Diantara
penyimpangan Khawarij adalah mengkafirkan pelaku dosa besar, baik dosa besar
karena meninggalkan amal yang wajib maupun dosa besar terjatuh dalam maksiat. Menurut
Khawarij, afraad a’mal adalah syarat keshahihan iman.
Apabila seorang muslim meninggalkan salah satu amalan wajib yang menjerumuskan dalam dosa besar, maka ia kafir. Misalkan seorang muslim yang meninggalkan zakat, maka ia kafir, karena zakat termasuk syarat keshahihan iman. Seorang yang meninggalkan puasa Ramadhan, maka ia kafir, karena puasa Ramadhan termasuk syarat keshahihan iman, dan seterusnya. Ditinjau dari sudut pandang ini, maka pernyataan “amal adalah syarat keshahihan iman” adalah keyakinan Khawarij
Apabila seorang muslim meninggalkan salah satu amalan wajib yang menjerumuskan dalam dosa besar, maka ia kafir. Misalkan seorang muslim yang meninggalkan zakat, maka ia kafir, karena zakat termasuk syarat keshahihan iman. Seorang yang meninggalkan puasa Ramadhan, maka ia kafir, karena puasa Ramadhan termasuk syarat keshahihan iman, dan seterusnya. Ditinjau dari sudut pandang ini, maka pernyataan “amal adalah syarat keshahihan iman” adalah keyakinan Khawarij
Ditinjau
dari sudut pandang yang lain, istilah “amal merupakan syarat keshahihan iman”
merupakan aqidah ahlus-sunnah. Makna dari istilah ini, dalam iman seorang
muslim harus terdapat tiga komponen yang tidak terpisahkan yaitu i’tiqad (keyakinan)
dalam hati, ucapan syahadat dalam lisan dan amal jawarih (anggota badan). Ketiadaan
salah satu dari komponen tersebut menyebabkan seseorang terjatuh dalam
kekafiran.
Seorang yang
bersyahadat dalam lisan, beramal dengan amal jawarih namun tidak meyakini dalam
hati, maka ia kafir munafik. Seorang yang meyakini dalam hati, beramal dengan
amal jawarih, namun tidak bersyahadat di lisannya, maka ia kafir seperti
kafirnya Abu Thalib paman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Abu Thalib
meyakini kebenaran ajaran Nabi, beramal dengan mendukung dan melindungi Nabi,
tapi ia enggan bersyahadat, maka ia juga kafir. Seorang yang meyakini dalam
hati, bersyahadat di lisan, namun tidak mau beramal dengan amal jawarih, maka
ia juga kafir. Kenapa kafir? Karena ia tidak memiliki komponen ketiga dalam
iman yaitu amal.
Satu istilah
namun memiliki tiga interpretasi. Salah dalam memahami istilah ini, Anda bisa
terjerumus dalam pemikiran Khawarij atau Murji’ah.
Demikian
pula istilah “amal merupakan penyempurna iman”, bisa ditafsirkan kepada keyakinan
Murji’ah. Apabila Anda meyakini seluruh amal adalah penyempurna iman, dalam
artian seorang yang tidak mau beramal, maka tidak menyebabkan kekafiran, maka
Anda telah terjangkiti keyakinan Murji’ah. Karena Anda meletakkan amal di luar
lingkaran iman, meskipun tidak ada amal, iman tetap ada.
Adapun
ahlus-sunnah meyakini keberadaan amal seperti rukun, ketiadaan amal
menunjukkan ketiadaan iman. Jika Anda mengerjakan shalat namun meninggalkan
salah satu rukunnya, bukankah shalat Anda tidak sah? Anda membaca Al-Fatihah,
berdiri, ruku’ namun tidak sujud, tentu shalat Anda tidak sah. Demikian pula seorang
yang tidak beramal, keyakinannnya dalam hati dan ucapan syahadatnya di lisan,
tidak cukup untuk mengesahkan imannya, harus ada amal sebagai pembuktian iman.
Dilihat dari
sudut pandang lain, istilah “amal merupakan penyempurna iman” adalah keyakinan
ahlus-sunnah. Karena tidak semua amal jawarih teranggap sebagai rukun dalam
iman. Sebagian amal kedudukannya seperti rukun, sebagian yang lain kedudukannya
sebagai amalan wajib, sebagian yang lain kedudukannya sebagai amalan sunah dan
penyempurna iman.
