Saat Wahabi
berdalil dengan hadits “setiap bid’ah adalah sesat” untuk menggenalisir semua
bid’ah, seringkali Kyai Idrus Ramli menjawabnya dengan perkataan Al-Imam
An-Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan hadits tersebut. Berikut redaksi hadits
yang dimaksud beserta keterangan perkataan An-Nawawi rahimahullah,
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Setiap bid’ah
adalah sesat” [HR. Muslim no. 867]
Kyai Idrus
Ramli berkata saat menukil perkataan Al-Imam An-Nawawi rahimahullah:
قَوْلُهُ صلى الله عليه وسلم وَكُلُّ بِدْعَةٍ
ضَلاَلَةٌ هَذَا عَامٌّ مَخْصُوْصٌ وَالْمُرَادُ غَالِبُ الْبِدَعِ. (الإمام
الحافظ النووي، شرح صحيح مسلم، ٦/١٥٤).
“Sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “semua bid’ah adalah sesat”, ini adalah
kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Maksud “semua bid’ah itu
sesat”, adalah sebagian besar bid’ah itu sesat, bukan seluruhnya.”
(al-Imam al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, 6/154)”
Oleh
karena hadits “semua bid’ah itu sesat”, adalah redaksi general yang
jangkauan hukumnya dibatasi, maka para ulama membagi bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah (baik)
dan bid’ah sayyi’ah (buruk). Lebih rinci lagi, bid’ah itu terbagi
menjadi lima bagian sesuai dengan komposisi hukum Islam yang lima; wajib,
sunnat, haram, makruh dan mubah” [Dinukil dari blog Idrusramli.com]
Pernyataan
Kyai Idrus Ramli dapat dijawab dari dua sisi:
Pertama, anggaplah perkataan
An-Nawawi bertentangan dengan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam. Rasulullah menyatakan semua bid'ah sesat, sedangkan An-Nawawi menyatakan tidak semua bid'ah sesat, hanya sebagian besar bid'ah yang dianggap sesat. Perkataan siapakah yang lebih didahulukan dan lebih wajib kita terima?
Anda tidak
berdosa ketika menolak perkataan An-Nawawi, namun Anda akan berdosa dan dihisab
karena menolak perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Allah ta’ala
berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا
بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ
عَلِيمٌ
“Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya.
Bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui” [QS. Al-Hujurat: 1]
Perkataan
siapa pun bisa diterima dan ditolak, kecuali perkataan nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam. Dinyatakan oleh para ulama:
كل أحد يقبل ويرد قوله إلا النبي
“Setiap
manusia perkataannya bisa diterima dan ditolak, kecuali Nabi”
Ulama yang
pertama kali mengucapkan perkataan di atas adalah sahabat Ibnu Abbas[1]
radhiyallahu ‘anhuma, diikuti oleh Hakam bin Utaibah dan Mujahid[2].
Kemudian Al-Imam Malik[3] mengambil
ucapan ulama tersebut karena takjub akan keindahannya, hingga manusia
menyandarkan ucapan tersebut kepada beliau.
Jangankan
perkataan An-Nawawi, perkataan Al-Imam Syafi’i saja yang lebih berilmu dari
An-Nawawi, jika bertentangan dengan hadits nabi, maka perkataan beliau wajib ditinggalkan.
Sebelum muncul fenomena taklid buta seperti sekarang, jauh-jauh hari Al-Imam Asy-Syafi’i
rahimahullah telah melarang pengikutnya taklid.
[1] Al-Imam Asy-Syafi’i
rahimahullah berkata:
وإذا شبت الخبر عن النبي صلى الله عليه و سلم، لم
يجز تر كه لشيء
“Apabila
telah shahih hadits dari Nabi shalallahu alaihi wa sallam, maka tidak boleh
ditinggalkan dengan alasan apapun” [Al-Umm, 2/248]
[2] Al-Imam
Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
كلّ ما قلت: وكان عن النّبي صلى الله عليه و سلم
خلا ف قو لي ممّا يصعّ، فحديث النّبي صلى الله عليه و سلم أو لى ولا تقلّد وني
“Setiap
perkataanku yang bertentangan dengan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam yang shahih, maka mengambil hadits Nabi shalallahu alaihi wasallam lebih
utama. Janganlah kamu bertaqlid kepadaku”
Perkataan
Asy-Syafi’i tersebut dinukil oleh Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq (51/ 386), Al-Baihaqi
dalam Manaaqib Syafi’i (1/473), Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’ (9/106-107)
dan Adz-Dzahabi dalam Siyar A’lamin Nubala (10/33).
