Beberapa
waktu yang lalu saya sempat membaca sebuah artikel yang berisi fatwa ulama yang
menyatakan suami istri semestinya tidur di ranjang (tempat tidur)
yang
terpisah, karena tidur satu ranjang merupakan budaya barat. Benarkah ungkapan
tersebut?
Memang
sebagian ulama ada yang berpendapat demikian, diantaranya adalah guru kami Asy-Syaikh
Muhammad bin Hadi hafizhahullah. Beliau membawakan hadits Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إذا دعا الرّجُل امرأته إلى فراشه فلم تأتِهِ فبات
غضبانًا عليها لعنتهَا الملائكة حتّى تُصْبحَ
“Apabila
suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya, namun si istri tidak memenuhinya,
kemudian suami bermalam dalam keadaan marah kepadanya, maka malaikat akan
melaknat istri hingga waktu subuh” [HR. Al-Bukhari no. 5193 dan Muslim no. 1436]
Setelah menyebutkan hadits tersebut, Asy-Syaikh Muhammad bin Hadi hafizhahullah berkata:
وهذا يدلُّ على: أنّ امتناع المرأة من إتْيَان
زوجها في فراشه أمرُهُ عظيم وكبيروفي هذا الحديث أيضًا: دلالة على أنّ الرّجل
والمرأة كانا على عهد النّبيّ -صلّى الله عليه وسلّم- وإلى عهدٍ قريب عندنا كلّ
واحدٍ له فراش ما فيه سرير نوم يجمعهم جميع؛ كلّ واحدٍ له فراش كما قال النّبيّ
-صلّى الله عليه وسلّم-:(فراشٌ لَك، وفراشٌ لأهلِكَ، وثالثٌ للشّيطان) فدلّ ذلك
على: أنّ حياتهُم هذا مُنفصلٌ عن هذا، وهذا اليوم النّاس يرَوْنَه من الجفا وأنا
أقول: في الحقيقة هُو بالعكس جالبٌ للمودّة؛ فإنّ إكثار المُلاصقة رُبّما ملّ
الإنسان من الذي بجواره فإذا ابتعد عنه قليلاً كان له قيمة وله قدر؛ وهذا إنّما
جاءنا من الغرب
“Hadits ini
menunjukkan bahwa saat seorang wanita enggan mendatangi suaminya di ranjangnya,
hal itu adalah perkara yang besar. Dalam hadits ini juga terdapat isyarat bahwa
sejak masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hingga zaman kita sekarang, masing-masing
suami dan istri memiliki ranjang tempat tidur tersendiri, tidak tidur bersama di
satu ranjang. Setiap orang memiliki ranjang tersendiri, sebagaimana Nabi
shallallahu alaihi wasallam bersabda:
فراشٌ لَك، وفراشٌ لأهلِكَ، وثالثٌ للشّيطان
“Satu
ranjang untukmu dan satu ranjang untuk istrimu, yang ketiga adalah untuk setan.”[1]
Hal ini menunjukkan
bahwa kehidupan mereka berpisah (ranjang) satu sama lain. Pada hari ini,
manusia menganggap hal itu sebagai perbuatan kaku, namun saya katakan: hakikatnya
adalah sebaliknya, justru tidur berpisah ranjang akan mendatangkan kasih
sayang. Karena seringnya berdekatan, terkadang akan menimbulkan kebosanan
seorang terhadap pasangannya. Apabila keduanya agak berjauhan, akan ada nilai
dan kesan tersendiri. Hal ini (tidur satu ranjang) hanyalah datang dari Barat…”
[Syarh Al-Ibanah Ash-Shughra karya Ibnu Batthah]
Demikian
ijtihad dari Asy-Syaikh hafizhahullah, namun yang benar adalah sebaliknya.
Tidur satu ranjang bagi suami istri termasuk sunah nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam. Apabila ada udzur atau keperluan yang mengharuskan keduanya tidur di ranjang
terpisah, maka insya Allah tidak masalah. Dalil yang menunjukkan disunahkannya tidur satu ranjang adalah hadits Aisyah dari berbagai jalur riwayat berikut:
[1] Dalam
riwayat Al-Bukhari disebutkan bahwa Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
كُنْتُ أَنَامُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرِجْلَايَ فِي قِبْلَتِهِ، فَإِذَا سَجَدَ
غَمَزَنِي فَقَبَضْتُ رِجْلَيَّ، فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهُمَا..
“Aku tidur
di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kedua kakiku berada di kiblat
beliau. Apabila hendak sujud, beliau memegangiku lalu aku melipat kakiku.
