Para ulama
dari kalangan sahabat, tabi’in hingga imam madzhab yang empat berselisih
tentang disyariatkannya doa qunut Subuh.
Pendapat
pertama,
qunut subuh disunahkan mudawamah (terus menerus dilakukan).
Diantara
ulama yang berpendapat sunnahnya adalah Asy-Syafi’i, Malik, Ibnu Abi Laila,
Al-Hasan bin Shalih, Dawud Azh-Zhahiri dan Ahmad bin Hambal dalam salah satu
riwayat rahimahumullah.
Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata:
وأما الفقهاء الذين دارت عليهم الفتيا في الأمصار
فكان مالك، وابن أبي ليلى، والحسن بن حي، والشافعي، وأحمد بن حنبل، وداود، يرون
القنوت في الفجر. قال الشافعي وأحمد: بعد الركوع، وقال مالك: قبل الركوع
“Para
fuqaha’ yang menjadi rujukan fatwa di berbagai negeri seperti Malik, Ibnu Abi
Laila, Al-Hasan bin Hay, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hambal dan Dawud berpendapat
disyariatkannya qunut subuh. Asy-Syafi’i dan Ahmad berpendapat qunut dilakukan
setelah ruku’, sedangkan Malik berpendapat sebelum ruku’. [Al-Istidzkar, 2/294]
Al-Imam Ibnu
Qudamah Al-Maqdisiy rahimahullah berkata:
وَقَالَ مَالِكٌ، وَابْنُ أَبِي لَيْلَى،
وَالْحَسَنُ بْنُ صَالِحٍ، وَالشَّافِعِيُّ: يُسَنُّ الْقُنُوتُ فِي صَلَاةِ
الصُّبْحِ، فِي جَمِيعِ الزَّمَانِ
“Malik, Ibnu
Abi Laila, Al-Hasan bin Shalih dan Asy-Syafi’i berpendapat disunahkannya qunut
subuh di seluruh waktu (tidak hanya dilakukan saat nawazil)” [Al-Mughniy,
2/585]
Al-Atsram
pernah bertanya kepada Al-Imam Ahmad bin Hambal:
فلِمَ ترخص إذاً في القنوت قبل الركوع، وإنما صح
الحديثُ بعد الركوع؟
“Kenapa
engkau memberikan keringanan doa qunut sebelum ruku’? Bukankah dalam hadits
yang shahih hanya menyebutkan qunut setelah ruku’?
Al-Imam
Ahmad bin Hambal rahimahullah menjawab:
القنوت في الفجر بعد الركوع، وفي الوتر يُختار بعد
الركوع، ومن قنت قبل الركوع، فلا بأس، لفعل أصحاب النبي
“Qunut subuh
dilakukan setelah ruku’, sedangkan qunut witir dilakukan setelah ruku’ menurut
pendapat yang terpilih. Barangsiapa yang melakukan qunut sebelum ruku’, tidak
apa-apa, berdasarkan perbuatan para sahabat Nabi” [Zaadul Ma’aad, 1/118]
Mereka berdalil dengan beberapa riwayat berikut:
[1] Hadits Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
أن النبي صلى الله عليه وسلم قنت شهرًا
يدعو عليهم - أي: على قاتلي القراء - ثم ترك، فأمَّا في الصبح فلم يزل يقنت حتى
فارق الدنيا
“Bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan qunut selama sebulan mendoakan kejelekan
atas mereka (orang kafir yang membunuh para penghafal Al-Qur’an) kemudian
beliau meninggalkannya. Adapun pada shalat Subuh, maka beliau senantiasa
melakukan qunut hingga beliau berpisah dengan dunia” [HR. Al-Baihaqi (2/201),
Ad-Daraquthni (2/370), Ibnu Abi Syaibah (2/312) dan lainnya]
Hadits ini
dishahihkan oleh Al-Baihaqi, Al-Hakim, Al-Haitsami, Muhammad bin Ali Al-Balkhi
dan An-Nawawi, serta dihasankan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar[1]
rahimahumullah.
