Friday, December 13, 2013

Fatwa Ulama Seputar Ijazah Formal Dalam Menuntut Ilmu

Tanya:

“Bagaimana pendapat Anda tentang seorang yang berhasil meraih ijazah dalam ‘uluum syari’ah dari salah satu universitas, namun ia meniatkannya untuk mencari pekerjaan. Apakah ia termasuk dalam ancaman hadits? 

Apakah taubat dapat menghapuskan kesalahannya? Ketika ia telah mendapatkan pekerjaan dengan ijazah ini, apakah kemudian gaji penghasilannya haram?"

Jawab:

Lembaga Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah yang diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan beranggotakan Syaikh Abdullah Al-Ghudayyan, Syaikh Bakr Abu Zaid, Syaikh Abdullah bin Qu’ud, Syaikh Shalih Al-Fauzan dan Syaikh Abdul Aziz Alus Asy-Syaikh rahimahumullah menjawab:
“Segala puji bagi Allah, hendaklah seorang meluruskan niatnya dalam menuntut ilmu, ia menuntut ilmu untuk mengharapkan keridhaan Allah ta’ala, lalu meniatkan untuk mengangkat kebodohan dari dirinya dan orang lain. Jika ia berupaya meraih ijazah demi mencari pekerjaan, yang demikian itu tidak apa-apa. Hendaklah perkerjaan tersebut juga diniatkan untuk membantunya dalam ketaatan pada Allah dan memberikan pelayanan pada kaum muslimin.

Adapun jika niatnya dalam pekerjaan semata-mata hanya untuk memperoleh gaji, kedudukan maupun perkara-perkara dunia yang lain tanpa ada niat sama sekali untuk membantu dirinya dalam ketaatan pada Allah, tidak pula ingin memberikan manfaat pada kaum muslimin atau niat-niat baik yang lain, maka ia berada dalam kondisi yang sangat berbahaya. Ia termasuk dalam ancaman keras yang terdapat dalam sabda rasul shallallahu ‘alaihi wasallam,

من تعلم علماً مما يبتغي به وجه الله عز وجل ، لا يتعلمه إلا ليصيب به عرضاً من الدنيا ، لم يجد عرف الجنة يوم القيامة 

Barangsiapa yang mempelajari suatu ilmu yang seharusnya untuk mengharapkan wajah Allah ‘azza wajalla, namun ia mempelajarinya semata-mata untuk mencari bagian dari dunia, maka ia tidak akan mencium baunya surga pada hari kiamat” 

[HR. Abu Daud no. 3664 dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Abu Daud]

Ia wajib meluruskan niatnya dan bertaubat pada Allah ta’ala, karena taubat akan menghapuskan dosa yang telah lalu. Sungguh nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:

التائب من الذنب كمن لا ذنب له

Seorang yang bertaubat dari suatu dosa seperti orang yang tidak memiliki dosa tersebut” 

[HR.Ibnu Majah no. 4250 dan dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah]

Adapun penghasilan yang ia dapatkan dari pekerjaan tersebut (pekerjaan yang diperoleh dengan ijazah ‘uluum syari’ah –pen), maka yang nampak bahwa hal itu diperbolehkan selama pekerjaan itu bersifat mubah (bukan pekerjaan yang haram –pen).“


Tanya (2):

“Apakah diperbolehkan mempelajari ilmu agama guna meraih ijazah?”

Jawab:

Lembaga Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah menjawab:

“Tidak apa-apa ia belajar untuk mengambil ijazah, namun ia wajib untuk memperbaiki niat dalam dirinya agar tujuan ia belajar semata-mata hanya karena Allah. Ia mengambil ijazah hanya untuk membantunya dalam ketaatan pada Allah dan rasul-Nya, lalu memberikan pelayanan pada kaum muslimin”

Berikut teks fatwanya,

ما القول فيمن نال الشهادة الجامعية في علوم الشريعة ونيته الوظيفة فهل يكون داخلا في حديث الوعيد أم أن التوبة تمحو عنه ذلك ؟
وهل بحصوله على الوظيفة بهذه الشهادة يصبح كسبه منها حراما ؟.

الحمد لله
ينبغي للإنسان أن يحسن النية في طلب العلم ، فيطلبه ابتغاء مرضاة الله تعالى ، وينوي رفع الجهل عن نفسه وعن غيره ، وإذا سعى للحصول على شهادة من أجل الوظيفة ، فلا حرج في ذلك ، وينوي الاستعانة بهذه الوظيفة على طاعة الله تعالى ، وخدمة المسلمين .

