Tuesday, December 11, 2012

Membaca Bismillah Sebelum Berwudhu, Wajib atau Sunah?

Sebagaimana telah disinggung dalam judul artikel, para ulama memiliki dua pendapat dalam permasalahan ini :

[Pertama] Diwajibkan tasmiyyah (membaca bismillah) ketika berwudhu, barangsiapa yang sengaja meninggalkannya maka ia berdosa.

Diantara ulama yang mengikuti pendapat ini adalah Al-Hasan Al-Bashri, Ishaq bin Rahawaih, Imam Ahmad dalam satu riwayat dan sebagian Dzahiriyyah rahimahumullah. [Al-Mughni 1/119, Al-Majmu’ 1/387, Nailul Authar 1/173, Al-Hawi Al-Kabir 1/116, Al-Inshaf 1/128 dan Subulus Salam 1/80]

Mereka berdalil dengan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

لا صلا ة لمن لا وضوء له ولا وضوء لمن لم يذ كر اسم الله عليه

“Tidak sah shalat tanpa berwudhu, dan tidak sah wudhu tanpa menyebut nama Allah padanya”

[Dikeluarkan oleh Abu Daud no. 101, Ibnu Majah no. 399, At-Tirmidzi dalam Al-‘Ilal Al-Kabir no. 18, Ahmad dalam Al-Musnad 2/418, Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra 1/14, Ad-Daraquthni  1/79, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 1/147, Ath-Thayalisi no. 2422, Ath-Thahawi dalam Syarh Ma’ani Al-Atsar 1/26, Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Ausath no. 8080, Ibnul-Jauzi dalam At-Tahqiq 1/141, Al-Baghawi dalam Syarh As-Sunnah no. 209 dan Al-Mizzi dalam Tahdzibul Kamal 11/332] 

Seluruhnya melaui jalan Muhammad bin Musa, dari Ya’qub bin Salamah Al-Laitsi, dari ayahnya, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata tentang biografi Ya’qub bin Salamah Al-Laitsi:

“Ia adalah seorang yang sedikit haditsnya, tidak meriwayatkan dari perawi tsiqat selain Muhammad bin Musa. Sedangkan ayahnya adalah perawi yang majhul, tidak ada yang meriwayatkan hadits darinya selain anaknya.” [Nata’ijul Afkar, 1/226]

Hadits ini memiliki syawahid, diantaranya :

1.   Hadits Sa’id bin Zaid radhiyallahu ‘anhu

Dikeluarkan oleh At-Tirmidzi dalam As-Sunan no. 25 dan Al-‘Ilal no. 16, Ibnu Majah no. 398, Ahmad 5/381 dan 6/382, Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 1/12-14, Ath-Thayalisi dalam Al-Musnad no. 243, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 4/60, Ad-Daraquthni no. 1/72, Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra 1/43, Ath-Thahawi dalam Syarh Ma’ani Al-Atsar 1/26, Ibnul Mundzir dalam Al-Ausath 1/367, Al-‘Uqaili dalam Adh-Dhu’afa Al-Kabir 1/177, Abu Ya’la dalam Al-Mu’jam no. 255, Ibnul Jauzi dalam At-Tahqiq 1/138, Ath-Thabrani dalam Ad-Du’a no. 373,378 dan Abu ‘Ubaid dalam Ath-Thuhur no. 52

Seluruhnya melalui jalan Abdurrahman bin Harmalah, dari Abu Tsafal Tsumamah bin Wa’il, dari Rabah bin Abdurrahman, dari kakeknya, dari Sa’id bin Zaid dengan lafadz

 لا وضوء لمن لم يذ كر اسم عليه
Al-Hafidz Az-Zaila’i rahimahullah berkata :

“Terdapat tiga perawi majhul hal yakni kakek dari Rabah tidak diketahui nama dan keadaannya, tidak diketahui selain dalam sanad ini, demikian pula Rabah dan Abu Tsafal adalah perawi majhul.” [Nashbur Rayah 1/4]

Ibnu Abi Hatim rahimahullah berkata :

