Tanya:
Ustadz, bagaimana sikap salafy yang baik dalam menghadapi fitnah?
Jawab:
Diantara adab seorang muslim dalam menghadapi fitnah:
[Pertama] Berdo’a kepada Allah agar dijauhkan dari fitnah, serta memohon
perlindungan pada Allah dari kejelekannya
Dari Al-Miqdad bin Al-Aswad radhiyallahu 'anhu, beliau berkata: Demi Allah Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ
السَّعِيدَ لَمَنْ جُنِّبَ الْفِتَنَ إِنَّ السَّعِيدَ لَمَنْ جُنِّبَ الْفِتَنِ
إِنَّ السَّعِيدَ لَمَنْ جُنِّبَ الْفِتَنُ وَلَمَنْ ابْتُلِيَ فَصَبَرَ فَوَاهًا
"Sesungguhnya orang yang berbahagia adalah orang yang
dijauhkan dari fitnah, sungguh orang yang berbahagia adalah orang yang
dijauhkan dari fitnah, sungguh orang yang berbahagia adalah orang yang
dijauhkan dari fitnah. Barangsiapa yang mendapatkan ujian lalu bersabar, maka
alangkah indahnya". [HR. Abu Daud no. 4263 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh
Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 975]
Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya Al-Hajjaj adalah azab Allah, maka janganlah
menolak azab Allah dengan tangan-tangan kalian. Namun hendaklah kalian
beribadah dan memanjatkan doa dengan kerendahan diri, karena Allah berfirman:
وَلَقَدْ أَخَذْنَاهُمْ بِالْعَذَابِ فَمَا اسْتَكَانُوا لِرَبِّهِمْ وَمَا يَتَضَرَّعُونَ
"Dan sesungguhnya Kami telah menimpakan azab kepada mereka, maka mereka tidak tunduk kepada Rabb mereka, dan (juga) tidak memohon (kepada-Nya) dengan merendahkan diri". [QS. Al Mu'minun: 76]
[Kedua] Menjaga ketakwaan pada Allah dalam segala kondisi, berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta istiqamah di atas manhaj As-Salaf Ash-Shalih
Allah ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
"Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia
akan memberikan baginya jalan keluar, serta memberinya rizki dari arah yang tidak
disangka-sangka. Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan
mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang
dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap
sesuatu". [QS. Ath-Thalaq:2-3]
Jika kita bertakwa pada-Nya, niscaya Allah akan memberikan
jalan keluar dari fitnah, musibah dan seluruh cobaan yang menimpa kita.
Ketika terjadi fitnah pada zaman tabi'in, sebagian orang
datang kepada Thalq bin Habib, lalu menyatakan bahwa fitnah telah terjadi,
bagaimana solusinya?
Beliau menjawab: "Berlindunglah darinya dengan takwa!"
Mereka bertanya: "Jelaskan kepada kami, apa yang engkau maksud dengan takwa?"
Beliau menjawab,"Takwa kepada Allah, yaitu melakukan ketaatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah dengan mengharapkan rahmat-Nya, serta meninggalkan kemaksiatan di atas cahaya dari Allah karena takut dari adzab-Nya. [Diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dan Ibnu Abi Dunya]
Beliau menjawab: "Berlindunglah darinya dengan takwa!"
Mereka bertanya: "Jelaskan kepada kami, apa yang engkau maksud dengan takwa?"
Beliau menjawab,"Takwa kepada Allah, yaitu melakukan ketaatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah dengan mengharapkan rahmat-Nya, serta meninggalkan kemaksiatan di atas cahaya dari Allah karena takut dari adzab-Nya. [Diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dan Ibnu Abi Dunya]
Dari 'Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
"Karena sesungguhnya, barangsiapa diantara kalian yang
hidup setelahku, maka (ia) akan melihat perselisihan yang banyak. Wajib bagi
kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Al-Khulafa
Ar-Rasyidin yang telah mendapatkan petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya
dan gigitlah dengan gigi geraham. Berhati-hatilah terhadap perkara baru yang
diada-adakan (dalam agama), karena setiap perkara baru yang diada-adakan adalah bid'ah,
dan setiap bid'ah adalah sesat". [HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi]
[Ketiga] Menyibukkan dirinya dengan ilmu yang bermanfaat
Ketika seorang sibuk menuntut ilmu, ia tidak akan berselera untuk membahas
fitnah-fitnah, karena ia telah merasakan manisnya ilmu dalam dirinya. Begitu
pula ketika ia telah memilki kekokohan ilmu, ia tidak mudah terombang-ambing
dalam badai fitnah. Selain itu, ia dapat menjawab berbagai syubhat yang datang
menyambarnya dengan ilmu dan bashirah
Imam Ibnu Abi Hatim bercerita tentang kisah perdebatan antara Imam
Asy-Syafi’i (murid Imam Malik bin Anas) dan Muhammad bin Al-Hasan (murid Imam
Abu Hanifah) rahimahumullah,
Asy-Syafi’i bertanya: “Siapakah yang lebih alim tentang Al-Qur’an, guruku
atau gurumu?”