Al-Hakim
rahimahullah berkata:
هذا إسناد صحيح سنده، ثقة رواته
“Sanad
hadits ini shahih, para perawinya tsiqah”
Al-Haitsami
rahimahullah berkata:
رجاله موثقون
“Para
perawinya tsiqah” [Majma’ Az-Zawa’id, 2/331]
An-Nawawi
rahimahullah berkata:
وهو حديث صحيح رواه جماعة من الحفاظ وصححوه، وممن نص على صحته الحافظ أبو عبد الله محمد بن علي البلخي والحاكم أبو عبد الله في مواضع من كتبه والبيهقي، ورواه الدارقطني من طرق بأسانيد صحيحة
“Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh sekelompok huffazh dan mereka menshahihkannya. Diantara ulama yang menshahihkannya adalah Al-Hafizh Abu Abdillah Muhammad bin Ali Al-Balkhiy dan Al-Hakim Abu Abdillah dalam beberapa tempat dalam kitabnya, demikian pula dishahihkan oleh Al-Baihaqi. Ad-Daraquthni juga meriwayatkannya dari beberapa jalan dengan sanad-sanad yang shahih” [Al-Majmuu’ Syarh Al-Muhadzab, 3/484]
Para ulama
yang tergabung dalam lembaga fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah berkata:
واستدلوا أيضا بما
روي من أن النبي صلى الله عليه وسلم " لم يزل يقنت في الصبح حتى فارق الدنيا
" ، ونوقش بأن هذه الجملة وردت في بعض الأحاديث لكنها ضعيفة ؛ لأنها من طريق
أبي جعفر الرازي
وقد قال فيه عبد
الله بن أحمد : ليس بالقوي ، وقال علي بن المديني : إنه يخلط ، وقال عمرو بن علي
الفلاس : صدوق سيئ الحفظ ، وإنما أخذ به من أخذ من الأئمة لتوثيق جماعة من أهل
الجرح والتعديل أبا جعفر الرازي ولشهادة بعض الأحاديث له
“Mereka
(ulama yang menyunahkan qunut Subuh) juga berdalil dengan apa yang diriwayatkan
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau senantiasa qunut Subuh
hingga berpisah dengan dunia”. Dijawab bahwa riwayat yang menyebutkan demikian
dalam sebagian hadits adalah lemah, karena diriwayatkan dari jalur Abu Ja’far
Ar-Razi.
Abdullah bin
Ahmad berkata tentangnya “tidak kuat”. Ali bin Al-Madini berkata: “hafalannya
bercampur”. Amr bin Ali Al-Fallas berkata: “Jujur, namun hafalannya jelek”.
Meskipun demikian, sebagian ulama masih mengambil riwayatnya karena sekelompok
ulama jarh wa ta’dil masih menguatkan Abu Ja’far Ar-Razi, dan juga disebabkan
adanya penguat (syawahid) dari riwayat hadits yang lain…” [Fatawa Al-Lajnah
Ad-Da’imah, 7/42-45]
Perselisihan
ulama tentang keshahihan hadits Anas disebabkan oleh perselisihan ulama jarh wa
ta’dil dalam menilai Abu Ja’far Ar-Razi. Kesimpulan penilaian Al-Hafizh Ibnu Hajar
terhadapnya adalah “shaduuq sayyi’ul hifzh (jujur namun hafalannya lemah)”[2],
sehingga hadits yang ia riwayatkan minimalnya berstatus hasan lidzatihi, jika
para perawi yang lain seluruhnya tsiqah. Bahkan haditsnya bisa berderajat
shahih lighairi, jika terdapat riwayat lain yang menguatkannya.
