Tanya:
"Apakah seorang suami harus tetap memberikan nafkah kepada istrinya? Yang mana kedua suami istri tersebut masing-masing memiliki pekerjaan dan masing-masing keduanya memiliki penghasilan. Mohon dijawab!
Bagaimana sikap istri terhadap suaminya yang mana suaminya tersebut tidak pernah memberikan kepada istrinya itu nafkah? Dengan alasan istrinya tersebut memiliki pekerjaan dan memiliki penghasilan."
Jawab:
Ma’asyaral ikhwah rahimakumullah, dalam rumah tangga sebagaimana yang telah kita jelaskan. Suami, statusnya sebagai qowam, pemimpin dalam rumah tangga. Kalau dia berstatus sebagai pemimpin, maka dia yang berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Termasuk dalam hal memberi nafkah. Wajib bagi suami menafkahi istrinya begitu terjadi pernikahan, wajib bagi suami menafkahi istrinya. Apakah kebutuhan sehari-harinya, demikian pula perlengkapannya, pakaiannya, dan apa yang dibutuhkan. Masing-masing sesuai keadaan, masing-masing sesuai keadaan, dan itu wajib. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ ۖ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا ۚ سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
"Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan" [QS. At-Thalâq: 7]
Masing-masing sesuai dengan kadar yang Allah subhanahu wata’ala berikan. Yang kaya, memberikan sesuai dengan apa yang dia miliki. Yang miskin, memberikan, tetap memberi nafkah. Maka ini menunjukkan wajibnya seorang suami memberi nafkah kepada istrinya meskipun istrinya memiliki pekerjaan. Meskipun istrinya itu kaya raya. Dia dapat peninggalan warisan dari orang tuanya, menyebabkan dia kaya, misalnya. Meskipun, meskipun, dan tidak diperbolehkan bagi seorang suami mengambil harta istri, kecuali apabila istrinya merelakan, meridhakan. Yang wajib, suami harus menafkahi istrinya. Bukan suami dinafkahi istrinya.
Sekarang ini banyak yang terbalik, rumah tangga itu. Bukan rumah tangga lagi, tangga rumah, terbalik, kapalnya terbalik. Istrinya, manager, gajinya luar biasa banyaknya dalam sebulan. Suami, nongkrong di rumah, jaga anak, jadi pembantu, terbalik. Yang seperti ini banyak, banyak sekali. Allahul musta’an, ini merendahkan kedudukan lelaki. Menghilangkan status dia sebagai qowam. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
"Kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma´ruf" [QS. Al-Baqarah: 233]
Oleh karena itu sepakat para ulama, Ibnul Mundzir, menyebutkan kesepakatan ulama, ijma’ bahwa suami wajib menafkahi istrinya. Meskipun istrinya itu kaya raya. Meskipun istrinya punya pekerjaan, thayyib. Dan ma’asyaral ikhwah rahimakumullah, juga yang harus diperhatikan dari sisi pekerjaan istri. Asal hukum seorang wanita adalah tinggal di rumah.
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ
"hendaklah kalian tetap di rumah kalian" [QS. Al-Ahzâb: 33]
Rumah itu adalah tempat yang terbaik bagi seorang wanita. Ketika dia keluar, boleh. Selama dalam hajjatun syar’iyyah. Ada kebutuhan syar’i. Selama tidak ada unsur yang menyelisihi syara. Apabila ada pekerjaan seorang wanita yang menyelisihi syari’at, wajib bagi seorang suami untuk menasehati istrinya. Dan berusaha untuk menahannya. Karena itu sudah menjadi kewajiban suami untuk menafkahi istrinya tersebut. Nasehati dengan cara yang baik. Tapi kalau misalnya, pekerjaan tersebut suatu yang dibolehkan secara syar’i, istrinya mengajar misalnya, dan dia punya penghasilan. Itu milik istrinya, tidak diperbolehkan bagi suami untuk mengambilnya kecuali dengan keridhaannya, kecuali dengan keridhaannya.
Dan tidak sepantasnya bagi seorang suami, mengandalkan penghasilan dari istri, mengandalkan penghasilan istrinya. Lalu bersandar kepadanya. Dia bersenang-senang dengan hal ini. Ini menghilangkan statusnya sebagai laki-laki, sebagai pemimpin dalam rumah tangga. Allahul musta’an."
Dijawab oleh Ustadz Abu Mu'awiyah Askari hafizhahullah
Bismillah, afwan. bgaimana hukum perempuan yg menggunakan pewangi saat mencuci bajunya?
ReplyDeleteTidak apa-apa insya Allah. Wanita dilarang memakai wewangian hanya ketika ia hendak keluar rumah. Jika wanita tetap berada di dalam rumah atau akan melakukan shalat, justru ia dianjurkan memakai wewangian.
ReplyDeleteBerikut dalil-dalil larangan memakai wewangian bagi wanita saat keluar rumah,
Dari Abu Musa Al Asy’ary radhiyallahu 'anhu bahwa ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لِيَجِدُوا مِنْ رِيحِهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ
“Seorang wanita yang memakai wewangian lalu melalui sekumpulan laki-laki agar mereka mencium bau harumnya, maka perempuan tersebut adalah seorang pelacur.” [HR. An-Nasa’i, Abu Daud, At-Tirmidzi, Ahmad dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 323]
Dari Yahya bin Ja’dah, ia berkata:
“Di masa pemerintahan Umar bin Khathab ada seorang wanita yang keluar rumah dengan memakai wewangian. Di tengah jalan, Umar mencium bau harum dari wanita itu, maka Umar pun memukulinya dengan tongkat. Kemudian Umar berkata:
تخرجن متطيبات فيجد الرجال ريحكن وإنما قلوب الرجال عند أنوفهم اخرجن تفلات
“Kalian para wanita keluar rumah dengan memakai wewangian sehingga para laki-laki mencium bau harum kalian?! Sesungguhnya hati laki-laki ditentukan oleh bau yang dicium oleh hidungnya. Hendaklah kalian keluar rumah tanpa memakai wewangian”. [Dikeluarkan oleh 'Abdurrazaq dalam Al-Mushannaf no. 8107]
Allahua'lam