[3] Al-Imam
Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
كلّ مسألة تكلّمت فيها صعّ الخبر فيها عن النّبي
صلى االله عليه و سلم عند أهل النّقل بخلاف ما قلت، فأ نا را جع عنها في حيا تي
وبعد موتي
“Setiap permasalahan
yang aku ucapkan, padahal telah shahih hadits dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam
menurut para ulama ahlu-hadits yang bertentangan dengan perkataanku, maka aku
akan rujuk (kembali) dari pendapatku tersebut, baik saat aku masih hidup maupun
setelah aku mati”. [Dinukilkan oleh Al-Baihaqi dalam Manaqib Asy-Syafi’i, 1/473]
[4] Al-Imam
Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
إذا صحّ لكم الحديث عن رسو ل الله صلى الله عليه و
سلم فخذوا به ود عوا قولي
“Apabila
telah shahih sebuah hadits dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bagimu,
maka ambillah hadits shahih tersebut dan tinggalkan pendapatku” [Shahih
Ibnu Hibban, 9/235 no. 2159]
[5] Al-Imam
Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
إذا وجدتم لي مذ هبا، ووجدتم خبرا على خلاف مذ
هبي، فاعلموا أن مذ هبي ذلك الخبر
“Apabila
kalian mengetahui madzhabku (pendapat ku), kemudian kalian menemukan hadits
yang mennyelisihi madzhabku. Ketahuilah bahwa madzhabku adalah hadits tersebut"
[Dinukil oleh Asy-Syihristani dalam Al-Milal wan Nihal, 1/244]
Perlu Anda
ketahui, perkataan Asy-Syafi’i yang lain masih banyak, terlalu panjang jika
saya menyebutkan seluruhnya di sini. Maksud dari perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i adalah
Anda wajib menerima hadits nabi, jika Anda mengaku beriman kepada nabi.
Kedua, anggaplah perkataan
An-Nawawi tidak bertentangan dengan hadits nabi, karena kita wajib berprasangka
baik (husnuzhan) pada ulama. Tidak mungkin seorang ulama sengaja menyelisihi
hadits nabi dalam berkata dan berpendapat. Lalu apa yang dimaksud oleh
An-Nawawi dalam perkataan tersebut?
Sebelum
mengambil perkataan An-Nawawi, kita perlu mengetahui definisi bid’ah menurut An-Nawawi,
karena para ulama sendiri berbeda-beda dalam mendefinisikan bid’ah.
Al-Imam
An-Nawawi rahimahullah berkata:
والبدعة بكسر الباء في الشرع هي إحداث ما لم يكن في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Bid’ah (dengan ba’ yang dikasrah) dalam syariat adalah mengada-adakan
sesuatu yang tidak ada pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam” [Tahdziib Al-Asmaa’ wal Lughaat, 2/22]
Jika
kita memahami definisi bid’ah sebagaimana penjelasan An-Nawawi, maka segala
sesuatu yang diada-adakan sepeninggal nabi adalah bid’ah. Berangkat dari
definisi ini, maka mempelajari ilmu Nahwu adalah bid’ah, belajar ilmu Ushul
Fiqh adalah bid’ah, Shalat Tarawih secara berjama’ah di Masjid sebulan penuh
adalah bid’ah, penggunaan komputer, mobil, pesawat adalah bid’ah, pembukuan
Al-Qur’an di masa khalifah Abu Bakar adalah bid’ah, dan masih banyak contoh
lain. Seluruhnya tergolong bid’ah menurut definisi ini, karena memang tidak ada
pada masa nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Setelah
itu, kita analogikan definisi bid’ah An-Nawawi dalam hadits nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam. Rasulullah bersabda:
وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Setiap bid’ah (segala sesuatu yang
diada-adakan sepeninggal nabi) adalah sesat”.