[2] Hadits Al-Barra’ bin
Azib radhiyallahu anhu,
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يقنت
في الصبح والمغرب
“Bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa qunut pada shalat Subuh dan
Maghrib” [HR. Muslim no. 678 dan Abu Daud no. 1441]
Jika ada
yang menyanggah, dalam hadits yang Anda bawakan disebutkan bahwa Rasulullah
qunut pada shalat Subuh dan Maghrib, kenapa Anda hanya mencukupkan qunut saat
shalat Subuh saja?
Pernyataan
ini dijawab oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dari dua sisi:
ولا يضر ترك الناس القنوت في صلاة المغرب؛
لأنه ليس بواجب أو دل الإجماع على نسخه فيها
“Tidak
apa-apa manusia meninggalkan qunut pada shalat Maghrib, dikarenakan:
(Pertama)
qunut tidaklah wajib, atau
(Kedua)
ijma’ (kesepakatan ulama) telah menunjukkan dihapuskannya qunut Maghrib
(mansukh)” [Al-Majmuu’, 3/484]
Ijma’ ulama
tentang mansukh-nya qunut Maghrib juga dinukil oleh Al-Imam Ibnu Qutaibah
rahimahullah. Beliau berkata:
الناس لا يختلفون في
ترك القنوت في المغرب
“Manusia (ulama)
tidak berselisih tentang ditinggalkannya qunut pada shalat Maghrib” [Ta’wil
Mukhtalifil Hadits hal. 262]
[3] Beberapa riwayat dari
sahabat Nabi tentang qunut Subuh.
Riwayat
pertama, dari Al-Awwaam bin Hamzah rahimahullah, ia berkata:
سألت أبا عثمان عن القنوت في الصبح
“Aku
bertanya kepada Abu Utsman tentang Qunut Subuh”
Ia berkata:
بعد الركوع
“Setelah
ruku’ ”
Aku berkata:
عمن؟
“Diriwayatkan
dari siapa?”
Ia menjawab:
عن أبي بكر وعمر وعثمان رضي الله
تعالى عنهم
“Dari Abu
Bakar, Umar dan Utsman radhiyallahu ‘anhum”.
Al-Baihaqi
berkata saat menilai atsar di atas:
هذا إسناد حسن
”Sanad atsar
ini hasan” [As-Sunan Al-Kubra no. 2/202]
Riwayat kedua, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
صليت خلف رسول الله صلى الله عليه وسلم
فقنت ، وخلف عمر فقنت ، وخلف عثمان فقنت
“Aku shalat
di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau qunut. Aku juga
shalat di belakang Umar, ia pun qunut. Aku juga shalat di belakang Utsman, ia
pun qunut” [HR. Al-Baihaqi, 2/202]
Riwayat
ketiga, dari Thariq bin Syihab, ia berkata:
صليت خلف عمر الصبح فقنت
“Aku shalat
Subuh di belakang Umar, ia pun qunut” [HR. Al-Baihaqi, 2/203]
Riwayat
keempat, dari Ubaid bin Umair, ia berkata:
سمعت عمر يقنت هاهنا في الفجر
بمكة
“Aku
mendengar Umar melakukan qunut Subuh di sini yaitu di Mekah” [HR. Al-Baihaqi,
2/203]
Riwayat
kelima, dari Al-Aswad bin Yazid, ia berkata:
صليت خلف عمر بن الخطاب رضي الله
عنه في السفر والحضر، فما كان يقنت إلا في صلاة الفجر
“Aku shalat
di belakang Umar bin Al-Khathab radhiyallahu ‘anhu saat safar dan mukim. Beliau
tidak qunut kecuali pada shalat Subuh” [HR. Al-Baihaqi, 2/203]
Riwayat
keenam, dari Abu Raja’, ia berkata:
صلى ابن عباس صلاة الصبح في هذا
المسجد فقنت
“Ibnu Abbas
shalat Subuh di masjid ini, ia pun qunut” [HR. Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah,
3/124]
Riwayat
ketujuh, dari Abdullah bin Ma’qil, ia berkata:
قنت علي رضي الله عنه في الفجر
“Ali
radhiyallahu ‘anhu melakukan qunut shalat Subuh” [HR. Al-Baihaqi, 2/204]
Al-Baihaqi
memberikan komentar terhadap atsar-atsar yang ia riwayatkan dari sahabat tentang
tetapnya qunut:
وهذه روايات صحيحة موصولة
“Riwayat-riwayat
ini shahih dan bersambung”
Pendapat
kedua,
qunut subuh adalah bid’ah atau tidak disyariatkan kecuali saat terjadi nawazil
(musibah yang menimpa kaum muslimin).
