Wednesday, May 21, 2014

Langit Akan Tetap Bening

Anak muda itu memanggil saya Abang. Sebenarnya tidak ada hubungan darah antara saya dan dia. Umur kami terpaut sepuluh tahunan. Namun, dikarenakan hubungan baik di antara kami, saya sering menyebutnya Adik. Sementara dia memanggil saya Abang dalam keseharian. Barangkali ia menganggap saya benar-benar seperti Abangnya, sehingga hal-hal pribadi pun sering ia bagikan dengan saya.

Itulah Bang, sulit juga rasanya untuk melupakan dia… Gimana ya, Bang?  Meskipun tidak aku harapkan, terkadang wajahnya muncul dalam mimpi-mimpiku.

Memang, Bang… orangnya cantik dan baik. Itu bukan menurutku sendiri, Bang. Orang-orang pun bilang seperti itu juga. Ah… susahlah, Bang!”, keluhnya kepadaku suatu saat.

Karena ia memberikan kepercayaan kepada saya, beberapa saran dan masukan pun saya berikan untuknya. Memposisikan seolah-olah sebagai Abangnya. Saya sampaikan, ”Sudahlah… tidak usah kau pikirkan sampai seperti itu. Belum tentu orang yang kau pikirkan saat ini, sedang memikirkanmu juga. Orang baik akan berpasangan dengan orang baik. Sebaliknya pun demikian. Kalau kau baik, jodohmu pun baik, insya Allah…”

Apakah dia sudah ngaji Salaf?”, selanjutnya saya yang bertanya.
Anak muda itu masih berusaha jujur. Katanya, “Belum sih, Bang… Cuman dia udah berjilbab, Bang. Insya Allah dia maulah kalau disuruh pakai cadar. Gimana, Bang?”

Begini, Dek…Semua orang yang masih normal, pasti berharap rumah tangganya kelak harmonis dan bahagia. Kau tahu, nggak? Modal terbesar untuk hidup harmonis itu apa? Kesamaan visi dan kesatuan misi. Cara pandang hidupnya harus sama. Jika tidak, akan payah nantinya. Tidak bisa juga kita ingin menyamakan visi, misi dan cara pandang hidup dengan sambil jalan. Jangan terlalu berspekulasi! Jangan-jangan… bukannya kita yang bisa membawa, malah kita yang terseret arus. Na’udzu billah“, saya mencoba memberi pengertian.

Saya  terus melanjutkan, “Masalahnya, bukan ia mau pakai cadar ataukah tidak nantinya. Kesamaan visi dan kesatuan misi tidak hanya sebatas cadar saja. Ada aspek-aspek lain yang mesti diperhatikan. Kau kan sudah lama ngaji… sudah merasakan manisnya Thalabul Ilmi… Nah, itu yang harus kau syukuri! Kau harus menjaga nikmat ini dengan memilih istri yang telah sungguh-sungguh mengerti tentang dirimu!”

Lalu kami terdiam sambil menikmati malam…

Percakapan di atas memang saya ungkapkan ulang di sini dengan gaya bahasa berbeda. Namun… tidak mengubah makna sama sekali. Bukan sekali dua kali saya menghadapi kasus seperti ini. Berapa banyak sudah, kawan dan sahabat yang mengungkapkan hal yang sama. Sampai pastinya berapa banyaknya, saya sudah lupa. Akan tetapi, satu hal yang menarik untuk dicermati, dan barangkali inilah benang merah yang merajutkan dari semua kasus tersebut adalah budaya ikhtilath.

Ikhtilath bisa dipahami sebagai budaya perbauran antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram-nya dalam kondisi selain darurat. Islam sebagai ajaran mulia nan luhur sangat membatasi pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram –nya. Sebagai misal adalah penyakit sosial masyarakat yang seringkali muncul karena faktor ikhtilath. Islam sendiri telah mengatur, di manakah area dan medan laki-laki dalam kehidupan sehari-hari dan di manakah pula perempuan semestinya berada.
Sudahlah… tidak usah kita mempertanyakan ulang tentang hal ini.

