Para ulama
berselisih tentang hukumnya, sebagian ulama membolehkan ucapan tahun baru
hijriyah karena hal itu termasuk dalam kebiasaan dan adat yang tidak
bertentangan dengan syariat. Sebagian ulama yang lain melarangnya, karena
perbuatan tersebut tidak disyariatkan dan tidak dicontohkan oleh salaf. Berikut
beberapa fatwa ulama dalam masalah ini:
Pendapat Ulama yang Melarang
Para ulama Al-Lajnah Ad-Da’imah yang beranggotakan Asy-Syaikh Abdul Aziz Alu Asy-Syaikh, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid dan Asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan pernah ditanya dengan pertanyaan berikut:
هل يجوز تهنئة غير المسلمين بالسنة الميلادية الجديدة ، والسنة الهجرية الجديدة ، ومولد النبي صلى الله عليه وسلم ؟
“Apakah boleh mengucapkan tahni’ah dalam (peringatan-peringatan) yang bukan berasal dari kaum muslimin, seperti peringatan tahun baru masehi, tahun baru hijriyah dan maulid nabi shallallahu ‘alaihi wasallam?
Para ulama Al-Lajnah Ad-Da’imah menjawab:
لا تجوز التهنئة بهذه المناسبات ؛ لأن الاحتفاء بها غير مشروع
“Tidak diperbolehkan mengucapkan tahni’ah dalam momen-momen tersebut, karena merayakan momen-momen itu tidak disyariatkan” [Fatawa Al-Lajnah, 1/454 no. 20.795]
Pendapat
Ulama yang Membolehkan
Al-Hafizh
As-Suyuthi rahimahullah berkata:
ورأيتُ -
فيما نقل من فوائد الشيخ زكي الدين عبد العظيم المنذري - أنَّ الحافظ أبا الحسن
المقدسيَّ سُئل عن التهنئة في أوائل الشهور والسنين: أهو بدعة أم لا؟
فأجاب بأن
الناس لم يزالوا مُختلفين في ذلك، قال: والذي أراه أنه مباح؛ ليس بسُنة، ولا بدعة
“Aku
melihat –dari apa yang dinukilkan dari faidah Asy-Syaikh Zakiyuddin Abdul Azhim
Al-Mundziri- bahwa Al-Hafizh Abul-Hasan Al-Maqdisi pernah ditanya tentang tahni’ah
(doa ucapan selamat) dalam permulaan bulan dan tahun, apakah hal itu termasuk
bid’ah?
Kemudian
beliau menjawab, manusia (para ulama) selalu berselisih dalam masalah tersebut.
Beliau berkata: “Aku berpendapat hal itu termasuk perkara yang boleh, bukan
sunah, bukan pula bid’ah” [Wushulul Amaniy]
Asy-Syaikh
Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata:
مسألة
التهنئة بالعام الجديد وما أشبهها مبنية على أصل عظيم نافع وهو أن الأصل في جميع
العادات القولية والفعلية الإباحة والجواز فلا يحرم منها ولا يكره إلا ما نهى عنه
الشارع أو تضمن مفسدة شرعية وهذا الأصل الكبير قد دل عليه الكتاب والسنة في مواضع
وذكره شيخ الإسلام ابن تيمية وغيره
فهذه الصور
المسؤول عنها وما أشبههامن هذا القبيل فإن الناس لم يقصدوا التعبد بها وإنما هي
عوائد وخطابات وجوابات جرت بينهم في مناسبات لا محذور فيها بل فيها مصلحة دعاء
المؤمنين بعضهم لبعض بدعاء مناسب وتألف القلوب كما هو مشاهد
أما الإجابة
لمن هنأ بالعام الجديد فالذي نرى أنه بجب عليه أن يجيبه بالجواب المناسب مثل
الأجوبة بينهم لأنها من العدل ولأن ترك الإجابة يوغر الصدور ويشوس الخواطر
“Masalah tahni’ah (doa ucapan selamat) tahun baru dan yang semisalnya, hal
itu dibangun di atas kaidah yang agung yaitu hukum asal seluruh adat dan
kebiasaan, baik dalam bentuk perkataan maupun perbuatan adalah boleh. Tidak
dihukumi haram ataupun makruh kecuali jika syariat melarangnya atau mengandung
kerusakan secara syar’i. Pokok kaidah agung ini ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan
As-Sunnah dalam banyak tempat. Demikian pula disebutkan oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah dan ulama yang lain.
