Pertanyaan:
Assalamu'alaykum
ustadz ijin bertanya. Anak saya umur 6 bulan minum nya ASI terus dikasih bubur
instan paling hanya sekali sehari. Bagaimana saat puasa nanti? Apakah istri
saya harus puasa atau membayar fidyah atau mengganti di bulan yang lain ustadz?
Jawaban:
Apabila wanita
hamil atau menyusui merasakan kesulitan dan kepayahan saat berpuasa atau
mengkhawatirkan keselamatan anak dan janinnya, maka ia mendapatkan rukhshoh
(keringanan) tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Kewajibannya adalah membayar
fidyah (memberi makan) satu orang miskin untuk satu hari puasa dan tidak perlu
qadha’ (mengganti) puasanya.
Dari Anas bin Malik
Al-Ka’biy Al-Qusyairiy radhiyallahu ‘anhu
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ
الصَّلَاةِ، وَعَنِ الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوِ
الصِّيَامَ
“Sesungguhnya Allah
‘azza wajalla menggugurkan separuh (rakaat) shalat bagi musafir dan
menggugurkan (kewajiban) puasa bagi musafir, wanita hamil dan menyusui” [HR.
Abu Daud no. 2408, At-Tirmidzi no. 715, An-Nasa’i no. 2275 dan dishahihkan oleh
Syaikh Al-Albani rahimahumullah dalam Shahih Abu Daud no. 2083]
Diantara faidah
yang bisa dipetik dari hadits di atas:
Pertama, Allah ‘azza
wajalla menggugurkan saparuh rakaat shalat musafir artinya ia boleh mengqashar
shalat yang berjumlah empat rakaat saat safar. Ia boleh shalat shalat Zhuhur
dua rakaat, shalat Ashar dua rakaat dan shalat Isya dua rakaat.
Kedua, Allah ta’ala juga
menggugurkan kewajiban puasa bagi musafir, wanita hamil dan menyusui, artinya
mereka diberi keringanan berbuka di siang hari Ramadhan. Lalu apa kewajiban
mereka saat tidak berpuasa?
Berkenaan dengan
kondisi musafir (seorang yang melakukan perjalanan jauh), Allah ta’ala
memerintahkannya untuk mengganti puasa di hari yang lain (qadha’). Allah ‘azza
wajalla berfirman:
وَمَن كَانَ
مَرِيضًا أَو عَلَىٰ سَفَر فَعِدَّة مِّن أَيَّامٍ أُخَرَ
“Siapa yang sakit
atau safar (dan berbuka) , maka ia wajib mengganti puasanya di hari yang lain…”
[QS. Al-Baqarah: 185]
Al-Hafizh Ibnu
Katsir rahimahullah berkata:
المريض
والمسافر لا يصومان في حال المرض والسفر ; لما في ذلك من المشقة عليهما ، بل
يفطران ويقضيان بعدة ذلك من أيام أخر
“Orang yang sakit
dan musafir boleh tidak bepuasa saat sakit dan safar, karena hal itu akan
memberatkannya. Bahkan keduanya boleh berbuka dan mengqadha sejumlah puasanya di hari yang lain” [Tafsir Ibnu Katsir Surat Al Baqarah ayat 185]
Sedangkan
mewajibkan qadha’ bagi wanita hamil dan menyusui membutuhkan dalil yang shahih
dan sharih (tegas). Saya pribadi belum
menemukan nash khusus dalam Al-Qur’an maupun hadits yang memerintahkan wanita
hamil atau menyusui agar mengqadha’ puasanya. Dalam ayat Al-Qur’an, Allah ta’ala
hanya menyinggung fidyah bagi mereka.
وَعَلَى
ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِديَة طَعَامُ مِسكِين
“Dan bagi
orang-orang yang berat berpuasa, hendaklah ia membayar fidyah memberi makan satu
orang miskin” [QS. Al-Baqarah: 184]
Sahabat Abdullah
bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma menafsirkan ayat tersebut,
هو للشيخ
الكبير والمرأة الكبيرة لا يستطيعان أن يصوما ، فيطعمان مكان كل يوم مسكينا
“Yaitu kakek dan
nenek lanjut usia yang tidak mampu berpuasa, maka ia memberi makan satu orang
miskin untuk satu hari puasa” [Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah ayat 184]
Disebutkan dalam
riwayat lain dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
أَنَّهُ رَأَى
أُمَّ وَلَدٍ لَهُ حَامِلًا أَوْ مُرْضِعًا فَقَالَ: «أَنْتِ بِمَنْزِلَةِ الَّذِي
لَا يُطِيقُهُ، عَلَيْكِ أَنْ تُطْعِمِي مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا، وَلَا
قَضَاءَ عَلَيْكِ
“Bahwa Ibnu Abbas
melihat seorang ibu hamil atau menyusui, kemudian beliau berkata: Engkau
termasuk orang-orang yang berat berpuasa, wajib bagimu memberi makan satu orang
miskin untuk satu hari puasa dan tidak ada qadha’ bagimu”
Atsar di atas
dikeluarkan oleh Ad-Daraquhtni no. 2382
dan beliau mengomentari riwayat tersebut:
إسنادٌ صحيحٌ
“Sanadnya shahih”.