Diantara
ulama yang memegang pendapat ini adalah Abu Hanifah, Ahmad dalam salah satu
riwayat, Abdullah bin Al-Mubarak dan Ishaq bin Rahawaih rahimahumulah.
Abu Ja’far
Ath-Thahawi Al-Hanafi rahimahullah berkata:
إنما لا يقنت عندنا في الفجر من غير بلية فإن وقعت فتنة أو بلية فلا بأس به فعله رسول الله صلى الله عليه وسلم أي بعد الركوع
“Menurut
kami (madzhab Hanafi), tidak disyariatkan qunut Subuh kecuali dikarenakan
musibah. Apabila terjadi fitnah atau musibah, maka tidak apa-apa. Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam telah melakukannya yaitu setelah ruku’” [Hasyiyyah
Ath-Thahawi ‘ala Maraaqil-Falaah hal. 377]
Al-Mardawiy Al-Hambali
rahimahullah berkata:
الصحيح من المذهب: أنه يكره القنوت في الفجر كغيرها وعليه الجمهور وقال في الوجيز: لا يجوز القنوت في الفجر.
“Yang benar
dalam madzhab (Hambali) bahwa dimakruhkan melakukan qunut Subuh seperti dalam
shalat yang lain. Ini adalah pendapat jumhur ulama. Dalam kitab Al-Wajiz
disebutkan, tidak diperbolehkan melakukan qunut Subuh” [Al-Inshaaf, 2/174]
Berikut
beberapa dalil yang digunakan pendapat ini:
[1] Hadits Abu Malik Thariq
bin Asyim Al-Asyja’i rahimahullah, ia berkata:
قلت لأبي: يا أبت إنك قد صليت خلف رسول الله صلى
الله عليه وسلم وأبي بكر وعمر وعثمان وعلي بن أبي طالب هاهنا بالكوفة، نحوا من خمس
سنين، أكانوا يقنتون؟
“Wahai
ayahku, engkau pernah shalat di belakang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam, Abu Bakr, Umar, Utsman, dan Ali di sini, yaitu di Kufah selama
kurang lebih lima tahun. Apakah mereka melakukan qunut?”
Ayahku
berkata:
أي بني محدث
“Wahai
anakku, itu adalah perbuatan muhdats (perkara baru)” [HR. At-Tirmidzi no.
402, Ibnu Majah no. 1241 dan Ahmad (3/472)]
Al-Imam
At-Tirmidzi rahimahullah berkata:
واختلف أهل العلم في القنوت في صلاة الفجر، فرأى بعض أهل العلم من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم وغيرهم القنوت في صلاة الفجر. وهو قول الشافعي.
وقال أحمد،
وإسحق: لا يقنت في الفجر إلا عند نازلة تنزل بالمسلمين، فإذا نزلت نازلة فللإمام
أن يدعو لجيوش المسلمين.
“Para ulama
berselisih mengenai qunut shalat Shubuh. Sebagian ulama dari kalangan shahabat
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan selain mereka berpendapat
disyariatkannya qunut pada shalat Shubuh. Ini merupakan pendapat Asy-Syafi’i.
Ahmad dan Ishaq berkata: “Qunut tidak dilakukan pada shalat Shubuh, kecuali
jika ada musibah yang menimpa kaum muslimin. Jika ada musibah yang menimpa kaum
muslimin, maka imam mendoakan (kebaikan/kemenangan) untuk pasukan kaum muslimin”
والعمل عليه عند أكثر أهل العلم.