Muhammad bin Al-Hasan berkata: “penilaian secara inshaf?”
Asy-Syafi’i berkata: “iya, aku bersumpah dengan nama Allah, siapakah yang
lebih alim tentang Al-Qur’an, guruku atau gurumu?”
Muhammad bin Al-Hasan: “gurumu (yaitu Imam Malik)”
Asy-Syafi’i berkata: “Siapakah yang lebih alim tentang As-Sunnah, guruku
atau gurumu?”
Muhammad bin Al-Hasan: “gurumu”
Asy-Syafi’i berkata: “Aku bersumpah dengan nama Allah, siapakah yang lebih
tahu tentang perkataan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
dan perkataan ulama mutaqaddimin, guruku ataukah gurumu?”
Muhammad bin Al-Hasan: “gurumu”
Asy-Syafi’i berkata: “Tidak tersisa lagi kecuali qiyas, kemudian qiyas
tidaklah digunakan kecuali dalam perkara ini (Al-Qur’an, hadits dan perkataan
sahabat –pen). Barangsiapa yang tidak mengerti ushul, bagaimana ia akan
menerapkan qiyas??” [Al-Jarh wat Ta’dil, 1/12-13 dengan sanad yang
shahih]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Seseorang haruslah memiliki ushul (pokok) yang menyeluruh, sehingga dapat
menjawab perkara-perkara cabang agar ia senantiasa berbicara dengan ilmu dan
keadilan” [Minhajus Sunnah, 5/83]
Orang-orang yang tidak memiliki kekokohan ilmu, bagaimana ia akan mengambil
sikap ketika terjadi fitnah? Ia juga tidak mengetahui kadar dirinya, kapan ia harus diam dan kapan
ia boleh berbicara...
[Keempat] Tidak mencari-cari kesalahan ulama atau thalibul ilmi
Dari Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu berkata: aku mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
إنك إن اتبعت عورات الناس أفسدتهم أو كدت أن تفسدهم
إنك إن اتبعت عورات الناس أفسدتهم أو كدت أن تفسدهم
“Sungguh jika engkau mencari-cari aib manusia, engkau akan merusak mereka atau
hampir-hampir engkau akan merusak mereka” [HR. Abu Daud no. 4888 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abu Daud, 10/388]
Dari Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu bahwa nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
يا معشر من آمن بلسانه ولم يدخل الإيمان قلبه لا تغتابوا المسلمين ولا تتبعوا عوراتهم فإنه من اتبع عوراتهم يتبع الله عورته ومن يتبع الله عورته يفضحه في بيته
يا معشر من آمن بلسانه ولم يدخل الإيمان قلبه لا تغتابوا المسلمين ولا تتبعوا عوراتهم فإنه من اتبع عوراتهم يتبع الله عورته ومن يتبع الله عورته يفضحه في بيته
“Wahai orang-orang yang telah beriman di lisannya, namun iman itu belum masuk
dalam hatinya, janganlah kalian berbuat ghibah terhadap kaum muslimin, jangan
pula kalian mencari-cari aib mereka. Sebab barangsiapa yang mencari-cari aib
manusia, niscaya Allah ‘azza wajalla
akan membuka aibnya. Barangsiapa yang dibuka aibnya oleh Allah, maka aibnya
akan terbongkar meskipun ia berada dalam rumahnya” [HR. Abu Daud no. 4880 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abu Daud, 10/380]
Ketika menjelaskan hadits tersebut, Al-Imam Ibnu Rajab rahimahullah
berkata:
“(Larangan berbuat ghibah –pen) ini juga berkenaan dengan hak ulama yang dijadikan
qudwah dalam agama. Adapun bagi ahlul bid’ah dan para penyeru kesesatan, maka
diperbolehkan untuk menjelaskan kebodohan mereka, serta menampakkan aib-aib
mereka sebagai peringatan agar mereka tidak dijadikan qudwah” [Al-Farq baina
An-Nashihah wat Ta’yiir hal. 25-26]
Al-Imam Al-Baihaqi menyebutkan perkataan ulama salaf yang bernama Abdullah
bin Muhammad bin Manazil rahimahumallah berikut,
“Seorang mukmin selalu mencarikan udzur terhadap saudaranya, sedangkan
orang munafik, ia suka mencari-cari aib saudaranya” [Syu’abul Iman,
15/515]
[Kelima] Ketika terjadi fitnah, tidak diperbolehkan meremehkan dan merendahkan
kedudukan ulama
Diantara ciri-ciri ahlul-bid’ah adalah gemar mencela dan merendahkan kehormatan
para ulama.