أما إذا كانت نيته محصورة في الوظيفة من أجل الراتب أو المنصب ونحو ذلك من أمور الدنيا ، ولم ينو الاستعانة على طاعة الله ولا نفع المسلمين ، ولا غير ذلك من النيات الصالحة ، فهو على خطر عظيم ، ويدخل في الوعيد الشديد الوارد في قول الرسول صلى الله عليه وسلم : ( من تعلم علماً مما يبتغي به وجه الله عز وجل ، لا يتعلمه إلا ليصيب به عرضاً من الدنيا ، لم يجد عرف الجنة يوم القيامة ) يعني ريحها . رواه أبو داود ( 3664) وصححه الألباني في صحيح أبي داود .

وعليه أن يصحح نيته ، ويتوب إلى الله تعالى فإن التوبة تمحو ما سبق من الإثم ، فقد قال النبي صلى الله عليه : ( التائب من الذنب كمن لا ذنب له ) . رواه ابن ماجة (4250) وحسنه الألباني في صحيح ابن ماجة .

وأما الكسب الناشئ عن الوظيفة بهذه الشهادة ، فالذي يظهر أنه لا حرج فيه ، مادام العمل الذي يقوم به مباحاً .

وقد سئلت اللجنة الدائمة : هل يجوز الدراسة الدينية من أجل الشهادة ؟
فأجابت : لا بأس أن يدرس لأخذ الشهادة ، وعليه أن يجاهد نفسه في إصلاح النية حتى تكون الدراسة لله وحده ، وأن يكون أخذ الشهادة ليستعين بها على طاعة الله ورسوله ، وخدمة المسلمين


Tanya (3):

“Sebagian penuntut ilmu syar’i merasa berat tatkala terbetik dalam diri mereka tujuan menuntut ilmu sekaligus mencari ijazah. Apa (nasehat Anda –pen) agar seorang penuntut ilmu dapat terhindar dari hal tersebut?”

Jawab:

Fadhilatus Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab:

[Pertama] Ia tidak boleh menuntut ilmu hanya untuk tujuan ijazah, namun ia harus menjadikan ijazah-ijazah tersebut sebagai sarana untuk memperoleh perkerjaan demi memberikan manfaat pada orang lain. Karena lapangan pekerjaan pada saat ini dibangun di atas ijazah-ijazah. Manusia pada umumnya tidak mampu untuk memberikan manfaat pada orang lain kecuali dengan menggunakan sarana ini. Dengan hal itu, maka niatnya selamat (dari hal-hal yang merusaknya –pen).

[Kedua] Seorang yang ingin menuntut ilmu, terkadang ia tidak mendapatkannya kecuali harus masuk dalam jenjang kuliah, lalu ia masuk dengan niat untuk menuntut ilmu. Maka ijazah yang ia peroleh setelah itu tidak berpengaruh pada niatnya.

[Ketiga] Diperbolehkan bagi seorang untuk berniat memperoleh dua kebaikan dengan pekerjaannya yaitu kebaikan dunia dan kebaikan akhirat, karena Allah berfirman:

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجاً * وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْراً

Barangsiapa yang bertakwa pada Allah, niscaya Allah akan memberikan padanya jalan keluar, lalu memberikan rizki padanya dari arah yang tidak disangka-sangka. Barangsiapa yang bertawakkal pada Allah, niscaya Allah akan mencukupinya. Sungguh Allah akan mewujudkan perkara-Nya. Sesungguhnya Allah telah membuat ketentuan bagi segala sesuatu” [QS. Ath-Thalaq: 2-3]

Dalam ayat ini terdapat anjuran bertakwa beserta iming-iming perkara duniawi. Jika ada yang menyatakan, “seorang yang menginginkan dunia dengan amalnya, bagaimana bisa dikatakan ikhlas”?

Jawabnya, ia telah mengikhlaskan ibadah dan tidak menginginkan (pujian -pen) manusia secara mutlak. Ia tidak bermaksud riya’ pada manusia, tidak pula ingin agar ibadahnya dipuji-puji. Ia hanya menginginkan perkara duniawi yang merupakan buah dari ibadah. Keadaannya tentu berbeda dengan seorang yang memberikan taqarrub kepada manusia dengan amalan yang ia ber-taqarrub pada Allah dengan amal tersebut, serta hanya menginginkan pujian mereka. Namun keinginan untuk memperoleh tujuan duniawi dapat mengurangi keikhlasannya, hingga dalam dirinya terdapat salah satu jenis kesyirikan. Kedudukan orang ini berada di bawah orang yang beramal semata-mata hanya menginginkan akhirat.

Oleh karena itu, aku ingin mengingatkan bahwa ketika membahas tentang manfaat-manfaat ibadah, ada sebagian manusia yang memalingkannya kepada manfaat-manfaat duniawi saja. Sebagai contoh, mereka menyatakan bahwa shalat adalah olah raga yang berguna bagi anggota tubuh atau puasa berguna untuk menghilangkan kelebihan (lemak –pen) dan mengatur pola makan.