Contoh
sebagian amal yang kedudukannya seperti rukun adalah shalat wajib menurut pendapat
sebagian ulama, dimana seorang yang meniggalkannya bisa dikafirkan. Contoh
sebagian amal yang kedudukannya sebagai amalan wajib adalah puasa Ramadhan,
dimana seorang yang tidak berpuasa, ia tidak dikafirkan namun terjerumus dalam
dosa besar. Contoh sebagian amal yang kedudukannya sebagai amal sunah atau penyempurna
adalah menyingkirkan gangguan di jalan, melakukan haji sunah atau umrah sunah
untuk orang tua, dan semisalnya. Kedudukan amal dalam iman bertingkat-tingkat.
Istilah
“amal merupakan penyempurna iman” tidak serta merta mendukung pemikiran Murji’ah,
tergantung bagaimana Anda memahami istilah tersebut, apakah pemahaman Anda
selaras dengan aqidah ahlus-sunnah atau bahkan menyepakati Murji’ah??
Istilah “amal
merupakan penyempurna iman” yang dimaksud oleh Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi
Al-Madkhali hafizhahullah adalah keyakinan ahlus-sunnah. Saya menyatakan
demikian berdasarkan apa yang saya baca dan saya dengar dari Asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah.
Dulu ketika masih menetap di Makkah, guru kami Asy-Syaikh Rabi’ pernah merinci
istilah ini saat beliau mengadakan muhadharah di perpustakaan rumah beliau
membahas kitab aqidah, dan saya termasuk yang hadir dalam muhadharah tersebut.
Seandainya
Asy-Syaikh Rabi’ memahami istilah “amal merupakan penyempurna iman” sebagaimana
keyakinan Murji'ah, tentu beliau tidak akan mengkafirkan seorang yang meninggalkan
amal secara total. Namun perkataan Asy-Syaikh Rabi’ berikut
mematahkan tuduhan dusta yang dialamatkan kepada beliau.
Asy-Syaikh Rabi' bin Hadi Al-Madkhali hafidzahullah berkata:
أرى أن تارك
كل العمل كافر زنديق
“Aku berpendapat bahwa seorang meninggalkan seluruh amal
(jawarih –pen-) maka ia kafir zindiq”
Asy-Syaikh Rabi’ hafidzahullah berkata:
ولقد صرحت
مرارًا بأني أوافق أهل السنة فيما حكموا به على تارك العمل بالكلية
“Sungguh aku telah menegaskan berulang kali bahwa aku
menyepakati Ahlussunnah dalam permasalahan “hukum seorang yang meninggalkan
amal secara total”..”
Asy-Syaikh Rabi’ hafidzahullah berkata:
ويقول عني
إنِّي خالفت السلف في جنس العمل وفي قضايا الإيمان وهو الكذوب, وإذا رجع المسلم المنصف
إلى كلامي يجده مطابقاً لمنهج السلف ولما قرَّرُوه ويجد في كلامي التصريح بأنَّ
تارك العمل بالكلية كافر زنديق
“Ia menyatakan bahwa aku menyelisihi salaf tentang istilah “jinsul
a’maal” dalam permasalahan iman. Sungguh ia telah berdusta. Jika seorang muslim
yang bersikap inshaf (adil) mau membaca perkataanku, tentu ia
akan mengetahui bahwa pendapatku sesuai dengan manhaj Salaf. Jika mereka mau
menelaah perkataanku, maka mereka akan mendapatkan pernyataan tegas dariku
bahwa seorang yang meninggalkan amal secara total maka ia
kafir zindiq.”
Asy-Syaikh Rabi’ hafidzahullah berkata:
فقد صرحت
مرارًا بتكفير تارك العمل ولكن الحدادية لهم أصل خبيث، وهو أنهم إذا ألصقوا بإنسان
قولاً هو بريء منه ويعلن براءته منه
“Sungguh aku telah menegaskan berulang kali tentang kafirnya
seorang yang meninggalkan amal, namun Al-Haddadiyyah memiliki prinsip yang
buruk. Mereka menyandarkan pada seseorang suatu perkataan (yang tidak yakininya
–pen-), meskipun orang yang dituduh secara terang-terangan telah berlepas diri
dari perkataan tersebut.” [Ithaaf Ahlis Shidq wal Irfaan bi Kalami Asy-Syaikh
Rabi’ fi Masa’ilil Iman hal. 219-234]
Giliran saya
meminta bukti dari kalian, adakah perkataan Asy-Syaikh Ali Hasan yang terang
dan jelas dalam permasalahan iman sebagaimana perkataan Asy-Syaikh Rabi’ di
atas??