Bukankah fakta telah berbicara? Bukankah realita pahit semacam ini merupakan kebenaran yang tak terbantahkan? Ikhtilath memang menjadi salah satu faktor munculnya penyakit masyarakat.
Enam dari sepuluh perempuan Indonesia telah hilang kegadisannya sebelum menikah secara resmi. Hasil dari salah satu survey ini tentu membuat kulit merinding dan hati bergidik.

Kasus pemerkosaan ibarat menghiasi bibir setiap harinya. Pelecehan seksual selalu mengintai di mana-mana. Apakah kita akan menutup mata dari fakta? Aborsi merajalela, janin dan jabang bayi ditemukan teronggok di sembarang tempat, sepasang remaja yang tertangkap sedang berbuat mesum di warnet, kasus perceraian yang disebabkan perselingkuhan dengan ipar sendiri, affair antara seorang bos dengan bawahannya dan lain sebagainya. Belum lagi realita kumpul kebo di kalangan mahasiswa. Allahumma sallim

Atau jika masih ragu (padahal semestinya tidak perlu ragu lagi), datang dan bertanyalah kepada para petugas KUA, “Dalam setahun, berapakah pasangan menikah di bawah umur? Karena accident before married (hamil sebelum menikah)?”

Saat ini muncul polemik tentang wacana test keperawanan untuk calon sisiwi sekolah menengah atas. Seperti biasa, ada pro dan kontra. Namun, bukan itu yang menjadi titik pembahasan. Keprihatinan akan pergaulan bebas di kalangan pelajar bahkan bisnis prostitusi yang melibatkan pelajar, seperti itulah alasan penggagasnya.

Mufti Agung Kerajaan Arab Saudi, Syaikh Bin Baz pernah menerbitkan fatwa mengenai hal ini (Majmu’ Fatawa Ibn Baz 4/248-253). Fatwa tersebut untuk menyanggah pernyataan seorang rektor dari sebuah kampus di Negara Yaman.

Rektor dimaksud menyatakan bahwa bentuk pendidikan dengan memisahkan antara siswa dan siswi justru menyelisihi syari’at Islam. Ia beralasan bahwa shalat berjama’ah di masjid dilaksanakan sejak zaman Nabi Muhammad dengan tanpa memisahkan antara laki-laki dan perempuan.

Saya merasa heran. Kenapa bisa pernyataan semacam ini diucapkan oleh seorang rektor dari sebuah kampus Islam di negeri Muslimin. Padahal semestinya ia justru dituntut untuk mengarahkan masyarakatnya –kaum laki-laki dan perempuannya- demi meraih kesuksesan dan keselamatan dunia akhirat. Inna lillah wa inna ilaihi ra’jiun Laa haula wa laa quwwata illa billah“,

Syaikh Bin Baz memulai sanggahannya dengan menyatakan demikian. Beliau melanjutkan, “Tidak perlu diragukan lagi bahwa pernyataan tersebut merupakan pelanggaran besar terhadap syari’at Islam! Sebab, syaria’t Islam tidak mengajarkan ikhtilath !… Justru Islam melarang ikhtilath dan sangat tegas dalam hal ini!!”

Setelah itu beliau menyebutkan sejumlah ayat dan beberapa hadits Rasulullah untuk menjelaskan bahwa Islam sangat antipati terhadap budaya ikhtilath. Sehingga, proses belajar mengajar yang menggunakan metode ikhtilath sangatlah bertentangan dengan Islam.