Ketika Hammad bin Abi Sulaiman menyebutkan tentang Ahlul-Hijaz (ulama
Madinah –pen), ia berkata:
“Sungguh aku telah bertanya pada mereka, ternyata mereka tidak memiliki
ilmu sedikitpun. Demi Allah, anak-anak kecil kalian lebih berilmu dari mereka,
bahkan cucu-cucu kalian sekalipun”.
Mughirah berkata: “Ini adalah sikapnya yang melampaui batas (terhadap ulama
–pen)” [Jami’ Bayan ‘Ilmi wa Fadhlihi no. 2130]
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah berkata:
“Hammad bin Abi Sulaiman adalah seorang Murji’ah. Celaan ahlul-bid’ah
terhadap ulama sunnah tanpa haq adalah perkara yang diketahui, tidak
membutuhkan banyak nukilan dalam hal ini. Namun aku ingin mengingatkan para penuntut ilmu
bahwa meremehkan kedudukan ulama ahlul-hadits merupakan ciri ahlul-bid’ah,
jauhilah perbuatan tersebut” [Al-Ibanah hal. 113]
‘Ali bin Utsman An-Nufaili rahimahullah berkata:
“Aku berkata pada Ahmad bin Hambal, “sungguh Abu Qatadah membicarakan Waki’
bin Al-Jarrah, Isa bin Yunus dan Ibnul Mubarak.” Lalu Imam Ahmad berkata:
“Barangsiapa yang melemparkan tuduhan dusta kepada ahlus-shidq (para
ulama yang jujur -pen), maka ia adalah kadzab (pendusta –pen)” [Tahdziib
Al-Kamaal, 30/472]
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah berkata:
“Betapa banyak di tengah-tengah kita sebagian penuntut ilmu yang lancang mencela
para ulama yang kokoh keilmuannya hanya berdasarkan pemahaman mereka. Padahal
jika mampu, seharusnya mereka melakukan pembahasan permasalahan tersebut
beserta perselisihan yang terjadi, lalu menanyakannya pada para ulama.” [Al-Ibanah
hal 119]
Al-Imam Muslim bin Al-Hajjaj rahimahullah menulis kitab Shahih Muslim selama 15 tahun, setelah menyelesaikannya, beliau meminta pendapat dan masukan dari para ulama di zamannya. Diantara ulama yang dimintai bimbingannya oleh beliau adalah Al-Imam Abu Zur'ah Ar-Razi rahimahullah, lalu beliau meninggalkan beberapa hadits yang diberikan catatan 'illah oleh Abu Zur'ah. [Muqaddimah Shahih Muslim]
Diantara ulama yang menempuh metode Imam Muslim di zaman ini adalah Asy-Syaikh Rabi' bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah. Tidaklah beliau menulis kitab bantahan terhadap ahlul-bid'ah, kecuali beliau akan meminta pendapat dan catatan dari para ulama yang lain. Hal ini menunjukkan sifat tawadhu' para ulama kita dan jauhnya diri mereka dari sifat 'ujub (berbangga dengan ilmu yang ada dalam dirinya).