Mereka tokoh-tokoh
yang ditahdzir para ulama Al-Lajnah Ad-Da’imah seperti Asy-Syaikh Ali Hasan Al-Halabi dan
semisalnya, memaksudkan istilah tersebut kepada keyakinan Murji’ah. Amal hanya
penyempurna iman, meskipun tidak beramal, iman Anda sah-sah saja!! Tulisan-tulisan
Ali Hasan dan murid-muridnya sudah cukup sebagai bukti, apakah perlu saya
nukilkan keterangan-keterangan tersebut di sini?? Mereka menggunakan istilah
apa pun, saya tidak masalah. Namun jelaskan pada para pembaca apa yang kalian
pahami tentang istilah-istilah tersebut!!
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وَأَمَّا الْأَلْفَاظُ الَّتِي لَيْسَتْ فِي الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَلَا اتَّفَقَ السَّلَفُ عَلَى نَفْيِهَا أَوْ إثْبَاتِهَا فَهَذِهِ لَيْسَ عَلَى أَحَدٍ أَنْ يُوَافِقَ مَنْ نَفَاهَا أَوْ أَثْبَتَهَا حَتَّى يَسْتَفْسِرَ عَنْ مُرَادِهِ فَإِنْ أَرَادَ بِهَا مَعْنًى يُوَافِقُ خَبَرَ الرَّسُولِ أَقَرَّ بِهِ وَإِنْ أَرَادَ بِهَا مَعْنًى يُخَالِفُ خَبَرَ الرَّسُولِ أَنْكَرَهُ . ثُمَّ التَّعْبِيرُ عَنْ تِلْكَ الْمَعَانِي إنْ كَانَ فِي أَلْفَاظِهِ اشْتِبَاهٌ أَوْ إجْمَالٌ عُبِّرَ بِغَيْرِهَا أَوْ بَيَّنَ مُرَادَهُ بِهَا بِحَيْثُ يَحْصُلُ تَعْرِيفُ الْحَقِّ بِالْوَجْهِ الشَّرْعِيِّ
“Adapun
istilah-istilah yang tidak terdapat dalam Al-Kitab, As-Sunnah dan tidak pula
disepakati oleh Salaf dalam hal peniadaan dan penetapannya. Maka
tidak boleh bagi seorang pun untuk mendukung atau mengingkarinya hingga ia
meminta penjelasan tentang maksud istilah tersebut. Jika istilah tersebut
mengandung makna yang selaras dengan berita dari Rasul, maka silahkan ia
menerimanya. Namun, jika istilah tersebut mengandung makna yang menyelisihi
berita dari Rasul, hendaklah ia mengingkarinya, lalu menjelaskan makna-makna
(batil –pen-)yang terkandung di dalamnya.
Jika dalam
istilah tersebut terdapat kesamaran atau terlalu global, maka hendaknya ia
menggunakan istilah lain. Jika tidak, maka ia harus menjelaskan maksud dari
istilah global tersebut hingga dipahami sebuah definisi yang benar dan sesuai
dengan syariat. [Majmu’ Al-Fatawa, 12/114]
Sehingga untuk
menghindari kesalahpahaman pembaca dalam memahami perkataan ulama salaf tentang
kedudukan amal dalam iman, para ulama membedakan istilah jinsul amal dan afraad
a’mal. Meninggalkan jinsul amal maknanya adalah meninggalkan amal secara total,
sedangkan meninggalkan afraad a’mal maknanya meninggalkan sebagian amal.