Maka penggunaan komputer, mobil dan
pesawat adalah sesat, mempelajari ilmu Nahwu dan Ushul Fiqh adalah sesat,
pembukuan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar adalah sesat, karena semuanya itu
adalah perkara yang diada-adakan sepeninggal nabi. Hadits di atas adalah
musykil (sulit dipahami secara zhahir) bagi para ulama yang mendefinisikan bid’ah
seperti definisi An-Nawawi. Karena An-Nawawi tidak membatasi bid'ah dalam masalah agama saja, namun mencakup masalah dunia dan masalah agama. Pokoknya segala sesuatu yang tidak ada di zaman Nabi adalah bid'ah. Oleh karena itu, An-Nawawi rahimahullah melakukan
takwil untuk mengatasi kemusykilan tersebut.
An-Nawawi rahimahullah menyatakan:
قَوْلُهُ
صلى الله عليه وسلم وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ هَذَا عَامٌّ مَخْصُوْصٌ
وَالْمُرَادُ غَالِبُ الْبِدَعِ. (الإمام الحافظ النووي، شرح صحيح مسلم، ٦/١٥٤).
“Sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, “semua bid’ah adalah sesat”, ini adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Maksud
“semua bid’ah itu sesat”, adalah sebagian besar
bid’ah itu sesat, bukan seluruhnya.” [Syarh Shahih Muslim, 6/154]
Namun
Kyai Idrus Ramli lalai, meskipun An-Nawawi tidak menggenalisir semua bid’ah
adalah sesat, namun An-Nawawi menyatakan sebagian besar bid’ah adalah sesat.
Mungkin berbeda dengan pemahaman Kyai, sebagian besar bid’ah menurut kyai
adalah bid’ah hasanah dan baik.
Kyai
juga tidak menyebutkan contoh bid’ah sesat yang dimaksud oleh An-Nawawi. Ketika
menukil dan berdalil dengan perkataan ulama, Anda harus menukil secara
keseluruhan, tidak mengambil perkataan An-Nawawi di sebagian tempat, kemudian
meninggalkan perkataannya di tempat yang lain.
Anda
terjatuh dalam kesalahan besar, tatkala Anda membawakan perkataan An-Nawawi
untuk melegalkan amalan bid’ah yang Anda lakukan sekarang. Apakah An-Nawawi
mengetahui amalan bid’ah yang Anda ada-adakan sekarang? Tentu tidak. Supaya fair, Anda juga
harus menjelaskan contoh sebagian kecil bid’ah yang tidak dianggap sesat oleh
An-Nawawi. Kenyataannya Anda tidak menyebutkan permasalahan tersebut. Jadi mohon maaf,
saya terpaksa membantu Anda menyebutkan sebagian kecil bid’ah yang dianggap
sesat oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullah.
Menurut
An-Nawawi, mencari berkah (tabarruk) dengan mengusap kuburan para wali dan
orang shalih adalah bid’ah yang sesat
[1] Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
وقال الفقهاء المتبحرون الخراسانيون المستحب في زيارة القبور أن يقف مستدبر القبلة مستقبلا
وجه الميت يسلم ولا يمسح
القبر ولا يقبله ولا يمسه فان ذلك عادة النصارى (قال) وما ذكروه صحيح لانه قد
صح النهى عن تعظيم القبور ولانه إذا لم يستحب استلام الركنين الشاميين من اركان
الكعبة لكونه لم يسن مع استحباب استلام الركنين الآخرين فلان لا يستحب مس القبور
أولي والله أعلم
“Para Fuqaha’ dari Khurasan berkata: “Disunahkan ketika ziarah
kubur berdiri membelakangi kiblat dan menghadap wajah mayit. Lalu memberi salam tanpa mengusap, mencium dan
menyentuh kuburnya. Karena hal tersebut merupakan kebiasaan orang-orang
Nashrani.” An-Nawawi berkata: “Perkataan
mereka benar, karena telah shahih (hadits-hadits –pen) tentang larangan
mengagungkan kuburan. Alasan yang lain, ketika seorang tidak disunahkan untuk
mencium dua rukun Syam yang merupakan bagian dari rukun Ka’bah, bersamaan
dengan disunahkannya mencium dua rukun yang lain. Maka tidak disunahkannya
mengusap kuburan lebih utama, Allahua’lam.” [Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab,
5/311]
[2] Al-Imam An-Nawawi rahimahullah juga
menukil perkataan sebagian ulama:
اتبع طرق الهدى ولا يضرك قلة السالكين وإياك وطرق الضلالة ولا تغتر بكثرة
الهالكين ومن خطر بباله أن المسح باليد ونحوه أبلغ في البركة فهو من جهالته
وغفلته لان البركة إنما هي فيما وافق الشرع وكيف ينبغي الفضل في مخالفة الصواب
“Ikutilah jalan-jalan hidayah, meskipun orang-orang yang berada
di atas hidayah sangat sedikit. Hal itu tidak akan memberikan mudharat padamu.