Hmmm… pembahasan ini pasti akan panjang lebar.
Baiklah… Kita kembali saja ke salah satu pointnya. “Langit akan Tetap Bening” sejatinya ditujukan untuk ikhwan-ikhwan muda Salafy yang masih juga belum lepas dari kenangan “manis”nya saat kuliah atau bangku sekolah. Jerat-jerat ikhtilath telah meninggalkan kesan pahit setelah ia serius mengaji Salaf. Bayang-bayang masa lalunya seakan terus mengejar. Walaupun sebagian orang menyebutnya sebagai masa-masa paling indah “kisah kasih di sekolah”, tetap saja kaum muda Salafy yang telah memilih jalan Thalabul Ilmi akan menganggapnya sebagai kenangan “pahit”.…

Lah gimana, Ustadz… Tiap hari pasti ketemu di sekolah. Sama-sama berada di dalam ruangan kelas selama sekian lama. Banyak kegiatan yang dilalui bareng-bareng. Khan nggak mungkin momen-momen seperti itu pergi tanpa kesan

Kalimat-kalimat semacam di atas pun pernah menjadi salah satu bahan diskusi saya dengan beberapa ikhwan yang dahulu masih aktif sekolah . Budaya ikhtilath memang sebuah problem besar bagi kalangan muda yang serius untuk mengaji.

Dalam sebuah kajian di salah satu SMA Negeri, pertanyaan tentang ikhtilath dan pacaran seakan mengalir tiada henti. Ada pertanyaan yang langsung disampaikan secara verbal, ada juga yang bertanya dengan menggunakan selembar kertas, terutama peserta akhwat. Bahkan satu dua pertanyaan sangat “menggelikan” karena terkait dengan kontak komunikasi antara ikhwan dan akhwat sesama pengurus Kajian Sekolah.

Salah satu pertanyaan yang sulit saya lupakan hingga saat ini kurang lebih demikian. “Ustadz, apakah hukumnya seorang ikhwan yang sama-sama berjanji dengan seorang akhwat. Keduanya setelah lulus SMA akan berangkat mondok di tempat yang berbeda. Setelah itu mereka berdua sepakat untuk menikah?”

Geeerrrrr… ada tawa secara koor yang tak dapat ditahan ketika saya membacakan pertanyaan itu.

Sebenarnya gundah gulana yang dirasakan oleh mereka yang ingin dan sedang serius mengaji, sementara mereka masih berjiwa muda adalah bersumber dari ikhtilath. Seakan percuma saja nasehat untuk menundukkan mata di sampaikan, ajaran untuk menjaga hati dari syahwat diungkapkan atau trik-trik lain untuk terhindar dari godaan syahwat. Sebab, sumber segala-galanya masih juga ada. Jangan bermain api jika tidak ingin terbakar. Kalau tak mau basah, mengapa bermain air ?…

Syaikh Utsman As Salimi dalam sebuah kesempatan menyampaikan nasehat yang sangat mengena di hati. Kata beliau,

Syahwat itu muncul jika digelorakan. Oleh sebab itu, jangan pernah engkau membangkitkannya! Jauhi faktor-faktor yang dapat membangkitkan syahwat terlarang. Syahwat yang terus diikutkan tidak akan pernah ada habisnya

Nah… anak muda yang saya sebutkan di atas atau anak muda lainnya yang bernasib sama, tentu tepat untuk meresapi nasehat Syaikh Utsman di atas. Bagaimana bisa melupakan kenangan lama, sementara facebook miliknya terus menerus ”diintip-intip”? Bagaimana mungkin dapat menghapus bayang-bayangnya, sementara dirinya selalu dilamunkan?  Tentu akan sulit dilupakan jika selalu dikenang!

Ada saja alasan yang terus ditampilkan oleh setan untuk mengungkung manusia agar sulit melupakan masa lalunya.Bahkan tidak jarang,alasan tersebut terkesan ilmiah dan benar. Sebagai contoh adalah satu pertanyaan yang pernah diajukan kepada saya pada salah satu kajian di Kalimantan.

Apakah boleh Ustadz, seseorang mendoakan kebaikan untuk mantan kekasihnya?”