Seorang yang meninggalkan jinsul amal, mungkin ia telah meyakini dalam hati dan
bersyahadat di lisan, namun ia sama sekali tidak beramal dengan amal jawarih, para ulama telah
ijma’ tentang kekafiran orang model ini. Diantara ulama yang menukilkan ijma’, Al-Humaidi
dalam Kitab As-Sunnah (3/586) karya Al-Khallal, Asy-Syafi’i dalam Majmuu’
Al-Fatawaa (7/209), Al-Ajurri dalam Kitabus Syari’ah (2/611), Abu Ubaid
Al-Qasim bin Sallam dalam Kitabul Iman hal. 18-19, Ibnu Taimiyyah dalam Majmuu’
Al-Fatawaa (14/120)
Adapun seorang
yang meninggalkan afraad a’mal, ia telah meyakini iman dalam hati, bersyahadat
dalam lisan dan beramal dengan amal jawarih, hanya saja ia masih meninggalkan
sebagian amal, baik yang sifatnya wajib atau sunah, sehingga hukumnya
bergantung pada amal yang apa yang ia tinggalkan. Apabia ia meninggalkan amal
yang menyebabkan kekafiran seperti shalat, maka dikafirkan menurut sebagian ulama,
dan apabila ia meninggalkan amal yang tidak menyebabkan kekafiran, maka tidak
dikafirkan. Aqidah ahlus-sunnah dalam permasalahan iman pertengahan antara pengkafiran
Khawarij dan pelabelan muslim oleh Murji’ah bagi orang yang tidak memiliki amal.
Allahua’lam,
semoga bermanfaat
Ustadz, tentang meninggalkan shalat karena malas tapi masih meyakini kewajibannya, dulu ana pernah baca di majalah asysyariah bahwa pelakunya dihukumi kafir kecil (kalo g salah istilahnya kafir duna kufrin- mohon koreksi kalo salah) dan masih seorang muslim. bagaimana ustadz dgn istilah tersebut?
ReplyDeleteKekufuran terbagi dua: kufur akbar yang mengeluarkan dari Islam dan kufur asghar yang tidak mengeluarkan dari Islam. Para ulama mengistilahkan kufur asghar dengan "kufrun duna kufrin" artinya kekufuran di bawah kekufuran (bukan kufur akbar).
ReplyDeleteTentang permasalahan meninggalkan shalat karena malas tanpa mengingkari kewajibannya, para ulama berselisih. Jumhur ulama yaitu Abu Hanifah, Malik dan Asy-Syafi'i berpendapat tidak kafir. Mereka memahami hadits-hadits yang menyebutkan ancaman kufur bagi yang meninggalkan shalat adalah kufur asghar. Sedangkan Al-Imam Ahmad berpendapat kafir, karena membawakan makna kufur dalam hadits-hadits ancaman kepada kufur akbar.
Kebanyakan ulama muhaqqiqin madzhab merajihkan pendapat jumhur (tidak kafir), diantara ulama yang berpendapat demikian adalah An-Nawawi, Ibnu Qudamah, Asy-Syaukani, Al-Albani, dan lainnya rahimahumullah.
Perselisihan ulama tentang kekafiran orang yang meninggalkan shalat ini tidak ada kaitannya dengan aqidah Murji'ah. Khilaf ini intern antara ulama ahlus-sunnah seperti yang telah saya sebutkan di atas
Allahua'lam
Ustadz Abul Harits,.. Orang yang menuduh Syaikh Rabee' berpemahaman murji'ah menyimpulkan dari tulisan beliau di link berikut: http://www.rabee.net/ar/artdownload.php?id=154. Mohon kiranya untuk diberikan penjelasan ustadz,.. jazzakallaahu khaiir sebelumnya
ReplyDeleteFulan (yang mengomentari tulisan Syaikh Rabee' di atas) berkata:
ReplyDelete"Disana dr. Robi menyebutkan dalil dalil dan nukilan2 salaf, tapi sebagaimana kebiasaan orang yang menyimpang nukilan2 itu dipotong2 tidak dipahami dengan pemahaman yang baik, akhirnya ngaco.
Mari kembali kepada ulama kibar, syaikh sholeh al fawzan, syaikh bin baz dan kita jauhi mereka yanng menyimpang dalam masalah pokok seperti ini baik dr. Robi al madkholi ataupun selain beliau."
Mohon dijelaskan kesalahan pemahaman orang ini ustadz,.. akan lebih baik jika dibuat artikel khusus,.. Jazzakallaahu khaiir
Mohon dituliskan di sini, bagian mana yang dipotong oleh Syaikh Rabi atau perkataan salaf mana yang tidak dipahami dengan baik. Silahkan mereka yang menuduh agar mendatangkan bukti.
ReplyDelete