Engkau tidak boleh menjadikan manfaat-manfaat duniawi sebagai pokok utama, inilah yang wajib bagimu. Sebab hal itu akan melemahkan keikhlasan dan menjadikan seorang lalai dari tujuan akhirat. Oleh karena itu, Allah ta’ala menjelaskan dalam kitab-Nya beberapa hikmah puasa, diantaranya menjadi sebab untuk memperoleh ketakwaan. Manfaat-manfaat diniyyah itulah yang merupakan pokok utama, sedangkan manfaat duniawi adalah nomor dua. Ketika kita berbicara pada kebanyakan manusia, hendaklah kita mengingatkan mereka tentang manfaat-manfaat diniyyah. Namun ketika kita berbicara pada tipe manusia yang tidak merasa cukup kecuali dengan perkara duniawi, maka kita mengingatkan mereka tentang manfaat diniyyah dan duniawi. Setiap perkataan harus diletakkan pada tempatnya masing-masing.”

Berikut teks fatwanya,

وسئل الشيخ ابن عثيمين رحمه الله : يتحرج بعض طلبة العلم الشرعي عند قصدهم العلم والشهادة فكيف يتخلص طالب العلم من هذا الحرج ؟
فأجاب : " يجاب على ذلك بأمور :

أحدهاأن لا يقصدوا بذلك الشهادة لذاتها ، بل يتخذون هذه الشهادات وسيلة للعمل في الحقول النافعة للخلق ؛ لأن الأعمال في الوقت الحاضر مبنية على الشهادات ، والناس غالبا لا يستطيعون الوصول إلى منفعة الخلق إلا بهذه الوسيلة وبذلك تكون النية سليمة .

الثانيأن من أراد العلم قد لا يجده إلا في هذه الكليات فيدخل فيها بنية طلب العلم ولا يؤثر عليه ما يحصل له من الشهادة فيما بعد .

الثالثأن الإنسان إذا أراد بعمله الحسنيين حسنى الدنيا ، وحسنى الآخرة فلا شيء عليه في ذلك ؛ لأن الله يقول : ( وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجاً * وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْراً ) الطلاق/2 -3 ، وهذا ترغيب في التقوي بأمر دنيوي .

فإن قيل : من أراد بعمله الدنيا كيف يقال بأنه مخلص ؟
فالجواب : أنه أخلص العبادة ولم يرد بها الخلق إطلاقا فلم يقصد مراءاة الناس ومدحهم على عبادته بل قصد أمرا ماديا من ثمرات العبادة ، فليس كالمرائي الذي يتقرب إلى الناس بما يتقرب به إلى الله ويريد أن يمدحوه به ، لكنه بإرادة هذا الأمر المادي نقص إخلاصه فصار معه نوع من الشرك وصارت منزلته دون منزلة من أراد الآخرة إرادة محضة .

وبهذه المناسبة أود أن أنبه على أن بعض الناس عندما يتكلمون على فوائد العبادات يحولونها إلى فوائد دنيوية ؛ فمثلا يقولون في الصلاة رياضة وإفادة للأعصاب ، وفي الصيام فائدة لإزالة الفضلات وترتيب الوجبات ، والمفروض ألا تجعل الفوائد الدنيوية هي الأصل ؛ لأن ذلك يؤدي إلى إضعاف الإخلاص والغفلة عن إرادة الآخرة ، ولذلك بين الله تعالى في كتابه حكمة الصوم - مثلا أنه سبب للتقوى ، فالفوائد الدينية هي الأصل ، والدنيوية ثانوية ، وعندما نتكلم عند عامة الناس فإننا نخاطبهم بالنواحي الدينية ، وعندما نتكلم عند ممن لا يقتنع إلا بشيء مادي فإننا نخاطبه بالنواحي الدينية والدنيوية ولكل مقام مقال "

Fadhilatus Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah berkata:

من أراد الشهادة ليتقوى بها على تبليغ العلم، والدعوة إلى الخير، فقد أحسن في ذلك، وإن أراد المال ليتقوى به فلا بأس أن يدرس ليتعلم وينال الشهادة التي يستعين بها على نشر العلم، وأن يقبل الناس منه هذا العلم، وأن يأخذ المال الذي يعينه على ذلك، فإنه لولا الله سبحانه ثم المال لم يستطع الكثير من الناس التعلم وتبليغ الدعوة. فالمال يساعد المسلم على طلب العلم، وعلى قضاء حاجته، وعلى تبليغه للناس، ولما ولي عمر رضي الله عنه أعمالا، أعطاه رسول الله صلى الله عليه وسلم مالا، قال: أعطه من هو أفقر مني فقال النبي صلى الله عليه وسلم: ((خذ هذا المال فتموله أو تصدق به وما جاءك من هذا المال وأنت غير مشرف ولا سائل فخذه وما لا فلا تتبعه نفسك)) خرجه مسلم في صحيحه. وأعطى النبي صلى الله عليه وسلم المؤلفة قلوبهم. 

