Tanya:
Assalamualaikum
Pak Ustad, saya seorang istri yang sedang hamil 8 bulan..pernikahan kami
dilakukan pada bulan Oktober tahun 2013..
pertanyaan
saya : pada bulan September 2013 (1 bulan sblm menikah), saya melakukan
perbuatan zina dgn calon suami saya, kemudian akad nikah dilakukan 1 bulan
sesudah zina tersebut dan di hari ke-6 haid, apakah saya sudah dianggap istibra
krn akad dilakukan pd saat jelang selesai haid (sudah bersih tp belum mandi
junub)??maaf krn pd waktu itu saya tidak tahu adanya hukum istibra dan skrg
saya sedang belajar syariat..
bagaimana
hukum pernikahan saya??haruskah mengulang akad nikah setelah melahirkan??apakah
saya msh boleh berhubungan intim dengan suami??
Jawab:
Wa'alaikumussalam
warahmatullah, perhatikan beberapa point berikut:
Pertama, hal pertama yang wajib
dilakukan oleh ibu dan suami adalah bertaubat dari dosa zina. Karena seorang
muslim tidak boleh menikahi wanita pezina, demikian pula seorang wanita
muslimah tidak boleh menikahi laki-laki pezina.
Allah ta'ala
berfirman:
الزَّانِى لاَ يَنكِحُ إِلاَّ زَانِيَةً أَوْ
مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لاَ يَنكِحُهَا إِلاَّ زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرّمَ
ذالِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
"Laki-laki
pezina tidak mengawini melainkan wanita pezina, atau wanita musyrik; dan wanita
pezina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik,
dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang beriman" [QS.
An-Nuur]
Apabila dua
pasangan pezina telah bertaubat, maka akad nikahnya sah. Apabila salah satu
dari keduanya atau bahkan dua-duanya belum bertaubat dari zina, maka keabsahan
akad nikahnya diperselisihkan ulama. Madzhab Hambali berpandangan bahwa akad
nikahnya tidak sah berdasarkan larangan ayat di atas.
Apabila ibu
dan suami telah bertaubat dari zina sebelum akad nikah, maka insya Allah akad
nikahnya sah.
Kedua, istibra' (memastikan
kekosongan rahim dari janin) wanita yang dizinahi adalah sekali haid. Apabila
ibu melakukan akad nikah setelah masuk masa haid, maka ibu telah istibra',
karena dapat dipastikan bahwa rahim telah kosong dari janin. Hikmah
disyariatkannya istibra' adalah untuk memastikan anak dalam kandungan
benar-benar dinasabkan kepada ayahnya.
Kesimpulannya
jika dilihat dari kondisi ibu, ada dua syarat agar akad nikah tersebut sah
tanpa ada perselisihan di kalangan ulama:
[1] Apabila
akad nikah itu dilakukan setelah ibu dan suami bertaubat dari zina
[2] Apabila
akad nikah dilakukan setelah ibu melewati istibra' rahim (sekali haid)
Apabila
salah satu dari syarat tersebut belum terpenuhi, maka yang lebih hati-hati
adalah memperbaharui akad nikah. Cukup wali nikah dari ibu berkata kepada suami
"saya nikahkan engkau dengan anak saya (fulanah bintu fulan) dengan mahar
(sekian) dibayar tunai". Lalu suami menjawab "saya terima
nikahnya...". Tentunya dengan dihadiri dua saksi dan adanya mahar. Hal ini
dilakukan untuk menghilangkan keraguan, Allahua'lam
Washallallahu
'ala nabiyyina muhammad, wa'ala alihi washabihi
Ditulis oleh
Abul-Harits di Madinah, 22 Rabi’uts Tsani 1437
laki-lakinya tetapi sang ayah malah meminta agar pak imam atau pak KUA menikahkan anaknya ? Ini banyak terjadi di indonesia bagian timur.