Waspadalah dari jalan-jalan kesesatan. Janganlah tertipu dengan banyaknya orang
yang binasa. Diantara kesesatan yang berbahaya adalah keyakinan mereka bahwa mengusap
(kuburan atau tempat-tempat yang dikeramatkan –pen) dengan tangan dan
semisalnya dapat mendatangkan keberkahan yang lebih banyak. Keyakinan ini
disebabkan oleh kebodohan dan kelalaian mereka. Sesungguhnya keberkahan hanyalah
diperoleh dalam hal-hal yang sesuai dengan syariat. Bagaimana mungkin mereka
mencari keutamaan (berkah –pen) dalam perkara-perkara yang menyelisihi
kebenaran!!” [Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, 8/275]
Menurut An-Nawawi, mencari berkah (tabarruk) dengan shalat di kuburan para
wali dan orang shalih juga merupakan bid’ah yang sesat.
[3] Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
هذا هو الصواب الذي قاله العلماء وأطبقوا عليه ولا يغتر بمخالفة كثيرين من
العوام وفعلهم ذلك.
فان الاقتداء والعمل انما يكون بالاحاديث الصحيحة وأقوال العلماء ولا يلتفت
إلى محدثات العوام وغيرهم وجهالاتهم
“Inilah (aqidah –pen-) yang benar, aqidah yang diyakini oleh
para ulama dan apa yang diterapkan langsung oleh mereka. Janganlah
tertipu dengan banyaknya orang-orang awam yang melakukan penyelisihan.
Sesungguhnya ittiba’ dan amal hanyalah diambil dari hadits-hadits
yang shahih dan perkataan para ulama. Janganlah menoleh pada
bid’ah-bid’ah yang dilakukan orang-orang awam dan orang-orang bodoh di
kalangan mereka.” [Al-Majmu’, 8/275]
[4] Al-Munawi rahimahullah menukilkan perkataan An-Nawawi dalam kitabnya,
(لا تصلوا إلى قبر ولا تصلوا على قبر)
فإن ذلك مكروه فإن قصد إنسان التبرك بالصلاة في تلك
البقعة فقد ابتدع في الدين ما لم يأذن به الله والمراد كراهة التنزيه قال النووي :
كذا قال أصحابنا ولو قيل بتحريمه لظاهر الحديث لم يبعد ويؤخذ من الحديث النهي عن
الصلاة في المقبرة فهي مكروهة كراهة تحريم
“Perkataan nabi “Janganlah kalian shalat menghadap kuburan dan jangan
pula shalat di atasnya”menunjukkan bahwa amalan ini tidak disukai. Jika
seorang menyengaja untuk mencari berkah (tabarruk) dengan melakukan shalat di kuburan,
sungguh ia telah berbuat bid’ah dalam agama yang tidak diridhai Allah.