ورغبهم حتى دخلوا في دين الله أفواجا، ولو كان حراما لم يعطهم، بل أعطاهم قبل الفتح وبعده. وفي يوم الفتح أعطى بعض الناس على مائة من الإبل، وكان يعطي عطاء من لا يخشى الفقر عليه الصلاة والسلام، ترغيبا في الإسلام ودعوة إليه. وقد جعل الله سبحانه للمؤلفة قلوبهم حقا في الزكاة، وجعل في بيت المال حقا لهم ولغيرهم من المدرسين والقضاة، وغيرهم من المسلمين. والله ولي التوفيق.

“Barangsiapa yang ingin mengambil ijazah maupun harta (gaji –pen) untuk menguatkannya dalam menyebarkan kebaikan, ilmu dan dakwah, maka ia telah berbuat baik. Diperbolehkan baginya menuntut ilmu demi meraih ijazah yang dapat membantunya dalam menyebarkan ilmu, agar ilmunya lebih diterima oleh manusia. Diperbolehkan pula mengambil harta (gaji –pen) agar membantunya dalam mewujudkan hal tersebut.

Sebab jika bukan karena Allah subhanahu, kemudian harta niscaya kebanyakan manusia tidak akan mampu untuk menuntut ilmu dan berdakwah. Harta akan membantu seseorang untuk menuntut ilmu, mencukupi kebutuhannya, serta membantu tersebarnya dakwah pada manusia. Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menunjuk Umar sebagai pemimpin dalam suatu tugas, beliau memberikannya harta, lalu Umar berkata: "berikanlah harta ini kepada orang yang lebih miskin dariku", maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab:

خذ هذا المال فتموله أو تصدق به وما جاءك من هذا المال وأنت غير مشرف ولا سائل فخذه وما لا فلا تتبعه نفسك

Ambillah harta ini untuk kau miliki atau sedekahkanlah, apa yang datang kepadamu berupa harta sedangkan engkau tidak berlebih-lebihan, tidak pula meminta-minta dalam memperolehnya, maka ambillah. Jika tidak demikian, maka janganlah engkau mengikuti keinginan jiwamu” [Dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahih Muslim]”


Sumber: -   Majmuu’ Fataawaa wa Maqaalaat Mutanawwi’ah juz 7
-   Majmuu’ Fatawa war Rasaa’il Ibnu Utsaimin, 2/165
-   Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 12/103


Diterjemahkan oleh Abul-Harits di Madinah, 10 Shafar 1435 H

3 comments:

  1. Afwan ustad, orang tua saya pegawai negri yg dharuskan untk hormat pd bndera saat upacara. Bagaimana hukum ny?jazaakalloh khairan

    ReplyDelete
  2. Ustadz, apakah anak-anak kita tidak boleh menempuh pendidikan formal di negeri yang menganut sistem Demokrasi, misalnya melalui SDIT atau MI yang menerapkan kurikulum salafiyah meski tidak bisa sempurna karena peraturan kementerian terkait?

    ReplyDelete
  3. Telah kita ketahui bahwa kurikulum resmi pemerintah mengajarkan aqidah Asy'ari dalam penetapan sifat Allah, kemudian juga terdapat penyimpangan aqidah dalam pelajaran PKN seperti pernyataan bahwa semua agama benar, toleransi dalam ushuluddin antar umat beragama, dan semisalnya. Hal ini tentu membutuhkan tashfiyah dan tarbiyyah dari para pengajar di sekolah tersebut.

    Apabila kurikulum yang diterapkan yang lebih dominan adalah kurikulum salafiyyah, para pengajarnya memiliki ilmu yang mapan, serta aqidah dan manhaj yang lurus, kemudian mereka mampu untuk menjelaskan penyimpangan-penyimpangan aqidah yang ada, maka silahkan antum menyekolahkan anak-anak antum di sekolah tersebut.

    Pertanyaan semisal juga disampaikan oleh penanya dari Aljazair kepada Asy-Syaikh Ubaid Al-Jabiri hafizhahullah dalam sesi tanya jawab pelajaran Aqidah Ar-Raziyain di Masjid Ridhwan, Madinah. Bentuk pertanyaannya, dijelaskan kepada syaikh bahwa di sekolah tersebut sebagian kurikulumnya menyelisihi aqidah salaf yaitu mengajarkan aqidah Asy'ari. Namun Asy-Syaikh Ubaid tidak melarang penanya masuk ke sekolah itu selama ia mengetahui aqidah salaf dalam permasalahan tersebut dan ia juga tetap aktif mengikuti kajian para da'i yang menyeru pada dakwah salaf. Allahua'lam

    ReplyDelete