Juga dikeluarkan
oleh Imam At-Thabari dalam tafsirnya (2/136). Syaikh Al-Albani rahimahumullah
menilai shahih sanad riwayat tersebut, beliau menyatakan,
إسناده صحيحٌ على
شرط مسلمٍ
“Sanadnya shahih
sesuai syarat Muslim”[1]
Dalam ilmu Musthalah
Hadits ditetapkan bahwa tafsir Sahabat Nabi yang berkaitan dengan sebab
turunnya ayat Al-Qur’an (asbabun nuzuul) dihukumi marfu’ (berasal dari Nabi
shallalahu ‘alaihi wasallam), karena para sahabat mustahil menyatakan hal itu
dari pendapat pribadi maupun dari akalnya semata. Tafsir para sahabat berkaitan
dengan sebab nuzul ayat Al-Qur’an dipahami bahwa mereka mendengar dari
Nabi atau menyaksikan langsung saat ayat tersebut diturunkan, sebagaimana dinyatakan oleh
Imam Ibnus Shalah[2],
As-Suyuthi[3],
As-Shan’ani[4]
dan Asy-Syinqithiy[5]
rahimahullah. Hal ini berdasarkan perkataan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu
‘anhu,
والله الذي لا إله
غيره، ما أنزلت سورة من كتاب الله إلّا وأنا أعلم أين نزلت، ولا أنزلت آية من كتاب
الله تعالى إلا وأنا أعلم فيمن نزلت ولو أعلم أحدا أعلم مني بكتاب الله تبلغه
الإبل، لركبت إليه
“Demi Allah yang tidak ada sesembahan yang haq
selain Dia. Tidaklah diturunkan satu surat dari Al-Qur’an kecuali aku tahu di
mana ayat itu turun. Tidak pula diturunkan ayat dari Al-Qur’an kecuali aku tahu
kepada siapa ayat itu turun. Seandainya ada seorang yang lebih tahu dariku
tentang Al-Quran yang bisa ditempuh dengan mengendarai unta, tentu aku aku akan
menempuh perjalanan kepadanya” [HR. Al-Bukhari]
Atsar yang senada
juga diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma,
أَنَّ امْرَأَتَهُ
سَأَلَتْهُ ـ وَهِيَ حُبْلَى ـ فَقَالَ: «أَفْطِرِي وَأَطْعِمِي عَنْ
كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا وَلَا تَقْضِي
“Bahwa seorang
wanita hamil bertanya pada Ibnu Umar tentang
puasa, beliau berkata: Berbukalah dan berikan makan satu orang miskin untuk
setiap harinya, engkau tidak perlu mengqadha’.[6]
Dari penjelasan di
atas, kita bisa menyimpulkan bahwa kewajiban fidyah bagi wanita hamil atau
menyusui diambil dari tafsir Ibnu Abbas tentang asbabun nuzul ayat Al-Qur’an
dan ini merupakan hujjah sebagaimana ditetapkan para ulama dalam ilmu Musthalah
Hadits. Hal ini dikuatkan pula oleh tafsir para ulama tabi’in berkenaan dengan ayat tersebut. Sa’id bin
Al-Musayyib rahimahullah menafsirkan,
هو الكبير الذي كان يصوم فكبر
وعجز عنه، وهي الحامل التي ليس عليها الصيام، فعلى كل واحد منهما طعام مسكين، مدّ
من حنطة لكل يوم حتى ينقضي رمضان
“Orang-orang yang
berat berpuasa adalah orang lanjut usia yang tidak mampu berpuasa dan wanita
hamil, tidak ada kewajiban puasa baginya. Masing-masing dari keduanya wajib
memberi makan satu orang miskin, satu mudd gandum untuk satu hari hingga akhir
Ramadhan”
Imam As-Suddiy
rahimahullah berkata,
أو المرأة المرضع لا تستطيع أن
تصوم، فإن أولئك عليهم مكان كل يوم إطعام مسكين
“…atau wanita hamil
yang tidak mampu berpuasa, maka mereka wajib memberi makan satu orang miskin