وقال سفيان الثوري إن قنت في الفجر فحسن، وإن لم يقنت فحسن واختار أن لا يقنت. ولم ير ابن المبارك القنوت في الفجر.
“(Hadits Abu
Malik Al-Asyja’i di atas) diamalkan oleh kebanyakan ulama. Sufyan Ats-Tsauri
berkata: “Apabila seseorang melakukan qunut di waktu shalat Shubuh, maka itu
baik. Jika tidak melakukannya, itu pun baik’. Sufyan Ats-Tsauri memilih untuk
tidak qunut. Ibnul-Mubarak tidak berpendapat adanya qunut pada shalat Shubuh”
[Jami’ut Tirmidzi, 1/427]
[2] Beberapa riwayat dari
sahabat Nabi tentang qunut Subuh.
Riwayat
pertama, dari Al-Aswad bin Yazid dan Amru bin Maimun, keduanya berkata:
صَلَّيْنَا خَلْفَ عُمَرَ بْنِ
الْخَطَّابِ الْفَجْرَ، فَلَمْ يَقْنُتْ
“Kami pernah
shalat Subuh di belakang Umar bin Al-Khathab, ia tidak qunut” [HR. Abdurrazaq,
3/106]
Riwayat
kedua, dari Al-Aswad, ia berkata:
كَانَ عَبْدُ اللَّهِ، لا
يَقْنُتُ فِي صَلاةِ الْغَدَاةِ، وَإِذَا قَنَتَ فِي الْوِتْرِ قَنَتَ قَبْلَ
الرَّكْعَةِ
“Dahulu
Abdullah (bin Mas’ud) tidak qunut saat shalat Subuh. Jika beliau qunut saat
shalat Witir, ia qunut sebelum ruku’” [HR. Ath-Thabarani, 9/272]
Riwayat
ketiga, dari Sa’id bin Jubair, ia meriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar,
أَنَّهُمَا كَانَا لَا
يَقْنُتَانِ فِي الْفَجْرِ
“Bahwa
keduanya tidak qunut Subuh” [HR. Ibnu Abi Syaibah, 2/309]
Tarjih
Sekilas kita
lihat dalil pendapat pertama dan kedua. Riwayat-riwayat yang menjadi dalil
pendapat pertama menetapkan adanya qunut Subuh. Sedangkan beberapa riwayat yang
dibawakan pendapat kedua meniadakan qunut Subuh. Jika kedua riwayat
tersebut sama-sama shahih, riwayat manakah yang didahulukan?
Riwayat
hadits yang dibawakan pendapat pertama adalah mutsbit (menetapkan) qunut, sedangkan
riwayat hadits pendapat kedua adalah nafi (meniadakan) qunut. Menurut kaidah
ushuliyyah [والمثبت مقدم على النافي] artinya seorang yang menetapkan sesuatu
lebih didahulukan dari seorang yang meniadakan, karena seorang yang menetapkan
(al-mutsbit) memiliki tambahan ilmu yang tidak dimiliki orang yang meniadakan
(an-nafi). Atau dengan kata lain, seorang yang menetapkan (al-mutsbit) menghafal
apa yang tidak dihafal oleh orang yang meniadakan (an-nafi).