Gambaran permasalahan
yang ditanyakan itu termasuk dalam kaidah ini, karena manusia tidak mengucapkan
tahni’ah dengan tujuan ibadah. Hal itu hanyalah teranggap sebagai bentuk
interaksi dan komunikasi diantara mereka pada momen-momen tertentu. Tidak ada
pelanggaran syariat di dalamnya, bahkan di sana terdapat maslahat yaitu doa
sebagian mukminin kepada mukminin yang lain dengan doa-doa yang baik. Hal itu
dapat menumbuhkan kecintaan dalam hati sebagaimana yang kita saksikan.
Adapun tentang
hukum menjawab bagi orang yang diberi ucapan tahni’ah (doa selamat)
tahun baru, kami berpendapat ia wajib menjawab doa tersebut dengan doa yang
baik, seperti yang biasa mereka lakukan, karena hal itu termasuk perbuatan
adil. Alasan lain, karena tidak menjawab tahni’ah menyebabkan kebencian
dalam hati dan merusak tatanan persaudaraan” [Al-Majmu’ah Al-Kamilah li Muallafat
As-Sa’di hal. 348]
Bahkan
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah telah mengamalkan apa yang beliau fatwakan. Pada
permulaan tahun 1367 H, Asy-Syaikh Sa’di mengucapkan tahni’ah tahun baru kepada murid kesayangan beliau, Asy-Syaikh
Abdullah bin Aqil rahimahullah.
Asy-Syaikh
As-Sa’di rahimahullah berkata:
نهنئكم
بالعام الجديد جدد الله علينا وعليكم النعم ودفع عنا وعنكم النقم
“Kami
mengucapkan selamat tahun baru, semoga Allah senantiasa menambah nikmat-Nya dan
menghindarkan berbagai musibah pada kita…” [Surat Asy-Syaikh Sa’di kepada
Asy-Syaikh Al-Aqil]
Asy-Syaikh
Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata:
فالتهنئة
بالعام الجديد لا نعلم لها أصلاً عن السلف الصالح، ولا أعلم شيئاً من السنة أو من
الكتاب العزيز يدل على شرعيتها، لكن من بدأك بذلك فلا بأس أن تقول وأنت كذلك إذا
قال لك كل عام وأنت بخير أو في كل عام وأنت بخير فلا مانع أن تقول له وأنت كذلك
نسأل الله لنا ولك كل خير أو ما أشبه ذلك أما البداءة فلا أعلم لها أصلاً
“Kami tidak
mengetahui adanya asal dari As-Salafus Shalih tentang ucapan tahni’ah
(doa selamat) tahun baru, aku juga tidak mengetahui dalil dari As-Sunnah dan
Al-Qur’an Al-Aziz yang menunjukkan disyariatkannya hal itu. Namun siapa yang
memulai ucapan selamat kepadamu, tidak apa-apa engkau membalasnya dengan ucapan
“semoga engkau juga demikian”. Apabila dikatakan kepadamu “semoga setiap tahun
Anda berada dalam kebaikan”, tidak masalah jika engkau membalasnya dengan
ucapan “semoga engkau juga demikian, kita memohon kepada Allah setiap kebaikan”
atau ucapan yang semisal. Adapun memulai ucapan selamat, aku tidak mengetahui
dalil yang melandasinya” [http://www.binbaz.org.sa/node/10042]
Dalam fatwa
di atas, Asy-Syaikh Ibnu Baz tidak membid’ahkan ucapan tahni’ah tahun baru,
padahal biasanya beliau sangat tegas mengingkari berbagai kebid’ahan.