Terasa indah kan alasannya? Ketika itu saya kemudian menjelaskan tentang keharusan untuk saling mendoakan di antara kaum muslimin. Akan tetapi, apakah tidak ada orang lain yang lebih berhak untuk didoakan? Orangtua, saudara atau kerabat dekat, misalnya. Apakah ada alasan baginya mendoakan mantan kekasih, sementara masih ada orang yang lebih berhak untuk didoakan? Selain itu, hal semacam ini tentu hanya akan membekaskan penyakit-penyakit hati..

Ibnu Qayyim  di dalam Raudhatul Muhibbin menukilkan beberapa kisah cinta yang kiranya perlu untuk disampaikan di sini. Dari dua kisah yang akan saya sebutkan dalam tulisan ini, ada satu hal yang harus ditarik sebagai sebuah kesimpulan: Hawa nafsu harus dikekang di dalam bingkai syari’at! Jangan terseret arus syahwat!

Seorang pemuda ahli ibadah pernah tertarik kepada seorang wanita jelita. Tumbuhlah rasa cinta di antara mereka berdua. Cinta si pemuda ternyata disambut oleh wanita tersebut. Bahkan hubungan di antara mereka berdua dapat dirasakan oleh hampir seluruh warga Mekkah.

Di sebuah lokasi sepi, si wanita kembali mengucapkan cinta. Sang pemuda pun mengungkapkan hal yang sama.

Aku ingin engkau menciumku”, kata si wanita tersebut.

Sang pemuda menjawab, ”Aku pun demikian”.

Lalu kenapa engkau tidak melakukannya?”, tanya si wanita.

Sang pemuda menjelaskan, “Celaka! Sungguh aku pernah mendengar sebuah firman Allah yang berbunyi,

الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِين

“Orang-orang yang saling mencintai (selama di dunia) pada hari itu (hari kiamat) sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertaqwa.” [QS. Az-Zukhruf: 67]

Demi Allah, aku tidak berharap hubungan kita di dunia ini berubah menjadi permusuhan di hari akhir kelak”, pemuda itu mengucapkan kata-kata ini sambil bangkit berdiri lalu pergi. Kedua matanya tak mampu menahan air mata.

Kota Kufah juga menyimpan banyak cerita tentang cinta. Seorang pemuda tampan pernah tinggal menetap di sana, di sebuah kampung suku Nakha’. Secara kebetulan, pemuda itu melihat seorang gadis jelita yang membuatnya jatuh cinta. Jiwanya merasakan gelisah oleh cinta.

Lalu pemuda itu datang menemui ayah si gadis untuk menyatakan pinangan. Ternyata, gadis tersebut telah dilamar oleh sepupunya sendiri. Betapa berat rasa di hati!  Pemuda itu benar-benar kecewa.
Si gadis yang mengetahui rasa cintanya lalu memerintahkan seseorang untuk menyampaikan pesan kepada sang pemuda.

Aku sudah mengetahui perasaanmu kepadaku. Ternyata aku pun merasakannya. Sekarang silahkan engkau pilih, aku yang pergi untuk menemuimu ataukah aku berusaha mencarikan jalan agar engkau bisa menemuiku di rumahku?”, seperti itulah pesan si gadis.

Pemuda itu lalu menjawab, “Sampaikanlah kepadanya! Tidak ada satu pun yang aku pilih. Aku sangat takut dengan adzab yang pedih jika durhaka kepada Nya. Aku takut Neraka Nya yang tidak pernah berhenti kobaran apinya juga tidak akan berkurang panasnya”.

Melihat kenyataan dari jawaban sang pemuda, gadis itu lalu berujar, ”Dengan besarnya rasa cinta di hati, ia masih juga takut kepada Allah? Sungguh, hanya dia yang berhak atas diriku”.

