الإيمان بعمله وبجوارحه : مثل الطهارة ، والصلاة ، والزكاة ، والصيام ، والحج ، والجهاد ، وأشباه لهذه ، ورضي من نفسه بالمعرفة والقول ، لم يكن مؤمناً ، ولم ينفعه المعرفة والقول ، وكان تركه للعمل تكذيباً منه لإيمانه

Amal jawarih merupakan tashdiq dari iman dalam hati dan lisan. Barangsiapa yang tidak membenarkan iman (dalam hatinya) dengan amal jawarihnya seperti thaharah, shalat, zakat, puasa, haji, jihad dan yang semisal, lalu ia ridha terhadap dirinya hanya dengan ma’rifah dan ucapan, maka ia belum dikatakan beriman. Tidak bermanfaat baginya ma’rifah dan ucapan (dalam hati dan lisan). Ketiadaan amal dalam dirinya merupakan bukti bahwa ia mendustakan imannya.” [Kitab Asy-Syari’ah, 1/275]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

ومن الممتنع أن يكون الرجل مؤمناً إيماناً ثابتاً في قلبه ؛ بأن الله فرض عليه الصلاة والزكاة والصيام والحج ويعيش دهره لا يسجد لله سجدة ولا يصوم من رمضان ولا يؤدي لله زكاة ولا يحج إلى بيته ، فهذا ممتنع ، ولا يصدر هذا إلا مع نفاق في القلب وزندقته

“Mustahil jika seorang dikatakan beriman dengan iman yang kokoh dalam hatinya, namun tatkala Allah mewajibkan padanya shalat, zakat, puasa, haji lalu selama hidupnya ia belum pernah sujud kepada Allah sekali pun, tidak berpuasa ramadhan, tidak menunaikan zakat, tidak pula haji ke baitullah. Ini mustahil, perbuatan ini hanyalah ada pada seorang yang terdapat nifaq dan zindiq dalam hatinya.[Majmuu’ Al-Fatawa, 7/611]

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

الإيمان له ظاهر وباطن ، وظاهره قول اللسان وعمل الجوارح وباطنه تصديق القلب وانقياده ومحبته ، فلا ينفع ظاهر لا باطن له
... ولا يجزىء باطن لا ظاهر له إلا إذا تعذّر بعجز أو إكراه وخوف هلاك. فتخلف العمل ظاهراً مع عدم المانع دليل على فساد الباطن وخلوه من الإيمان".

 “Iman mencakup dhahir dan batin, dhahirnya adalah perkataan lisan dan amal jawarih, sedangkan batinnya adalah tashdiq (pembenaran) dalam hati, inqiyad (kepatuhan) dan mahabbah (kecintaan) kepada-Nya. Tidak bermanfaat dhahir tanpa batin…tidak sah batin tanpa dhahir kecuali jika ia memiliki udzur dikarenakan lemah, terpaksa atau dalam kondisi ketakutan yang dapat membinasakannya. Ketiadaan amal dhahir tanpa udzur merupakan dalil rusaknya batin dan kosongnya hati dari iman.” [Al-Fawaid hal. 283]

Syaikh Muhammad Aman Al-Jami rahimahullah berkata:

ومن ادعى أنه مصدق بقلبه بكل ما جاء رسول الله عليه الصلاة والسلام ثم لا يعمل ، يقال له : هذه دعوى! والدعوى لا بد لها من بينة ، فأين البينة ؟ البينة الأعمال

فإذا كانت الأعضاء لا تعمل ؛ لا يصلي ولا يصوم ولا يأمر ولا ينهى ولا يجاهد ولا يطلب العلم .. ماشي ، هكذا مصدق ؟! لا لا ، لا يقبل مثل هذا التصديق ، وعلى هذا انتشر بين المسلمين هذا الإيمان الإرجائي


“Barangsiapa yang mengaku bahwa ia telah membenarkan iman dalam hatinya (tashdiq) terhadap apa yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu tidak mau beramal, maka dikatakan padanya ‘ini hanyalah pengakuan semata’. Pengakuan haruslah memiliki bukti, manakah bukti bahwa ia memiliki tashdiq dalam hatinya? Pembuktiannya adalah dengan amal…

