Tanya:
Saya bekerja
pada tempat usaha yang permodalannya menggunakan bank konvensional. Bagaimana
hukum gaji yang saya terima?
Jawab:
Perlu
dibedakan antara bermuamalah secara langsung dengan riba dan bermuamalah secara
tidak langsung. Berikut rinciannya agar lebih jelas:
Kedua, tidak bermuamalah
secara langsung dengan riba. Misalkan seorang anak yang makan dari harta orang
tua yang berprofesi sebagai rentenir, atau Anda diundang makan malam oleh seorang rentenir atau Anda
bekerja di perusahaan yang modalnya berasal dari riba dan contoh lainnya.
Hukum
permasalahan kedua ini dirinci:
- Jika harta
tersebut 100 % merupakan harta riba artinya 100 % hartanya haram, maka Anda
tidak boleh bermuamalah dengan harta tersebut.
- Jika
sebagiannya halal dan sebagiannya haram dari harta riba, maka tidak apa-apa
insya Allah bermuamalah dengan harta tersebut menurut pendapat ulama yang
benar. Pendapat ini dirajihkan oleh para ulama yang tergabung dalam Lembaga
Fatwa Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta'.
Dalilnya
adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah menggadaikan baju perang
beliau kepada seorang Yahudi[1].
Sedangkan Yahudi di zaman beliau dikenal sebagai pemakan riba dan biasa memakan
harta orang lain dengan cara yang batil. Dalam kondisi demikian, Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam tetap bermuamalah dengan Yahudi.
Dari sisi
lain ditinjau dari Al-Qawa'id Al-Fiqhiyyah, permasalahan Anda termasuk dalam pembahasan
kaidah [تبدل سبب الملك قائم مقام تبدل الذات] artinya perubahan sebab kepemilikan
(suatu harta) dihukumi seperti perubahan dzat harta tersebut.[2]
Maksudnya,
pada awalnya, harta kas perusahaan memang berasal dari harta riba yaitu akad
riba antara pemilik perusahaan dan bank konvensional. Namun Anda memperoleh
harta tersebut (gaji Anda) dari perusahaan dengan akad ijaar (upah bekerja),
bukan dari transaksi riba secara langsung. Karena terjadi perubahan sebab
kepemilikan dengan akad yang berbeda, sehingga seolah-olah gaji yang Anda
peroleh adalah harta lain, bukan harta riba. Jadi, hukumnya pun berbeda.
Allahua'lam,
semoga bermanfaat
Ditulis oleh
Abul-Harits di Madinah, 4 Rabi’ul Akhir 1437
[1] Disebutkan dalam kitab Ash-Shahihain:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى
طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
“Bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah membeli bahan makanan dari seorang
yahudi dengan cara berhutang, dan beliau menggadaikan baju besinya.” [HR. Al-Bukhari no. 2513 dan Muslim no. 1603]
[2] Al-Imam As-Sarkhasi
Al-Hanafi rahimahullah menyebutkan kaidah tersebut dalam kitab Al-Mabsuuth
dengan redaksi [اختلاف أسباب الملك ينزل منزلة اختلاف
الأعيان]. Meskipun redaksinya sedikit
berbeda, namun maksud dari kaidah fiqhiyyah tersebut sama.
Enter your comment...ooooh ngono tp
ReplyDelete