Menurutku, perbuatan tersebut dibenci. An-Nawawi berkata:
“Demikianlah pendapat sebagian sahabat kami. Seandainya perbutan tersebut
dihukumi haram sebagaimana dzahir hadits, maka hal ini pun dapat dibenarkan. Keharaman
perbuatan tersebut diambil dari hadits larangan shalat di kuburan.” [Faidhul
Qadir, 6/528]
Menurut An-Nawawi, shalat Ar-Raghaib adalah bid’ah yang sesat dan munkar
[5] An-Nawawi rahimahullah berkata:
واحتج به العلماء على كراهة هذه الصلاة المبتدعة التي تسمى الرغائب قاتل الله
واضعها ومخترعها فانها بدعة منكرة من البدع التي هي ضلالة وجهالة وفيها منكرات
ظاهرة وقد صنف جماعة من الأئمة مصنفات نفيسة في تقبيحها وتضليل مصليها ومبتدعها
ودلائل قبحها وبطلانها وتضلل فاعلها أكثر من أن تحصر والله أعلم
“Para ulama berhujjah tentang dibencinya shalat bid’ah ini yaitu yang
dinamakan Shalat Ar-Raghaib. Semoga Allah membinasakan orang yang
pertama kali mengamalkan dan mengada-adakannya, karena shalat itu adalah
bid’ah yang munkar. Perbuatan itu termasuk bid’ah yang merupakan
kesesatan dan kebodohan.
Di dalamnya terdapat berbagai kemungkaran yang sangat jelas. Sekumpulan
para ulama telah menulis kitab-kitab yang bagus untuk menjelaskan keburukan dan
kesesatan orang yang melakukan shalat ini. Dalam kitab itu disebutkan
keburukan, kebatilan dan kesesatan pelakunya dengan bilangan yang tidak terhitung
jumlahnya. Allahua’lam” [Syarh Shahih Muslim, 8/20]
Dalam hal ini, Ibnu Taimiyyah yang bermadzhab Hambali lebih dekat
dengan keyakinan An-Nawawi daripada Anda yang mengaku-ngaku pengikut madzhab
Syafi’i tulen.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وأما صلاة الرغائب فلا أصل لها ، بل هي محدثة ، فلا تستحب لا جماعة ولا فراداى
“Adapun Shalat Ar-Raghaib, maka shalat ini tidak dalilnya,
bahkan termasuk perkara yang diada-adakan, tidak disunahkan melakukan shalat
tersebut baik secara jama’ah maupun sendirian” [Majmuu’ Al-Fatawa,
23/132]
Begitu banyak contoh bid’ah yang dianggap sesat oleh An-Nawawi, karena
beliau memang menganggap sebagian besar bid’ah adalah sesat. Namun saya
cukupkan dengan tiga contoh di atas, agar Anda dan para pengikut Anda bisa
mengambil ibrah dan pelajaran dari seorang An-Nawawi. Beliau adalah imam kita
bersama, Imam dari pihak Wahhabi dan Imam dari pihak Aswaja.
Allahua’lam, semoga bermanfaat
Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 2 Shafar 1437
Bila ada waktu mohon dibantah tulisan-tulisan temannya Idrus Ramli ini Ustadz terutama aqidah mereka bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah :
ReplyDeletehttp://kitab-kuneng.blogspot.co.id/2012/07/debat-lucu-ahlussunnah-vs-salafy-wahabi.html
"Menjawab Syubhat Kyai Idrus Ramli dalam Melegalkan Bid’ah Hasanah."
ReplyDeletekalau kita perhatikan perkataan Kyai Idrus Ramli -Hafizhohullah-, bukan beliau saja yang melegalkan adanya pembagian bid'ah menjadi bid'ah hasanah. sebelum beliau banyak ulama membagi bid'ah (hasanah dan sasyyi'ah). jadi saran saya, judl tulisan ini tolong sedikit disesuaikan. beliau tidak lah membuat sybuhat. salah beliau (anggaplah kalau beliau salah) kan cuma karen tidak menyebutkan contoh-bid'ah hasanah yang dimaksud Imam Nawawi.
sebagai kesimpulan, bid'ah hasanah seperti pemahaman imam Nawawi memang benar. dan hadits Nabi saw diatas adalah umum.
jgn dibandingkan pemahaman imam Nawawi dgn hadits Rasul. Krn hadits Nabi tersebut..difahami seperti itu oleh Imam Nawawi..
ReplyDeleteUntuk menambah wawasan, silahkan baca artikel Perbedaan Definisi Bid'ah Sebagian Ulama Syafi'iyyah dan Ulama Wahabi
ReplyDelete