Dari Aisyah
radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ وَضَعَتْ ثِيَابَهَا فِي
غَيْرِ بَيْتِ زَوْجِهَا فَقَدْ هَتَكَتْ سِتْرَ مَا بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللَّهِ
“Wanita
manapun yang melepaskan pakaiannya di luar rumah suaminya, sungguh ia telah
menyingkap penutup antara dirinya dan Allah”
[HR. Abu Daud no. 4010, At-Tirmidzi no. 2803 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 2710]
[HR. Abu Daud no. 4010, At-Tirmidzi no. 2803 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 2710]
Sepintas
membaca hadits di atas, dipahami bahwa seorang muslimah tidak boleh melepas
pakaiannya di luar rumah secara mutlak, bahkan saat ia berada di
toilet umum sekalipun. Benarkah demikian?
Al-Imam Al-Munawi
rahimahullah berkata:
( وضعت ثيابها في غير بيت زوجها ) كناية عن تكشفها للأجانب ، وعدم تسترها
منهم ،
( فقد هتكت ستر ما بينها وبين الله عز وجل ) لأنه تعالى أنزل لباسا ليوارين به سوأتهن ، وهو لباس التقوى ، وإذا لم يتقين الله ، وكشفن سوأتهن ، هتكن الستر بينهن وبين الله تعالى
( فقد هتكت ستر ما بينها وبين الله عز وجل ) لأنه تعالى أنزل لباسا ليوارين به سوأتهن ، وهو لباس التقوى ، وإذا لم يتقين الله ، وكشفن سوأتهن ، هتكن الستر بينهن وبين الله تعالى
“Melepaskan
pakaiannya di luar rumah suaminya adalah kinayah ketika ia membuka pakaiannya
di hadapan lelaki asing (yang bukan mahram) serta tidak menutup auratnya dari
mereka.
Sungguh ia
telah menyingkap penutup antara dirinya dan Allah ‘azza wajalla, karena Allah
ta’ala menurunkan pakaian untuk menutup aurat mereka yaitu pakaian ketakwaan.
Apabila ia tidak bertakwa kepada Allah, maka ia telah membuka auratnya dan
tersingkaplah penutup antara dirinya dan Allah ta’ala” [Faidhul Qadir, 3/176]
والظاهر أن نزع الثياب عبارة عن تكشفها للأجنبي
لينال منها الجماع أو مقدماته ، بخلاف ما لو نزعت ثيابها بين نساء مع المحافظة على
ستر العورة ، إذ لا وجه لدخولها في هذا الوعيد
“Makna yang
benar dari lafazh “melepaskan pakaian” adalah membuka auratnya diantara lelaki
asing dengan tujuan bersetubuh atau pendahuluan sebelum bersetubuh. Berbeda
ketika ia melepaskan pakaiannya diantara wanita, namun tetap menutup aurat, tidak
ada pendalilan untuk memasukkan keadaan tersebut dalam ancaman hadits ini.”
[Faidhul Qadir, 3/ 189]
Para ulama
Al-Lajnah Ad-Da’imah berkata:
مراده صلى الله عليه وسلم والله أعلم : منعها من
التساهل في كشف ملابسها في غير بيت زوجها على وجه تُرى فيه عورتها ، وتتهم فيه
لقصد فعل الفاحشة ونحو ذلك ، أما خلع ثيابها في محل آمن ، كبيت أهلها ومحارمها
لإبدالها بغيرها ، أو للتنفس ونحو ذلك من المقاصد المباحة البعيدة عن الفتنة- فلا
حرج في ذلك
“Makna yang
dimaksud Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam -Allahua’lam- adalah larangan bagi
wanita agar tidak bermudah-mudahan melepaskan pakaiannya di luar rumah suaminya
hingga auratnya terlihat atau dengan niat melakukan zina atau dengan tujuan
yang semisal. Adapun melepaskan pakaiannnya di tempat yang aman, seperti di
rumah keluarganya, di rumah mahramnya untuk ganti baju atau untuk keperluan
yang diperbolehkan dan tidak dikhawatirkan terjadi fitnah, hal itu tidak
masalah” [Fatawa Al-Lajnah, 17/ 224]
Asy-Syaikh
Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata:
الأقرب والله أعلم أن المراد بذلك إذا خلعتها
للفاحشة والشر، أو لعدم المبالات حتى يراها الرجال، أما إذا خلعتها لمصلحة في بيت
أخيها أو بيت أبيها أو بيت محرمٍ لها، أو بيت مأمون عند أخواتها في بيت ليس فيه
خطر في تغيير ملابسها، أو للتحمم والاغتسال على وجهٍ ليس فيه إظهار العورة للناس
وليس فيه خطر فالأقرب والله أعلم أنه لا حرج في ذلك
“Makna yang
lebih dekat pada kebenaran –Allahua’lam- adalah ketika wanita tersebut
melepaskan pakaiannya dengan tujuan zina dan melakukan perbuatan keji atau
ketika ia tidak memperhatikan auratnya hingga terlihat oleh lelaki.
Adapun saat
ia melepaskan pakaian di rumah saudara laki-lakinya, di rumah ayahnya, di rumah
mahramnya, di rumah saudara perempuannya maupun di rumah yang aman untuk
berganti pakaian atau untuk keperluan mandi dan buang air dengan tetap menjaga
auratnya dari pandangan manusia, serta tidak khawatir terjadi fitnah, hal itu
tidak masalah Allahua’lam.” [http://www.ibnbaz.org.sa/mat/10932]
Asy-Syaikh
Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata:
فقد بلغني أن بعض المتنطعات من النساء يمتنعن من
وضع الخمارأمام المسلمات في غير بيتها ، فكنت أنكر ذلك ؛ لمخالفته رخصة الله لهن
في مثل قوله تعالى : {وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ
آَبَائِهِنَّ ... } الآية ، إلى أن قال :
{أَوْ نِسَائِهِنَّ} ، فكنت أتساءل عن سبب ذاك التشدد ؟! حتى وجدت هذا الحديث
{أَوْ نِسَائِهِنَّ} ، فكنت أتساءل عن سبب ذاك التشدد ؟! حتى وجدت هذا الحديث
“Sungguh
telah sampai berita kepadaku bahwa sebagian wanita yang ghuluw dalam beragama,
ia tidak mau membuka kerudungnya di depan wanita-wanita muslimah di luar rumahnya.
Aku pun mengingkarinya, karena hal itu menyelisihi rukhshah (keringangan) yang
Allah berikan kepada mereka, seperti firman Allah ta’ala:
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا
لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آَبَائِهِنَّ ...
“Janganlah
mereka (wanita muslimah) menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami-suaminya
atau ayahnya…” hingga firman Allah “…dan wanita-wanita dari kalangan
mereka (muslimah)”
Aku pun
bertanya-tanya tentang penyebab sikap ekstrim ini, hingga aku menemukan hadits
tersebut…” [Silsilah Adh-Dhaifah no. 2616]
Asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata:
هذا إن صح فالمراد أن المرأة تضع ثيابها في حال
يخشى أن يطلع عليها من لا يحل له الاطلاع عليها
“Jika hadits
ini shahih, maknanya adalah wanita yang melepaskan pakaiannya saat
dikhawatirkan auratnya terlihat oleh orang-orang yang tidak halal melihatnya”
[Fatawa Nur ‘ala Darb no. 9460]
Allahua’lam,
semoga bermanfaat
No comments:
Post a Comment