untuk satu hari”[7]
Al-Hafizh Ibnu
Katsir rahimahullah berkata,
ومما يلتحق
بهذا المعنى : الحامل والمرضع ، إذا خافتا على أنفسهما أو ولديهما
“Diantara mereka yang
termasuk berat melakukan puasa adalah wanita hamil dan menyusui apabila
mengkhawatirkan keselamatan dirinya atau anaknya” [Tafsir Ibnu Katsir Surat
Al-Baqarah Ayat 184]
Maka kita jawab,
tafsir Ibnu Abbas dan fatwa Ibnu Umar tersebut masyhur di kalangan para sahabat
dan tidak ada sahabat lain yang menyelisihinya. Imam Ibnu Qudamah rahimahullah
berkata:
قال ابن عمر وابن عباس ولا مخالف لهما من الصحابة:
لا قضاء عليهما لأن الأية تناولتهما وليس فيها إلا الإطعام
"Ibnu Umar dan Ibnu
Abbas berkata tidak ada qadha bagi wanita hamil dan menyusui karena makna ayat
Al-Quran telah mencakup keduanya. Tidak disebutkan dalam ayat selain fidyah. Demikian
pula tidak ada sahabat lain yang menyelisihi fatwa Ibnu Umar dan Ibnu Abbas”
[Al-Mughniy, 4/395]
Kondisi dimana terdapat
fatwa atau pendapat sahabat nabi yang tersebar dan masyhur, sementara tidak ada sahabat
lain yang menyelisihi atau mengingkarinya, ulama ushuliyyun
mengistilahkannya dengan Ijma’ Sukuti, sebagaimana dinyatakan oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah[8]
dan muridnya Imam Ibnul Qayyim[9]
rahimahumallah.
Dari dalil-dalil
yang dipaparkan di atas, kita dapat menilai kuatnya pendapat ulama yang hanya
mewajibkan fidyah bagi wanita hamil atau menyusui. Ini merupakan pendapat Ibnu
Abbas, Ibnu Umar, Sa’id bin Al-Musayyib, Sa’id bin Jubair, Al-Qasim bin
Muhammad, Atha’, Mujahid, Thawus, Ikrimah, Ibrahim An-Nakha’iy, As-Suddiy dan
zhahir pendapat Ibnu Katsir. Dan dari kalangan ulama mu’ashirin, Al-Albani[10],
Muhammad Ali Firkuuz[11],
Abdul Azhiim Badawi[12]
dan Adil bin Yusuf Al-Azzazi[13]
rahimahumullah jami’an. Dalam permasalahan ini para ulama tersebut berdalil
dengan ayat Al-Qur’an, hadits shahih dan ijma’. Sengaja saya tidak menuliskan hujjah pendapat ulama yang lain di sini beserta sanggahannya, khawatir akan semakin menambah panjang pembahasan. Allahua’lam
Demikian sedikit
yang bisa dituliskan, semoga bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bini’matihi
tatimmusshalihat.
Ditulis oleh Abul-Harits
di Boyolali pada akhir Sya’ban bertepatan dengan Kamis, 23 April 2020
[1] Irwa’ul Ghalil (4/19)
[2] Muqaddimah Ibnus Shalah (1/24)
[3] Tadriibur Raawi (1/157)
[4] Taudhiihul Afkaar (1/280)
[5] Adhwaa’ul Bayaan (1/144)
[6] Atsar tersebut diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni no. 2388 dan
dihasankan oleh Syaikh Al-Albani rahimahumallah dalam Irwaa’ul Ghaliil (4/20),
beliau berkata: “sanadnya jayyid”
[7] Tafsir At-Thabariy (3/169)
[8] Al-Muswaddah (1/335)
[9] I’llamul Muwaqqi’in, (4/120)
[10] Irwaa’ul Ghaliil (4/17-24)
[11] Fatawa Syaikh Muhammad Ali Firkuuz Al-Jazaa’iriy no. 470
[12] Al-Wajiiz fi Fiqhis Sunah wal Kitabil Aziiz (1/199)
[13] Tamamul Minnah fi Fiqhil Kitab wa Shahihis Sunnah (1/171)
No comments:
Post a Comment