Al-Imam Muslim bin Al-Hajjaj rahimahullah menulis kitab Shahih Muslim selama 15 tahun, setelah menyelesaikannya, beliau meminta pendapat dan masukan dari para ulama di zamannya. Diantara ulama yang dimintai bimbingannya oleh beliau adalah Al-Imam Abu Zur'ah Ar-Razi rahimahullah, lalu beliau meninggalkan beberapa hadits yang diberikan catatan 'illah oleh Abu Zur'ah. [Muqaddimah Shahih Muslim]
Diantara ulama yang menempuh metode Imam Muslim di zaman ini adalah Asy-Syaikh Rabi' bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah. Tidaklah beliau menulis kitab bantahan terhadap ahlul-bid'ah, kecuali beliau akan meminta pendapat dan catatan dari para ulama yang lain. Hal ini menunjukkan sifat tawadhu' para ulama kita dan jauhnya diri mereka dari sifat 'ujub (berbangga dengan ilmu yang ada dalam dirinya).
lalu bagaimana pendapat Anda jika ada orang yang memiliki modal ilmu yang sedikit, merasa 'ujub, tidak memiliki adab terhadap ulama serta tergesa-gesa dalam menulis tanpa meminta bimbingan dan nasehat para ulama?
Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i rahimahullah berkata:
Seorang ulama jika terjatuh dalam kesalahan, maka kesalahannya akan hanyut
dalam keutamaannya, karena setiap ulama pastilah memiliki kesalahan” [Taqdiim
Buluugul Munaa hal. 10-11]
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata:
“Diantara nasihat yang berkenaan dengan ulama muslimin adalah tidak
mencari-cari aib, kekeliruan dan kesalahan mereka, karena ulama tidaklah
ma’shuum (selalu benar –pen), terkadang mereka salah dan keliru. Setiap anak
Adam memiliki kesalahan dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang
bertaubat...
(Larangan ghibah –pen) dalam hadits ini tertuju pada kaum muslimin secara
umum, bagaimana jika yang di-ghibah adalah ulama? orang-orang yang mencari-cari
kesalahan ulama dengan tujuan untuk menyebarkan aib-aib mereka, ia tidak hanya
berbuat kejelekan terhadap pribadi ulama tersebut, namun juga berbuat kejelekan
terhadap ilmu yang mereka bawa..
Jika manusia hilang kepercayaannya terhadap ulama dan ilmu yang ada pada
mereka, maka ini merupakan bentuk penodaan terhadap syariat yang mereka bawa
berupa sunah-sunah Rasululah shalallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena
itu aku katakan: “wajib untuk menutup aib para ulama kita, melakukan pembelaan
terhadap mereka dan memberikan udzur terhadap kesalahan-kesalahan mereka” [Syarh
Riyadhus Shalihin, 2/393-395]
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata:
”Sesungguhnya mujtahid adalah orang yang melihat pada suatu pendapat, bukan
melihat pada ulama yang berpegang pada pendapat tersebut. Jika ia mengetahui
bahwa dirinya masih mengikuti pendapat mayoritas dan keluar dari pendapat
minoritas, atau hanya mengikuti orang-orang yang memiliki keutamaan dan
kemuliaan, atau hanya megikuti orang-orang yang memiliki keluasan ilmu (tanpa
mengetahui dalilnya –pen), maka ketahuilah bahwa dalam dirinya masih terdapat
sifat ashabiyyah. Ia masih berada dalam lembah diantara lembah-lembah
taklid dan belum memberikan hak ijtihad sebagaimana mestinya” [Adab
Ath-Thalab hal. 43]
[Keenam] Meredam fitnah dan menghindari sikap tergesa-gesa dengan meminta bimbingan serta nasehat para ulama, kemudian mengamalkan nasehat tersebut
Allah ta’ala berfirman:
وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا
وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا
"Apabila datang kepada mereka suatu berita tentang
keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Seandainya mereka
menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah
orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari
mereka (Rasul dan Ulil Amri). Jika bukan karena karunia dan rahmat Allah kepada
kalian, niscaya kalian akan mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di
antara kalian)" [QS. An-Nisaa’: 83]
Ketika menafsirkan ayat di atas, Asy-Syaikh Abdurrahman bin
Nashir As-Sa’di rahimaullah berkata:
“Ini adalah pengajaran adab dari Allah ta’ala bagi hamba-hamba-Nya
atas perbuatan mereka (tergesa-gesa menyebarkan berita-berita dan mengambil
sikap, pen) yang tidak
layak. Padahal yang seharusnya mereka lakukan, apabila datang kepada mereka
berita tentang urusan besar dan berhubungan dengan kemaslahatan umum, yaitu
yang berkaitan dengan keamanan dan perkara yang menyenangkan kaum mukminin atau
ketakutan yang di dalamnya terkandung musibah atas mereka, maka hendaklah
mereka melakukan tatsabbut (memastikan beritanya) dan tidak
tergesa-gesa menyiarkan berita tersebut.