ReplyDeletePada asalnya orang yang paling berhak menjadi wali nikah adalah ayah dari mempelai wanita, kemudian orang yang diberikan wasiat untuk menikahkan oleh ayah, kemudian kakek mempelai wanita dari pihak ayah (terus ke atas), kemudian anak laki-lakinya, kemudian cucu laki-lakinya (terus ke bawah), kemudian saudara laki-lakinya seayah seibu, kemudian anak laki-laki dari saudara laki-lakinya seayah seibu, kemudian saudara laki-lakinya seayah, kemudian anak laki-laki dari saudara laki-lakinya seayah, kemudian pamannya dari pihak ayah, kemudian orang yang memerdekakannya (jika mempelai wanita adalah budak yang dibebaskan), kemudian hakim atau penggantinya.[1]
ReplyDeleteAsy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata:
جهات الولاية في عقد النكاح خمس، أبوة، ثم بنوة، ثم أخوة، ثم عمومة، ثم ولاء، فإن كانوا في جهة واحدة قدم الأقرب منزلة
“Orang-orang yang berhak menjadi wali nikah dalam suatu akad nikah ada lima tingkatan: (1) pihak ayah, kemudian (2) pihak anak laki-laki, kemudian (3) pihak saudara laki-laki, kemudian (4) pihak paman, kemudian (5) pihak wala’ (orang yang membebaskan budak). Apabila mereka berada dalam satu tingkatan, dahulukan yang paling dekat…” [Asy-Syarhul Mumti’, 12/84]
Namun apabila sang wali nikah (misalkan ayah) ingin mewakilkan perwalian nikah anak perempuannya kepada orang lain, hal itu pun diperbolehkan insya Allah, asalkan wakil tersebut adalah seorang muslim, laki-laki, berakal dan dewasa.
Dalam kitab Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah disebutkan:
توكيل الولي غيره لمباشرة عقد النكاح جائز باتفاق فقهاء الحنفية والمالكية والشافعية والحنابلة إذا توافرت في الوكيل الشروط المعتبرة
“Seorang wali nikah boleh mewakilkan kepada orang lain secara langsung dalam akad nikah. Ini telah disepakati kebolehannya oleh fuqaha’ Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah, apabila orang yang menjadi wakil wali nikah tersebut telah memenuhi syarat menjadi wali” [Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 34/132]
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata:
لا بأس يزوج من ينوب عنه، مثل أبي المرأة يزوج يوكل خالها، يوكل أحد أولاده من المرشدين ينوبون عنه في التزويج لا بأس، لا بأس أن يوكل الولي من ينوب عنه
“Tidak apa-apa mewakilkan pernikahan kepada orang yang bisa menggantikannya. Misalkan sang ayah mewakilkan pernikahan anak perempuannya kepada pamannya dari pihak ibu, atau sang ayah mewakilkan wali nikah kepada anak-anak laki-lakinya yang telah dewasa. Tidak apa-apa seorang wali nikah mewakilkan perwalian nikah kepada orang yang bisa menggantikannya….” [http://www.binbaz.org.sa/node/19597]
Kesimpulannya, akad nikah dengan model diwakilkan seperti yang sering terjadi di masyarakat kita adalah boleh dan sah insya Allah.
Dalam dhawabith fiqhiyyah disebutkan,
كل عقد يجوز للإنسان أن يعقده بنفسه يجوز له أن يوكل فيه غيره كالبيع، والإجارة، والتزويج ونحو ذلك
“Setiap akad yang boleh dilakukan sendiri oleh seseorang, maka ia juga boleh mewakilkannya kepada orang lain, seperti akad jual-beli, akad sewa-menyewa, akad nikah, dan lainnya”
Sebagian ulama membawakan kaidah dengan redaksi,
كل عقد جاز للموكل أن يعقده بنفسه جاز أن يوكل به غيره
“Setiap akad yang boleh dilakukan sendiri oleh muwakkil (orang yang berhak mewakilkan), maka ia juga boleh mewakilkannya kepada orang lain” [Mursyid Al-Hairaan hal. 921]
Kecuali apabila petugas KUA menikahkan mempelai wanita tanpa memperoleh izin dari ayah mempelai wanita, maka akad nikahnya tidak sah, karena ada yang lebih berhak menikahkannya.
Allahua’lam, washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa’ala alihi washahbihi
-----------
[1] Ar-Raudhul Murbi’ hal. 335-336
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAssalammualaikum pak uztad maaf mengganggu mau bertanya jika istri di talak saat haid itu tidak sah, saat talak darah tidak keluar beberapa saat/jam dan tetapi beberapa saat jari saya masukan ke dlm kemaluan(maaf) masih di dapati darah segar tetapi tidak sampai ke celana dan keosakanya ternyata keluar darah lagi smpe 2 harian dan masih dlm masa haid apakah masih di hukumi haid dan talak menjadi tidak sah. Terimakasih saya mohon semoga bpk berkenan menjawab.
Delete