Apabila bangun dari sujud, aku kembali menghamparkan kakiku…” [HR. Al-Bukhari
no. 382 dan Muslim no. 512]
[2] Masih
dalam riwayat Al-Bukhari dengan redaksi yang sedikit berbeda, Aisyah berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
كَانَ يُصَلِّي ـ وَعَائِشَةُ مُعْتَرِضَةٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ القِبْلَةِ ـ عَلَى
الفِرَاشِ الَّذِي يَنَامَانِ عَلَيْهِ
“Bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam biasa shalat dalam keadaan Aisyah berada diantara
beliau dan kiblat di atas ranjang tempat beliau dan Aisyah tidur.” [HR.
Al-Bukhari no. 384]
[3] Dalam
riwayat Ahmad disebutkan dari Urwah bin Az-Zubair, dari ayahnya, dari Aisyah berkata:
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يُصَلِّي ـ وَأَنَا مُعْتَرِضَةٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ ـ عَلَى
الْفِرَاشِ الَّذِي يَرْقُدُ عَلَيْهِ هُوَ وَأَهْلُهُ، فَإِذَا أَرَادَ أَنْ
يُوتِرَ أَيْقَظَنِي فَأَوْتَرْتُ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam biasa shalat dalam keadaan aku berada di antara
beliau dan kiblat di ranjang tempat beliau
dan istrinya tidur. Apabila hendak shalat Witir, beliau membangunkanku, maka
aku pun shalat Witir.” [HR. Ahmad no. 25.942 dan dishahihkan sanadnya oleh
Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ats-Tsamar Al-Mustathab[2], 1/445]
Adapun riwayat
Jabir yang berbunyi “satu ranjang untuk laki-laki, satu ranjang untuk istrinya,
(ranjang) yang ketiga untuk tamu dan (ranjang) yang kempat untuk setan”, hadits
tersebut telah dijawab oleh para ulama dengan beberapa jawaban:
Pertama, hadits tersebut hanya
menunjukkan bolehnya memiliki lebih dari satu ranjang dalam satu rumah. Hal itu
merupakan bentuk bermegah-megahan yang diperbolehkan, bukan termasuk perbuatan
israaf (berlebihan) yang dilarang.[3]
An-Nawawi
rahimahullah berkata:
وأمَّا تعديد الفراش للزوج والزوجة فلا بأس به،
لأنه قد يحتاج كلُّ واحدٍ منهما إلى فراشٍ عند المرض ونحوِه وغيرِ ذلك
“Adapun
berbilangnya ranjang tempat tidur untuk suami dan istri, hal itu tidak apa-apa.
Terkadang masing-masing mereka membutuhkan ranjang tempat tidur tersendiri saat
sakit dan keperluan lain yang semisal” [Syarh Muslim, 14/59]
Kedua, hadits tersebut
menunjukkan bolehnya suami istri tidur di ranjang yang terpisah, apabila ada
udzur yang menghalangi keduanya untuk tidur bersama, seperti sakit atau terjadi
kesalah-pahaman di antara suami istri yang menimbulkan kebencian.
Dimaklumi bahwa
kehidupan rumah tangga tidaklah semulus jalan tol. Di sana pasti ada rintangan,
cobaan dan badai yang menimpa bahtera rumah tangganya.
An-Nawawi
rahimahullah berkata:
واستدلَّ بعضُهم بهذا [أي: حديث الفراش] على أنه
لا يَلزمه النومُ مع امرأته، وأنَّ له الانفرادَ عنها بفراشٍ، والاستدلال به في
هذا ضعيفٌ، لأنَّ المرادَ بهذا وقتُ الحاجة كالمرض وغيره كما ذكَرْنا، وإن كان
النومُ مع الزوجة ليس واجبًا
“Sebagian
ulama berdalil dengan hadits Al-Firasy (hadits Jabir) untuk menyimpulkan bahwa
suami tidak harus tidur bersama istrinya, ia boleh tidur di ranjang tersendiri.
Sisi pendalilan mereka dengan hadits ini begitu lemah. Sebab kebolehan tidur di
ranjang terpisah yang dimaksud dalam hadits adalah saat ada kebutuhan seperti
sakit dan keperluan lain sebagaimana telah kami sebutkan, meskipun tidur
bersama istrinya tidaklah wajib.” [Syarh Muslim, 14/60]
Ketiga, hadits Aisyah merupakan
ashl (pokok) dalam permasalahan ini, sedangkan hadits Jabir merupakan pengecualian
dari ashl, artinya pada asalnya suami istri tidur satu ranjang, namun
diperbolehkan tidur di ranjang yang terpisah, apabila ada udzur dan kebutuhan
(dikecualikan dari ashl).