Ketika anggota badannya tidak beramal, tidak shalat, tidak puasa, tidak amar ma’ruf nahi munkar, tidak berjihad, tidak menuntut ilmu…apakah ia dikatakan telah tashdiq? Tidak, tidak, tidak diterima tashdiq semacam ini. Telah tersebar iman irja’ semisal perkataan ini di kalangan kaum muslimin” [Syarh Al-Ushul Al-Tsalatsah ]

Perlu diketahui bahwa menghukumi seseorang apakah ia memiliki ashlul-iman ataukah tidak adalah suatu yang mustahil, karena ashlul-iman berada dalam hati. Tidak ada yang mengetahui hakikat iman yang ada dalam hati kecuali Allah. Kita hanya bisa memberikan hukum secara zhahir. Tatkala nampak syi’ar-syi’ar Islam berupa amal shalih dalam diri seseorang, maka kita menghukuminya sebagai seorang muslim. Namun sebaliknya, tatkala kita tidak melihat adanya syi’ar Islam dalam diri seseorang, maka kita memberikan hukum kekufuran padanya.

Jadi, keliru jika ada yang membantah penghukuman kita secara zhahir dengan menyatakan “meskipun ia tidak mau mengamalkan syariat-syariat Islam sedikitpun, tidak shalat, tidak puasa, tidak zakat, melakukan berbagai macam dosa besar dan perbuatan keji, ia tetaplah seorang muslim yang mendapatkan janji surga, karena masih terdapat ashlul-iman dalam dirinya. Saya berpegang dengan zhahir hadits "masuk surga tanpa amal sedikitpun" !!!”.

Mereka mengorbankan aqidah ahlus-sunnah dalam permasalahan iman demi memberikan pembelaan terhadap syaikhnya. Allahulmusta'an


Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 2 Rabii’ul Awwal 1435



3 comments:

  1. ustadz, syaikh ali hasan halabi sudah tobat kah?
    Dan apakah fatwa Lajnah thd beliau sudah tidak berlaku?
    Jazakallahu khair

    ReplyDelete
  2. Jika memang Syaikh Ali sudah bertaubat dan rujuk dari pemikiran bid'ahnya, tentu para ulama Al-Lajnah Ad-Da'imah akan menarik kembali fatwanya. Karena menyandarkan pendapat kepada seseorang apa yang tidak diyakininya merupakan sebuah kezaliman. Maka tidak halal bagi para ulama Al-Lajnah Ad-Da'imah untuk terus-menerus berbuat zhalim kepada Syaikh Ali.

    Namun justru yang terjadi adalah sebaliknya, beliau tanpa rasa malu berdusta atas nama Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah untuk membela kebid'ahannya. Beliau dan teman-temannya menulis kitab "Al-As'ilah Al-'Iraqiyyah" yang berisi fatwa tentang permasalahan iman yang disandarkan kepada Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, padahal dengan tegas Syaikh Al-Fauzan mengingkari penyandaran kitab tersebut kepada beliau. Seorang yang berakal tentu akan meminta uzur dan meminta maaf atas kekeliruan tersebut, namun beliau malah menulis kitab bantahan yang berisi tuduhan bahwa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan telah lupa dalam hal ini.

    Apakah sampai di sini kelancangan beliau? Diantara adab beliau yang buruk terhadap para ulama adalah persaksian Asy-Syaikh Khalid Abdurrahman hafizhahullah berikut

    Asy-Syaikh Khalid Abdurrahman berkata:

    وأذكر حين كنا هناك في المسجد الحرام بعد صلاة العشاء بعد التراويح في سنة من السنين والتقيت بعلي الحلبي وصلينا سويا صلاة التراويح ثم بعد ذلك أخذ بيدي إلى الفندق ومن ثم إتجهنا إلى جدة أيام الشيخ محمد بن عبد الوهاب البنا رحمه الله فكان من عباراته أن قال لي : يا أبا محمد ، المشايخ في نجد أو في الحرمين بعض المشايخ إنما يتكلمون فينا من باب الحسد ، قال : ومن أشد هؤلاء الفوزان .