Seandainya beliau membid’ahkan ucapan tahni’ah tahun baru, kenapa beliau
membolehkan seorang muslim membalas ucapan tahni’ah dengan doa? Hal ini
menunjukkan bahwa perkara ini bukan bid’ah menurut Asy-Syaikh Ibnu Baz
rahimahullah, Allahua'lam
Asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata:
أرى أن
بداية التهنئة في قدوم العام الجديد لا بأس بها ولكنها ليست مشروعة بمعنى: أننا لا
نقول للناس: إنه يسن لكم أن يهنئ بعضكم بعضاً، لكن لو فعلوه فلا بأس، وإنما ينبغي
له أيضاً إذا هنأه في العام الجديد أن يسأل الله له أن يكون عام خيرٍ وبركة
فالإنسان يرد التهنئة. هذا الذي نراه في هذه المسألة، وهي من الأمور العادية وليست
من الأمور التعبدية
“Aku
berpendapat memulai tahni’ah (doa ucapan selamat) tahun baru tidak apa-apa,
meskipun hal itu tidak disyariatkan. Maksudnya, kami tidak menyatakan disunahkannya
tahni’ah sebagian kalian kepada yang lain. Namun tidak apa-apa jika
mereka melakukannya. Apabila ia memberi ucapan tahni’ah tahun baru,
semestinya ia memohon kepada Allah agar tahun ini memperoleh kebaikan dan
barakah. Seorang yang diberi tahni’ah harus menjawab ucapan doanya. Ini
pendapat kami dalam masalah ini. Ucapan tahni’ah termasuk kebiasaan dan
adat, bukan termasuk perkara ibadah” [Liqa Al-Bab Al-Maftuh, Kamis 25
Dzulhijjah 1415, pertemuan ke 93]
Asy-Syaikh
Abdul Karim Al-Khudhair hafizhahullah berkata:
الدعاء
للمسلم بدعاء مطلق لا يتعبد الشخص بلفظه في المناسبات كالأعياد لا بأس به لاسيما
إذا كان المقصود من هذه التهنئة التودد ، وإظهار السرور والبشر في وجه المسلم .
قال الإمام أحمد رحمه الله : لا ابتدئ بالتهنئة فإن ابتدأني أحد أجبته لأن جواب
التحية واجب وأماالابتداء بالتهنئة فليس سنة مأمورا بها ولا هو أيضا مما نهي عنه
“Mendoakan
seorang muslim dengan doa mutlak tanpa disertai niat ibadah dalam momen-momen
tertentu seperti hari ‘ied adalah perkara yang boleh. Apalagi jika tujuan
dari ucapan tahni’ah ini untuk
menumbuhkan kecintaan, menampakkan kebahagiaan dan kabar gembira kepada seorang
muslim. Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Aku tidak memulai ucapan tahni’ah.
Apabila ada seorang yang memulai ucapan tahni’ah kepadaku, aku akan
menjawabnya". Karena menjawab doa hukumnya wajib. Adapun memulai tahni’ah,
tidak termasuk sunah yang diperintahkan, tidak pula dilarang.” [Fatawa Asy-Syaikh
Al-Khudair no. 21.290]
Dari
fatwa-fatwa para ulama di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa masalah
ini termasuk dalam ranah khilafiyyah ijtihadiyyah. Seorang muslim mengambil
pendapat ulama yang lebih kuat menurut apa yang ia yakini, tidak perlu
memaksakan pendapatnya kepada yang lain. Paling tidak, agar ribut-ribut seperti kejadian tempo hari tentang
masalah hadiah bacaan Al-Qur’an untuk mayit tidak terulang kembali.
Allahua’lam,
semoga bermanfaat
Ditulis oleh
Abul-Harits di Madinah, 2 Muharram 1437
No comments:
Post a Comment