Al-Imam
Al-Baihaqiy rahimahullah berkata:
نسيان بعض الصحابة ، أو غفلته عن
بعض السنن ، لا يقدح في رواية من حفظه وأثبته
“Sebagian sahabat
yang lupa atau lalai terhadap sebagian sunnah tidak menjadikan cela terhadap
riwayat perawi yang menghafal dan menetapkannya”
Al-Baihaqiy
juga berkata:
طارق بن أشيم الأشجعي لم يحفظه
عمن صلى خلفه ، فرآه محدثا ، وقد حفظه غيره
“Thariq bin
Asyim Al-Asyja’i tidak menghafal orang yang shalat di belakang imamnya,
sehingga ia menganggap qunut Subuh bid’ah. Sungguh para perawi selain dia telah
menghafal (riwayat yang menetapkan qunut Subuh)” [As-Sunan Al-Kubraa]
Asy-Syaikh
Ahmad Syakir rahimahullah berkata:
ثبت في أحاديث صحيحة القنوت في
الصبح، ومن حفظ حجة على من لم يحفظ. والمثبت مقدم على النافي. وهو نفل لا واجب.
فمن تركه فلا بأس، ومن فعله فهو أفضل
“Qunut Subuh
telah sah disebutkan dalam hadits-hadits yang shahih. Barangsiapa yang hafal,
maka ia menjadi hujjah bagi yang tidak hafal. Demikian pula seorang yang
menetapkan lebih didahulukan dari orang yang meniadakan. Qunut Subuh hanyalah
sunah, tidak wajib. Tidak apa-apa bagi siapa yang meninggalkannya, dan
barangsiapa yang melakukan qunut, maka itu lebih utama” [Syarh Sunan
At-Tirmidzi, 2/252]
Melihat
pertentangan riwayat yang ada tentang qunut, sungguh bijak apa yang dinyatakan
oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam menengahi dua kelompok ulama tersebut.
Al-Imam Ibnul
Qayyim rahimahullah berkata:
فأهلُ الحديث متوسطون بين هؤلاء وبين من استحبه
عند النوازل وغيرها، وهم أسعدُ بالحديث من الطائفتين، فإنهم يقنُتون حيثُ قنت
رسولُ الله ، ويتركُونه حيث تركه،
فيقتدون به في فعله وتركه،ويقولون: فِعله سنة، وتركُه سنة، ومع هذا فلا يُنكرون
على من داوم عليه، ولا يكرهون فعله، ولا يرونه بدعة، ولا فاعِلَه مخالفاً للسنة،
كما لا يُنكِرون على من أنكره عند النوازل، ولا يرون تركه بدعة، ولا تارِكه
مخالفاً للسنة، بل من قنت، فقد أحسن، ومن تركه فقد أحسن
“Ahlul-hadits
memiliki sikap pertengahan antara mereka (yang membid’ahkan qunut subuh) dan
mereka yang menyatakan disunahkan hanya saat nawazil atau saat-saat yang lain.
Mereka (ahlul-hadits) adalah kelompok yang paling berbahagia terhadap hadits
nabi dibandingkan dua kelompok tersebut.
Mereka
(ahlul-hadits) melakukan qunut di tempat-tempat Rasulullah melakukan qunut, dan
mereka meninggalkan qunut di tempat-tempat Rasulullah meninggalkannya. Mereka
meneladani Rasulullah dalam perbuataan maupun apa yang ditinggalkan beliau. Mereka
menyatakan bahwa melakukan qunut adalah sunah, meninggalkan qunut juga sunah.
Meskipun
demikian, mereka tidak mengingkari orang yang terus-menerus qunut, mereka tidak
memakruhkannya, tidak memandangnya termasuk bid’ah, tidak pula memandang
pelakunya telah menyelisihi sunah. Sebagaimana mereka tidak mengingkari orang
yang mengingkari qunut kecuali saat nawazil. Mereka tidak memandang
meninggalkan qunut termasuk bid’ah, tidak pula memandang orang yang
meninggalkan qunut telah menyelesihi sunah.
Barangsiapa yang qunut, maka ia telah melakukan kebaikan dan barangsiapa
yang meninggalkan qunut, maka ia telah melakukan kebaikan” [Zaadul Ma’aad,
1/115]
Allahua’lam,
washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad, wa alihi washahbih
Ditulis oleh
Abul-Harits di Madinah, 28 Rabi’ul Akhir 1437
No comments:
Post a Comment