Akan tetapi hendaklah mereka kembalikan
urusan itu kepada Rasul dan Ulil amri (pemegang urusan dari kalangan umaro dan
orang-orang berilmu) di antara mereka, yaitu orang-orang yang memiliki
pandangan, memiliki ilmu, memiliki nasihat (yakni yang pantas menasihati dalam
masalah umum, pen),
memiliki akal dan memiliki ketenangan (tidak tergesa-gesa dalam memutuskan).
Merekalah yang mengetahui kemaslahatan dan kemudaratan.
Maka jika mereka memandang dalam
penyiaran berita tersebut terdapat kemaslahatan, kemajuan dan kegembiraan
terhadap kaum muslimin dan penjagaan dari musuh-musuh mereka, baru kemudian
boleh disebarkan. Namun jika mereka memandang dalam penyiarannya tidak
mengandung maslahat sama sekali, atau terdapat maslahat akan tetapi
kemudaratannya lebih besar, maka mereka tidak menyiarkan berita tersebut. Oleh
karena itu Allah ta’ala mengatakan, “Tentulah
orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari
mereka (Rasul dan Ulil Amri),” yakni,
orang-orang yang mau mencari kebenaran dapat mengambilnya dari pemikiran dan
pandangan mereka yang benar serta ilmu-ilmu mereka yang terbimbing.” [Tafsir
As-Sa’di hal. 184]
Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda:
البِرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِهِمْ
البِرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِهِمْ
"Barakah (kebaikan yang
banyak –pen) ada bersama orang-orang besar (ulama –pen) mereka". [HR. Ibnu
Hiban, Al-Hakim, serta dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam
Shahihul-Jami' no. 2884 dan Ash-Shahihah no.1778]
Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata:
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ مِنْ النَّاسِ مَفَاتِيحَ لِلْخَيْرِ مَغَالِيقَ لِلشَّرِّ وَإِنَّ مِنْ النَّاسِ مَفَاتِيحَ لِلشَّرِّ مَغَالِيقَ لِلْخَيْرِ فَطُوبَى لِمَنْ جَعَلَ اللَّهُ مَفَاتِيحَ الْخَيْرِ عَلَى يَدَيْهِ وَوَيْلٌ لِمَنْ جَعَلَ اللَّهُ مَفَاتِيحَ الشَّرِّ عَلَى يَدَيْهِ
إِنَّ مِنْ النَّاسِ مَفَاتِيحَ لِلْخَيْرِ مَغَالِيقَ لِلشَّرِّ وَإِنَّ مِنْ النَّاسِ مَفَاتِيحَ لِلشَّرِّ مَغَالِيقَ لِلْخَيْرِ فَطُوبَى لِمَنْ جَعَلَ اللَّهُ مَفَاتِيحَ الْخَيْرِ عَلَى يَدَيْهِ وَوَيْلٌ لِمَنْ جَعَلَ اللَّهُ مَفَاتِيحَ الشَّرِّ عَلَى يَدَيْهِ
"Sesungguhnya ada di antara manusia yang menjadi kunci
kebaikan dan penutup pintu kejelekan, adapula di antara manusia yang menjadi
kunci kejelekan dan penutup pintu kebaikan. Maka beruntunglah orang yang
dijadikan Allah sebagai kunci kebaikan melalui tangannya, serta celakalah orang
yang Allah jadikan pintu kejelekan melalui tangannya". [HR Ibnu Majah]
Mudah-mudahan bermanfaat,
Disarikan oleh Abul-Harits dari kitab Al-Ibanah karya
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah di Madinah, 18 Shafar 1435 H
No comments:
Post a Comment