    "Aku teringat beberapa tahun yang lalu ketika Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Banna rahimahullah masih hidup, aku shalat Masjidil Haram. Setelah Isya, aku bertemu Ali Al-Halabi dan shalat Tarawih di sampingnya. Setelah itu ia menarik tanganku dan mengajakku ke hotel menuju Jedah. Dulu ia pernah berkata padaku:

    يا أبا محمد ، المشايخ في نجد أو في الحرمين بعض المشايخ إنما يتكلمون فينا من باب الحسد ، قال : ومن أشد هؤلاء الفوزان

    "Wahai Abu Muhammad, masyayikh di Najd atau Al-Haramain (Makkah dan Madinah -pen), sebagian masyayikh membicarakanku hanyalah karena hasad. Diantara mereka yang paling keras adalah Al-Fauzan"

    Dengarkan rekaman suara beliau di http://www.youtube.com/watch?v=P5BEXYQnYRo

    Asy-Syaikh Abu Usamah Samiir Al-Jaza'iri hafizhahullah berkata:

    كما قال الحلبي لأحد الإخوة في مكتبته في الأردن "الفوزان تكفيري"

    "Begitu pula yang dikatakan Al-Halabi kepada salah seorang ikhwah di maktabahnya di Yordania bahwa "Al-Fauzan adalah TAKFIRI"

    Hal itu menguatkan perkataan Asy-Syaikh Muhammad Umar Bazmuul hafizhahullah berikut,

    "Termasuk dari bentuk kesalahan fatal yang ada padanya (Syaikh Ali Hasan -pen) adalah upayanya merendahkan kedudukan ulama, dan memposisikan dirinya seolah-olah seperti kibarul ‘ulama (ulama senior). Dia mencoba menjatuhkan Asy-Syaikh Rabi’ (Al-Madkhali) dan Asy-Syaikh ‘Ubaid (Al-Jabiri). Seolah-olah posisi dirinya dengan kedua syaikh tersebut adalah teman selevel (seangkatan).

    Sikap seperti ini merupakan adab yang jelek. Berbagai ungkapannya dalam hal ini mengandung makna penghinaan dan pelecehan yang tidak pantas diucapkan terhadap para ulama.Ada beberapa penyimpangan lainnya yang semuanya telah disebutkan oleh saudara (kandung)ku Asy-Syaikh Ahmad dalam tulisannya (tentang Asy-Syaikh Ali Hasan) yang berjudul Shiyanatus Salafy ‘An Wasawisi ‘Ali Al-Halabi" [Sesi Tanya Jawab Daurah Masyayikh]

    ReplyDelete
  3. Dwi Abu Ilyasa HananAug 30, 2017, 2:50:00 PM

    Ustadz Abul Harits hafizhahullaahu,.. ada beberapa pertanyaan:

    1. Apakah seluruh amal Jawarih adalah furu' (cabang) atau ada yang masuk ke dalam ashl dan ada yang masuk ke dalam furu'?
    2. Apakah ucapan asy-Syaikh Rabi' bin Hadi al-Madkhali hafizhahullaahu berikut;

    إن الإيمان أصل والعمل كمال أو تمام أو فرع أو فروع
    "Sesungguhnya iman adalah asal/pokok dan amal adalah penyempurna atau cabang"
    (http://www.rabee.net/show_book.aspx?pid=3&bid=200&gid)
    memaksudkan bahwa seluruh amal adalah furu'?
    3. Bagaimana syarh dari ucapan al-Imam Ibnu Mandah rahimahullah berikut:
    ولا يكون مستكملا له حتى يأتي بفرعه وفرعه المفترض عليه أو الفرائض واجتناب المحارم
    “Dan tidak sempurna iman seseorang hingga ia mengerjakan cabangnya, dan cabangnya itu adalah hal-hal yang diwajibkan padanya, dan menjauhi hal-hal yang diharamkan” [Al-Iimaan, 1/331-332]
    Apakah jika cabang/furu' iman dalam hal ini adalah amalan yang diwajibkan itu tidak dikerjakan -selama tidak mengingkari kewajibannya- tidak menghilangkan ashl iman?, yakni orang seperti ini hanya dikatakan, "Ia masih beriman, hanya saja imannya tidak sempurna" dan tidak kafir?

    Jazzakallaahu khair Ustadz

    ReplyDelete