Sejak hari itu, si gadis meninggalkan kehidupan dunia dan memilih menjalani hari-hari ibadah sampai tidak berapa lama kemudian ia meninggal sambil menyimpan cinta kepada si pemuda. Tidak lama berselang, si pemuda itu juga meninggal dunia…

Ada serangkai doa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah kepada seorang pemuda (hadits Abu Umamah riwayat Imam Ahmad). Sambil mengusapkan telapak tangan di dada anak muda itu, Nabi Muhammad berucap,

اللّهُمَّ اغْفِرْ ذَنْبَهُ وَطَهِّرْ قَلْبَهُ وَحَصِّنْ فَرْجَهُ

Ya Allah… Ampunilah dosanya. Sucikanlah hatinya dan jagalah kemaluannya

Anak muda tersebut mula-mula datang menemui Rasulullah dengan harapan diijinkan berbuat zina. Walaupun sebagian sahabat yang hadir saat itu merasa tersinggung, namun Rasulullah menghadapinya dengan penuh kelembutan dan kesabaran.

Nabi Muhammad justru bertanya kepada anak muda tersebut, jika perbuatan zina itu menimpa ibunya? Menimpa saudari perempuan atau bibinya? Bagaimanakah sikapnya jika hal itu menimpa keluarganya? Dengan tegas anak muda itu menyatakan tidak senang. Nah, seperti itulah yang dirasakan oleh orang lain. Rasulullah berhasil menanamkan cara bersikap yang lurus kepada anak muda itu. Tak lupa Rasulullah mendoakannya.
Bukankah kita sangat membutuhkan doa semacam ini?

Cinta itu memang unik. Apapun definisi tentang cinta yang diungkapkan pasti akan berujung dengan perdebatan.Wajar saja jika seorang ulama menyatakan; cinta itu tidak mungkin bisa didefinisikan. Mendefinisikan cinta sama artinya dengan mempersempit makna cinta. Apalagi jika berurusan dengan “cinta pertama” yang seringnya lahir di saat sekolah maupun di bangku kuliah.

Sebuah musibah besar yang muncul karena dosa ikhtilath. Untuk anak muda yang saya sebutkan di awal tulisan, juga kepada anak-anak muda lainnya. Mereka yang telah diberi kesempatan oleh Allah untuk mereguk manisnya thalabul ilmi, menjalani hari-hari denganmengaji Salaf. Mereka yang telah diberi hidayah untuk mencintai Al Qur’an dan As Sunnah. Barangkali saya bisa menitipkan sebuah pesan melalui tulisan ini.

Belum tentu yang engkau anggap baik, akan benar-benar baik nantinya. Mengapa harus terbelenggu oleh kenangan-kenangan lama? Padahal Allah telah berjanji untuk memberikan pengganti yang jauh lebih baik, bagi hamba yang siap meninggalkan sesuatu karena Nya.

Hargailah Manhaj Salaf yang telah engkau pilih ini! Tidak ada yang lebih berharga di dunia ini selain Manhaj Salaf. Peganglah erat-erat thalabul ilmi yang telah engkau pilih! Jangan mau engkau terhalang dari thalabul ilmi hanya karena terganggu oleh kenangan-kenangan lama.

Yakinlah… di sana masih banyak mutiara-mutiara terpendam yang selalu siap untuk engkau petik. Seorang wanita shalihah yang hidup dalam kesucian dan ‘iffah. Seorang wanita yang akan selalu membantu dirimu untuk sama-sama beribadah kepada Allah. Seorang wanita yang menjadi salah satu perhiasan terbaik di dunia ini. Seorang wanita yang akan menjadi istrimu untuk sama-sama berjuang di atas Manhaj Salaf.

Anggap saja kenangan-kenangan lama itu sebagai mendung yang hanya sesaat melintas. Engkau (yang telah memilih Manhaj Salaf) adalah langit. Mendung-mendung itu pasti akan berlalu. Sebab, langit akan tetap bening…


Ditulis oleh Al-Ustadz Mukhtar iben Rifa’i hafizhahullah (http://www.ibnutaimiyah.org/2013/09/langit-akan-tetap-bening/)

No comments:

Post a Comment