“Hadits ini tidak shahih menurut kami, Abu Tsafal dan Rabah adalah perawi majhul” [Al-‘Ilal 1/52]

2.  Hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu

Dikeluarkan oleh At-Tirmidzi dalam Al-‘Ilal no. 17, Ibnu Majah no. 397, Ahmad 3/41, Ad-Darimi dalam As-Sunan no. 691, Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 1/12, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 1/147, Ad-Daraquthni no. 1/71, Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra 1/43, Abu Ya’la dalam Al-Mu’snad no. 1060, Ath-Thabrani dalam Ad-Du’a no. 380 dan Abu ‘Ubaid dalam Ath-Thuhur no. 53, Ibnu As-Sunni dalam ‘Amal Al-Yaum wal Lailah no. 26 dan ‘Abdun bin Humaid dalam Al-Muntakhab no.910.

Seluruhnya melalui jalan Katsir bin Zaid, dari Rabih bin Abdurrahman, dari ayahnya, dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu.

Katsir bin Zaid dilemahkan oleh Ya’qub bin Salamah dan An-Nasa’i, dinilai tsiqah oleh Ibnu Hibban dan Ibnu ‘Ammar Al-Mushily, dinyatakan shaduq oleh Abu Zur’ah, Abu Hatim, Ibnu ‘Adi dan ini pula yang dinyatakan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahumullah dalam Taqribut Tahdzib.

Rabih bin ‘Abdurrahman dinilai tsiqah oleh Ibnu Hibban, Ahmad berkata: “rajulun laisa bima’ruf”, Abu Zur’ah berkata: “syaikh”, Ibnu ‘Adi berkata: “arju’ la ba’sa bihi”, sedangkan Al-Bukhari berkata: “munkarul hadits”.

3.   Hadits Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu

Dikeluarkan oleh Ibnu Majah no. 400, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 1/269 dan Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir no. 5699 melaui jalan Ibnu Abi Fudaik, dari Abdul Muhaimin bin Abbas, dari ayahnya, dari Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu.

Abdul Muhaimin dha’if jiddan, An-Nasa’i berkata: “laisa bitsiqah”, Al-Bukhari berkata: “munkarul hadits”, Abu Hatim berkata: “munkarul hadits”, As-Saji berkata: “fiha manakir”.

Dan masih banyak hadits lain yang dapat dijadikan sebagai syawahid, silahkan merujuk kitab Kasyfu Al-Makhbu’ bitsubut hadits At-Tasmiyyah ‘inda Al-Wudhu karya Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini hafidzahullah untuk menelaah takhrij hadits secara lengkap.

Al-Hafidz Al-Mundziriy rahimahullah berkata :
وفي الباب أحاديث كثيرة لا يسلم شيء منها من مقال وقد ذهب الحسن وإسحاق بن راهوية وأهل الظاهر إلى وجوب التسمية في الوضوء حتى أنه إذا تحمد تركها أعاد الوضوء وهو رواية عن الإمام أحمد ولا شك أن الأحاديث التي وردت ليها وإن كان لا يسلم شيء منها عن مقال فإنها تتعاضد بكثرة طرقها وتكتب قوة

“Dalam bab ini terdapat banyak hadits yang kesemuanya tidak luput dari pembicaraan. Al-Hasan, Ishaaq bin Raahawaih, dan ahlu-zhaahir berpendapat wajibnya tasmiyyah (membaca basmalah) ketika wudlu. Sampai-sampai mereka berpendapat jika ditinggalkan dengan sengaja wajib untuk mengulangi wudlunya. Ini adalah salah satu riwayat (yang ternukil) dari Al-Imam Ahmad. Tidak diragukan lagi bahwa hadits-hadits yang diriwayatkan dalam masalah ini – meskipun tidak luput dari pembicaraan (tentang ke-dla’if-annya) – namun saling menguatkan satu dengan lainnya karena banyaknya jalan” [At-Targhib wat-Tarhib 1/225].
 Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
وَالظَّاهِرُ أَنَّ مَجْمُوعَ الْأَحَادِيثِ يَحْدُثُ مِنْهَا قُوَّةٌ تَدُلُّ عَلَى أَنَّ لَهُ أَصْلًا