Asy-Syaikh
Muhammad Ali Firkuuz hafizhahullah berkata:
فالأصل أن يكون للرجل ولزوجته فراشٌ واحدٌ يجتمعان
فيه؛ لأنه أدعى للتقارب وأدومُ للمحبَّة، وقد كان للنبيِّ صلَّى الله عليه وسلَّم
فراشٌ واحدٌ في بيت عائشة رضي الله عنها ينامان عليه ليلًا ويجلسان عليه نهارًا
“Pada
asalnya ranjang untuk suami dan istrinya adalah satu, di mana mereka berdua
berkumpul (tidur) di atasnya. Sebab hal itu lebih mendatangkan kedekatan dan kecintan
yang langgeng. Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki satu ranjang
di rumah Aisyah radhiyallahu ‘anha. Beliau dan Aisyah tidur bersama di ranjang
tersebut di malam hari, serta duduk-duduk bersama di ranjang tersebut siang
harinya” [http://ferkous.com/home/?q=fatwa-1171]
Keempat, diantara kebiasaan Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam adalah tidur bersama istrinya di satu ranjang
tempat tidur. Kebiasaan ini beliau lakukan terus-menerus, sehingga hal itu
merupakan sunnah yang diikuti.
An-Nawawi
rahimahullah berkata:
والصواب في النوم مع الزوجة أنه إذا لم يكن لواحدٍ
منهما عذرٌ في الانفراد فاجتماعُهما في فراشٍ واحدٍ أفضل، وهو ظاهر فعلِ رسول الله
صلَّى الله عليه وسلَّم الذي واظب عليه مع مواظبته صلَّى الله عليه وسلَّم على
قيام الليل، فينام معها
“Yang benar
bahwa tidur seranjang bersama istri lebih utama (afdhal), apabila salah satu
dari pasangan tidak memiliki udzur yang mengharuskan mereka tidur di ranjang
yang terpisah. Ini adalah zhahir perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, beliau terus-menerus tidur satu ranjang bersama istrinya. Di saat
Nabi terus-menerus melakukan shalat malam, beliau juga tidur bersama istrinya”
[Syarh Muslim, 14/60]
Kelima, tidur seranjang antara
suami istri merupakan bentuk pergaulan yang ma’ruf (baik). Hal itu lebih dapat
menumbuhkan kedekatan, cinta dan kasih sayang yaitu di saat jasad
mereka selalu bersua, di saat hati mereka selalu bertaut, di saat mata mereka
saling memandang, di saat tubuh mereka saling berpelukan, di saat ada canda
tawa yang mengiringi keduanya sebelum memejamkan mata. Bahkan di saat itu, terkadang
ada tipe istri atau suami yang mengungkapkan keluh kesah kehidupan
berumah-tangganya kepada yang lain, karena masing-masing mereka begitu sibuk bekerja
di siang harinya sehingga tidak bisa bertemu kecuali di waktu tidur. Allahua’lam.
Demikian
ulasan yang bisa dituliskan, semoga bermanfaat. Washallallahu ‘ala nabiyyina
Muhammad waalihi washahbihi.
Ditulis oleh
Abul-Harits di pagi hari Kamis, 12 Mei 2016.[4]
[1] Saya belum mengetahui sumber redaksi riwayat hadits yang
dibawakan Asy-Syaikh hafizhahullah. Dalam riwayat lain disebutkan dengan
redaksi,
فِرَاشٌ لِلرَّجُلِ، وَفِرَاشٌ لِامْرَأَتِهِ،
وَالثَّالِثُ لِلضَّيْفِ، وَالرَّابِعُ لِلشَّيْطَانِ
“Satu
ranjang untuk laki-laki, satu ranjang untuk istrinya, (ranjang) yang ketiga
untuk tamu dan (ranjang) yang kempat untuk setan” [HR. Muslim no. 2084, dari
Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu]
[2] Asy-Syaikh
Al-Albani rahimahullah berkata:
سندٌ صحيحٌ على شرط الستَّة
“Sanadnya
shahih sesuai syarat kutub sittah (Al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi,
An-Nasa’i dan Ibnu Majah” [Ats-Tsamar Al-Mustathab, 1/445]
[3] Dinyatakan oleh Al-Munawi rahimahullah dalam Faidhul Qadiir, 4/424
[4] Tulisan ini juga merupakan kado pernikahan untuk Tante Treny dan suami yang pada hari ini Kamis, 12 Mei 2016 melangsungkan akad nikah di
Purworejo. Mohon maaf, saya dan istri tidak bisa menghadiri acara pernikahan hari
ini. Hanya teriring harapan dan doa, semoga cinta dan pernikahan kalian langgeng hingga maut
memisahkan kalian dan hingga kalian bersua kembali di surga-Nya kelak insya
Allah. [بارك الله لك وبارك عليك وجمع بينكما
في خير]
No comments:
Post a Comment