Tanya:
Apakah sah
pernikahan jika wali nikah (ayah mempelai wanita) hadir pada akad nikah anaknya
bersama saudara laki-laki dan anak laki-lakinya, tetapi sang ayah malah meminta
agar pak imam atau pak KUA menikahkan anaknya ? Ini banyak terjadi di indonesia
bagian timur.
Jawab:
Pada asalnya orang yang paling berhak menjadi wali nikah adalah ayah dari mempelai
wanita, kemudian orang yang diberikan wasiat untuk menjadi wali nikah oleh ayah,
kemudian kakek mempelai wanita dari pihak ayah (terus ke atas), kemudian anak
laki-laki mempelai wanita, kemudian cucu laki-lakinya (terus ke bawah), kemudian saudara
laki-lakinya seayah seibu, kemudian anak laki-laki dari saudara laki-lakinya
seayah seibu, kemudian saudara laki-lakinya seayah, kemudian anak laki-laki dari saudara laki-lakinya
seayah, kemudian pamannya dari pihak ayah, kemudian orang yang memerdekakannya
(jika mempelai wanita adalah budak yang dibebaskan), kemudian hakim atau
penggantinya.[1]
Asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata:
جهات الولاية في عقد النكاح خمس، أبوة، ثم بنوة،
ثم أخوة، ثم عمومة، ثم ولاء، فإن كانوا في جهة واحدة قدم الأقرب منزلة
“Orang-orang
yang berhak menjadi wali nikah dalam suatu akad nikah ada lima tingkatan: (1) pihak
ayah, kemudian (2) pihak anak laki-laki, kemudian (3) pihak saudara laki-laki,
kemudian (4) pihak paman dari pihak ayah, kemudian (5) pihak wala’ (orang yang membebaskan
budak). Apabila mereka berada dalam satu tingkatan, dahulukan yang paling dekat…”
[Asy-Syarhul Mumti’, 12/84]
Namun
apabila sang wali nikah (misalkan ayah) ingin mewakilkan perwalian nikah anak
perempuannya kepada orang lain, hal itu pun diperbolehkan insya Allah, asalkan wakil
tersebut adalah seorang muslim, laki-laki, berakal dan dewasa.
Dalam kitab
Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah disebutkan:
توكيل الولي غيره لمباشرة عقد
النكاح جائز باتفاق فقهاء الحنفية والمالكية والشافعية والحنابلة إذا توافرت في
الوكيل الشروط المعتبرة
“Seorang
wali nikah boleh mewakilkan kepada orang lain secara langsung dalam akad nikah.
Ini telah disepakati kebolehannya oleh fuqaha’ Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah
dan Hanabilah, apabila orang yang menjadi wakil wali nikah tersebut telah memenuhi
syarat menjadi wali” [Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 34/132]
Asy-Syaikh
Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata:
لا بأس يزوج من ينوب عنه، مثل أبي المرأة يزوج
يوكل خالها، يوكل أحد أولاده من المرشدين ينوبون عنه في التزويج لا بأس، لا بأس أن
يوكل الولي من ينوب عنه
“Tidak
apa-apa mewakilkan pernikahan kepada orang yang bisa menggantikannya. Misalkan sang
ayah mewakilkan pernikahan anak perempuannya kepada pamannya dari pihak ibu, atau
sang ayah mewakilkan wali nikah kepada anak-anak laki-lakinya yang telah
dewasa. Tidak apa-apa seorang wali nikah mewakilkan perwalian nikah kepada
orang yang bisa menggantikannya….” [http://www.binbaz.org.sa/node/19597]
Kesimpulannya,
akad nikah dengan model diwakilkan seperti yang sering terjadi di masyarakat
kita adalah boleh dan sah insya Allah.
Dalam
dhawabith fiqhiyyah disebutkan,
كل عقد يجوز للإنسان أن يعقده بنفسه يجوز له أن
يوكل فيه غيره كالبيع، والإجارة، والتزويج ونحو ذلك
“Setiap akad
yang boleh dilakukan sendiri oleh seseorang, maka ia juga boleh mewakilkannya
kepada orang lain, seperti akad jual-beli, akad sewa-menyewa, akad nikah, dan
lainnya”
Sebagian
ulama membawakan kaidah dengan redaksi,
كل عقد جاز للموكل أن يعقده بنفسه
جاز أن يوكل به غيره
“Setiap akad
yang boleh dilakukan sendiri oleh muwakkil (orang yang berhak mewakilkan), maka
ia juga boleh mewakilkannya kepada orang lain” [Mursyid Al-Hairaan hal. 921]
Kecuali apabila
petugas KUA menikahkan mempelai wanita tanpa memperoleh izin dari ayah mempelai
wanita, maka akad nikahnya tidak sah, karena ada yang lebih berhak
menikahkannya.
Allahua’lam,
washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa’ala alihi washahbihi
Ditulis oleh
Abul-Harits pada 15 Februari 2016
No comments:
Post a Comment