“Zhahirnya, hadits-hadits ini secara keseluruhan saling menguatkan dan menunjukkan bahwa hadits ini ada asalnya” [At-Talkhishul-Habir, 1/257]
Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata:
حديث صحيح، وقواه المنذري، والحافظ العسقلاني، وحسنه ابن الصلاح، وقال الحافظ ابن كثير: إنه حديث حسن أو صحيح وقال ابن أبي شيبة: إنه ثبت
“Hadits ini shahih, dinyatakan kuat oleh Al-Mundziri, Al-Hafidz Al-‘Asqalani dan dihasankan oleh Ibnus-Shalah. Al-Hafidz Ibnu Katsir berkata: “hadits ini hasan atau shahih”. Ibnu Abi Syaibah berkata: “hadits ini tsabit”. [Shahih Abu Daud 1/169]

[Kedua] Disunahkan tasmiyyah (membaca bismillah) ketika berwudhu.
Diantara ulama yang mengikuti pendapat ini adalah Sufyan Ats-Tsauri, Rabi’ah bin Abdirrahman, Al-Hanafiyyah, Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad dalam satu riwayat, Abu ‘Ubaid Al-Qasim bin Salam dan Ibnul Mundzir rahimahumullah. [Al-Ausath 1/367, Al-Mughni 1/119, Nailul Authar 1/173, Al-Majmu’ 1/387, Al-Umm 1/49 dan Al-Inshaf 1/128]
Mereka berdalil dengan firman Allah,

“Wahai orang-orang yang beriman, ketika kalian hendak menunaikan shalat basuhlah wajah dan tangan kalian hingga siku, usaplah kepala kalian dan basuhlah kaki kalian hingga mata kaki.” [Al-Maidah : 6]

Dan hadits Rifa’ah bin Rafi’ radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

لا تتم صلاة أحدكم حتى يسبغ الوضوء كما أمره الله يغسل وجهه و يديه إلى المرفقين و يمسح رأسه و رجليه إلى الكعبين

“Tidak sempurna shalat salah seorang kalian hingga ia membaguskan wudhunya sebagaimana yang Allah perintahkan, membasuh wajah dan kedua tangannya sampai siku, mengusap kepalanya dan membasuh kedua kakinya hingga mata kaki.” [Dikeluarkan oleh Abu Daud no. 858, An-Nasa’i dalam Al-Kubra no. 1631 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abu Daud]

Dalam ayat dan hadits di atas, Allah dan rasul-Nya menjelaskan kewajiban-kewajiban wudhu tanpa menyebutkan tasmiyyah. Seandainya tasmiyyah dihukumi wajib niscaya disebutkan dalam ayat dan hadits.

Tarjih

Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat kedua, Allahua’lam. Adapun hadits Abu Hurairah yang dijadikan dalil pendapat pertama masih diperselisihkan keshahihannya. Sebagian ulama mendha’ifkannya seperti Imam Ahmad, Al-Bukhari, Abu Hatim, Abu Zur'ah, Al-'Uqaili, dll rahimahumullah.

Seandainya hadits tersebut shahih, sebagaimana dikuatkan oleh para ulama mutakhirin, maka dalil-dalil pendapat kedua dapat memalingkan hukum dari wajib menjadi sunah. Peniadaan hukum (nafyu) dalam hadits Abu Hurairah dipahami sebagai peniadaan kesempurnaan ibadah (nafyul kamal) bukan peniadaan sahnya hukum ibadah (nafyus shihhah).

Ringkasnya hadits tersebut diterjemahkan “Tidak sempurna wudhu seseorang tanpa menyebut nama Allah padanya”. Pendapat ini dirajihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah.

Wal’ilmu ‘indallah

Disarikan oleh Abul-Harits dari Shifat Wudhu Nabi karya Syaikh Muhammad Rajab hafizhahullah di Madinah, 27 Muharram 1434 H

No comments:

Post a Comment